Rabu, 25 Mei 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (II)

Surganya Gunung Semeru. Selamat datang di Ranu Kumbolo

Dua minggu. Adalah waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan tulisan ini. Lama? Biangetttt. Biasanya untuk satu tulisan seperti ini, satu hari juga sudah selesai.

Tapi apa daya. Harus PP Purwokerto-Solo untuk sebuah agenda terselubung *uhuk* ditambah tugas dari kantor yang makin banyak gegara ditinggal teman editor cuti, juga sempat terkapar dua hari memaksa saya menunda untuk menyelesaikan tulisan ini. 

Dan akhirnya, setelah melalui aral di atas, jadilah tulisan bagian ke dua dari pendakian ke Gunung Semeru bersama Tim Piknik Keong Hore. Makasih untuk yang sudah nungguin dan terus tanya, kapan lanjutannya kelar. 

Ini buat kalian, gaes...


Berjalan, Mendaki Lima Jam Demi Surganya Semeru


Mendaki melintas bukit// Berjalan letih menahan menahan berat beban// Bertahan di dalam dingin// Berselimut kabut Ranu Kumbolo

Menatap jalan setapak// Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir// Mereguk nikmat cokelat susu// Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

BAITdemi bait lagu Mahameru dari Dewa 19 terdengar dari earphone yang tersumpal pada dua telinga. Menjadi teman kala menuju gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Kita mah paling nggak tahan buat nggak poto2 ya, gengs.
Foto: Mas Akhmad M

Jalur bebatuan yang ditata rapi mirip makadam atau yang disebut Ledengan adalah jalan yang harus kami tapaki dari gerbang Selamat Datang Para Pendaki sebelum berakhir di Pos 1. Jalurnya cenderung landai, sempit, dan panjang, sesekali bertemu dengan batang pohon tumbang. Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk menyelesaikan jalur ini.

Selain tubuh harus mulai beradaptasi dengan ketinggian, gerimis berubah menjadi hujan deras mengguyur. Memaksa kami berhenti sejenak, berteduh mengenakan jas hujan. 

Rombongan pendaki, di bawah jas hujan. Foto: Mas Supri
Di sisi lain, perut saya pun memberi kode, minta diisi. Mengingat apa pesan Akhmad M sebelum berangkat, semua anggota harus berkata jujur, maka saya bilang, "Mas, laper..."

"Depan, tempat yang agak luas berhenti, kita makan ya," katanya memberi komando.

Seakan mendapat tambahan energi untuk berjalan, kami lantas menghabiskan jalur pendakian menuju Pos 2 yang tinggal beberapa langkah. Kabar baiknya, hujan mulai mereda saat kami sampai di Pos 2. 

Bangunan di Pos 2 sesak dengan para pendaki. Kami pun terpaksa mlipir, mencari tempat agak lapang untuk meluruskan kaki. Tak lama, Supriyono datang membawa semangka yang dihargai Rp 2 ribu per potong. 

Semua mata kami berbinar. Seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah, itulah perasaan kami begitu menerima potongan semangka dari pria asal Banyumas itu. 

"Ahhh, ini enak bangettt..." seru saya sambil menggigit potongan semangka merah itu dan mengunyahnya. Manis. 

"Iya, bener banget, Mbak," jawab beberapa teman lainnya. 

Naik gunung itu nggak cuma butuh fisik, semangat yang kuat.
Namun juga mood. Lihat aja Mbak2 ini, tetap aja happy. :)
Foto: Mas Supri
Bagi kami, utamanya saya, menikmati buah di gunung adalah satu keistimewaan tersendiri. Ini cukup untuk mengobati rasa lelah serta perjalanan yang seakan tiada henti. Sebab sejauh mata memandang, hanya melihat jalur yang terus naik, turun. Belum ada tanda atau komando untuk membuka tenda.

"Masih lama, Ri?" tanya saya pada seorang kawan, Ariyadi yang sebelumnya sudah pernah ke Semeru. 

"Masih... Ya dua-tiga jam lagi lah. Itu nanti naik ke sana, muterin bukit. Jalan aja, nggak usah dipikir jauhnya. Nanti juga sampe," jawabnya sambil menunjuk pada sederatan carrier para pendaki yang terlihat dari kejauhan. 

Mas Supri di Watu Rejeng. Denger-denger kawasan ini agak wingit.
Foto: Nggak tahu siapa yang ngambil foto ini.

Kembali melangkahkan kaki dan sampailah di tempat yang disebut Watu Rejeng. Dari papan petunjuk, kami 'baru' berada di ketinggian 2350 mdpl. Dasar kami yang paling tak tahan bertemu dengan tanah agak lapang, lekas menurunkan beban dan meluruskan kaki. Lumayan...

"Yuk jalan lagi, biar nggak kesorean," ajak Supri yang tentu kami setujui.
Kami kembali mengitari punggungan bukit, bertemu dengan turunan, tanjakan, jembatan merah, turunan, tanjakan lagi. Kaki harus lebih berhati-hati sebab jalur ini banyak bersisian dengan jurang rawan longsor. 

Lama berjalan sembari menahan beban, tak terasa kaki sudah berada di Pos 3. Ramainya pos memaksa kami berjalan lagi. Dan...

"Iya, tanjakan. Sekali aja tanjakannya Mbak, depan udah landai kok," kata Jack Kidd demi melihat wajah kami yang terkaget-kaget. 

Ayo Mbak Mei, semangat. Tanjakan di Pos 3.
Foto: Mas Supri
Memang dari basecamp hingga Pos 3, kami sudah bertemu dengan berbagai tanjakan. Namun tanjakan yang sudah kami lalui, tak terlalu curam seperti yang ada di Pos 3. Dengan hati-hati, kami mulai mendaki, menahan carrier yang semakin berat di punggung. Bahkan saya harus terus membungkuk demi menyelesaikan tanjakan ini. Pelan-pelan menapakkan kaki sebab jalur tersebut licin, bekas gerimis.

"Break," seru saya dengan napas yang terengah-engah. Fiuh, akhirnya saya berhasil melalui tanjakan tersebut. Lega. 

Lantaran mendengar kata break dan menunggu anggota kelompok yang masih menyelesaikan tanjakan, beberapa teman turut berhenti. Menyegarkan tenggorokan dan mengisi perut dengan camilan. 

Bonus jalan datar menjadi hadiah kami berikutnya. Langkah pun semakin terasa ringan, walau di beberapa titik, kami kembali berhenti, meski tak sering. Sore yang datang ditingkahi suara-suara binatang malam yang bersahut-sahutan memaksa kami untuk lebih cepat mengayunkan langkah.

Seru-seruan di depan menjadi tanda kami hampir sampai di camp area. Benar saja, dari kejauhan dan ketinggian tertentu, nampak sesuatu berkilauan. "Ren, Ren, lihat, Ren... Itu..." kata saya sambil menunjuk apa yang di depan meski terlihat separuh, tertutup rerimbunan. 

"Wah, iya Mbak... Ayo, ayo, cepetan Mbak, biar nggak kesorean," ujarnya sambil mempercepat ayunan kaki.

Itu. Sesuatu di balik rerimbunan.
Demi 'sesuatu' itu, kami bergegas. Begitu sampai di Pos 4, bertemu dengan jalan yang mulai menurun dan membawa kami ke sebuah surga. Itulah Ranu Kumbolo, sebuah danau nan luas yang berada di ketinggian 2400 mdpl. Itulah surga di Gunung Semeru. Itulah surganya para pendaki. 

Saya bilang apa: ini surga! Buktikan saja sendiri.

Sore itu, Ranu Kumbolo tenang, bersemayam. Bagaikan sebuah mangkok raksasa yang lantas oleh sang Maha Pemurah diteteskanlah air. Terciptalah satu keajaiban di balik lebatnya hutan dan tingginya bukit. 

Mas Supri dan Ranu Kumbolo.
Foto Reni: 
Rasa lelah bekas mendaki sekira lima jam menguap, dari pukul 12.30-17.30 WIB. Tak bersisa. Tergantikan dengan rasa bahagia, bangga, dan antusiasme yang luar biasa. Seperti anak kecil yang bertemu mainan baru, kami berloncatan, bergembira, dan tak lupa berucap syukur pada Tuhan di sujud sore itu. 

Syukur di sujud sore itu. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan.
Foto: Reni
Puas berfoto, mengabadikan keindahan ini, kami kembali turun. Kabar gembiranya, camp area yang akan jadi tempat bermalam kami ada di beranda Ranu Kumbolo. Ya, kami akan mendirikan 'rumah' di tepi surga itu. Bahagianya. 

Sebagian Tim Piknik Keong Hore. Tak ada lagi rasa lelah.
Foto: Mas Supri
Malam pun datang. Suasana tepi Ranu Kumbolo kian ramai. Para pendaki mulai berdatangan dan bergegas mendirikan tenda. Sementara kami, sudah duduk manis di tenda masing-masing, sembari menikmati secangkir kopi, bandrek, atau susu dan menyantap nasi berlauk kering tempe, teri, dan kentang. Ambooooiii, nikmatnya.

Malam itu, tak ada yang lebih membahagiakan bagi saya selain bisa bersama dengan para sahabat, bercengkerama dengan mereka, menikmati santap malam, melihat Ranu Kumbolo, serta langit yang bertahtakan bintang. Sungguh, ada damai di sanubari. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar