Senin, 22 Februari 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 3

Saya di Taman Blambangan. Kali pertama lho foto tanpa tahu malu. :P
Foto oleh Nung


Jumat, 25 Desember 2015

PUKUL 05.30 WIB. Semua alarm di ponsel kami berdering, memecah Subuh, Jumat itu. Adalah Reni yang pertama kali bangun, disusul Kak Ros. Sementara saya dan Nung masih bergumul dengan dinginnya Subuh dan menyusup ke sela-sela sleeping bag yang kami jadikan selimut. 

"Heh, bangun... Gantian mandi, sebelum dipakai yang lain," kata Kak Ros dan Reni. 

Kami berdua agak ogah-ogahan. Apalagi saya yang hobi tidur. Rasanya, belum cukup merebahkan badan setelah 20 jam perjalanan itu. Apa mau dikata, daripada jadwal berantakan, saya bergegas ke kamar mandi, mengusir rasa malas, dan membenamkan diri pada air dingin. 

Brrrrr, dingin... 
Yok, packing-packing lagi.

Sambil menunggu personel yang masih mandi, yang lain berkemas, packing lagi, merapikan kamar. Tepat pukul 06.00 WIB, kami keluar kamar, turun, dan bertemu Bu Dewi yang tengah melayani pembeli.

"Lho, mau berangkat sekarang?" tanyanya.

"Inggih, Bu. Sambil cari sarapan sekalian di jalan," jawab kami.

"Ya udah, bentar, saya tak bilang bapak untuk nyiapin motor," kata dia menuju ke arah suami. 

Ya, selain menyediakan penginapan, Bu Dewi juga memiliki persewaan motor. Tarifnya Rp 70 ribu per 24 jam. Kelebihan sewa motor di sini adalah tanpa DP. Sementara untuk penginapan, diberlakukan DP seikhlasnya. Pengalaman kami, DP Rp 50 ribu.

Sambil menunggu Pak Subur menyiapkan dua unit motor, saya menyelesaikan kekurangan yang harus dibayarkan. Untuk penginapan masih kurang Rp 30 ribu, sedangkan motor, karena kami sewa dua hari dua motor, maka harus merogoh kocek Rp 280 ribu.

Hampir ada satu jam lebih kami tertahan di sini. Selain ada sedikit kesalahpahaman antara kami dengan Pak Subur, juga ada kelengkapan motor, yaitu lampu depan yang rusak. Pak Subur pun memberi kami dua alternatif, ganti motor atau nunggu dibenerin lampunya.


Dua motor yang kami gunakan untuk muter2 Bwi. Iya, merah-putih.
Opsi pertama kami pilih. Kami tak ingin kehilangan lebih banyak waktu. Sekitar pukul 07.10 WIB, kami keluar dari penginapan sambil menitipkan pesan pada Pak dan Bu Subur untuk mencarikan tenda, sesuai pesanan kami sebelumnya.

Ya demi alasan kepraktisan dan mengurangi barang bawaan, kami sekalian menyewa tenda dan matras untuk menginap di Ijen. Bu Subur sudah mengiyakan jauh-jauh hari. 

Dan lagi-lagi, saat keluar dari area stasiun, kami berpapasan dengan rombongan mas-mas yang naik dari St Lempuyangan. Interaksi kami, cuma menunduk malu-malu sambil senyum. Hehe.


Langit di Banyuwangi kala itu. Teduh. Mataharinya malu-malu.
Saya yang di belakang, bonceng Kak Ros bertugas sebagai navigator amatiran. Awalnya, saya pakai cara GPS manual tapi kata Kak Ros terlalu berisiko karena sering tidak jelas arahnya. Pindah dengan aplikasi navigasi dan muncul tragedi. Tab saya mendadak hang dan langsung tersedot habis baterainya. Mati saya. 

Beruntung, Pak Subur ada di belakang kami. Ia memberikan petunjuk ke mana kami harus melaju, menuju Kota Banyuwangi. Selama di jalan itu saya otak-atik Tab dan menancapkan kabel pada powerbank. Di situ saya merutuki Tab yang tak kunjung berdamai saat main ke daerah timur.

Ya, kejadian ini bukan kali pertama terjadi. Saat main ke Malang, 2014 lalu, si Tepi (nama Tab saya) juga begitu. Sudah di-charge semalaman di kereta, baru digunakan sebentar sudah langsung mati. Entah, ada yang salah.

Kekesalan pada si Tepi sedikit mencair setelah melintasi jalanan Banyuwangi. Ademmm, banyak pepohonan di kanan-kiri jalan. Jalannya juga mulus dan belum begitu ramai. Mungkin karena masih pagi.

Yeayyyy... kami sudah sudah di tlatah Blambangan. Satu daerah yang dulu cuma ada di angan dan tulisan buku diary saya, kini siap kami 'jelajahi' selama dua hari ke depan. 

Sesuai rekomendasi Bu Dewi, ada satu pantai yang deket sama kota, yaitu Pantai Boom. Dalam perjalanan menuju pantai tersebut, mampirlah ke Taman Blambangan.


Kami di Taman Blambangan begitu sampai. Mukanya masih ceria.
Awalnya, kami kira itu adalah alun-alun karena bentuknya tanah lapang. Kebiasaan kami, kalau main ke satu kota baru, wajib main ke alun-alun. Ternyata setelah dicek, itu sekadar taman. Sebab di sekelingnya tidak ada pendopo, masjid, atau lapas yang jadi penanda keberadaan alun-alun.

Setelah memarkirkan kendaraan di tepi jalan, memastikan aman, baik kendaraan maupun keril, kami menikmati taman ini sambil bertanya pada wanita paruh baya di mana kami bisa menemukan SPBU terdekat.

"Dari sini, ambil kiri terus lurus aja, Mbak, deket kok," jawabnya sambil melanjutkan aktivitas jogging


Warga setempat yang berolahraga. 
Taman Blambangan ramai dengan warga yang berolahraga. Sementara kami, foto-foto tanpa tahu malu di beberapa sudut. Seperti di tulisan Taman Blambangan sampai di tong sampahnya. Ini masih mending nggak tengah jalannya ya. Hahaha

Alhasil, aksi kami dilihatin sama warga sekitar, hehe. Dalam hati mereka (mungkin) mbatin, "Ini Mbak-mbake weruh tulisan wae nggumun?" 

Malu? Nggak dong, kan pasukan bela perasaan nggak punya malu ya. Ya sekali lagi, kami menggunakan dalih: mumpung, nggak ada yang kenal. 


Si Reni sampai nyebrang buat motoin kita. Maap ya Ren... 
Yang saya suka dari lokasi sekeliling taman ini, ada videotron berisikan daftar harga kebutuhan pokok masyarakat (kepokmas) di dekat perempatan. Nah, menurut saya, itu adalah info penting dan pasti dibaca sama para emak yang mau mborong beras, telur, minyak goreng, atau sembako lainnya ke pasar. Ketimbang videotronnya buat nayangin iklan sponsor dan itu cuma diulang-ulang. *eh*


Videotron di seberang Taman Blambangan. Banyumas wajib punya nih.
Lepas dari Taman Blambangan, kami menuju SPBU, dan balik lagi ke taman menuju Pantai Boom sesuai plang penunjuk jalan. Si Tepi sudah tidak bisa diharapkan lagi.\

Menggunakan feeling celeng (kalau kata Kak Ros), kami berusaha menemukan Pantai Boom. Selain ngikutin arah jalan, maka kami mengandalkan GPS alias Gunakan Penduduk Sekitar jadi solusi. Awalnya, kami bertanya pada pria paruh baya, kemudian laki-laki muda. 

Tak lama, kami sudah sampai di kawasan Pantai sekaligus Pelabuhan Boom karena menjadi dermaga kapal pencari ikan. Pantai Boom, merupakan satu pantai yang lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Banyuwangi. Kalau di Kabupaten Cilacap, ya Teluk Penyu atau Widuri-nya Pemalang. Saking tidak jauhnya, kita bisa jalan kaki. Tapi ya tetep menguras keringat sih.

Selamat datang di Pantai sekaligus Pelabuhan Boom. Foto oleh Nung
Kata Bu Dewi, Pantai Boom merupakan satu spot terbaik untuk melihat sunrise. Sayangnya, pas kami ke sana, jarum jam sudah menuju angka 8. Plus awan teduh memayungi kami.

Harga Tiket Masuk (HTM)-nya Rp 2 ribu per motor. Ada satu kejadian kurang mengenakkan saat hendak membeli tiket. Kami sedikit dibentak oleh penjual tiket karena salah ambil jalan masuk. Kebetulan jalan masuk kendaraan motor dan mobil, bersebelahan dan tidak ada penanda. Karena nggak tahu, kami asal masuk yang ternyata itu jalur mobil. 

Di situlah, kami dibentak, dimarahi karena salah lajur. Sontak, kami pun kaget, mlongo. "Yah, Mbak, kan kita ga tahu," bela kami sambil nyodorin duit Rp 4 ribu untuk dua motor.

IMO, tindakan petugas ini agak sedikit disesalkan. Pertama, nggak baik marah-marah mbak, nanti lekas tua lho. Kedua, 'objek' kemarahan itu adalah pengunjung, yang notabene masyarakat. Setahu saya, pekerjaan melayani masyarakat seperti mereka, dituntut tidak boleh marah-marah. Harus ramah. Boleh menegur, asal disampaikan dengan bijak, tidak dengan nada tinggi. Apalagi dia bekerja di bagian tiket objek wisata, yang erat kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) alias sumber duitnya pemerintah setempat. 

Mungkin, petugas nggak tau, kalau kami adalah tamu, pendatang karena kendaraan yang kami gunakan berpelat P. Mungkin juga, dia sedang kesal karena libur Natal, tanggal merah, disuruh masuk kerja. I know what you feel, Mbak. *eh*


Kesal setelah dimarahin petugas, keempat perempuan ini melampi-
askannya dengan foto-foto. Biar puas, nggak ada ganjelan. :D
Setelah mendapat tiket, kami bergegas mencari lahan parkir motor. Ada masalah lagi, kami kesusahan mencari. Mungkin karena ini pertama kali main tapi memang minim tanda dan tidak ada petugas yang mengarahkan. Bahkan kami harus muter dua kali sampai ketemu tempat parkir. Ada jalan kecil menuju lokasi parkir tapi meragukan karena tertutup sama pagar yang ada talinya. Akhirnya kami terobos aja deh.

Pantai Boom memiliki pasir hitam. Ya kan persis sama Teluk Penyu dan Widuri. Banyak warga yang berenang di pantai yang berhadapan dengan Selat Bali ini. Ombaknya tak terlalu tinggi namun akan lebih baik bila tetap mawas diri. 

Fasilitas lain yang tersedia di Pantai Boom adalah jogging track, mini-panggung, restoran, serta payung dengan kursi untuk menikmati pantai yang disewakan. Sesekali terdengar imbauan petugas agar orangtua menjaga dan mengawasi anak-anaknya yang berenang.


Pantai Boom yang berhadapan langsung dengan Selat Bali. 
Agak lama kami di sini. Setelah banyak foto sampai mati gaya, kami memutuskan untuk say goodbye pada Pantai Boom. Sebenarnya masih pengin di sini sedikit lebih lama tapi masih ada banyak lokasi yang harus kami singgahi dan itu destinasi utama. 

Terima kasih Pantai Boom... Kapan hari, kami ke sini lagi ya. Tentu pas pagi hari biar bisa lihat matahari pertama di ujung timur Pulau Jawa. Ya, di timur, Matahari selalu terbit lebih dulu. (Bersambung)




Galeri
Kelakuan kami sebelum keluar dari penginapan. Poto-poto lagi. Haha.

Mereka yang tidak tahu malu dan diri foto-foto di Taman Blambangan.

Sampai tong sampah aja harus difoto. Bwi punya 4 tong, Bms cuma 2.

Pasir ini erat kugenggam, tak bersisa sebutir di telapak tangan
Jika ia tak sanggup lagi menghakimi, mungkin hanya waktu yang mampu mengadili ia.
Pasir, kulelah mengukir, ku terusir tersingkir
Pasir, tak terukur, kau gugur teratur
Aku terkubur, tersungkur

Pasir-Tigapagi feat Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca)

Suasana Pantai Boom di pagi hari. Ramai. 

Tambahkan Matahari yang baru bangun. Sempurna. 

Kami di tenda yang disewain. Eh ini sebelum 'diminta' pergi
sama petugas. Hehehe. Foto: Reni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar