Senin, 06 Juni 2016

Dibuang Sayang 2

Foto keluarga dengan latar kawasan Bromo. Paling kanan itu Mas Akhmad


Dikerjain
Hawa dingin diembuskan mesin pendingin di kereta. Membuat seorang wanita berkewarganegaraan asing yang duduk di depan saya, menggigil. Nggak enak badan, kata dia. Wanita tersebut tak sendiri. Ada temannya, perempuan, duduk di depan Mas Supri.

Mbak Mei pun lantas menyodorkan minyak kayu putih. Sempat kebingungan, kami mencoba menjelaskan kegunaan minyak tersebut dengan bahasa Inggris super terbata-bata. Sementara Reni turut meminjamkan jaketnya dan berbisik pada saya, "Mbak, aku pengin ngeroki bulene." 

Selesai dengan urusan mbak-mbak bule, saya diam-diam mengirimkan pesan. "Jadi di gerbong berapa, Mas?" 

Tak lama, sebuah balasan masuk. "Gerbong apaan to Mbak? Wong aku nggak jadi ikut. Kalau nggak percaya, disisir aja gerbongnya, kan cuma berapa tok." 

Dengan masih tidak percaya, saya lantas bercerita tentang segala drama yang terjadi pada kami, hari itu. Balasnya, "Tadi kalau telat, mau tak ajakin ke Merbabu aja, Mbak." Bla bla bla dst dst. 

Mas Supri dan gawainya. Ini waktu berhenti di Stasiun Balapan, waktu Mbak Bule ke posko kesehatan

Lepas berbagi pesan, saya memilih tidur, meski saban satu jam sekali terbangun. 
Pukul 04.00 WIB. KA Malioboro Ekspres yang membawa ratusan penumpang, memasuki St Malang Kota. Berjalan pelan sebelum akhirnya berhenti. Kami pun bersiap, bergantian turun dengan lainnya. 

Sampai di pelataran stasiun, Mas Supri mulai mengontak angkotan yang akan membawa kami ke Pasar Tumpang, Malang. Sementara Ariyadi dan Irkhas K yang ada di gerbong lain, mulai merapat. Subuh itu, suasana St Malang ramai. 

Keramaian itu semakin pecah saat seorang laki-laki mendekat pada rombongan kami dan menepuk Mas Supri. Keduanya pun berpelukan (nggak pake cipika-cipiki yess), berseru, kencang, dan Mas Supri pun langsung misuh

"Asem, dikerjani karo Mas Akhmad. Aku wis feeling. Tapi bar Mas Akhmad ngomong ora sida melu, yo wis, pasrah waelah," celoteh Mas Supri yang disambut tertawa cekikian ala Mas Akhmad. 

Lantas, siapa Mas Akhmad? 

Kie lakone... Ketua merangkap juru masak. :D
Iya, dia adalah laki-laki yang saya kirimi pesan itu. Jadi begini cerita, saat ribut-ribut urusan bayar Simaksi alias Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi, saya menghubungi beliau untuk minta nomor rekening. Lantas berlanjutlah pertanyaan, "Mas Akhmad ikut kan? Maksudnya biar aku bayar buat 12 orang." 

"Iya, aku ikut Mbak tapi jangan bilang Mas Supri, aku lagi ngerjain dia." 

Nah dari situlah, rencana mula untuk ngerjain Mas Supri. Di grup chat BBM sih, beliau udah bilang nggak ikut, katanya nanti ada teman yang nganter. Tapi di belakang, ya gitu lah ya. 

Demi menghindari keterlibatan Mas Akhmad, maka segala pesan-pesan untuk anggota ditujukan terlebih dulu ke saya, sebelum disebar di grup. Misal apa saja yang harus dibawa dan soal konsumsi. Ribet amat sih, Mas? "Iya, biar nggak ketahuan kalau aku ikut," katanya. 

Puncaknya, beberapa hari sebelum hari H, beliau kasih tahu, kalau Pak Nur Faizin, teman Mas Supri batal gabung. At least, karena dia sepaket dengan Pak Nur, juga ikut batal. Lah, ngerjain juga? 

"Ya nggak lah Mbak, masak siapa-siapa tak kerjain. Ini beneran, Pak Nur nggak ikut." 

Sudah, sejak saat itu sampai hari H, saya setengah percaya beliau mundur dan setengahnya lagi, enggak. Oleh karena itu, saya kirim pesan SMS itu tanya di gerbong berapa. Njuk disuruh nyisir gerbong? Ngerti orangnya aja enggak.

Dari rencana cuma ngerjain Mas Supri, saya juga ikut kena tulahnya. Kapusan! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar