Senin, 06 Juni 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (V)

Tim Piknik Keong Hore sampai di Mahameru, 3.676 mdpl. 

MAAF. Maaf sudah lama menunggu kelanjutannya. Maaf karena belakangan ini saya kembali sibuk sama urusan kerjaan dan lainnya. Ini kelanjutannya ya. Bagian terakhir sih, tapi masih ada satu lagi nanti. 


Setelah Pendakian Delapan Jam dan Tangisan Itu...


JUMAT (6/5). Malam dingin. Gerakan tubuh tak tenang. Sementara gemerisik angin di luar. Seakan baru saja memejamkan mata, alarm berdering. Memecah malam. 

"Ayo bangun, bangun. Mbak Jul, Mba Ren, Mba Mei, bangun..." suara Supriyono membangunkan kami. 

Dengan nada berat, baru bangun tidur dan menahan kantuk, saya menyahut dari dalam. Setelah itu, dalam hitungan menit, suasana tenda kami lebih riuh. Saling bersahutan, berseru, mengabsen satu per satu. 

"Oksigen?"

"Aman, Mas."

"Air?"

"Aman."

"Webbing?"

"Udah, Mas."

"P3K?"

"Siap."

"Camilan, madu, senter, perlengkapan pribadi, jaket, sarung tangan?"

"Beres, udah lengkap semua, Mas." 

"Oke. Semua sudah siap dan lengkap. Jadi, jalur ke puncak beda banget sama jalur yang sudah kita lewati kemarin. Lebih sering ketemu tanjakan, minim jalan datar, udara semakin dingin, dan trek pasir. Semuanya saling menjaga, jangan sampai terpisah dari rombongan. Sebelum memulai perjalanan, silakan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dipersilakan," ujar Akhmad M.

Selain berucap syukur, doa-doa meminta keselamatan, perlindungan, dan penjagaan pada Tuhan, kami sampaikan malam itu. Berpilin menjadi satu dan menuju langit. Tuhan, jaga kami, anak-anak kesayangan-Mu.

Trek. Lampu senter dinyalakan. Satu per satu, mulai mengayun langkah. "Inget urutannya ya, paling depan Mas Momo, Mbak Mei, Mbak Juli, Mbak Reni, Mas Supri, setelah itu cowok-cowok, baru saya yang paling belakang. Diinget-inget siapa saja yang ada di depan dan belakang kalian," seru Akhmad dari belakang. 


Menuju Puncak. 
Jarum jam hendak menuju angka 12. Malam itu, jalur pendakian dari Kalimati menuju puncak Gunung Semeru, penuh dengan kelap-kelip lampu senter. Ramai. Yang bila dilihat dari kejauhan nampak seperti bintang berjalan. Sembari berjalan, sembari mengusap-usapkan tangan, sembari bergurau, sembari saling menyemangati. 

Stuck. Baru jalan berapa langkah, jalur pendakian menembus hutan lereng Semeru macet. Bukan hanya jalan raya yang macet, jalur pendakian pun penuh sesak oleh para pendaki, dengan tujuan yang sama: puncak. 

Bagi sebagian orang, ini cukup menyebalkan sebab harus antre, menunggu, sebelum kembali jalan satu per satu. Namun bagi kami, kondisi ini cukup menguntungkan. Sebab dapat dimanfaatkan untuk beristirahat, meluruskan kaki. 

"Antrenya udah kayak antre sembako ya," seru beberapa teman di belakang. 

"Mumpung macet, jadi lebih baik gunakan buat istirahat, makan camilan," ujar Akhmad M, sekali lagi. 

Tak lama 'kemacetan' terurai dan kami kembali berjalan, sesuai dengan formasi. Mendaki sekian langkah, terdengar teriakan break. Suara itu berasal dari Mei M yang berada persis di depan saya. 

Kembali beristirahat. Namun tak lama, kembali beranjak. Langkah Mei pun perlahan mulai stabil dan jarang meminta istirahat. Sementara itu, kami mulai berpapasan dengan para pendaki yang memilih untuk turun. 

Bruk. Mei pun terduduk. Sontak, kami pun langsung mengerumuni dan menanyakan keadaannya. 

"Kenapa Mbak Mei?"

"Ini masih jauh ya? Aku kuat nggak sampai atas?" tanyanya sembari menahan tangis.

"Lha Mbak Mei yakin sampai ke atas nggak?"

"Iya, yakin..."

"Ya udah kalau yakin, yakin aja. Jalan pelan-pelan, kita tungguin." 

Mendengar itu, perempuan asal Brebes tersebut malah menitikkan air mata, menangis. Ia tergugu di tengah deru angin dan udara yang mulai menggigil. 

"Mbak... Mbak Mei yakin sampai puncak bareng kita kan? Buang jauh pikiran bakal ngrepotin yang di sini," kata Irkhas Kurniawan sembari menenangkan Mei. 

"Iya Mbak, santai aja. Kita di sini kan saudara, saling menjaga, nggak ada yang direpotin kok," timpal lainnya. 

Terdiam sebentar. Mei pun lantas mengusap sisa tetes air. Masih dengan sedikit sesenggukan, ia mengangguk pelan. 

"Okelah, semangat! Bisa sampai puncak," kata Mei sesudah itu. 


Mbak Mei, semangat Mbak Mei... Foto: Supri
Kami pun bernapas lega. Semangat Mei telah kembali. Kami pun bersiap, bergegas menjejakkan kaki menuju tanah tertinggi di Pulau Jawa. Teriakan semangat menggema.

"Nah gitu Mbak Mei. Yang penting itu semangat dan mental Mbak, fisik mengikuti," seru Irkhas yang turut menyemangati. 

Angin malam kian menderu. Saya harus menambah jaket untuk menjaga hangat tubuh. Sementara kaki kian berat melangkah sebab kami sudah sampai di trek berpasir dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.  Sementara tali webbing sudah kami pergunakan untuk menuntun satu per satu anggota. 

Entah berapa kali kami berhenti di trek pasir itu. Benar apa kata orang, trek pasir menuju Mahameru memang luar biasa. Luar biasa indah, luar biasa susah. Bahkan tergolong trek paling sulit dari sekian banyak gunung di Tanah Air. Benar-benar menguras tenaga. 

Meski demikian, kaki saya pun mulai terbiasa dengan trek pasir tersebut. Agar tenaga yang dikeluarkan tak sia-sia, saya menggunakan trik dengan ujung sepatu yang ditancapkan ke pasir, baru kemudian mengangkat tubuh. Kebanyakan orang menggunakan tumit sebagai tumpuan. Alih-alih dapat melangkah ringan, malah kerap terperosok. Yang terjadi kemudian, naik tiga langkah, turun dua langkah.


Gunakan ujung sepatu untuk mendaki. Foto diambil waktu di puncak. 

Dengan trik tersebut, tenaga masih bisa terjaga, tidak terlalu ngos-ngosan. Langkah kaki pun sedikit lebih ringan. 

Satu lagi yang harus diperhatikan adalah pijakan. Meski didominasi pasir, jalur ke puncak tetaplah menyisakan bebatuan, kerikil, hasil muntahan dari kawah Mahameru. Pastikan batu yang dipijak kuat, menanggung beban kita. Bila tidak, ia bisa saja jatuh, meluncur. Cara memberitahu bila ada batu menggelinding adalah berteriak, "Awas, batu/rock." Dengan begitu, para pendaki bisa memperhatikan arah jatuhnya batu dan menghindarinya. 

Hingga tak terasa, sudah masuk waktu Subuh, 04.30 WIB. Total kami berjalan sudah lima jam dan belum jua sampai di puncak.

Sembari melepas lelah, beberapa anggota melaksanakan salat Subuh. Rasa syukur kembali terucap dalam sujud pagi itu. Rampung salat, saya mendongak ke atas, ke arah puncak berada. 


Leren, sekali lagi. Depan: Elvis, Reni, Mbak Mei. Belakang: Mas Anas, Juli, Mas Momo.
Foto: Mas Supri

"Mas, yang merah-merah itu puncaknya ya?" tanya saya pada Supriyono merujuk pada pendaki dengan jaket atau carrier warna merah, nun jauh di atas sana. 

"Iya Mbak. Udah deket kan?"

Saya hanya mengangguk dan berhitung. Artinya sebentar lagi kami akan sampai Mahameru. Rasa optimistis terpancar, dengan langkah seperti ini dan jarak sedekat itu, satu jam lagi, kami sampai. Sementara sinar Matahari, diam-diam muncul dari ufuk timur. 


Capek? Buanget. Tapi tetep senyum kalau ada kamera. Foto: Mas Supri.

Mendaki lagi dan sejam kemudian. Kami hanya sepersekian langkah dari lokasi bersujud. Artinya jejak yang kami tinggalkan di bawah, belum ada apa-apanya. Puncak masih terlalu jauh. 

Jalan lagi dan kini Matahari sudah benderang, memberi terang pada semesta. Mendongak sekali lagi dan puncak masih terasa amat jauh. Nyaris putus harapan. Apalagi beberapa kawan seperti Elvis Rijal, Irkhas Kurniawan, Fahmi Fauzi, Momo, dan Anas Masruri sudah jauh di depan. Namun bila mengingat harus merangkak demi menyelesaikan jalur ini, pikiran untuk berhenti, hilang sudah. 


Ramai, iya. Treknya luar biasa, iya banget. Foto: Mas Fahmi.

Dengan sepenuh hati, saya membujuk kaki untuk mendaki. Sedikit lagi. Sembari menikmati kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS) dari ketinggian tertentu di bawah sinar Matahari pagi. Bercakap dengan pendaki lain turut jadi moodbooster untuk lekas menyelesaikan jalur ini.  

Menunduk saat mendaki. Tegap saat turun. Foto: Mas Supri

Baru setengah berjalan, saya kembali terduduk. Jalur ini nyaris menjatuhkan mental dan semangat. Sudah jauh berjalan, puncak masih jauh dari pandangan. Tidak, saya belum mau menyerah. Dengan sisa tenaga, saya kembali mendaki,merambati tali webbing yang dikomandoi Supriyono.

Tak terasa, kami sampai di sebuah batu besar. Asa mengembang sebab jarak ke puncak sudah semakin dekat, seperlemparan batu lagi, kami sampai. Sebentar lagi. 

10 meter. Kami masih antre bersama para pendaki. 

Lima meter. Kami bergantian dengan pendaki yang ingin turun. 

Tiga meter. Kami melibas tanjakan bebatuan. 

Dua meter. Kami mendaki, satu tangga lagi.


Satu meter itu bersama kawan dr Palembang. Foto: Mas Supri
Satu meter. Kami melihat kawah Jonggring Saloka mengeluarkan asap. 
Dan, hap. Kaki kami, saya, Supriyono, dan disusul Jack Kidd telah menjejak tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kaki kami ada di ketinggian 3.676 mdpl. Kami sampai di tanah di mana para dewa bersemayam, Mahameru. Pukul 07.50 WIB. 


Cieee... yang udah sampai duluaaannnn.... 

Elvis Rijal, Irkhas Kurniawan, Fahmi Fauzi, Momo, dan Anas Masruri, anggota kami lainnya sudah sampai terlebih dahulu. Mereka melambaikan tangan, meminta turut bergabung. Kami menuju ke arah mereka dan disambut dengan jabat tangan erat serta ucapan selamat. 

Mata saya pun basah. Saya menahan agar rintik itu tak turun. Namun yang terjadi kemudian, saya menunduk, kemudian berjongkok, dan tergugu. Semakin saya mencegah untuk tak menangis, dada kian sesak dan air mata kian deras mengalir, tumpah. 

Saya teringat, bagaimana untuk sampai ke mari, harus berjalan kaki, menahan beban selama sembilan jam, lanjut mendaki selama delapan jam. Bagaimana saya cari cara mengatasi tiga ketakutan yaitu takut dingin, takut merepotkan anggota lain, dan takut turunan. 

Saya pun teringat, pada ayah yang 14 tahun sudah berada di surga, rambut ibu yang tak menyisakan warna hitam serta kulit keriputnya. Serta apa yang saya lakukan dan perbuat selama ini. 

Saya teringat, Maha Baiknya Tuhan pada saya, kami. Sepanjang perjalanan ini, nyaris tak ada aral besar, selalu dijaga oleh-Nya, dan diberikan banyak kemudahan. Alhamdulillah

Tak lama, Reni Suryati dan Ariyadi menyusul sampai di puncak. Menyisakan sedikit gemetar, saya memeluk Reni. "Udah Mbak, nangis bae lhoo," ledeknya. 


Mahameru, Mahameru, Mahameru. Foto: Ariyadi
Kami pun menikmati Mahameru. Kami bermain di lapangan luas dengan bebatuan berserakan. Berfoto, bersenda gurau, sambil menunggu kawah Jonggring Saloko menguarkan asap dan suara, 'Boom' menggegar. 

Kejutan datang sekali lagi. Mei M dan Akhmad M sampai di puncak. Kami berteriak kegirangan. Semua anggota akhirnya bisa menapakkan kaki di Mahameru. Bersama-sama. 


Mas Supriyono. Alhamdulillah ya Mas... 

Tak ada lagi yang bisa terucap selain ucapan syukur pada Tuhan. Terima kasih, sudah memberikan kami kesempatan untuk menikmati sekeping surga di atap Jawa. (tamat)


Depan, sedikit lagi. Pas dijalanin, ternyata nggak sampe-sampe.
Foto: Mas Supri

SatelitPost on the Top of Java. Bareng layouter SatelitPost, Anas M

Suasana puncak pagi itu. 

Mas Anas, Liverpool yg nggak juara2, dan kawah Jonggring Saloko.

Pasukan Bela Perasaan, love youuuuuu... :*

Sesekali, Id Card mejeng. 

Ketika yang lain sibuk cari spot foto, aku malah tidur-tiduran. 

Kawah Jonggring Saloko. 

Seger ya makan pir di puncak. 

Elvis dan pertanyaan khusus untuk Mas Akhmad M


Formasi. 

Biru dan Langit Luas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar