Patung Penari Gandrung yang jadi ikon-nya Banyuwangi. Lokasinya di dekat situs Watu Dodol. Foto by Kak Ros |
TAMAN Nasional Baluran benar-benar memanjakan semua indra yang kami miliki. Sejak pukul 10.30 hingga 15.00 WIB, kami terpuaskan di taman seluas 25 ribu hektare ini. Bahkan kami nyaris lupa bila masih harus menempuh perjalanan, kembali ke Banyuwangi, sebelum pekat datang.
Wefie terakhir sebelum berucap selamat tinggal pada TN Baluran. |
Kini, giliran saya yang memegang kemudi. Ngengggg, motor sewaan kami membelah Jalan Raya Situbondo-Banyuwangi. Masih ramai lancar sehingga tak terlalu menyulitkan saya untuk menyalip kendaraan lain.
Jalur pulang masih sama dengan jalur berangkat. Artinya, kami kembali melewati situs Watu Dodol. Sesuai rencana, kami harus mampir ke sini.
Sekitar 45 menit, kami memakirkan kendaraan di pinggir jalan. Ya, kami sudah sampai di situs Watu Dodol, yaitu batu besar dengan ketinggian enam meter yang berada di tengah jalan.
Situs Watu Dodol. Batu besar, membelah ruas jalan Situbondo-Banyuwangi. Sumber foto www.lamanberita.com |
Saat beristirahat di tepi pantai, bekal yang ia bawa tertinggal. Dodol tersebut akhirnya berubah menjadi Watu Dodol. Secara harafiah, dodol memang diartikan sebagai jenang, merujuk pada makanan manis berbentuk persegi seukuran kelingking.
Ironisnya, saat booming batu akik beberapa waktu lalu, banyak orang yang mencongkel batu besar tersebut sedikit demi sedikit dicongkel demi memperoleh pecahannya. Alhasil, bagian bawah batu tersebut terlihat banyak congkelan.
Meski terlihat angker, namun kini Watu Dodol terlihat asri karena dihiasi taman sebagai jalur hijau. Sayangnya, saat kami datang ke sana, tengah dilakukan perbaikan dan pembangunan di sekitarnya. Alhasil, kami tidak bisa mendekat ke batu tersebut.
Pantai Watu Dodol dengan ombak yang tak terlalu besar. Foto by Kak Ros |
Di dekat pantai tersebut, juga terdapat bangunan yang di atasnya terdapat patung seorang wanita yang menarikan tarian Gandrung, yaitu tarian khas Bwi.
Patung Penari Gandrung. Langitnya cenderung mendung. Foto oleh Nung |
Saya pun iseng bertanya pada si penjual bakso, sambil menunjuk daratan yang ada di depan kami.
"Pulau Bali, Mba," jawabnya.
Saya pun hanya ber-oh pelan dan sejurus kemudian, "Hah, Pulau Bali? Pulau Dewata, Mba? Beneran?"
Perempuan muda berjilabab itu mengangguk dan memberi penegasan, "Iya, itu Pulau Bali."
Mata kami pun berbinar, tak percaya, Bali hanya seperlemparan batu dari tempat kami berdiri. Hingga, muncullah rencana, "Bali yok, walaupun cuma nyebrang sebentar. Setidaknya, kaki ini pernah napak di Bali."
Iya, daratan di seberang itu adalah Pulau Bali. Deket banget kan? Foto oleh Kak Ros |
"Kalau aku sih yes. Mumpung masih di sini," jawab saya.
"Yang lain?"
"Hayuk aja, sing penting tekan Bali, Kak..." Nung menyambung.
"Iya, ke Bali aja. Soalnya temen-temenku pada tanya, kita mau ke Bali apa nggak, soalnya kan deket banget," timpal Reni.
Sepakat. Kami, pasukan bela perasaan, besok, akan datang ke Bali. Untuk pertama kali. Ya, di antara kami semua, belum ada yang satu pun kakinya melangkah ke Pulau Dewata.
Titik hujan memaksa kami untuk bergegas, kembali ke Bwi. Tentu setelah membayar seporsi bakso dan bilang makasih sama Mbak-nya yang sudah berbaik hati menunjukkan Pulau Bali pada kami.
View sekitaran kompleks Watu Dodol. Banyak pengguna jalan yang mampir, berswafoto. Seperti kami. Foto oleh Kak Ros |
Air Tuhan yang semula titik kecil, berubah jadi sebesar kerikil. Kami gagap. Turun pakai jas hujan atau terabas saja. Opsi kedua yang kami pilih, siapa tahu di depan terang.
Nyatanya tak sepenuhnya benar. Masih gerimis dan cenderung hendak lebat. Akhirnya saya memacu kendaraan namun tetap berhati-hati. Tak lama kami melintas di Pelabuhan Ketapang dan saya menunjuk, "Ini lho, kita besok mau ke sini." I was so excited!!!
Sebelum sampai di Kota Banyuwangi, kami sempatkan diri untuk makan. Ya sejak makan pecel Jeng Gun tadi, perut kami belum diisi nasi. Hanya camilan berupa keripik dan bakso. Senang bisa sampai di Banyuwangi membuat kamu lupa makan.
Di sebuah warung makan seberang SPBU Ketapang, kami parkirkan kendaraan. Alasan kenapa kami pilih makan di sini adalah, ada tulisan es campur di depan pintu. Iya, saat itu, Kak Ros emang lagi kepengin menikmati es campur yang sayangnya warungnya lagi nggak bikin. Apalah daya, kami sudah telanjur masuk dan memesan menu pilihan masing-masing.
Beruntung, warung sepi dan kami bisa lebih leluasa gletakan, makan, sambil ngecharge ponsel. Satu per satu ponsel kami mulai tewas. Jangan tanya si Tepi, dia udah tewas lebih dulu. -__-
SPBU Ketapang yang luasss banget. Musala dan toiletnya bersih. Sumber foto: kaskus.co.id dari post-nya ernahari |
Jarum jam menuju angka 6. Sejenak beristirahat sembari meluang waktu, bersujud, berucap ribuan syukur dan terima kasih pada Tuhan di senja itu. Terima kasih, Tuhan. Hingga kini, kami semua dalam perlindungan-Mu.
Terang wajah kami. Selain kena air wudu, juga kami sempatkan diri membersihkan muka (baca: alasan malas mandi). Motor pun kembali beradu dengan aspal, menuju destinasi berikutnya. (bersambung)