Jumat, 24 Juli 2015

Perjalanan Bernama Mudik-Balik


HAMPIR delapan tahun, saya menjadi perantau. Menjadi orang baru di tanah orang. Masih di Jawa Tengah, tepatnya Purwokerto, Banyumas yang menjadi rumah, sekolah, sekaligus ladang penghidupan bagi saya sejak bulan September, 2007 hingga kini.

Artinya, selama delapan kali pula saya melakukan kegiatan yang awam dilakoni para perantau jelang Lebaran. Mudik.

Perjalanan mudik setiap tahunnya selalu meninggalkan kisah tersendiri dan pasti berbeda. Next time, bisa saya tuliskan beberapa kisah seru itu.

Mumpung suasana mudik masih sedikit hangat dan kebagian jatah nulis sorot, coba nulis tentang aktivitas mudik tahun ini. Selamat membaca.

======================

SABTU (25/7) hari ini adalah tepat H+7 Lebaran 2015. Toples-toples kue di meja mulai kosong, opor dan ketupat telah tandas jauh-jauh hari. Rumah kembali sepi, tetamu, sanak saudara, dan anak telah kembali ke tanah rantau. Kembali berkarya, bekerja, sembari menunggu momen ini, setahun lagi.

Persiapan jelang balik. Photo by: Indah Diana NA
Kembalinya para perantau ini terangkum dalam sebuah perjalanan bernama arus balik. Baik melalui darat, laut, maupun udara. Menggunakan beragam moda transportasi sesuai peruntukannya, seperti sepeda motor, mobil, bus, kereta api, kapal, dan pesawat terbang. Kembali sambil menenteng oleh-oleh, kuliner khas, dan cerita nostalgia di kampung halaman yang bisa dibagikan pada relasi. Juga meniupkan harapan agar tahun depan, bisa kembali pulang. Mudik.

Seperti diketahui, perjalanan mudik dan balik adalah ritual tahunan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam jelang Lebaran. Tradisi turun-temurun yang mengakar amat kuat dan tak akan pernah hilang selama masih ada tanah perantauan dan kampung halaman. Walau uang di saku hanya cukup untuk sekali perjalanan, walau harga beras dan telur naik, walau baju baru tak terbeli, bahkan saat sudah kehabisan tiket, para perantau akan tetap berusaha, mencari cara agar bisa pulang, kembali ke rumah.

Dan, tahun ini, sekitar 22 juta rakyat Indonesia melakukan perjalanan mudik-balik. Tersebar ke berbagai penjuru negeri.

Meski telah menjadi rutinitas tahunan, perjalanan ini selalu diwarnai dengan berbagai masalah. Terkesan, berbagai problematika ini dibiarkan abadi. Seabadi sinetron Cinta Fitri atau Tukang Bubur Naik Haji. Terkesan, pembuat, pelaksana, serta pengawas kebijakan yang tak lain adalah pemerintah enggan mengurai masalah yang kerap mendera dan menemukan solusinya.
Pusing menghadapi macet, mlipir dulu, nyicip es dawet ireng.

Kemacetan menjadi masalah utama dan pertama yang selalu menghantui dalam setiap perjalanan mudik-balik. Dan cerita tentang macet selalu berulang setiap tahunnya. Seperti yang saya rasakan tahun ini, saat perjalanan balik pada Selasa (21/7) kemarin. Butuh nyaris sembilan jam untuk sampai ke Kota Purwokerto dari kampung halaman, Klaten. Sama-sama menggunakan sepeda motor, perjalanan balik kemarin lebih lama dibandingkan saat mudik yang memakan waktu enam jam. 

Hal ini sebagai imbas kemacetan yang terjadi di sepanjang jalur selatan Jawa Tengah, mulai dari Kutoarjo, Purworejo hingga Buntu, Banyumas. Di beberapa titik memang sempat lancar namun perjalanan kembali tersendat saat 'bertemu' dengan perlintasan kereta api, pasar, atau persimpangan jalan. Bahkan satu mobil mogok atau berhenti pun bisa membuat macet ratusan meter. 

Ini juga diperparah dengan kondisi jalan yang tak sepenuhnya dalam kondisi baik dan nyaman dilewati. Saya merasakan begitu besar perbedaan antara ruas jalan di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di DIY, ruas jalan yang tersedia cukup lebar -untuk tidak melebihkan dengan kata sangat. Satu lajurnya mampu menampung dua mobil dan beberapa motor dengan lajur terpisah. Plus dalam kondisi jalan yang mulus. Tapi begitu masuk ke Purworejo lantas menyusuri Kebumen, jalanan mulai menyempit. Satu lajur hanya untuk satu mobil dan motor. Jika ada mobil yang menyerobot, memakan bahu jalan, membuat para pengendara motor harus turun, tersingkir dari jalanan beraspal. Hal ini pula yang dirasakan teman, kerabat, serta banyak pemudik lainnya. 
Senja dari Sruweng, Kebumen. Iseng sambil nunggu nggak macet.
Benar, saat arus perjalanan tersebut, ratusan hingga jutaan kendaraan turun ke jalan dalam waktu yang bersamaan. Semuanya demi satu tujuan, kampung halaman atau tanah rantau. Namun, bukankah masalah ini masalah klasik? Masalah yang sudah ada sejak dulu? Bukankah pemerintah punya waktu 11 bulan untuk mencari, memikirkan, dan menemukan solusi sebelum menghadapi musim mudik-balik tahun depan lagi? Mosok dari dulu sampai sekarang nggak ada solusi yang mumpuni, setidaknya mengurangi lah.

Memaksimalkan penggunaan jalur alternatif dirasa cukup untuk mengurai kemacetan di jalur utama. Sayangnya, pemerintah selalu menanaktirikan jalur alternatif yang sebenarnya bisa menjadi penyelamat. Kondisi jalur alternatif dibiarkan apa adanya. Minim fasilitas seperti lampu penerangan. Bahkan kondisi jalannya pun mengenaskan. Penuh lubang. Imbasnya, para pemudik pun pikir-pikir untuk melalui jalur tersebut. 

Menyalahkan pemerintah tanpa mengoreksi diri juga tak akan memecahkan masalah. Tak bisa dipungkiri, jumlah kendaraan pribadi yang digunakan untuk mudik-balik setiap tahun kian meningkat. Ditambah dengan karakter pengendara yang berbeda-beda. Sangat mustahil sama. Sama-sama tertib lalu lintas. Pastilah ada satu-dua pengendara yang tak taat aturan seperti menyerobot lajur motor atau menggunakan jalur berlawanan arah.

Kita, terutama saya sangat mendamba bisa melakukan perjalanan mudik-balik dengan aman, nyaman, lancar, dan bebas hambatan macet. Kapan? Semoga tahun depan tapi, entahlah. Salam. (*)


* Tulisan ini muat di kolom Sorot Redaksi SatelitPost, Sabtu (25/7)