Senin, 14 Maret 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 5

Patung Penari Gandrung yang jadi ikon-nya Banyuwangi.
Lokasinya di dekat situs Watu Dodol. Foto by Kak Ros
Jumat, 25 Desember 2015

TAMAN Nasional Baluran benar-benar memanjakan semua indra yang kami miliki. Sejak pukul 10.30 hingga 15.00 WIB, kami terpuaskan di taman seluas 25 ribu hektare ini. Bahkan kami nyaris lupa bila masih harus menempuh perjalanan, kembali ke Banyuwangi, sebelum pekat datang. 

Wefie terakhir sebelum berucap selamat tinggal pada TN Baluran. 
Kelak, entah berapa tahun lagi, kami akan kembali lagi. Tentu dengan formasi pasukan bela perasaan yang lebih lengkap.

Kini, giliran saya yang memegang kemudi. Ngengggg, motor sewaan kami membelah Jalan Raya Situbondo-Banyuwangi. Masih ramai lancar sehingga tak terlalu menyulitkan saya untuk menyalip kendaraan lain.

Jalur pulang masih sama dengan jalur berangkat. Artinya, kami kembali melewati situs Watu Dodol. Sesuai rencana, kami harus mampir ke sini.

Sekitar 45 menit, kami memakirkan kendaraan di pinggir jalan. Ya, kami sudah sampai di situs Watu Dodol, yaitu batu besar dengan ketinggian enam meter yang berada di tengah jalan.

Situs Watu Dodol. Batu besar, membelah ruas jalan
Situbondo-Banyuwangi.
Sumber foto www.lamanberita.com
Hasil berselancar di Wikipedia dan Kompas.com menuliskan, batu besar dengan sebatang pohon kelor di sisi selatannya, dianggap mistis oleh warga sekitar. Ada banyak legenda mengenai watu ini. Satu di antara yang tenar adalah cerita tentang prajurit Blambangan membawa bekal berupa jadah (sejenis dodol, yaitu jenang ketan berbentuk lonjong seukuran telapak tangan) saat perang melawan Majapahit. 

Saat beristirahat di tepi pantai, bekal yang ia bawa tertinggal. Dodol tersebut akhirnya berubah menjadi Watu Dodol. Secara harafiah, dodol memang diartikan sebagai jenang, merujuk pada makanan manis berbentuk persegi seukuran kelingking.

Ironisnya, saat booming batu akik beberapa waktu lalu, banyak orang yang mencongkel batu besar tersebut sedikit demi sedikit dicongkel demi memperoleh pecahannya. Alhasil, bagian bawah batu tersebut terlihat banyak congkelan. 

Meski terlihat angker, namun kini Watu Dodol terlihat asri karena dihiasi taman sebagai jalur hijau. Sayangnya, saat kami datang ke sana, tengah dilakukan perbaikan dan pembangunan di sekitarnya. Alhasil, kami tidak bisa mendekat ke batu tersebut.

Pantai Watu Dodol dengan ombak yang tak terlalu besar.
Foto by Kak Ros
Sama seperti pengguna jalan lainnya, kami dibuai dengan lanskap supereksotis sebab langsung bersisian dengan Selat Bali. Apalagi, jauh di bawah dari tempat kami berdiri memang terdapat area pantai berpasir dan berkerikil hitam, yang disebut Pantai Watu Dodol. Nampak beberapa penggunjung berenang di tepinya. Ombaknya memang tak terlalu besar. Sementara pengunjung lainnya, terlihat berswafoto.

Di dekat pantai tersebut, juga terdapat bangunan yang di atasnya terdapat patung seorang wanita yang menarikan tarian Gandrung, yaitu tarian khas Bwi. 

Patung Penari Gandrung. Langitnya cenderung mendung.
Foto oleh Nung
Di sini, saya lebih banyak diam. Sama sekali tidak mengabadikan gambar. Sementara Kak Ros, Nung, dan Renny mencari spot, objek foto, saya pesan seporsi bakso. Tanpa mi. Cukup bakso dan kuah.

Saya pun iseng bertanya pada si penjual bakso, sambil menunjuk daratan yang ada di depan kami.

"Pulau Bali, Mba," jawabnya.

Saya pun hanya ber-oh pelan dan sejurus kemudian, "Hah, Pulau Bali? Pulau Dewata, Mba? Beneran?"

Perempuan muda berjilabab itu mengangguk dan memberi penegasan, "Iya, itu Pulau Bali."

Mata kami pun berbinar, tak percaya, Bali hanya seperlemparan batu dari tempat kami berdiri. Hingga, muncullah rencana, "Bali yok, walaupun cuma nyebrang sebentar. Setidaknya, kaki ini pernah napak di Bali."

Iya, daratan di seberang itu adalah Pulau Bali. Deket banget kan?
Foto oleh Kak Ros
Kak Ros dan Reni pun bergegas mencari tahu bagaimana kami ke sana. Tak lama, mereka muncul dengan wajah yang tak kalah happy. "Aku udah tanya sama bapak-bapak yang jual jagung bakar. Katanya kita bisa ke sana pakai feri, ada setiap jam dan cuma satu jam. Gimana?"

"Kalau aku sih yes. Mumpung masih di sini," jawab saya. 

"Yang lain?"

"Hayuk aja, sing penting tekan Bali, Kak..." Nung menyambung. 

"Iya, ke Bali aja. Soalnya temen-temenku pada tanya, kita mau ke Bali apa nggak, soalnya kan deket banget," timpal Reni. 

Sepakat. Kami, pasukan bela perasaan, besok, akan datang ke Bali. Untuk pertama kali. Ya, di antara kami semua, belum ada yang satu pun kakinya melangkah ke Pulau Dewata. 

Titik hujan memaksa kami untuk bergegas, kembali ke Bwi. Tentu setelah membayar seporsi bakso dan bilang makasih sama Mbak-nya yang sudah berbaik hati menunjukkan Pulau Bali pada kami. 

View sekitaran kompleks Watu Dodol. Banyak pengguna jalan yang mampir, berswafoto. Seperti kami.
Foto oleh Kak Ros
Sepanjang perjalanan kembali itu, kami bersenandung ditingkahi titik hujan. Bali, Bali, Bali. Itu yang terlintas di pikiran. Akhirnya mimpi ke Bali bakal kesempaian. Ahhh, saya harus bersabar. Sebentar lagi.

Air Tuhan yang semula titik kecil, berubah jadi sebesar kerikil. Kami gagap. Turun pakai jas hujan atau terabas saja. Opsi kedua yang kami pilih, siapa tahu di depan terang. 

Nyatanya tak sepenuhnya benar. Masih gerimis dan cenderung hendak lebat. Akhirnya saya memacu kendaraan namun tetap berhati-hati. Tak lama kami melintas di Pelabuhan Ketapang dan saya menunjuk, "Ini lho, kita besok mau ke sini." I was so excited!!!

Sebelum sampai di Kota Banyuwangi, kami sempatkan diri untuk makan. Ya sejak makan pecel Jeng Gun tadi, perut kami belum diisi nasi. Hanya camilan berupa keripik dan bakso. Senang bisa sampai di Banyuwangi membuat kamu lupa makan. 

Di sebuah warung makan seberang SPBU Ketapang, kami parkirkan kendaraan. Alasan kenapa kami pilih makan di sini adalah, ada tulisan es campur di depan pintu. Iya, saat itu, Kak Ros emang lagi kepengin menikmati es campur yang sayangnya warungnya lagi nggak bikin. Apalah daya, kami sudah telanjur masuk dan memesan menu pilihan masing-masing. 

Beruntung, warung sepi dan kami bisa lebih leluasa gletakan, makan, sambil ngecharge ponsel. Satu per satu ponsel kami mulai tewas. Jangan tanya si Tepi, dia udah tewas lebih dulu. -__-
SPBU Ketapang yang luasss banget. Musala dan toiletnya bersih.
Sumber foto: kaskus.co.id dari post-nya 
ernahari
Selesai makan, kami berbagi tugas. Kak Ros dan Nung akan lebih dulu beberes diri di SPBU Ketapang. Sementara saya dan Reni jaga HP yang di-charge. Nggak lama, setelah mereka selesai, kami pun nyusul. 

Jarum jam menuju angka 6. Sejenak beristirahat sembari meluang waktu, bersujud, berucap ribuan syukur dan terima kasih pada Tuhan di senja itu. Terima kasih, Tuhan. Hingga kini, kami semua dalam perlindungan-Mu.

Terang wajah kami. Selain kena air wudu, juga kami sempatkan diri membersihkan muka (baca: alasan malas mandi). Motor pun kembali beradu dengan aspal, menuju destinasi berikutnya. (bersambung)

Rabu, 09 Maret 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 4

TN Baluran. Destinasi utama walau bukan yang pertama. 

Jumat, 25 Desember 2015

PERJALANAN kami masih berlanjut. Dari Pantai Boom, agenda kami selanjutnya adalah nyari sarapan yang searah dengan Taman Nasional Baluran. Ya, TN Baluran jadi destinasi utama, walau bukan pertama.

Keluar dari Pantai Boom, kami memilih jalan lurus alias berbeda dengan jalan datang. Lha ternyata, jedhulnya alias ketemunya di SPBU yang tadi sempat kami singgahi untuk isi bensin.

"Walah, ngerti ngono mau lurus bae ya, genah, ra sah go muter-muter balik taman neh ya," kata saya sambil nepuk jidat yang makin lama makin ke depan.

Setelah itu, kami ngikutin jalan dengan penunjuk jalan Pelabuhan Ketapang dan Situbondo. Dari beberapa tulisan yang saya baca, jalan menuju TN Baluran searah dengan Pelabuhan Ketapang dan Situbondo.

Di sepanjang jalan itu pula, kami cari warung makan. Cacing di perut sudah berteriak, minta diisi. Setelah melintasi beberapa ruas jalan, kami pun sepakat menikmati seporsi nasi pecel yang tidak pernah ditolak oleh perut saya, tepatnya di Nasi Pecel Pincuk Madiun Jeng Gun yang ada di kiri jalan. Lagi di mana, makannya apa. Hahaha. Padahal niat ingsun, pengin banget makan rujak soto-nya Bwi tapi apa daya, belum nemu warungnya.


Warung Nasi Pecel yg kami rekomendasikan.
Atas pilihan menu ini, saya langsung teringat saat nggembel sama anaknya Pak Bambang di Malang, 2014 lalu. Sama. Kaminya lagi di mana, makannya apa ya. Iya, pilihan menu sarapan kami adalah nasi pecel Madiun dengan lauk telur depan Stasiun Malang.

Pada wanita paruh baya yang menjadi pemilik, kami memesan empat porsi nasi pecel dengan lauk yang berbeda-beda serta tiga teh hangat dan satu kopi untuk saya. Saat kami datang, suasana warung masih sepi. Tak lama, satu rombongan pemuda dan bapak-anak berdatangan. Kami pun saling tatap dan mbatin, "Lagi-lagi, membawa rizki buat orang lain. Alhamdulillah..."


Empat pecel pincuk dengan tiga teh hangat dan kopi.
Tak lama, pesanan kami datang. Disajikan di atas piring anyaman beralaskan selembar daun pisang membuat pecel yang jadi satu kuliner favorit saya, tampang ngawe-awe. Ingin segera ditandaskan. Sayuran hijau yang disiram sambal kacang, lantas ditambah kriuk rempeyek bikin lidah tak henti untuk mengunyah. Ditambah dengan daun kemangi yang kian menyegarkan mulut. Wuuhhh, mantap!!! Juara untuk menebus lapar kali ini. 

Dari warung Jeng Gun, saya merapat sebentar ke minimarket terdekat, beli stok logistik, air, dan pulsa untuk Nung supaya bisa maketin Internet untuk download Navigator. Iya sedari tadi, kami lebih mengandalkan feeling celeng dan penunjuk arah. Dan Bismillah, kendaraan kami membelah jalanan Bwi-Situbondo, siap menuju TN Baluran. Sementara Nung terus otak-atik ponsel.


Kondisi jalan Banyuwangi-Ketapang dari depan
Warung Pecel Jeng Gun. Ramai lancar.
Suasana tlatah Blambangan pagi jelang siang itu cenderung ramai lancar. Kendaraan saling salip-menyalip. Kondisi jalannya lebih mirip sama dengan Jalan Gerilya hendak ke Jalan Suparjo Rustam, Sokaraja, Banyumas. Pertama dibatasi dengan marka taman selebihnya marka garis. Jalannya juga mulus, lurus, dan lebar. Wajar sebab ini ruas jalan ini termasuk jalan nasional. 

Agak lama di kendaraan, kami sampai di Pertigaan SPBU Ketapang dengan papan penunjuk arah, ke kiri jalur alternatif Situbondo dan lurus ke Pelabuhan Ketapang dan Situbondo. Oleh petugas kepolisian, kami diarahkan ke kiri sebab jalan lurus menuju Pelabuhan Ketapang ditutup. Kecuali mereka yang hendak nyebrang. 

Mulai dari pertigaan itu, kami menggunakan GPS. Saya lagi yang jadi navigatornya, mengarahkan Kak Ros yang di depan sesuai tulisan di ponsel Nung, sedangkan Reni dan Nung mengikuti dari belakang. Demi kenyamanan bersama, kecepatan kami hanya 60 km. 

"Ju, iki dalane bener kan?" tanya Kak Ros. 

"Iya, bener Mbak, kan iki jalur alternatif, dadi rodo sepi njuk dalane ora alus," jawab saya memberi alasan yang logis padanya. Hahaha. Padahal dalam hati sih berdoa, semoga nggak salah jalan. 

Kami mencoba untuk menelusuri jalan alternatif tersebut. Ketemu belokan ya kami belok, lurus ya lurus aja sampai ketemu dengan pertigaan besar, kami memilih belok kiri. Sesuai navigator GPS plus plang penanda arah. Hahaha.

Dari jalan pertigaan itu, kami dimanja dengan lanskap yang super kerennn. Tepatnya di kompleks Situs Wadu Dodol, yaitu batu besar di tengah jalan. Kami berjalan eh tepatnya naik motor bersisian dengan laut, yang ternyata itu adalah Selat Bali. Terus jadi keinget sama jalan-jalan di daerah Lombok. Ya walau belum pernah ke sana sih tapi ya ampunnn, ini kerennnnn bangettt

Kami tak henti berdecak kagum. Serius, kami begitu terpukau karena dikasih bonus jalan seajib ini. "Entar pulang mampir ya, Mbak. Parah, ini keren bangettt," kata saya pada Kak Ros. 

Lepas dari jalan yang bersisian dengan laut, kami kembali menempuh rute jalan biasa, dengan kanan kiri sawah atau perkampungan milik warga setempat. Jalannya masih mulus meski di satu titik tengah dilakukan perbaikan jalan. Tapi tak apa, sebab tak begitu menganggu perjalanan kami. Toh kondisi jalan kala itu ramai lancar. 

Satu setengah jam di atas motor, kami disambut dengan gerbang selamat datang di Kabupaten Situbondo. Wow!!!! Artinya sebentar lagi kami akan sampai di TN Baluran. Menurut tulisan dan GPS di ponsel, TN Baluran sekitar 500 meter lagi. Yeay.

Begitu sudah menuju 100, 90, 80, hingga 50 meter, saya meminta Kak Ros untuk melambatkan laju kendaraan. Dari sekitar jarak 10 meter, gerbang selamat datang TN Baluran sudah terlihat, di kanan jalan, tepat di tikungan. Kami sempat berhenti bentar sebelum nyebrang.


Saya dan kaus kebesaran Bayern Munchen.
Done!!! Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di TN Baluran... Awwww, rasanya seperti mimpi. Ini nyata kan, kami sudah sampai di TN Baluran?! Hahaha. Honestly, ini adalah satu destinasi impian saya sejak dulu. Dan rasa sudah sampai di sini itu... bahagia. 

Rona antusias begitu terpancar di wajah kami. Mata saya tak berhenti mengerjap, untuk memastikan sudah sampai di Baluran. Meski baru gerbang depannya saja.

Berfoto jadi hal wajib dan pertama kami lakukan. Bebalnya kami sampai lupa belum markir kendaraan. Keruan saja saat kendaraan lain yang mau masuk, membuat kami kocar-kacir, melarikan motor ke pinggir, untuk kemudian foto-foto lagi. Hahaha. Beruntung, petugas cukup mahfum dengan kegilaan kami. Mungkin dia sudah terbiasa melihat orang-orang yang nggumunan kayak kami. 


Pos Jaga TN Baluran. Awalnya ada petugas.
Puas foto-foto, kami masuk dan menuju lokasi tiket. Sebagai bendahara merangkap tukang kredit panci *eh* saya yang kebagian turun membeli tiket. Empat orang dua motor, kata saya pada petugas yang kemungkinan besar adalah warga sekitar. Soalnya masih remaja tanggung.

"Rp 85 ribu, Mbak," katanya.

Sambil menunggu kembalian, saya mendengarkan obrolan mereka. Mati. Nggak ada satu kata pun yang saya tahu. Atau minimal pernah denger gitu. Bukan tanpa alasan, dulu waktu kecil, saya sempat tinggal lama di Mojokerto, setidaknya ada kosakata bahasa Jawa Timuran yang saya pahami. Lha ini nggak ada sama sekali.

Selesai dengan urusan tiket dan masih menawar petugas untuk memberi banyak stiker, saya kembali pada teman-teman yang sudah menunggu. Dan yesss, petualangan pasukan pembela perasaan dimulai...


Jalan di kawasan TN Baluran. Bekas aspal mengelupas.
Kondisi jalan beraspal rusak membuat Kak Ros dan Reni yang ada di depan, memegang kemudi harus pandai-pandai menjaga keseimbangan. Tapiiii, itu semua nggak begitu berarti sama lanskap yang dihadirkan TN Baluran. Seriously, masuk ke Baluran itu, kayak kita masuk ke sebuah kerajaan antah-berantah, yang nggak pernah dijamah, yang indah, dan sumpahhh, ini kerennnnnnnnnnnnn bangetttttttttt.

Lebay. Sama sekali nggak. Sure deh, masuk ke Baluran itu kayak masuk ke Afrika. Ya walau belum pernah ke sana dan cuma lihat dari gambar di internet, tetep aja, ini kayak bukan di Indonesia. Akkk, indah bangetttt.
Kawasan rawan kebakaran. Ya iya, wong reranting kering kayak gini.

Pemandangan pertama yang tersaji adalah kawasan hutan, reranting bekas kebakaran. Terus rerimbunan kering yang mudah banget terbakar. Maju lagi, ada kawasan Evergreen, superhero cewek di film The Hunger Games. Itu Katniss Everdeen, Juli... Evergreen merupakan kawasan hutan dengan pepohonan menghijau sepanjang tahun. 


Kawasan Evergreen alias tumbuhan yang terus hijau saban tahun.


Masih di kawasan ini, kami mulai melihat binatang macam ayam hutan dan tupai. Sayang, mereka malah lari ngeliat kita. Mungkin karena asing sama logat bicaranya ya, yam. Duh.

Dan, setelah 45 menit yang pertama, sampailah kami di hamparan savana yang ajiiiiiiiiiiiiiiibbbbbbbb buangeeeeettttt. Savana Bekol. Btw, jarak dari pintu masuk sampai ke Savana Bekol memang agak jauh, di samping kami yang keterluan lama fotonya dan selalu berhenti di satu spot menarik. Hehe.

Maka monyet, adalah hewan yang kami temui sesampai di savana. Nggak cukup satu, dua, banyak. Puluhan. Bahkan ratusan.

"Hati-hati sama tas dan makanan. Sambil diawasin dari jauh," ujar saya setelah memarkir kendaraan.

Ya, berdasar kisah yang diceritain sama fotografer kantor, Anang Firmansyah yang gagal move on *eh* monyet-monyet di TN Baluran, terkenal lucu dan jahil. Sama orang yang pegang makanan, mereka berani mendekat, lantas merebut jajanan tersebut. Jangankan makanan, botol air mineral aja bakal direbut. Trus si Anang juga pernah dikejar kawanan monyet karena nenteng lensa kamera. Mungkin mereka ngira, lensa panjang itu kayak botol minum kali ya.
Savana Bekol identik sama pohon-pohon besar, tanpa daun. 
Di savana yang maha luas itu, kami bermain-main. Foto-foto, jahil-jahilan, dlosoran, lari-larian. Semua panca indra dimanja dengan karya Tuhan yang Maha Sempurna. Perfect!!! Saking kerennya, saya harus sering menepuk muka sendiri karena masih nggak percaya bisa napakin kaki di sini.


Bukti, kami suka dlosoran. Demi foto ya, Kak Ros. Rela deh... 
Sepanjang perjalanan, walau harus melibas jalur bebatuan, kami berucap syukur. Berdecak kagum. Ya, buat kami, apalagi saya, ini adalah kepingan surga yang jatuh ke Indonesia.

Jalan lagi ke depan, semakin menelurusi setiap sudut savana, makin terpesona dengan rusa-rusa berlarian dan banteng berkubang. Tapi lekas-lekas saya menghindar gegara baju dan jilbab yang saya gunakan dominan warna merah. 

Akkk, indah bangettt. Help me, please. Saya masih gagal move on dari tempat sekeren ini.
Pasukan Bela Perasaan (minus Yeti) di Savana Bekol. Kerennn sekali.
Taken by mas-mas yg nggak sempet kenalan. Hahaha.
Perjalanan di TN Baluran, tak berhenti pada kawasan Evergreen dan Savana Bekol. Masih ada bonus Pantai Bama dan hutan mangrovenya. Pantai pasir putih yang ombaknya tenang banget. Karena masih satu kawasan, ya kawanan monyetnya masih banyak. Alhasil kami harus berhati-hati saat mengeluarkan camilan dan meneguk minuman.


Masjid di Pantai Bama. Monggo, demi waktu teduh.
Cuaca siang itu, cenderung mendung. Bahkan sempat turun air Tuhan walau kecil. Suasananya juga lebih ramai. Lebih banyak keluarga. Dan dari ratusan pengunjung itu, kok nggak ada yang ngomongnya pakai logat Banyumasan ya.

Saya yang paling nggak tahan buat nggak nyeker kalau di pantai, cepat-cepat menggulung celana, melepas kaus kaki, lempar sandal, terus cekeran. Terus foto-foto. Terus pas waktu mau foto bareng dan agak sedikit kesusahan siapa yang mau jepret, datanglah mas-mas yang menawarkan diri, memotretkan kami. Tanpa ba-bi-bu, klik klik klik. Ganti posisi beberapa kali. Klik klik klik. Kelar.


Kami. Sengaja pasang yang lagi candid. Makasih Mas Wak Doyok. *eh
Kakak Ros masih jomblo lho, Mas... :D
Dan yah, sebut saja namanya Wak Doyok. Badan si mas yang lumayan gede dengan jambang lebat, mengingatkan saya pada iklan Wak Doyok, krim penumbuh jambang dan kumis yang lagi ngehitz itu. Kata Kak Ros (karena dia yang sempat kenalan sampai diajak foto bareng dengan pose pura-pura lamaran ya, haha. Nggak apa-apa, siapa tahu dilamar beneran ya, Kak), dia orang Lumajang yang nganter orang-orang ngetrip. Mungkin semacam buka jasa open trip gitu kali ya.


Suka cita di Pantai Bama. Sebelum ketemu sama bonus lagi. :D

Di Pantai Bama, masih ada bonus tambahan. Saat kami jalan ke hutan mangrove, dari depan nampak rombongan keluarga, bapak, ibu, dengan anak-anak. Mereka riang berjalan, bersisian. Mata saya tertuju dengan si bapak, pria berambut agak gondrong. Sebentar, kok saya agak paham dengan rautnya ya. 

Begitu rombongan itu melintas, hati saya tak keruan. Rusuh. Meloncat-loncat. Ya saya tahu orang itu. Lantas saya pun membisiki Kak Ros dan dijawab, "Ya udah, kejar, ajak foto." 

Untuk memastikan apakah pria itu adalah orang yang saya tahu atau tidak, saya lantas mendekati dua anaknya yang tertinggal di belakang. "Dek, dek, bapaknya namanya Candra Malik bukan?" Dan yang menjawab adalah satu kerabatnya. "Iya, Mbak." 

Spontan saja, saya jalan agak cepat, menyusul Gus Can, sapaan akrabnya, memanggil dan memintanya untuk foto bersama dengan pasukan bela perasaan. Alhamdulillah, orangnya ramah dan sang istrilah yang rela hati mengabadikan aksi kami. 

"Saya suka baca tulisannya Gus Can. Barusan selesai baca Kumcer Mawar Rindu. Sibuk apa sekarang, Gus?" cerocos saya untuk menutupi rasa kikuk yang luar biasa menghantam. 

"Lagi sibuk untuk siapin buku selanjutnya," jawab Gus Can sambil menyambung obrolan kami kembali. 
Kami dan Gus Can. Tokoh agama plus muda favorit saya.
Agama Ramah, Agama Rahmah ya Gus... 
Ya, di pantai seindah itu, saya bertemu dengan sufi, penulis lagu dan penyanyi, penulis buku, esai, cerpen, jurnalis, penyair, pembicara, pemeran, dan pengasuh pesantren, Gus Candra Malik. Dia adalah satu dari sekian banyak tokoh muda idola saya.

Bisa dibilang, saya baru mengenal Gus Can, tepatnya bulan Ramadan 2015, saat ybs membuat tulisan di situs Mojokdotco, judulnya Zikir Kesibukan. Tulisan itu bener-bener makjleb dan satir abis. Diakui atau tidak, nyatanya, jari-jari kita lebih gemar bersekutu dengan kibor gawai ketimbang menenteng tasbih, menggumamkan zikir.

Di waktu yang bersamaan, Gus Can juga jadi juri di AKSI Indosiar. Jujur, dari sekian banyak tayangan sahur di TV swasta, saya lebih memilih untuk nonton AKSI Indosiar ketimbang yang lain. Tambah ilmu plus dukung teman-teman dari Banyumas yang lolos jadi peserta. Hehehe

Sejak saat itulah, saya mulai kepo dengan tulisan Gus Can lainnya. Beruntung, dia punya website pribadi, candramalik.com yang jadi wadah karya-karya kerennya, mulai dari Seucap, Sabda Cinta, Fatwa Rindu, dan Suluk Sufi. Termasuk mendengarkan lagu ciptaannya Syahadat Cinta yang jadi Ost Cinta tapi Beda.

Bagi saya, tulisan Gus Can ibarat oase. Begitu teduh. Jangankan Suluk Sufi-nya, baca cerpennya dua halaman saja, saya butuh balik tiga hingga lima halaman sebelumnya. Bahkan saya perlu membaca dengan lamban dan amat pelan untuk menangkap makna serta isi cerpen. Wajar sebab Gus Can menyelipkan nilai-nilai sufisme lewat cerita pendeknya. Dan apalah saya, yang belum pernah belajar tentang hal ini.

Pun dengan gaya ceramahnya. Dakwah, bagi Gus Can dan saya amini adalah mengajak, bukan mengejek. Merangkul, bukan memukul. Menemani, bukan memusuhi. Menerangi, bukan memerangi. Menceramahi, bukan memarahi. 

"Monggo Gus, kapan-kapan main ke Banyumas," ujar saya seraya berpamitan jalan duluan. 
Foto terakhir sebelum meninggalkan Pantai Bama.

Sebelum menamatkan petualangan di Pantai Bama, kami sempatkan berfoto lagi. Dan, sepeda motor sewaan kami kembali menekuni jalanan berbatu yang aduhai itu. Nyatanya, di tengah perjalanan, kami kembali berpapasan dengan rombongan mas-mas yang naik bareng Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Adalah Reni yang pertama kali menyadari dan ber-say, "Hai." 

Dan tetap, tidak ada perkenalan. Sebab masing-masing dari kami memiliki tujuan yang berbeda. Kami kembali dan mereka baru saja datang. (bersambung)



Galeri-galeri:
Langit di TN Baluran kala itu. Teduh. Kayak kamu. *eh*



Papan penanda TN Baluran. Kecil dan pas di tikungan persis.

Fokus Ren... Itu yang di belakang, bantuin yg depan. :p

Ngutip di IG: Kaki-kaki yang menjaga kewarasan kami. Sebab jadi
manusia itu susahnya minta ampun. Iya, manusia.

Hausss, Mak... Foto oleh Nung. 

Satu kata: bahagia. :D

Pepohonan. Dan yang terlintas di otak lagunya Banda Neira.

Bebatuan dan pepohonan yang mulai menghijau. Awesome!!!

Ini saking bahagia, mukanya kelihatan ekspresif dan riang. 


Nung dan pohon besar. Apalah kita ya Nung, yang amat kecil ini.

Satu, dua, tiga. Okeh, bisa gerak. Cekrek. Eh baru kepoto, :D

Saya: Mas, mau difotoin? Mereka: Boleh Mbak (sambil nyerahin kamera)
Saya: Oke, udah, Mas. Gantian ya, fotoin kita. Mereka: Nelen ludah (kayaknya).
Saya: Ini fokus modus, Mas. Hahaha. Kami, happy. 

Menuju Pantai Bama. Kak Ros-Juli and the explorer. Foto: Nung

Pantai Bama. Tempat bertemunya Kak Ros dan Mas Wak Doyok, :D

Ceritanya mau mainan Hide and Seek. Foto by: Reni

Seru amat, ngobrolin apa coba? Kita bisa move on, hahaha.
Foto by Reni


Bukan Juli kalau nggak menek-menek uwit. 

Nah itu bantengnya. Kabur ahhh, saya pakai baju dan jilbab merah


Berkemas lagi, sebelum pulang. Foto oleh Nung

Saya dan Taman Nasional Baluran. Lebih mirip sama tukang kredit panci ya.
Foto oleh Reni