Rabu, 09 Maret 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 4

TN Baluran. Destinasi utama walau bukan yang pertama. 

Jumat, 25 Desember 2015

PERJALANAN kami masih berlanjut. Dari Pantai Boom, agenda kami selanjutnya adalah nyari sarapan yang searah dengan Taman Nasional Baluran. Ya, TN Baluran jadi destinasi utama, walau bukan pertama.

Keluar dari Pantai Boom, kami memilih jalan lurus alias berbeda dengan jalan datang. Lha ternyata, jedhulnya alias ketemunya di SPBU yang tadi sempat kami singgahi untuk isi bensin.

"Walah, ngerti ngono mau lurus bae ya, genah, ra sah go muter-muter balik taman neh ya," kata saya sambil nepuk jidat yang makin lama makin ke depan.

Setelah itu, kami ngikutin jalan dengan penunjuk jalan Pelabuhan Ketapang dan Situbondo. Dari beberapa tulisan yang saya baca, jalan menuju TN Baluran searah dengan Pelabuhan Ketapang dan Situbondo.

Di sepanjang jalan itu pula, kami cari warung makan. Cacing di perut sudah berteriak, minta diisi. Setelah melintasi beberapa ruas jalan, kami pun sepakat menikmati seporsi nasi pecel yang tidak pernah ditolak oleh perut saya, tepatnya di Nasi Pecel Pincuk Madiun Jeng Gun yang ada di kiri jalan. Lagi di mana, makannya apa. Hahaha. Padahal niat ingsun, pengin banget makan rujak soto-nya Bwi tapi apa daya, belum nemu warungnya.


Warung Nasi Pecel yg kami rekomendasikan.
Atas pilihan menu ini, saya langsung teringat saat nggembel sama anaknya Pak Bambang di Malang, 2014 lalu. Sama. Kaminya lagi di mana, makannya apa ya. Iya, pilihan menu sarapan kami adalah nasi pecel Madiun dengan lauk telur depan Stasiun Malang.

Pada wanita paruh baya yang menjadi pemilik, kami memesan empat porsi nasi pecel dengan lauk yang berbeda-beda serta tiga teh hangat dan satu kopi untuk saya. Saat kami datang, suasana warung masih sepi. Tak lama, satu rombongan pemuda dan bapak-anak berdatangan. Kami pun saling tatap dan mbatin, "Lagi-lagi, membawa rizki buat orang lain. Alhamdulillah..."


Empat pecel pincuk dengan tiga teh hangat dan kopi.
Tak lama, pesanan kami datang. Disajikan di atas piring anyaman beralaskan selembar daun pisang membuat pecel yang jadi satu kuliner favorit saya, tampang ngawe-awe. Ingin segera ditandaskan. Sayuran hijau yang disiram sambal kacang, lantas ditambah kriuk rempeyek bikin lidah tak henti untuk mengunyah. Ditambah dengan daun kemangi yang kian menyegarkan mulut. Wuuhhh, mantap!!! Juara untuk menebus lapar kali ini. 

Dari warung Jeng Gun, saya merapat sebentar ke minimarket terdekat, beli stok logistik, air, dan pulsa untuk Nung supaya bisa maketin Internet untuk download Navigator. Iya sedari tadi, kami lebih mengandalkan feeling celeng dan penunjuk arah. Dan Bismillah, kendaraan kami membelah jalanan Bwi-Situbondo, siap menuju TN Baluran. Sementara Nung terus otak-atik ponsel.


Kondisi jalan Banyuwangi-Ketapang dari depan
Warung Pecel Jeng Gun. Ramai lancar.
Suasana tlatah Blambangan pagi jelang siang itu cenderung ramai lancar. Kendaraan saling salip-menyalip. Kondisi jalannya lebih mirip sama dengan Jalan Gerilya hendak ke Jalan Suparjo Rustam, Sokaraja, Banyumas. Pertama dibatasi dengan marka taman selebihnya marka garis. Jalannya juga mulus, lurus, dan lebar. Wajar sebab ini ruas jalan ini termasuk jalan nasional. 

Agak lama di kendaraan, kami sampai di Pertigaan SPBU Ketapang dengan papan penunjuk arah, ke kiri jalur alternatif Situbondo dan lurus ke Pelabuhan Ketapang dan Situbondo. Oleh petugas kepolisian, kami diarahkan ke kiri sebab jalan lurus menuju Pelabuhan Ketapang ditutup. Kecuali mereka yang hendak nyebrang. 

Mulai dari pertigaan itu, kami menggunakan GPS. Saya lagi yang jadi navigatornya, mengarahkan Kak Ros yang di depan sesuai tulisan di ponsel Nung, sedangkan Reni dan Nung mengikuti dari belakang. Demi kenyamanan bersama, kecepatan kami hanya 60 km. 

"Ju, iki dalane bener kan?" tanya Kak Ros. 

"Iya, bener Mbak, kan iki jalur alternatif, dadi rodo sepi njuk dalane ora alus," jawab saya memberi alasan yang logis padanya. Hahaha. Padahal dalam hati sih berdoa, semoga nggak salah jalan. 

Kami mencoba untuk menelusuri jalan alternatif tersebut. Ketemu belokan ya kami belok, lurus ya lurus aja sampai ketemu dengan pertigaan besar, kami memilih belok kiri. Sesuai navigator GPS plus plang penanda arah. Hahaha.

Dari jalan pertigaan itu, kami dimanja dengan lanskap yang super kerennn. Tepatnya di kompleks Situs Wadu Dodol, yaitu batu besar di tengah jalan. Kami berjalan eh tepatnya naik motor bersisian dengan laut, yang ternyata itu adalah Selat Bali. Terus jadi keinget sama jalan-jalan di daerah Lombok. Ya walau belum pernah ke sana sih tapi ya ampunnn, ini kerennnnn bangettt

Kami tak henti berdecak kagum. Serius, kami begitu terpukau karena dikasih bonus jalan seajib ini. "Entar pulang mampir ya, Mbak. Parah, ini keren bangettt," kata saya pada Kak Ros. 

Lepas dari jalan yang bersisian dengan laut, kami kembali menempuh rute jalan biasa, dengan kanan kiri sawah atau perkampungan milik warga setempat. Jalannya masih mulus meski di satu titik tengah dilakukan perbaikan jalan. Tapi tak apa, sebab tak begitu menganggu perjalanan kami. Toh kondisi jalan kala itu ramai lancar. 

Satu setengah jam di atas motor, kami disambut dengan gerbang selamat datang di Kabupaten Situbondo. Wow!!!! Artinya sebentar lagi kami akan sampai di TN Baluran. Menurut tulisan dan GPS di ponsel, TN Baluran sekitar 500 meter lagi. Yeay.

Begitu sudah menuju 100, 90, 80, hingga 50 meter, saya meminta Kak Ros untuk melambatkan laju kendaraan. Dari sekitar jarak 10 meter, gerbang selamat datang TN Baluran sudah terlihat, di kanan jalan, tepat di tikungan. Kami sempat berhenti bentar sebelum nyebrang.


Saya dan kaus kebesaran Bayern Munchen.
Done!!! Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di TN Baluran... Awwww, rasanya seperti mimpi. Ini nyata kan, kami sudah sampai di TN Baluran?! Hahaha. Honestly, ini adalah satu destinasi impian saya sejak dulu. Dan rasa sudah sampai di sini itu... bahagia. 

Rona antusias begitu terpancar di wajah kami. Mata saya tak berhenti mengerjap, untuk memastikan sudah sampai di Baluran. Meski baru gerbang depannya saja.

Berfoto jadi hal wajib dan pertama kami lakukan. Bebalnya kami sampai lupa belum markir kendaraan. Keruan saja saat kendaraan lain yang mau masuk, membuat kami kocar-kacir, melarikan motor ke pinggir, untuk kemudian foto-foto lagi. Hahaha. Beruntung, petugas cukup mahfum dengan kegilaan kami. Mungkin dia sudah terbiasa melihat orang-orang yang nggumunan kayak kami. 


Pos Jaga TN Baluran. Awalnya ada petugas.
Puas foto-foto, kami masuk dan menuju lokasi tiket. Sebagai bendahara merangkap tukang kredit panci *eh* saya yang kebagian turun membeli tiket. Empat orang dua motor, kata saya pada petugas yang kemungkinan besar adalah warga sekitar. Soalnya masih remaja tanggung.

"Rp 85 ribu, Mbak," katanya.

Sambil menunggu kembalian, saya mendengarkan obrolan mereka. Mati. Nggak ada satu kata pun yang saya tahu. Atau minimal pernah denger gitu. Bukan tanpa alasan, dulu waktu kecil, saya sempat tinggal lama di Mojokerto, setidaknya ada kosakata bahasa Jawa Timuran yang saya pahami. Lha ini nggak ada sama sekali.

Selesai dengan urusan tiket dan masih menawar petugas untuk memberi banyak stiker, saya kembali pada teman-teman yang sudah menunggu. Dan yesss, petualangan pasukan pembela perasaan dimulai...


Jalan di kawasan TN Baluran. Bekas aspal mengelupas.
Kondisi jalan beraspal rusak membuat Kak Ros dan Reni yang ada di depan, memegang kemudi harus pandai-pandai menjaga keseimbangan. Tapiiii, itu semua nggak begitu berarti sama lanskap yang dihadirkan TN Baluran. Seriously, masuk ke Baluran itu, kayak kita masuk ke sebuah kerajaan antah-berantah, yang nggak pernah dijamah, yang indah, dan sumpahhh, ini kerennnnnnnnnnnnn bangetttttttttt.

Lebay. Sama sekali nggak. Sure deh, masuk ke Baluran itu kayak masuk ke Afrika. Ya walau belum pernah ke sana dan cuma lihat dari gambar di internet, tetep aja, ini kayak bukan di Indonesia. Akkk, indah bangetttt.
Kawasan rawan kebakaran. Ya iya, wong reranting kering kayak gini.

Pemandangan pertama yang tersaji adalah kawasan hutan, reranting bekas kebakaran. Terus rerimbunan kering yang mudah banget terbakar. Maju lagi, ada kawasan Evergreen, superhero cewek di film The Hunger Games. Itu Katniss Everdeen, Juli... Evergreen merupakan kawasan hutan dengan pepohonan menghijau sepanjang tahun. 


Kawasan Evergreen alias tumbuhan yang terus hijau saban tahun.


Masih di kawasan ini, kami mulai melihat binatang macam ayam hutan dan tupai. Sayang, mereka malah lari ngeliat kita. Mungkin karena asing sama logat bicaranya ya, yam. Duh.

Dan, setelah 45 menit yang pertama, sampailah kami di hamparan savana yang ajiiiiiiiiiiiiiiibbbbbbbb buangeeeeettttt. Savana Bekol. Btw, jarak dari pintu masuk sampai ke Savana Bekol memang agak jauh, di samping kami yang keterluan lama fotonya dan selalu berhenti di satu spot menarik. Hehe.

Maka monyet, adalah hewan yang kami temui sesampai di savana. Nggak cukup satu, dua, banyak. Puluhan. Bahkan ratusan.

"Hati-hati sama tas dan makanan. Sambil diawasin dari jauh," ujar saya setelah memarkir kendaraan.

Ya, berdasar kisah yang diceritain sama fotografer kantor, Anang Firmansyah yang gagal move on *eh* monyet-monyet di TN Baluran, terkenal lucu dan jahil. Sama orang yang pegang makanan, mereka berani mendekat, lantas merebut jajanan tersebut. Jangankan makanan, botol air mineral aja bakal direbut. Trus si Anang juga pernah dikejar kawanan monyet karena nenteng lensa kamera. Mungkin mereka ngira, lensa panjang itu kayak botol minum kali ya.
Savana Bekol identik sama pohon-pohon besar, tanpa daun. 
Di savana yang maha luas itu, kami bermain-main. Foto-foto, jahil-jahilan, dlosoran, lari-larian. Semua panca indra dimanja dengan karya Tuhan yang Maha Sempurna. Perfect!!! Saking kerennya, saya harus sering menepuk muka sendiri karena masih nggak percaya bisa napakin kaki di sini.


Bukti, kami suka dlosoran. Demi foto ya, Kak Ros. Rela deh... 
Sepanjang perjalanan, walau harus melibas jalur bebatuan, kami berucap syukur. Berdecak kagum. Ya, buat kami, apalagi saya, ini adalah kepingan surga yang jatuh ke Indonesia.

Jalan lagi ke depan, semakin menelurusi setiap sudut savana, makin terpesona dengan rusa-rusa berlarian dan banteng berkubang. Tapi lekas-lekas saya menghindar gegara baju dan jilbab yang saya gunakan dominan warna merah. 

Akkk, indah bangettt. Help me, please. Saya masih gagal move on dari tempat sekeren ini.
Pasukan Bela Perasaan (minus Yeti) di Savana Bekol. Kerennn sekali.
Taken by mas-mas yg nggak sempet kenalan. Hahaha.
Perjalanan di TN Baluran, tak berhenti pada kawasan Evergreen dan Savana Bekol. Masih ada bonus Pantai Bama dan hutan mangrovenya. Pantai pasir putih yang ombaknya tenang banget. Karena masih satu kawasan, ya kawanan monyetnya masih banyak. Alhasil kami harus berhati-hati saat mengeluarkan camilan dan meneguk minuman.


Masjid di Pantai Bama. Monggo, demi waktu teduh.
Cuaca siang itu, cenderung mendung. Bahkan sempat turun air Tuhan walau kecil. Suasananya juga lebih ramai. Lebih banyak keluarga. Dan dari ratusan pengunjung itu, kok nggak ada yang ngomongnya pakai logat Banyumasan ya.

Saya yang paling nggak tahan buat nggak nyeker kalau di pantai, cepat-cepat menggulung celana, melepas kaus kaki, lempar sandal, terus cekeran. Terus foto-foto. Terus pas waktu mau foto bareng dan agak sedikit kesusahan siapa yang mau jepret, datanglah mas-mas yang menawarkan diri, memotretkan kami. Tanpa ba-bi-bu, klik klik klik. Ganti posisi beberapa kali. Klik klik klik. Kelar.


Kami. Sengaja pasang yang lagi candid. Makasih Mas Wak Doyok. *eh
Kakak Ros masih jomblo lho, Mas... :D
Dan yah, sebut saja namanya Wak Doyok. Badan si mas yang lumayan gede dengan jambang lebat, mengingatkan saya pada iklan Wak Doyok, krim penumbuh jambang dan kumis yang lagi ngehitz itu. Kata Kak Ros (karena dia yang sempat kenalan sampai diajak foto bareng dengan pose pura-pura lamaran ya, haha. Nggak apa-apa, siapa tahu dilamar beneran ya, Kak), dia orang Lumajang yang nganter orang-orang ngetrip. Mungkin semacam buka jasa open trip gitu kali ya.


Suka cita di Pantai Bama. Sebelum ketemu sama bonus lagi. :D

Di Pantai Bama, masih ada bonus tambahan. Saat kami jalan ke hutan mangrove, dari depan nampak rombongan keluarga, bapak, ibu, dengan anak-anak. Mereka riang berjalan, bersisian. Mata saya tertuju dengan si bapak, pria berambut agak gondrong. Sebentar, kok saya agak paham dengan rautnya ya. 

Begitu rombongan itu melintas, hati saya tak keruan. Rusuh. Meloncat-loncat. Ya saya tahu orang itu. Lantas saya pun membisiki Kak Ros dan dijawab, "Ya udah, kejar, ajak foto." 

Untuk memastikan apakah pria itu adalah orang yang saya tahu atau tidak, saya lantas mendekati dua anaknya yang tertinggal di belakang. "Dek, dek, bapaknya namanya Candra Malik bukan?" Dan yang menjawab adalah satu kerabatnya. "Iya, Mbak." 

Spontan saja, saya jalan agak cepat, menyusul Gus Can, sapaan akrabnya, memanggil dan memintanya untuk foto bersama dengan pasukan bela perasaan. Alhamdulillah, orangnya ramah dan sang istrilah yang rela hati mengabadikan aksi kami. 

"Saya suka baca tulisannya Gus Can. Barusan selesai baca Kumcer Mawar Rindu. Sibuk apa sekarang, Gus?" cerocos saya untuk menutupi rasa kikuk yang luar biasa menghantam. 

"Lagi sibuk untuk siapin buku selanjutnya," jawab Gus Can sambil menyambung obrolan kami kembali. 
Kami dan Gus Can. Tokoh agama plus muda favorit saya.
Agama Ramah, Agama Rahmah ya Gus... 
Ya, di pantai seindah itu, saya bertemu dengan sufi, penulis lagu dan penyanyi, penulis buku, esai, cerpen, jurnalis, penyair, pembicara, pemeran, dan pengasuh pesantren, Gus Candra Malik. Dia adalah satu dari sekian banyak tokoh muda idola saya.

Bisa dibilang, saya baru mengenal Gus Can, tepatnya bulan Ramadan 2015, saat ybs membuat tulisan di situs Mojokdotco, judulnya Zikir Kesibukan. Tulisan itu bener-bener makjleb dan satir abis. Diakui atau tidak, nyatanya, jari-jari kita lebih gemar bersekutu dengan kibor gawai ketimbang menenteng tasbih, menggumamkan zikir.

Di waktu yang bersamaan, Gus Can juga jadi juri di AKSI Indosiar. Jujur, dari sekian banyak tayangan sahur di TV swasta, saya lebih memilih untuk nonton AKSI Indosiar ketimbang yang lain. Tambah ilmu plus dukung teman-teman dari Banyumas yang lolos jadi peserta. Hehehe

Sejak saat itulah, saya mulai kepo dengan tulisan Gus Can lainnya. Beruntung, dia punya website pribadi, candramalik.com yang jadi wadah karya-karya kerennya, mulai dari Seucap, Sabda Cinta, Fatwa Rindu, dan Suluk Sufi. Termasuk mendengarkan lagu ciptaannya Syahadat Cinta yang jadi Ost Cinta tapi Beda.

Bagi saya, tulisan Gus Can ibarat oase. Begitu teduh. Jangankan Suluk Sufi-nya, baca cerpennya dua halaman saja, saya butuh balik tiga hingga lima halaman sebelumnya. Bahkan saya perlu membaca dengan lamban dan amat pelan untuk menangkap makna serta isi cerpen. Wajar sebab Gus Can menyelipkan nilai-nilai sufisme lewat cerita pendeknya. Dan apalah saya, yang belum pernah belajar tentang hal ini.

Pun dengan gaya ceramahnya. Dakwah, bagi Gus Can dan saya amini adalah mengajak, bukan mengejek. Merangkul, bukan memukul. Menemani, bukan memusuhi. Menerangi, bukan memerangi. Menceramahi, bukan memarahi. 

"Monggo Gus, kapan-kapan main ke Banyumas," ujar saya seraya berpamitan jalan duluan. 
Foto terakhir sebelum meninggalkan Pantai Bama.

Sebelum menamatkan petualangan di Pantai Bama, kami sempatkan berfoto lagi. Dan, sepeda motor sewaan kami kembali menekuni jalanan berbatu yang aduhai itu. Nyatanya, di tengah perjalanan, kami kembali berpapasan dengan rombongan mas-mas yang naik bareng Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Adalah Reni yang pertama kali menyadari dan ber-say, "Hai." 

Dan tetap, tidak ada perkenalan. Sebab masing-masing dari kami memiliki tujuan yang berbeda. Kami kembali dan mereka baru saja datang. (bersambung)



Galeri-galeri:
Langit di TN Baluran kala itu. Teduh. Kayak kamu. *eh*



Papan penanda TN Baluran. Kecil dan pas di tikungan persis.

Fokus Ren... Itu yang di belakang, bantuin yg depan. :p

Ngutip di IG: Kaki-kaki yang menjaga kewarasan kami. Sebab jadi
manusia itu susahnya minta ampun. Iya, manusia.

Hausss, Mak... Foto oleh Nung. 

Satu kata: bahagia. :D

Pepohonan. Dan yang terlintas di otak lagunya Banda Neira.

Bebatuan dan pepohonan yang mulai menghijau. Awesome!!!

Ini saking bahagia, mukanya kelihatan ekspresif dan riang. 


Nung dan pohon besar. Apalah kita ya Nung, yang amat kecil ini.

Satu, dua, tiga. Okeh, bisa gerak. Cekrek. Eh baru kepoto, :D

Saya: Mas, mau difotoin? Mereka: Boleh Mbak (sambil nyerahin kamera)
Saya: Oke, udah, Mas. Gantian ya, fotoin kita. Mereka: Nelen ludah (kayaknya).
Saya: Ini fokus modus, Mas. Hahaha. Kami, happy. 

Menuju Pantai Bama. Kak Ros-Juli and the explorer. Foto: Nung

Pantai Bama. Tempat bertemunya Kak Ros dan Mas Wak Doyok, :D

Ceritanya mau mainan Hide and Seek. Foto by: Reni

Seru amat, ngobrolin apa coba? Kita bisa move on, hahaha.
Foto by Reni


Bukan Juli kalau nggak menek-menek uwit. 

Nah itu bantengnya. Kabur ahhh, saya pakai baju dan jilbab merah


Berkemas lagi, sebelum pulang. Foto oleh Nung

Saya dan Taman Nasional Baluran. Lebih mirip sama tukang kredit panci ya.
Foto oleh Reni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar