Jumat, 04 Desember 2015

Kala Hati Terpikat di Bromo


SELAMAT malam.

Gunung Batok, Bromo, dan Semeru dari kejauhan.
Kerennnnn bangettttttt. Foto: Anang Firmansyah

Ternyata, lama nggak posting soal gunung itu bikin kangen. Ngublek-ngublek file lama, ketemulah dengan cerita perjalanan ke Gunung Bromo, akhir tahun lalu. Pas banget, belum ada bahan untuk mengisi halaman Leisure Time SatelitPost.

Jadilah dengan kecepatan penuh, berpacu dengan deadline, saya lekas merampungkan tulisan ini. Kalau dirunut lebih jauh, ini adalah kelanjutan perjalanan ke Malang bareng anaknya Pak Bambang alias Dodi Nugroho, sahabat saya dari SMP sampai sekarang.

Untuk itu, terima kasih buat kontributor tulisan ini, Dodi yang karib disapa Hoho, sekaligus inisiator main ke Gunung Bromo. Terima kasih sudah nyariin open trip, terima kasih sudah jadi sahabat perjalanan yang baik. Kamu emang paling bisa diandalkan, bro... 

Juga Anang Firmansyah, fotografer SatelitPost buat foto-foto kecenya. Yap di tulisan ini, saya lebih banyak menggunakan foto milik Anang. Alasannya, secara teknik dan hasil, jauh lebih bagus dibanding punya saya dan Dodi.

Maklumin untuk kosakata yang rapi ya karena ini untuk terbit di koran. Dan di beberapa bagian, saya sisipi beberapa cerita dengan diksi versi saya. Selamat membaca. 

Btw, saat mau post tulisan ini, ada berita tentang status Gunung Bromo yang dinaikkan dari level II Waspada ke level III Siaga. Imbasnya, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menutup objek wisata kawah gunung tersebut seperti kawah Bromo, lautan pasir berbisik, dan savana dari seluruh aktivitas wisata.

Seperti dikutip dari liputan6.com, dengan status siaga tersebut, kaldera di Gunung Bromo harus steril dari wisatawan dan aktivitas masyarakat karena jarak aman sekitar 2,5 kilometer. Semoga selalu aman, Bromo. Kami rindu. 

================================================================

BRAHMA. Nama dewa utama dalam Agama Hindu tersebut disematkan pada gunung setinggi 2.329 mdpl di Jawa Timur. Yang kemudian dialihbahasakan menjadi Gunung Bromo. 

Bagi penduduk sekitar, utamanya Suku Tengger, Bromo merupakan gunung suci. Setahun sekali, mereka mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara tersebut bertempat di Pura Luhur Poten yang berlokasi di kaki gunung. Upacara Kasodo dilakukan pada tengah malam hingga dinihari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (ke 10) menurut penanggalan Jawa.

Kawasan Pegunungan di sekitar Bromo.
Foto: Anang Firmansyah
Kini, tak ada yang tak mengenal Bromo. Berlokasi di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, gagahnya Bromo sudah moncer hingga ke penjuru dunia. Hamparan lautan pasir membentang, gunung tinggi gagah menjulang, serta berbaris pegunungan, perbukitan seakan menjadi pagar kawasan ini. Menjadikan kawasan Bromo sebagai daerah tereksotis di Indonesia, bahkan di dunia. 

Oleh karena itu, tak sebatas menjadi gunung suci, Bromo juga menjadi satu destinasi wisata di Jawa Timur, bagi wisatawan lokal dan manca. Jangan heran, nyaris setiap hari, ada saja wisatawan yang datang berkunjung. Jumlah ini bakal meningkat kala libur panjang dan akhir pekan. Kebanyakan, mereka ingin menikmati suasana sunrise atau matahari terbit di Bromo. 

Ada dua cara yang bisa dipilih untuk 'bermain' di sini. Jika cukup nyali, tahu medan, mahir berkendara, dan irit budget, membawa kendaraan pribadi bisa menjadi pilihan. Sebaliknya, bila terlalu awam, sama sekali buta tentang Bromo, bergabung dengan paket wisata alias open trip bisa jadi solusi. Selain lebih aman dan terkondisikan, dengan open trip, bisa menambah teman perjalanan. Pasalnya, dalam satu rombongan terdiri dari empat hingga delapan, menyesuaikan dengan kapasitas jeep yang disediakan. 

Gunung Batok dan Pura Luhur Ponten. Foto: Saya
Seperti yang SatelitPost lakukan, beberapa waktu lalu. Besaran biaya yang dipatok dari penyedia jasa open trip, mulai dari Rp 300 ribu hingga jutaan, tergantung paket wisata yang dipilih. Berkaca pengalaman, Fun Adventure Malang menawarkan tarif yang lumayan yaitu Rp 300 ribu. Dari cerita beberapa teman seperjalanan, tarif ini jauh lebih murah dibanding yang mereka dapatkan.

(Teman seperjalanan ini kami 'temukan' saat sama-sama menunggu jemputan. Kebanyakan dari Jakarta dan pasangan. Glek)

Gunung Bromo bisa ditempuh melalui jalur Probolinggo, Nongkojajar, dan Tumpang. Dari penjelasan sopir jeep yang kami sewa, Mas Andik, jalur Probolinggo dan Nongkojajar bersahabat untuk setiap jenis kendaraan. Sebaliknya dengan jalur Tumpang, Malang. Siap-siap untuk berlonjak kaget saat melintasi jalan makadam dengan tanah dan batu mencuat lepas. Pun lagi jalurnya sempit dan gelap, utamanya saat malam hari. 

Bila menggunakan jasa open trip, biasanya para sopir jeep akan menjemput wisatawan di meeting point yang telah disepakati. Biasanya di dalam Kota Malang, seperti di alun-alun, stasiun, atau beberapa kawasan lainnya. Karena tujuan utama SatelitPost ingin menikmati sunrise, maka Mas Andik menjemput di Alun-alun Malang pukul 00.30 WIB. 

Jangan kira perjalanan yang dibutuhkan hanya satu atau dua jam, nyaris tiga jam. Meski demikian perjalanan malam itu cukup mengasyikkan karena Mas Andik sangat komunikatif, merangkap menjadi tour guide yang menjelaskan segala detil perjalanan, apa saja yang harus dilalui, dan lainnya. Jeep pun beberapa kali berhenti demi menunggu rombongan lain. Sekitar pukul 02.00 WIB, rombongan jeep pun berarak, bergantian melibas jalur menuju Bromo.

Setelah 'bertempur' jalanan yang lebih sering membuat kaget dan gagal tidur, jeep pun berhenti di jalan menuju Bukit Penanjakan 1, satu spot terbaik untuk menikmati keeksotisan Bromo dari kejauhan serta ketinggian tertentu. 

(Soal kemahiran Mas Andik mengemudikan jeep, jempol 10 buat dia. Wuuuhhh, jago banget. Tahu mana lokasi kubangan, ketemu jalan berlumpur. Kagum saya)

Jika beruntung, jeep akan berhenti di dekat lokasi bukit sehingga hanya tinggal jalan kaki beberapa langkah saja. Namun bila sopir jeep tak menemukan tempat parkir yang cukup dekat, siap-siap saja jalan kaki dengan trek jalan aspal menanjak dan menguras tenaga. Tenang, bagi Anda yang memilih hemat waktu dan tenaga, bisa menggunakan ojek yang akan terus-menerus menawarkan jasanya dengan tarif mulai Rp 15 ribu hingga Rp 50 ribu untuk dua orang, tergantung jarak yang ditempuh. Jika masih keukeuh jalan kaki, tolaklah dengan halus dan gunakan bahasa Jawa. Niscaya, Anda tak akan dikejar atau ditawari lagi.

(Saya pun sempat berniat untuk menggunakan jasa ojek. Bukan apa-apa, saya agak kaget dengan langkahnya si Hoho yang cepat dan lebih sering tertinggal di belakang. Karena satu alasan, saya memilih tetap jalan kaki. And the best moment adalah Hoho akhirnya mau nemenin jalan sambil menepuk-nepuk punggung dan bilang, "kuat lah, lulusan Prau kok ra kuat." Sahabat 15 tahun saya itu kayaknya nggak bisa sehari aja nggak ngledekin ya. Hemmm.

Satu-dua tukang ojek memang masih menawari kami dan bilang,"nanti nggak dapet sunrise lho, Mas." Dan Hoho pun menjawab, "Mboten nopo-nopo, Pak. Lagian niki masih kuat jalan kok."

"Depan, yang ada portal itu berhenti bentar ya, istirahat," pinta saya yang dibalas dengan anggukan.

Setelah sampai portal, lho ternyata sudah masuk lokasi Bukit Penanjakan. Kami pun langsung mencari lokasi yang nyaman dan tak terlalu ramai, yaitu di dekat menara. Waktu itu, hanya ada beberapa pengunjung. Kami pun foto-foto sebentar. 


"Aku kayaknya mau ke toilet dulu sambil beli Pop Mie. Kamu mau?" tanya Hoho. 

"Enggg, aku kopi aja deh," jawab saya sambil tetap mengarahkan kamera ponsel milik Hoho. Sementara Tab saya sudah wafat sebelum waktunya. 

Baru jalan beberapa langkah, Hoho sudah memanggil. "Ju, ju... Sini, sini, lebih bagus," seru dia sambil menunjuk lokasi baru yang tak jauh dari tempat saya berdiri. Dan ternyata benar, lokasi ini jauh lebih terbuka dan padang)
Selain Alhamdulillah, terima kasih Tuhan untuk panorama sekece ini,
apalagi yang harus diucapkan. Foto: Anang Firmansyah
Menikmati sunrise dari Bukit Penanjakan adalah satu kemewahan yang dihadirkan Tuhan di Bromo. Dari ujung timur, matahari muncul, 'melahirkan' warna emas yang rupawan dan menyihir mata. Sementara jika melirik ke sebelah, Gunung Semeru, Bromo, dan Batok nampak, menyembul dari lautan kabut yang berarak. 

Kawah Jonggring Saloka, kawah Gunung Semeru terlihat mengeluarkan asap, juga Gunung Bromo, tanda masih aktif. Sementara Gunung Batok bersemayam tenang dengan rupa hijaunya. Hanya kalimat indah, pujian yang terlontar kala melihat pemandangan alam yang amat luar biasa. 

Sebenarnya lokasi untuk menikmati magic-nya pemandangan ini tak hanya dari Bukit Penanjakan, melainkan di Bukit Cinta yang masih satu jalur dengan Penanjakan. Hanya saja itu lokasi alternatif bila Bukit Penanjakan terlalu ramai. 

(Sambil menikmati sunrise, foto-foto, kami pun berbagi. Saya nggrusuhi dia makan Pop Mie, sebagai gantinya kopi saya jadi sasaran. Buat saya, ngopi dan ngemi di atas bukit atau gunung adalah satu hal yang paling menyenangkan. 

Kami pun sempat bertemu dengan rombongan keluarga asal Jerman dan Tiongkok, jika didengar dari bahasa mereka. Kami pun hanya tersenyum. Mau diajakin ngobrol, bahasa Jerman saya sudah sangat payah. Mandarin? Lupa. Ampun deh, Mak...)

Puas menikmati sunrise, SatelitPost dibawa untuk menjelajah ke Gunung Bromo. Untuk sampai, menjejakkan kaki di Bromo, ada dua cara, jalan kaki atau menyewa kuda. Jalur yang menuju puncaknya pun ada dua, naik tangga dan mlipir di pinggir gunung. Keduanya sama-sama bertemu di pinggir kawah. 

(Mau tahu cara saya turun dari Bukit Penanjakan menuju lokasi parkir jeep? Lari. Hahaha. Hoho yang ngajakin saya lari, katanya biar cepat sampai. 

Saya dan Hoho foto di atas jeep yang mengantarkan kami ke sini.
Suwun atas jepretannya Mas Andik
Setelah ketemu dengan jeep-nya yang harus dihafal nomor pelatnya, kami pun ngobrol-ngobrol dengan Mas Andik dan sopir jeep lainnya. Soal Bromo dan lain-lainnya. Bosan ngobrol ya kami duduk santai di pinggir jalan sambil nunggu peserta lain yang masih di jalan. Saya sempat menunjuk satu gunung yang terletak di kejauhan dan Hoho pun menegur. 

"Itu jangan tunjuk-tunjuk. Pamali. Tarik lagi." Tapi sejurus kemudian, "Hahaha. Kan cuma mitos, kayak gitu kok dipercaya." Huuuu, dasar.

Sebelum sampai ke Gunung Bromo, Mas Andik sempat mengajak kami main sebentar di kawasan rerumputan. Foto-foto itu yang pasti. Kami kan pasukan narsis. 

Setelah sampai di lokasi parkir Gunung Bromo, Mas Andik cuma berpesan, hati-hati dan akan tetap menunggui kami jam berapa pun mau turun. Alhamdulillah-nya, cuaca kala itu teduh, nggak panas dan mendung banget.

Berbekal satu botol air minum dan Coki-coki, kami pun mulai melangkahkan kaki. Saat itu, ramaiiiii bangettttt. Mungkin karena libur Natal dan anak-anak sekolah ya. Dan sepanjang jalan itu, tetap saja saya ketinggalan dari Hoho. Dia? Nungguin lah. Termasuk saat kami memilih mlipir pinggir gunung. Ogah capek dan ngedap jadi alasan kenapa saya nggak mau naik lewat tangga. 

Monggo, buat yang nggak mau capek, bisa naik kuda.
Foto: Anang Firmansyah
Saat berjalan mlipir itu, kami berpapasan dengan banyak orang. Satu yang paling saya ingat adalah rombongan keluarga dari Kartasura dengan seorang bapak yang kocak abis karena diledek anak-anaknya, "Jarene mantan penerbang, ngene wae wedi Pak." "Lho kuwi kan mbiyen, saiki bapak wis tuwo, wis wedi."

"Dari mana Mas?" tanya si bapak ke Hoho. 

"Dari Solo, Pak..."

"Lho Solone pundi?"

"Hehehe, Klaten, Pak."

"Klatene?"

"Polanharjo."

"Woalah, jebule wong Polanharjo tooo. Aku Kartosuro. Iki ngajak dolan anak-anak. Heh, cah, bapak dienteni... Bapak i lho wediii, ngertio mau lewat tangga wae," ujar si bapak. 

Dan karena satu daerah, akhirnya kami pun ngobrol dengan si bapak menggunakan bahasa Jawa. Termasuk saat mereka mengambil foto kami bersama dan berpamitan, turun lebih dulu karena hendak melanjutkan perjalanan ke Bali. 

"Mbak, Mas Polanharjo, pamit sek yoo," seru si bapak. "Nggih Pak, ngatos-atos," jawab kami, kompak)

Saya dan Kawah Bromo yang aduhaaiiii bangett dan bikin nyer-nyer.
Foto: Dodi Nugroho
Dari bibir kawah, terdengar jelas bagaimana suara gemuruh Bromo, tanda masih aktif. Mendesiskan asap. Hati-hati, jaga langkah saat di kawasan ini karena konturnya berpasir. Namun lebih dari itu, ini adalah pengalaman paling ajaib, menarik, dan jelas tak terlupakan. Sebab kawah Bromo begitu nyata di depan. 

Masih di kawasan Bromo, bersemayam pula sebuah pura yang menjadi tempat beristananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dipuja oleh umat Hindu, yaitu Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pura ini menjadi tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Pura Luhur Poten berdiri tahun 2000. Pura ini menjadi tempat pemujaan Dewa Brohmo (Dewa Brahma), yang menjadi manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Pencipta. 

Pura Luhur Ponten nampak dari kejauhan. Foto: Anang Firmansyah

Dari Bromo, lautan pasir alias Segara Wedi jadi tujuan selanjutnya. Sejauh mata memandang, hanya ada pasirrrrrrr yang terlihat. Membentang maha luas. Pasir berbisik, begitu fenomena alam yang disematkan di area ini. Pasalnya, pasir-pasir yang terbawa angin tersebut, seakan bergemerisik, 'berbicara' dalam bahasanya mereka. 

(Di sini, kami tak terlalu banyak mengambil gambar. Mati gaya, boooo)

Masih ada kawasan lain yang dipastikan menghipnotis, yaitu padang savana yang orang sebut dengan Bukit Teletubbies. Perbukitan 'berbaris rapi' dengan permadani warna hijau yang amat empuk. Benar-benar mirip seperti rumah Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Po itu.

(Sayang pas sampai sini, hujan turun dengan lebatnya. Plus kami yang sudah mulai payah. Capek)
Foto: Anang Firmansyah

Semua lanskap alam yang ada di Bromo sungguh memikat mata, menenangkan jiwa, dan membuat jatuh hati. Mata benar-benar dimanja pemandangan seajaib ini. Keakraban dan keramahan warga sekitar juga membuat betah, damai. Tak ada yang tak terpikat dengan karya Tuhan ini. Bahkan, Tuhan mungkin tersenyum kala mencipta panorama seindah ini. (*)


Nomor telepon Fun Adventure Malang: 0821-3989-9009
Nomor telepon Mas Andik, sopir jeep yang baik hati banget: 0812-3373-6374