Kamis, 12 Mei 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (I)

Papan selamat datang memasuki kawasan Desa Ranu Pani.


SEDIKIT cerita tentang tulisan ini. Rencananya, tulisan ini dan beberapa tulisan yang akan datang untuk dimuat di media tempat saya bekerja sebagai tulisan feature. Sesuai dengan keputusan rapat redaksi.

Namun apa daya, naskah belum juga diberikan, tapi pak bos sudah menolak mentah-mentah. Bosan, kata beliau. Setiap saya nulis, pasti soal pendakian. Ya gimana lagi, wong lagi hobinya ya, pak bos. 

Akhirnya, beliau mengusulkan untuk ditaruh saja di halaman yang saya kelola. Saya pun sepakat. Meski di sisi lain, saya syedihnya minta ampun. Ya syedih naskah nggak kemuat, ya syedih karena ditolak. Mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang yang rajin mengirimkan tulisannya pada saya dan ditolak karena nggak layak muat. 

Nah, daripada mubah, udah ngetik panjang lebar, akhirnya saya taruhlah tulisan ini di blog. Sembari menunggu mood balik buat kembali menampilkan naskah ini di koran. 

Oke, ini tulisan pertama. Artinya masih ada dua hingga tiga tulisan lagi terkait pendakian ke Gunung Semeru. Maklumi untuk diksi yang rapi betul ya. Salam. 



Empat Jam Tertahan di Ranu Pani

SEMERU, menyimpan banyak keindahan. Jalur pendakiannya, surga di atas ketinggian, padang savana, hutan cemara, kompleks edelweis, juga tanah tertingginya yang disebut sebagai puncak abadi para dewa. Inilah kisah pendakian SatelitPost menuju atap Jawa, akhir pekan kemarin.

Kamis (5/5) pagi itu. Jarum jam belum benar-benar menunjuk angka delapan. Namun suasana di kantor perizinan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sudah ramai.

Ratusan orang berkerumun. Sebagian berdiri, namun lebih banyak yang duduk, berbaring ala kadarnya, dengan tas-tas besar atau carrier di samping. Baik di pelataran kantor, tepi jalan, hingga depan warung. Ada yang bercengkerama, ada pula yang tertidur lelap, tak acuh dengan lalu lalang orang di sekitar.

Kami, ada di antara ratusan orang itu. Saya, bersama 11 kawan yaitu Anas Masruri (Layouter SatelitPost), Supriyono, Reni Suryati, Mei Mustikawati, Elvis Rijal, Irkhas Kurniawan, Fahmi Fauzi,  Akhmad M, Ariyadi, Anggres Santo, dan Jack Kidd tengah mengantre demi mendapatkan selembar tiket menuju kawasan Gunung Semeru.

Untuk sampai ke Desa Ranu Pani, yang menjadi pintu gerbang pendakian gunung berketinggian 3.676 mdpl tersebut, kami harus menempuh perjalanan sekitar 13 jam. Rinciannya, lima jam menggunakan bus dari Purwokerto-Yogyakarta. Lantas berganti moda transportasi kereta di Stasiun Tugu untuk perjalanan selama enam jam menuju Stasiun Malang. 

Jeep yang akan mengantarkan kami ke Ranu Pani. Foto: Supri

Sampai di Stasiun Malang, angkotan warna biru khas Kota Malang sudah menunggu untuk selanjutnya menuju Pasar Tumpang, Kabupaten Malang, satu titik drop para pendaki. Selama satu jam, angkotan tersebut membawa kami. Dari Pasar Tumpang, perjalanan dilanjutkan dengan jeep menuju Desa Ranu Pani selama satu jam. 

Sesampai di Desa Ranu Pani, dua orang rekan kami, Anggres Santo dan Jack Kidd sudah menanti dan membawa selembar Surat Pendaftaran berisi daftar perlengkapan serta perjanjian bahwa kegiatan pendakian hanya sampai di Kalimati.

Meski sudah memegang surat tersebut dan mengisinya, nyatanya belum bisa memuluskan rencana kami untuk segera melakukan pendakian. Pihak TNBTS keukeuh melakukan briefing terkait prosedur pendakian pada semua pendaki. Dengan cukup terpaksa, kami pun turut mengantre di pelataran kantor, bersama ratusan pendaki lainnya. 

Antrean para pendaki yang hendak melakukan briefing. Ini baru separuhnya.

Suasana tegang sempat tak terelakkan di kantor. Pihak TNBTS tetap menggelar briefing bagi semua pendaki yang terbagi per kelompok. Sementara di luar, para pendaki lainnya terus berdatangan. Hal ini dikhawatirkan tak akan selesai dalam satu hari sehingga membuat mereka tertahan lebih lama di Ranu Pani. Sorak-sorakan, beberapa kali terdengar. Riuh. 

