Jumat, 27 Mei 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (III)


Ranu Kumbolo pagi itu. Bening, kayak kamu. *eh*

NGEBUT. Satu kata yang pas untuk menggambarkan saya untuk tulisan kali ini. Selain gairah menulis tengah menggebu, banyak respons positif dari teman dan pembaca yang bertebaran di grup WA, BBM, serta Facebook jadi mantra untuk segera menyelesaikan kelanjutan dari perjalanan Tim Piknik Keong Hore.

Ditemani suaranya Mas Ariel Peterpan -bagaimana pun saya ngefans berat sama band ini- bolak-balik dari album pertama sampai enam plus membuka foto-foto waktu di Gunung Semeru -dan langsung bikin kangen-, selesai juga bagian ketiga dari rangkaian perjalanan kami. 

Terima kasih untuk respons kalian yess. Saya happy

Ini kelanjutannya dan ini semua untuk kalian, gaes. 



Sensasi Menikmati Pagi di Ranu Kumbolo


PAGI, belum sempurna benar hari itu, Jumat (6/5). Pukul 05.15 WIB. Namun telinga saya menangkap suara di luar tenda. Sayup-sayup dan berubah perlahan sesuai dengan tingkat kesadaran saya menjadi seru-seruan. Bila tak salah ingat ada suara Akhmad M, Supriyono, dan Jack Kidd.

Saat kesadaran yang dimiliki sudah benar-benar kembali, saya membuka pintu tenda, melangkah ke luar, dan menyapa mereka. "Pagi semua..." 

Nyatanya bukan hanya Akhmad M, Supriyono, dan Jack Kidd. Kawan lain seperti Anas Masruri (Layouter SatelitPost), Elvis Rijal, Ariyadi, Irkhas Kurniawan, Anggres Santo, dan Fahmi Fauzi pun sudah beraktivitas. 


Mas-mas yang sudah bangun langsung berkerumun, nung-
gu Mas Akhmad bikin minuman. Nasib ketua rangkap juru
masak rangkap porter ya Mas... :D
"Pagi Mbak... Semalem aman?" tanya Supriyono. 

Mendengar pertanyaan tersebut, saya pun menjelaskan kondisi tenda perempuan, di mana Mei Mustikawati malam harinya, sebelum beranjak tidur, muntah-muntah lantaran masuk angin.

"Ya udah sama Reni dibikinin teh anget, terus dikasih jaket dobel. Semoga sekarang udah mendingan, Mas," kata saya. 

Usai memberikan laporan, saya dan beberapa kawan lain menikmati keajaiban di hadapan. Pagi itu, Ranu Kumbolo berselimut kabut tebal. Saking tebalnya menutup sinar Matahari yang seharusnya terbit persis di depan kami. 

Ini adalah paginya kami. Tentang Ranu Kumbolo dan kabut. 
Tak apa. Sebab paginya kami tak melulu tentang Matahari terbit, puncak gunung, atau langit cerah. Namun juga tentang kabut, suhu dingin, bahkan soal hujan atau gerimis.

Kami tetap bersukacita. Tetap dengan riang mengabadikan lanskap seindah ini dengan ponsel. Sembari mengusap-usapkan tangan, mengusir hawa dingin agar tak terperangkap di tubuh. 

Tetap dengan bahagia berloncatan, jalan ke sana ke mari, mengelilingi tenda, berbagi kejahilan bersama kawan, dan mencoba menyentuh air Ranu Kumbolo di tepiannya. Brrrrr, dingin seperti es.

Air Tuhan di Ranu Kumbolo yang dinginnya... Brrr
Supriyono yang kebagian tugas untuk mengisi botol-botol minuman pun harus merasakan dinginnya air Tuhan yang diteteskan-Nya. Beranjak agak ke tengah, ia berseru, "Nggak dingin kok kalau di sini. Malah anget."

Mendengar seruan tersebut, beberapa kawan dan saya mulai berani mlipir dan menuju ke arah tengah. Dengan air Ranu Kumbolo, kami membasuh wajah. Segarnya tak terkira. Tak ada lagi bekas kantuk atau lelah berjalan sesiangan kemarin. Semua luruh bersama air Ranu Kumbolo, pagi itu. 

Matahari dari balik bukit. Perlahan, menjadi raja pagi itu. 

Namun keeksotisan Ranu Kumbolo berselimut kabut itu tak lama. Sebab perlahan, sinar Matahari mengalahkannya. Menembus dari balik bukit, memberi terang di kawasan seluas 15 hektare tersebut. Mengikis hawa dingin yang masih tersisa, menggantinya dengan sinar hangat.

Memanfaatkan Matahari yang kian benderang, kami menjemur apa saja yang basah, bekas disiram air hujan selama pendakian kemarin. Jaket, baju, sepatu, cover bag, topi, gaiter, dan lainnya kami jemur di atas tenda. Untuk sementara, tenda kami beralih fungsi menjadi lapak peralatan outdoor

Lapak outdoor Tim Piknik Keong Hore. Monggo dipilih...

Terlalu asyik menatap Ranu Kumbolo, saya tak sadar bila camp area telah berubah menjadi 'kompleks' tenda warna-warni para pendaki. Ada ratusan tenda ada di camp area tersebut. Itu baru di sisi kiri, masih ada di sisi kanan dan di pinggir Ranu Kumbolo. Bisa jadi malah ribuan tenda.

Puas menikmati segala macam keindahan pagi itu, kami lekas membantu Akhmad M menyiapkan sarapan. Nasi goreng yang pertama kali tersaji sebagai pengganjal perut sembari menunggu sup dan nasi yang baru saja ditanak. 

Sarapan sup dengan air Ranu Kumbolo dan sayuran
Ranu Pani. Sedeppppppp. Foto: Mas Supri

Lepas dari aktivitas tersebut, sarapan pun jadi agenda selanjutnya. Nasi dihidangkan bersanding dengan sepanci sup berisi kentang, kobis, wortel, dan bunga kol, serta kering tempe, kentang, dan teri. Bagi kami, saat itu, tak ada yang lebih mewah dan enak dari menu sarapan pagi itu. Cepat saja, kami menyantapnya dan menandaskannya hingga menyisakan panci kosong.

"Setelah ini, kita packing. Jam 10 berangkat ya, biar sampai camp area berikutnya nggak terlalu sore," kata Akhmad M. 

"Emang masih berapa jam lagi, Mas?"

"Empat sampai lima jam."

Saya pun membatin, empat hingga lima jam sama saja dengan pendakian sore kemarin. Artinya jarak yang kami tempuh, kurang lebih sama. 

"Tenang, banyak bonus kok," seru anggota lain seakan mengerti apa yang menjadi kegelisahan saya. 

After packing dan bongkar tenda. Nampak saya menikmati 
semangka sisa yang dibeli di Pos 2. Enak kok. Foto: Mas Supri

Bergegas, kami pun berkemas. Mengemasi peralatan makan dan perlengkapan pribadi. Lantas bersama-sama membongkar tenda, mengumpulkan sampah, memastikan tak ada yang tertinggal, dan kembali mengisi botol air minuman dengan air Ranu Kumbolo. 

Satu lagi kemewahan saat pendakian ke Gunung Semeru, kami tak perlu khawatir tentang persediaan air sebab mata air di sini melimpah ruah. Kami hanya membutuhkan air sebagai bekal perjalanan. Selebihnya untuk masak dan lainnya, Semeru telah berbaik hati menyediakan. 

Foto keluarga. Tanjakan Cinta, Tim Piknik Keong Hore datang...
Foto: Minta tolong mas-mas tenda sebelah untuk fotoin. 
Seettt bleettt. Ransel telah dikencangkan, beban kembali berpindah ke punggung, kaki siap berjalan lebih jauh dan lama lagi, mental dan semangat harus terus digeber. 

Kami berkerumun, membentuk satu lingkaran besar, berucap syukur atas semua karya dan kebaikan Tuhan pagi itu, juga doa yang berpilin, bersatu menuju langit agar Tuhan kembali memudahkan dan melancarkan perjalanan kami. Amin. 

Tanjakan Cinta, kami datang... (bersambung)



GALERI:

Masih tentang kabut, dingin, dan Ranu Kumbolo. 

Mba Mei yang abis muntah semalam dan Mas Fahmi.
Foto: Mas Anas

Mas Supri, bapak dua anak yang punya ide ke sini.
Foto: Nah lho, ini yang motret siapa? Dedek Elvis lagi?

Persiapan sarapan. Foto: Nggak mungkin saya kan? Trus? 

Terima kasih kami pada Pak Nur Faizin, temannya Mas Supri
yang sayang banget nggak jadi ikut tapi tetap nganterin kami
ke Stasiun Tugu, Yogyakarta. Makasih atas Teh Kotak, burger,
dan sangunya Pak Nur... Panjang umur dan sehat selalu.
Foto: Reni atau siapa ya?

Reni dan foto andalannya, jam tangan. Foto: Reni

Masak-masak, kupas kobis, kentang, wortel. 

Camp Area yang berubah jadi kompleks tenda. Foto: Reni

Kaus SatelitPost pun harus eksis di Ranu Kumbolo.
Foto: Reni


Lanskap lain di Ranu Kumbolo. Ademmm benerrrr...
Foto Reni

Jadi hidup telah memilih, menurunkan aku ke Bumi.
Foto: Reni 
Meniti. Satu dari view keren di Ranu Kumbolo.
Foto: Mas Jaka
Perkampungan para pendaki di Camp Area Ranu Kumbolo
sisi kiri. Masih ada sisi kanan dan tepi-tepinya.
Foto: Reni
Verbena brasiliensis di Ranu Kumbolo. 
Ikat yang kuat Mas Irkhas... Sepatunya.
Foto: Hayoloh, ini siapa yang foto... 
Bareng Mas Supri. Apalah saya yg cuma sepundaknya. T.T
Foto: Siapa ya? Reni bukan? 
Semangka sisa beli di Pos 2 dan Dedek Elvis.


The Senior. Dari kiri-kanan: Mas Fahmi, Mas Anggres/Momo,
Mas Akhmad, dan Mas Supri. Senior secara umur dan pengalaman.
Melompat lebih tinggi bersama dua pemuda harapan desa,
Mas Jaka dan Brian. Cerita tentang keduanya ada di tulisan
mendatang ya. Foto: Mas Anas

Ranu Kumbolo dari jauh. Terima kasih untuk paginya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar