Keajaiban Malam di Ketinggian 2565 Mdpl
Pemandangan di pagi hari dari Gunung Prau, 2565 mdpl. Nampak Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu. |
DIENG sungguh eksotis. Semua pun sepakat. Dan, satu lokasi untuk menikmati kecantikan itu ada di Gunung Prau. Ini ceritanya.
"Semuanya siap ya. Nanti jalannya santai aja, nggak usah buru-buru. Kalau capek istirahat. Oke, sebelum naik, kita doa. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing dipersilakan."
Sabtu (12/9) malam, di tengah rinai gerimis, kami berlima, saya, Nur Fatimah, Reni Suryati, Widi Nugroho, dan Firman Al Ahyar menundukkan kepala, menengadahkan tangan. Mulut pun komat-kamit. Merapalkan beberapa doa agar perjalanan kali ini, Tuhan selalu memberikan kemudahan, kelancaran, dan keselamatan.
Pendakian dimulai tepat pukul 20.00 WIB. Saat gerimis mereda, kami menapakkan kaki di tangga Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo menuju Gunung Prau. Jalur ini disebut Ondo Sewu. Disebut Ondo Sewu alias Tangga Seribu, mungkin karena jumlah anak tangganya banyak.
Ini semacam 'tantangan' yang pertama harus dilalui. Sebab, bagi sebagian orang, menaiki tangga merupakan aktivitas yang menjemukan. Butuh tenaga ekstra.
Desa Patakbanteng merupakan satu dari beberapa jalur pendakian resmi menuju gunung setinggi 2.565 mdpl tersebut. Selain via Desa Patakbanteng, pendakian bisa dimulai dari Basecamp Dieng, Basecamp Kaliembu, Basecamp Dwarawati, dan Basecamp Wates. Kelima jalur ini memiliki keunikan tersendiri, namun akan berkumpul di titik area camp yang sama.
Setelah melewati Ondo Sewu, jalur pematang dan galengan di antara ladang warga menjadi trek selanjutnya. Jalan sekitar 100 meter, akan 'bertemu' dengan jalur makadam atau batu yang disusun rapi. Di jalur tersebut, kami mulai bertemu dengan beberapa rombongan pendaki lainnya. Seperti dari Kendal, Semarang, Kudus, dan lainnya. Saling ngobrol dan guyon dapatlah menjadi penyemangat menyelesaikan jalur yang kian menanjak ini.
Sampai di tikungan, kami berhenti sebentar. Sedikit demi sedikit, tenaga mulai terkuras. Rupanya, kami hampir sampai di Pos 1.
"Tanggung, yuk jalan lagi, depan Pos 1 tuh," kata Widi Nugroho sembari mengajak kami.
Kami pun bergegas, kembali melangkahkan kaki. Sampai di Pos 1 Sikut Dewo, sudah ada beberapa petugas yang mengecek tiket. Nah, jika ketahuan tidak membawa tiket masuk, siap-siap saja kembali ke basecamp ditambah denda berupa satu bibit tanaman.
Dari informasi yang saya dapat dari petugas tersebut, sekitar 700 orang sudah naik ke Gunung Prau. Bisa dibilang, itu jumlah yang amat sedikit bila dibandingkan saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus kemarin, tercatat ada 6 ribu pendaki!
"Hati-hati aja, Mas, Mbak. Harus mulai pakai masker atau penutup hidung. Debunya banyak banget," ujar mereka.
Benar saja, baru sebentar naik ke Pos 1 menuju Pos 2 Canggal Walangan, debu-debu jalur pendakian bergerak, terbawa saat kaki melangkah lantas terbawa angin. Jalur pendakian menuju Pos 2 terbilang susah-susah gampang. Susah karena tubuh harus mulai beradaptasi dengan udara dingin serta trek yang semakin menanjak-berdebu. Gampang, karena setelah trek naik itu, jalur kembali landai dengan kanan-kiri terdapat warung makan milik warga setempat untuk sekadar melepas lelah.
Di Pos 2, kami sejenak melepas lelah. Meletakkan ransel. Menikmati camilan yang kami bawa. Tentu sambil bersenda gurau.
"Habis Pos 2, nanti treknya mantep banget. Semangat teman-teman tapi, udah dapet setengah perjalanan kok," ujar Nur Fatimah yang disambut teriakan semangat dari kami semua sambil berdiri dan kembali melanjutkan perjalanan.
Baru sekian langkah, saya sudah meminta break alias istirahat. "Depan berhenti ya Dek," seru saya pada Firman Al Ahyar yang ada di depan.
Saya pun duduk, meluruskan kaki. Pun dengan kawan-kawan. Rasa lelah mulai mendera. Padahal, yang tadi kami lalui, belum seberapa. Jalan masih panjang.
Jalur menuju Pos 3, memang lebih berat dibanding trek sebelumnya. Kian menanjak, terjal, dengan kontur tanah berdebu. Saat menapak, kaki harus benar-benar mantap. Jika tidak, bisa terpeleset seperti yang terjadi pada beberapa kawan.
Di jalur ini pulalah, kami dan para pendaki lebih sering berhenti. Selain kian melelahkan, kami juga harus mulai antre demi menghindari debu yang beterbangan. Apalagi saat kami naik, bertepatan dengan turunnya kabut. Makin mantaplah jalur ini.
"Eh, jalan lagi yok. Dingin nih kalau berhenti terlalu lama," kata Reni.
"Ayok, mending jalan pelan-pelan tapi terus gerak. Nih, sambil dimakan madu atau cokelatnya, buat nambah tenaga," ujar Widi menimpali Reni.
Ya, kami tak ingin terlalu lama berhenti. Demi menghindari udara dingin yang mulai memerangkap tubuh. Kami harus terus berjalan, walau mulai tertatih-tatih.
Selesai dengan jalur tersebut, kami sampai di Pos 3 Cacingan. Jalurnya kembali menanjak namun tak seperti jalur dari Pos 2. Sudah ada anak tangga dari bambu sebagai pijakan. Kondisi ini jauh berbeda saat kali pertama saya ke sini, Maret 2014. Jalurnya masih berupa bebatuan dan sempit.
Tak lama berjalan, saya menemukan sekumpulan bunga aster. Artinya, kami sudah semakin dekat dengan camp area. Benar, baru saya memikirkan hal itu, Nur dan Firman yang berada di depan, berseru: "Mbak, landai... Udah sampai... Yey..."
Benar, kami sudah sampai di jalur landai menuju camp area. Kami menyusuri setiap jengkal camp area demi menemukan sedikit tanah lapang untuk membangun 'rumah.' Ya, setiap akhir pekan seperti ini, Gunung Prau selalu ramai dengan para pendaki. Tak perlu khawatir tak mendapat tempat mendirikan tenda, sebab camp area di sini amat luas. Sangat.
Ki-Ka: Si adek sama kakaknya alias Firman dan Nung. |
"Pukul 22.30 WIB, dua setengah jam perjalanan. Yok bikin tenda," ujar Widi yang mulai membongkar ransel, mengeluarkan tenda.
Makan ya banyak, Juli... |
Usai bekerjasama mendirikan tenda, sekitar 30 menit, kami mulai memasak. Kopi dan teh tersaji lebih dahulu, disusul mi serta makaroni rebus. Walau makaroni agak sedikit kurang matang namun tetap saja lahap dimakan. Lha wong lapar gegara tenaga terkuras habis saat pendakian tadi. Rencananya, setelah makan selesai, kami akan langsung masuk tenda, beristirahat. Namun, rasanya sayang melewatkan malam indah di Gunung Prau hanya dengan tidur. Saya pun menyibak tenda dan mendongak ke atas. Pemandangan langit yang sangat spektakuler tersaji di atas saya.
"Mas Widi, keren banget. Eh ayo keluar, ini bintangnya keren banget," ujar saya dengan sedikit berteriak, walau tak terlalu kencang.
Menu makan berupa makaroni setengah matang dan mi rebus. |
Semuanya keluar dan menjadi saksi hidup bagaimana langit nan maha luas itu dipenuhi gemerlap bintang. Ribuan, jutaan, bahkan sangat mungkin miliaran jumlahnya. Kelap-kelip. Berkedip pada kami. Aihh, indah. Kami sangat beruntung, cuaca malam itu sangat cerah. Maka sambil menikmati sajian yang amat keren itu, kami duduk, ngopi-ngeteh, dan tentu saja tak melewatkan sesi swafoto.
Dan, malam pun kian larut. Angin mulai berhembus. Dingin. Ditambah beberapa kawan mulai menguap. Kami pun sepakat masuk ke tenda, istirahat, merebahkan badan usai perjalanan melelahkan itu, demi menanti keajaiban esok pagi di Gunung Prau. (sri juliati/bersambung)
=================================
Naskah feature ini sudah dimuat di Halaman 1 Harian Pagi SatelitPost, edisi Senin (14/9).
|
Catpernya seru.. pernah dimuat di surat kabar lagi ckck keren
BalasHapussalam kenal
terima kasih sudah mampir, :)
Hapussalam kenal