Hal ini pula yang dikhawatirkan Akhmad M, laki-laki asal Yogya yang didaulat menjadi leader kelompok kami. Bahkan ia sudah menyusun rencana terburuk, akab menghabiskan malam di Ranu Pani. Untuk kemudian, esok paginya kembali mengantre untuk briefing.

Membludaknya pendaki akhirnya membuat pihak TNBTS mengambil jalan tengah. Ketua dan perwakilan anggota bisa mengikuti briefing. Itu pun hanya mereka yang sudah melengkapi surat pendaftaran dengan surat keterangan sehat dan fotokopi KTP. Surat keterangan sehat jadi syarat wajib, sekaligus utama dan pertama. Tanpa surat tersebut, jangan harap diperbolehkan masuk.

Agak lama kami menunggu Anggres Santo, Jack Kidd, dan Supriyono yang tengah mengikuti briefing tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, jalur mana yang harus diikuti, dan lainnya. Hingga muncullah Supriyono dengan wajah sumringah. 

Lokasi kami menunggu Mas Supri. Itu masih tetap bisa senyum ya.
Foto: Supri

"Tunggu di situ ya. Briefing-nya udah selesai, tinggal nunggu cap surat pendaftaran," kata dia sambil menunjuk lokasi kami. 

Usai briefing dan mendapat stempel, ternyata belum jua membuat kami melangkah. Kami masih harus menunggu. Tiket masuk belum ada di tangan. 

Sementara itu, perut sudah teriak minta diisi, kami pun mlipir ke warung-warung di sekitar basecamp. Suasananya pun jauh lebih ramai. Semakin banyak pendaki yang berdatangan. 

"Makan dulu aja yok. Kita bagi tugas biar nggak terlalu habis waktu. Reni sama Mbak Mei beli makan di sini buat sarapan, aku sama Mbak Juli ke warung lain, beli nasi untuk makan siang nanti," usul Supriyono yang tentu saja kami setujui.

Mas Supri lagi antre. Sempet disuruh fotoin. Foto: Reni

Sekitar pukul 10.00 WIB, kami kembali ke lokasi yang jadi tempat menunggu. Namun tak ada tanda-tanda Anggres Santo dan Jack Kidd datang, membawa tiket. Sementara teman lainnya, sudah bersiap, berkemas ulang, serta mengenakan peralatan terbaik untuk pendakian. Pun dengan saya yang bergegas. 

Pukul 11.00 WIB. Belum ada tanda-tanda kami sudah mengenggam tiket. Sementara, para pendaki lainnya sudah mulai melangkah. Dan, satu per satu dari kami, memilih untuk merebahkan badan, menutup mata, dan tidur. Rasa kantuk, lelah akibat terlalu lama menunggu kompak 'menyerang' kami semua. 

Mas Anas, kecapekan nunggu, tidur dulu deh. 

Baru sejenak menutup mata, Jack Kidd mendatangi kami. "Tesih dangu, Mas. Kathah sanget. rombongannya kita dereng dipanggil (Masih lama, Mas. Banyak banget. Rombongannya kita belum dipanggil, red)," katanya memberi laporan. 

Semangat yang sudah menggebu sejak kali pertama menginjakkan kaki di Ranu Pani sedikit menguap. Rencana untuk mendaki lebih gasik dan pagi, gagal gegara sistim pendaftaran yang terlalu lama. 

Namun tak ingin ganjalan ini memengaruhi mood serta berimbas pada kondisi fisik dan semangat, kami gunakan waktu menunggu tersebut untuk kembali melanjutkan istirahat. Lumayan. Untuk meluruskan kaki setelah semalaman di kereta. 

Sekitar pukul 12.30 WIB, Anggres Santo muncul dari kejauhan. Wajahnya senang. Di tangannya nampak tergenggam tiket.

"Wis, ayo gek mangkat, bos. Tikete wis oleh (Sudah, ayo berangkat, bos. Tiketnya sudah dapat, red)," ujar laki-laki yang karib disapa Momo itu setiba di hadapan kami. 

Kami pun bersorak. Akhirnya. Empat jam 'perjuangan' kami menunggu tiket masuk yang dihargai Rp 17.500 per hari selama hari biasa itu terbayar sudah. 

Semuanya bergegas, bergerak. Masing-masing menggendong carrier, memulai petualangan, menuju tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mahameru, kami datang. 

Sssstttt, dengerin, dengerin, simbah eh Mas Akhmad (tengah pake orange)
mau kasih ular-ular sebelum pendakian. *uhuk
"Pokoknya, apapun yang terjadi, semua anggota harus jujur. Kalau capek, bilang capek. Kalau laper, bilang laper. Kalau mau break, bilang istirahat. Jangan gengsi. Oke, sebelum mulai mendaki, silakan berdoa." (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar