|
Gunung Sindoro dari 'saudaranya' Gunung Sumbing. |
"Ju, kamu mau ikut ke Sindoro nggak? Awal bulan?"
Begitu pesan singkat yang masuk ke BBM disertai screenshot percakapan WhatsApp (WA) dari Kak Ros. Saya yang saat itu baru membuka mata, langsung ngucek-ngucek dan mak-gregah. Bangun saat itu juga.
Sindoro? Awal bulan? Emmm... tanpa pikir panjang, saya langsung mengetikkan: OK, aku melu Mba.
Sent. Setelah itu saya lanjutkan tidur pagi itu.
Bangun-bangun, matahari rasanya sudah di atas kepala. Panas. Pukul 10.00 WIB. Mau tidak mau, saya harus bangun dan kembali membuka ponsel. Ada banyak BBM dan WA yang masuk. Satu di antaranya dari Kak Ros soal rencana ke Sindoro tentang siapa saja yang mau ikut, kapan waktunya, dan lainnya. Saya cuma iyain aja. Selain masih harus menyadarkan diri, juga kepikiran, dapat libur nggak ya?
|
Weruh-weruh SatelitPost. SatelitPost.
Nah itu nama medianya. Foto oleh Nung |
Jadwal libur adalah masalah terbesar saya selama ini. Bekerja di media, utamanya media cetak harian memang harus pandai-pandai mengatur jadwal libur sebab aturannya berbeda dengan profesi lainnya. Kami biasa bekerja mendahului hari. Maksudnya, kerja hari ini untuk terbit besok. Pun saat libur tanggal merah. Misal, tanggal merah jatuh hari Senin, kami libur di hari Minggu, sedangkan hari Senin yang tanggal merah itu, kami masuk untuk menyiapkan edisi hari Selasa.
Bingung? Ya udah, besok dirasakan sendiri kalau kerja di media cetak, :D
Rencana ini pun saya sounding-kan pada seorang kawan yang juga hobi naik gunung. Siapa lagi kalau bukan Widi Nugroho. Jawabnya: Insyaallah, lihat sikon.
***
|
Kami... Pasukan Bela Perasaan. Bela perasaan masing-masing.
Dari ki-ka: Reni, Nung, Juli, Yeti, dan Kak Ros.
Foto oleh temannya Firman. |
Niatan untuk 'sekolah' di Gunung Sindoro pun kian matang. Rombongannya pun tak cuma Kak Ros sebagai inisiator, Nung, Yeti, Reni, dan Dodo yang bakal jadi sopir. Melainkan ada regu *halah* lain dari Jakarta yang tak lain teman-temannya Widi dan Firman. Iya, Firman si adek bongsor yang ke Prau waktu itu.
Sabtu (6/2) usai pulang kerja, sekitar pukul 14.00 WIB. Disepakatilah waktu itu menuju ketinggian 3.153 mdpl. Termasuk susun-menyusun rencana perjalanan, biaya-biaya, dan peralatan. Namun, jelang H-5, ada perubahan. Karena satu hal, rombongan dari Purwokerto mundur, nggak jadi berangkat hari Sabtu. Pendakian akan dimulai hari Minggu pagi. Sementara kelompok dari Jakarta tetap sesuai rencana semula.
Hari yang ditunggu pun datang. Setelah ngebut di malam Minggu, menyelesaikan edisi Mingguan dan editan buku *uhuk* tancap gas ke rumah, packing dengan sisa-sisa barang yang masih tergeletak. Selain saya, masih ada Yeti yang juga belum berkemas. Sementara teman yang lain sudah selesai dan bersiap tidur.
Usai berkemas, rupanya masih ada beberapa tulisan yang harus saya selesaikan. Jadilah, demi menunggu pukul 03.00 dinihari, saya begadang, ngedit tulisan di tengah rintik hujan. Sampai lebih dari jam 03.00 dan Dodo datang, saya masih ketak-ketik di ponsel. Selesai semuanya, berbarengan dengan bangunnya teman-teman, kami semua bersiap. Cek-ricek peralatan, beberes diri, dan yess berangkat.
Mobil yang kami kendarai pun mulai meninggalkan Kota Purwokerto, mengarah ke Purbalingga, mampir sebentar di SPBU Padamara, Purbalingga, dan lanjut ke Banjarnegara, hingga Wonosobo. Selama di jalan, saya gunakan waktu untuk tidur, walau hanya beberapa jam. Cukuplah untuk menebus rasa kantuk gegara nggak tidur seharian.
|
Satenya Pak, 10 tusuk Pak. Foto oleh Nung |
Setelah perjalanan kurang lebih tiga jam, dari pukul 04.00 hingga 07.00 WIB, sampailah di Alun-alun Wonosobo untuk mampir makan. Niat ingsun, sebenarnya mau tidur tapi karena seharian itu saya belum makan besar serta dibangunkan Nung, jadilah dengan langkah gontai keluar mobil, mengikuti langkah mereka. Seporsi sate jadi menu pilihan. Nyammmm, lumayan untuk mengusir nyanyian cacing di perut dan membuat mata saya terbuka lebar. Usai makan, saya putuskan untuk tidak melanjutkan tidur. Cukup.
***
Minggu, 7 Februari 2016
Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo menjadi satu jalur pendakian menuju Sindoro, selain dari Kledung. Jalur ini dipilih Kak Ros dan Nung karena lebih cepat, sekitar enam jam. Namun waktu tempuh itu sebanding dengan trek yang disajikan, tanjakan tiada henti.
|
Kantor Kepala Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar. |
Pintu masuk ke Sigedang, dari pertigaan Tambi di kanan jalan kalau dari Wonosobo. Masuk, ikutin jalan yang sebagian rusak parah itu, sampai di pertigaan besar dengan cermin cembung alias Convex Mirror dekat dengan kantor Kepala Desa Sigedang. Papan bertuliskan rute pendakian via Sigedang terpampang jelas di hadapan dengan tanda arah lokasi basecamp di sampingnya.
Kak Ros, Reni, dan Nung turun untuk izin melapor. Yeti ikut turun tapi untuk foto-foto, sedangkan saya dan Dodo ngobrol di mobil. Kurang tidur memang bikin saya sedikit males turun. Nggak lama, Nung telepon dan meminta semua yang mau naik, izin mendaftar.
Sesampai di basecamp yang agak masuk gang, kami disambut oleh Mas Anas. Sebelumnya, kami juga bertemu dengan tiga mas pendaki dari Kendal. Di ruang tamu itu, kami diberi peta pendakian serta penjelasan singkat. Kesempatan ini tentu tidak kami siakan untuk menambah informasi, kondisi cuaca, larangan dan pantangan di Gunung Sindoro.
|
Peta rute pendakian Gn Sindoro. |
Dari sekian penjelasan itu, yang paling kami perhatikan adalah larangan menaiki dan mengencingi tiang bendera/tugu saat di puncak. Dari beberapa tulisan yang tersebar di blog, di kawasan puncak memang ada satu tugu dan tiang bendera.
"Di situ ada makam Mbah Joko Negoro yang jadi sesepuh. Tapi nggak usah takut, selama kita sopan, niat kita baik, mereka tidak akan menganggu," kata Mas Anas.
Demi mendengar makam itu, saya agak sedikit ciut. Apalagi Mas Anas sempat menyambung cerita dan kejadian-kejadian di luar nalar yang terjadi di Sindoro. Saya perhatikan wajah teman-teman. Pias, tegang. Siapa pun akan bereaksi yang sama kalau dengar cerita-cerita ini.
Agak lama kami di rumah Mas Anas, bahkan sempet nunut pipis. Akhirnya kami pun undur diri dan minta doa supaya dilancarkan pendakian kali ini setelah membayar retribusi Rp 5 ribu per orang. Kembali ke mobil dan Dodo mengantarkan kami hingga ke warung kopi terakhir, dekat jalur pendakian.
***
|
Groufie dulu bareng sopir paling baper sak-Purwokerto, Dodo. |
Sebelum berangkat, kami menundukkan kepala, menengadahkan tangan, berdoa, meminta perlindungan pada Tuhan supaya perjalanan ini dimudahkan dan dilancarkan. Amin.
Sesuai dengan anjuran Mas Anas, kami memotong jalur, melalui belakang warung kopi, menembus kebun teh, dan menghindari jalur makadam. Lebih singkat dan lebih cepat. Ternyata, baru beberapa langkah (plis ini bukan makna harafiahnya ya) kami sudah sampai di shelter atau tempat pemberhentian 2. Kalau merujuk pada peta yang diberikan ini Pos 2. Berbentuk semacam pendopo, luas, dan kata warga setempat digunakan untuk mengumpulkan berkarung-karung daun teh yang dipetik.
Btw, waktu kali pertama nembus kebun teh ini dan lihat treknya yang mulai nanjak, ada yang usul mau naik ojek untuk mempersingkat waktu tempuh dan save energi. Nah lho, angkat tangan? :D
Berhenti sebentar di sana, kami lanjutkan perjalanan. Sempat bingung mau ambil yang mana karena di samping shelter ada dua lajur, satu lajur makadam dan satunya lajur tanah. Beruntung ada warga setempat yang melintas dan memberitahu rute mana yang harus diambil. Jawabnya, lajur tanah. Sekali lagi demi menyingkat waktu.
Jalan lagi, eh sempat kebingungan lagi mau ambil yang mana. Si Yeti yang nyaranin trabas kebun teh malah ambil jalur makadam. Tembusnya sih sama, tapi ya celananya kami yang jadi korban karena kena semak belukar. Yeti mah enggak. Istirahat, sebentar ambil napas sambil mikir rute lain. Kenapa nggak ikut peta? Karena petanya kurang jelas, nggak ada penunjuk arah mata angin. T.T
|
Daripada bingung mau lewat mana, ya udah selfie. |
Setelah istirahat lanjut jalan dan kejutan, ketemu sama orang! Kecuali warga setempat yang kami temui di shelter 2, sepanjang perjalanan yang nyaris satu jam itu, kami tidak menjumpai siapapun. Terbitlah asa, jangan-jangan ini mas-mas yang tadi kami temui di rumah Mas Anas. Mereka memberi petunjuk agar kami terobos jalur setapak (lagi) menuju ke arah mereka. Saking girangnya ketemu pendaki lain, semua dari kami langsung cepet jalannya. Hahaha.
Setiba di hadapan mereka, kami kecewa. Pertama, bukan mas-mas dari Kendal. Kedua, mas-mas itu malah mau turun, bukan naik. Yah, di-PHP-in. Beruntungnya sih kami dikasih tahu jalur yang bener. Di sepanjang jalan itu, kami mulai ketemu dengan pendaki lain. Tujuannya, turun. Ampun, Mak, ini nggak ada yang nemenin naik???
|
Jalan menuju perbatasan kebun teh dan hutan. |
Dan Alhamdulillah-nya, ketemulah dengan shelter tiga. Istirahat lagi, minum-minum, ngemil sebentar, kami pilih teruskan perjalanan. Tanggung, masih jam 11.30-an sebab kami punya rencana untuk istirahat, makan siang, salat, dan packing ulang sebelum masuk hutan. Jalan lagi sekitar 20 menit. Sampailah di perbatasan kebun teh dan tanah Perhutani. Ada sepetak bidang kecil yang kami jadikan 'markas' sementara untuk ishoma.
Total perjalanan dari warung kopi sampai tanah perbatasan ini nyaris dua jam karena berangkat sekitar pukul 10.00 WIB. Lama? Hehehe. Wajar, kami kan pasukan bela perasaan. Wanita pulak (halah, gender lagi, Jul?).
|
Ishoma. Foto oleh Reni. |
Di situ, kami menggelar tiga matras. Satu matras untuk salat Zuhur karena sudah masuk jamnya dan dua matras untuk nggelar bekal yang dibawa dari rumah. Mulai dari nasi, kering tempe, dan teri hingga beberapa camilan. Ya beginilah, kalau kaum Hawa pergi, nggak bisa nggak bawa bekal banyak. Apalagi kami ini pasukan yang takut kelaparan. Yang satu kalau laper ngomel-ngomel, ada yang migrain, ada yang langsung lemes, ada pula yang milih diem nahan laper.
Ada sekitar 1,5 jam kami istirahat. Saking lamanya, ada yang sempet kepikiran buat bikin tenda. Akkk, ini mah saking nyamannya. Dan selama itu pula, kami mulai sering bertemu dengan pendaki yang mau turun. Seolah, tanpa dikomando, mereka kompak tanya: Perempuan semua, Mbak? Berlima? sambil diiringi kernyitan di dahi dan suara, ckckck.
|
Menu makan siang bekal dari rumah. |
***
Setelah packing ulang, the real pendakian, sebenar-benarnya jalan menuju Gunung Sindoro pun dimulai. Bismillah, setapak demi setapak, beriringan, bersama-sama melintas jalur hutan dengan tanjakan. Ditingkahi dengan suara burung, sapaan semangat dari pendaki yang lagi-lagi mau turun, dan gurauan ringan. Berhenti ambil napas, minum, ngemil, atau menikmati Choki-choki.
Tanjakan yang kami lalui, sungguh tak ada habisnya. Amat jarang bertemu bonus jalan datar. Tanjakaannnn semua walau masih di area hutan. Pun saat masuk ke kawasan hutan lantara. Tanjakan terus mendera kami, tiada henti. Ditambah gerimis yang mulai turun. Sempat kami kenakan jas hujan tapi kemudian dilipat lagi, dan dipakai lagi saat hujan terus turun, semakin deras.
Dan sepanjang naik itu, kami tidak bertemu dengan pendaki lain yang naik. Ya, daritadi cuma kami berlima.
Mulai di hutan lantara lah, tenaga kami perlahan mulai terkuras. Lebih banyak berhenti. Bahkan saya sempat di-rescue sama Yeti karena tertinggal jauh di belakang. Pas di-rescue, digandeng tangannya, Yeti sempat tanya, "Kamu laper? migrain?" Saya pun menggeleng pelan sambil bilang, "Nggak Yet, cuma capek." Jujur saat itu pengin mewek. Terharu.
|
Juli, mau nyerah? Udah capek? Noh, lihat bawah, Jul. Kamu udah
lewati apa aja? Foto oleh Reni. |
Ssaat di kawasan pohon pertengahan, yang jadi batas tempat untuk pendirian tenda, tenaga saya nyaris habis. Berkali-kali saya harus membujuk kaki untuk mau melangkah. Tak kurang jalan 15 langkah, saya harus berhenti. Begitu seterusnya. Beban di pundak juga kian berat.
Puncaknya saat hujan turun dengan derasnya, tenaga pun sempurna habis. Rasanya udah nggak kuat banget. Kaki udah mulai sulit melangkah. Demi melihat wajah saya yang kata mereka pucat habis, maka diputuskan untuk cari tempat camp. Ditambah cuaca yang tidak memungkinkan lagi untuk jalan. Badai.
|
Lokasi sekitar camp. Iya, dengan kemiringan seperti ini. |
Niatnya camp bentar, kalau cuaca sudah membaik, dilanjut lagi pendakiannya. Saat istirahat, dari bawah muncullah beberapa pria dewasa yang mau naik. Ajaibnya mereka nggak bawa banyak barang. Asa pun muncul, wah nggak apa deh naik dikit lagi biar dapet tempat camp yang enak soalnya di kawasan ini lebih mirip hutan mati, tebing bebatuan, dengan kemiringan 45 derajat. Nyaris tak ada lahan datar. Ada sih tapi cuma muat satu tenda, itu pun sudah ada yang ngisi.
Nung pun tanya pada satu di antara mereka. "Pak, di atas masih ada camp lagi nggak?"
"Ada Mbak, dua jam lagi," sahut mereka.
|
Lokasi sekitar camp. |
Demi mendengar kata dua jam itu, Nung mengernyitkan dahi. Dua jam mereka, empat jam kami ya, Pak. Belum sempat dijawab mereka menyarankan kami untuk gelar tenda di kawasan ini. "Bikin tenda di sini aja Mbak, jangan ke atas, lagi badai. Ada yang pingsan. Kami mau ke sana. Saya bukain tempat ya," kata satu di antara mereka setelah tahu kami berlima cewek semua.
Lantas dengan cekatan, beliau mengayunkan golok, memangkas beberapa tanaman disulap jadi tempat camp darurat. "Mbak, ini saya pinjamkan golok, nanti kalau sudah selesai saya ambil lagi," katanya lantas menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu naik.
Alhamdulillah... di tengah badai itu, kami beruntung dengan mereka, warga setempat yang jadi relawan dan tim SAR. Tidak hanya diberi tahu kondisi di atas tapi juga dibantu buka lahan. Keberuntungan ini tak lepas dari doa-doa yang dipanjatkan para ibu yang tahu anak-anaknya pamitan naik gunung.
Setelah itu, kami mulai mendirikan tenda. Gerak cepat. Nah yang jadi masalah selanjutnya adalah posisi lahan camp yang kami tempati tidak rata, cenderung di kemiringan 45 derajat. Tapi abaikan yang penting tenda berdiri dulu. Tak butuh lama, tenda pinjeman Dodo itu jadi rumah. Adalah Yeti dan saya yang disuruh masuk duluan karena kondisi yang tidak memungkinkan, setelah itu Kak Ros, Reni, dan Nung yang jadi penyapu memastikan semua barang dan orang sudah masuk.
|
Berpelukaaaannn... Eh ini mah sebelum turun. |
Begitu masuk, kami langsung berpelukan saling memberi kehangatan, terutama Yeti yang mulai menggigil dan migrain. Tangan saling mengusap, memberi aliran hangat, di tengah badai yang makin menggila.
Alhamdulillah... sungguh tidak lagi yang kami ucapkan selain ungkapan ini. Saat cuaca benar-benar memburuk, kami tetap bersama, meringkuk di dalam tenda, dan akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan. Yang saya ingat, waktu itu masih pukul 17.00 sore. Bangun sekitar 17.30 dan cuaca masih sama. Hujan badai.
Akhirnya tak ada bisa kami lakukan selain kembali tidur, rebahan dengan posisi ala kadarnya atau ngobrol. Mau masak pun susah. Dan ini berlangsung sampai lebih pukul 19.00 WIB. Angin plus hujan yang begitu deras, memukul-mukul tenda jadi satu alasannya. Sampai kemudian agak reda, Nung, Kak Ros, dan Reni keluar benerin tenda dan pasak di tengah gelap malam, sementara saya dan Yeti gelar matras.
"Nek ngene ki carane piye ya, Yet? Turune arep madhep ngendi?" tanya saya sambil garuk-garuk kepala ditingkahi seruan-seruan di luar.
"Hahaha, embuh. Yo wis ngene wae," kata dia sambil mengarahkan matras yang sejurus kemudian dibongkar lagi, sampai entah berapa kali kayak mainan puzzle.
|
Kondisi tenda di tanah kemiringan. |
Belum ada 15 menit di luar, cuaca kembali memburuk. Hujan deras berteman dengan angin kembali turun. Terpaksa Kak Ros dan Reni langsung masuk, disusul Nung setelah memastikan kondisi tenda yang lumayan lebih kuat dibanding sebelumnya. Untuk sementara kami bisa bernapas lega. Setidaknya tenda kami tak tersapu angin yang kian menderu.
Memasak jadi aktivitas kami selanjutnya. Mau tidak mau, bisa tidak bisa harus memasak walau harus dengan kondisi tenda miring. Beruntung, saya membawa buku yang lumayan jadi alas. Masak-memasak pun dimulai. Merebus air hangat yang pertama, minumannya kopi dan susu. Sebenarnya mau bikin teh tapi apa daya tehnya nggak tahu di mana yang ternyata keesokan harinya, ketemu di tas saya. Setelah itu, barulah membikin mi rebus plus telur.
Tak butuh lama, semua makanan itu sudah siap dan kami santap. Alhamdulillah... Walau cuma mi rebus, juara untuk menebas lapar sedari sore.
"Eh, segane karo terine. Enak dicampur. Nang endi ya, Ju?" kata Kak Ros.
"Engg, sedela, tak goletane," kata saya sambil ngobrak-abrik pojok tenda yang disulap jadi gudang logistik karena semua makanan ada di situ. "Nyoh, kie..."
Hujan badai masih jadi teman kami. Namun kali ini disambung dengan seru-seruan memanggil nama seseorang. "Debbie... Debbie..."
Demi mendengar nama itu, pikiran kami kompak bilang, 'Ada yang kepisah dari rombongan nih.' Demi melihat kami yang sedang makan mi bersama, rasa syukur terus dipanjatkan. Teriakan memanggil Debbie itu terus terdengar hingga kami selesai makan dan saya minta dibikinin mi rebus lagi karena nggak kebagian telur.
"Ya Allah, semoga Debbie lekas ketemu, sehat semuanya," ujar Kak Ros yang kami amini bersama.
|
Setelah pencarian 4 jam, Debbie akhirnya ketemu. Alhamdulillah
Itu (sepertinya) tenda rombongannya. |
Di sela-sela masak mi rebus, terdengarlah suara pria mendekati tenda dan bertanya, "Mbak, tendanya bisa buat masak nggak?"
"Iya bisa, Mas. Gimana?" sahut kami dari dalam tenda.
"Bisa minta tolong dibikinin air hangat nggak? teman saya ada yang kena hypo," jawab dia.
Deg! Hati kami terguncang. Tanpa babibu, kami lekas masakkan air dan menyisipkan doa-doa semoga kami dan semua pendaki selalu diberi perlindungan dan kekuatan.
"Nung, entar kasih di termosmu aja," saran Kak Ros memberi komando.
"Iya. Lha terus gimana kita ngasihnya, kan kita nggak tahu dia di tenda mana?"
"Ya gampang lah, kita teriak aja, 'Mas-mas yang minta air anget ini airnya,' kan ntar dia datang," jawab saya sambil menirukan teriakan itu.
"Iya, Mbak, saya belum pergi kok."
Mendengar jawaban mas-mas itu kami kompak tertawa. Lebih tepatnya malu karena tingkah kami yang cukup memalukan. Bisa dibilang, kami adalah pasukan yang nggak bisa nggak ngomong dengan suara keras kalau lagi ngobrol. Secapek apapun kami, tetap bisa ngobrol dengan suara keras. Makanya, kami senang bikin heboh.
"Mas, mending masnya balik ke tenda dulu deh. Nanti kalau udah mateng, kita panggil," kata Nung.
"Oh gitu, oke, Mbak, makasih sebelumnya."
Iya, kami iba sama mas-masnya karena kondisinya ujan. Nggak tega kalau dia nunggu lama di luar tenda. Sekitar lima menit air pun matang dan sesuai kesepakatan, kami teriak-teriak dan masnya langsung nyusul ke tenda.
Alhamdulillah (sekali lagi dan seterusnya), di tengah kondisi seperti ini, kami masih bisa membantu orang lain. Terima kasih, Tuhan...
***
Habis makan, terbitlah kantuk. Setelah membersihkan peralatan makan, mengais sisa-sisa mi rebus di piring, meminum habis kopi dan susu, kami bersiap tidur.
Masalah datang, ini posisi tidurnya mau gimana ya? Ya itu tadi, tenda kami ada di kemiringan dan makin lama malah makin melorot. Ditambah ada batu besar di tengah dan cerukan dalam di bawah. Makin susahlah. Diakalinlah, tiga tidur di atas yaitu Yeti, Reni, dan Nung dan dua di bawah, saya dengan Kak Ros.
|
Ini baru tiga keril. Masih ada dua. |
Itu masih belum usai, karena ada keril-keril superbesar di pinggir plus tetesan air Tuhan yang merembes tenda. Bongkar pasang lagi sampai akhirnya balik ke formulasi sebelumnya dengan tambahan posisi kaki ditekuk, karena nggak mungkin diselonjorin. Lebih nggak mungkin lagi kan, diselonjorin dan nimpa temen di bawah, Hahaha.
Dengan apa adanya tenda dan pose tidur, satu per satu dari kami pulas tertidur. Meski sesekali saya terbangun dan mencium bau yang eeemmmmmmmm... ini kentut siapaaa??? Hahaha.
|
Selamat ulang tahun Kakak Ros, :D |
Btw, hari Minggu saat naik itu, ulang tahunnya Kakak Ros lhoo... Super ya Kak, ulang tahunnya dirayain di gunung. Maap, nggak ada kue dan lilin. Yang ada hanya harapan semoga lekas menikah... :D
***
Senin, 8 Februari 2016
Pukul 03.00 dinihari. Saya masih ingat karena begitu terbangun mendengar alarm, saya langsung melihat jam. Saya matikan alarm yang ternyata dari HP-nya Reni. Begitu mematikan, Kak Ros ikut bangun dan mengguncang-guncangkan tubuh teman-teman lainnya.
"Heh, bangun, heh. Jangan pada tidur, ini tendanya mau melorot. Ini gimana?"
Saya bangun dan ngecek. Iya sih, dibanding sebelum tidur, luas tenda memang agak berkurang. Tapi masak iya, jam segini mau benerin tenda. Apalagi di luar masih hujan angin. Begitu juga dengan Nung yang meski bangun tampak ogah-ogahan untuk keluar. Juga Reni dan Yeti, ikut bangun sih tapi kantuk mengalahkan niatan bangun mereka.
Alhasil, kami pilih tidur lagi, merapatkan sleeping bag dengan posisi yang nyaris sama persis saat pertama tidur. Paginya, Kak Ros cerita, dia mimpi lagi masuk gua gelap, makanya takut kalau tetiba tenda ini jatuh. Alamakkk.
***
Saya tidak tahu jam berapa persisnya kami bangun. Bisa pukul 06.00, bisa jadi malah 07.00 WIB karena cuaca tak kunjung membaik. Setelah bangun, hampir semua teman-teman keluar lalu masak di luar tenda karena cuaca perlahan berubah. Mendung tapi sudah tidak lagi gerimis. Malah muncul pelangi.
|
Pelangi di ketinggian sekian ribu mpdl yang keren banget. |
Melihat pelangi di gunung itu semacam hadiah bagi kami. Setelah dihajar tanjakan tiada henti selama empat jam, dihantam badai sejak sesorean hingga malam dan pagi, dibikin sesak oleh teriakan-teriakan mencari teman yang terpisah, dan dipaksa tidur ala kadarnya di tengah hawa dingin yang menelisik hingga tulang.
Saya, entah kenapa milih lanjutin tidur. Cuaca sendu seperti ini memang paling enak untuk tidur.
|
Reni sama Yeti lagi nyiapin sarapan. Ciiieeee... |
Nggak lama, saya pun bangun dan temen-temen lain masih heboh masak, bikin sarapan yaitu nasi goreng, sup, dan goreng kerupuk. Sambil masak, kami rapat dadakan untuk ambil keputusan.
"Sekarang jam 8 ya, misal kita muncak jam 9 setelah sarapan, tambah dua jam ya tiga jam deh, jam 12 di puncak. Sejam di sana, turun lagi sampai sini jam 3, masih packing dan lain-lain kita start turun jam 4. Kalau cuaca bagus bisa turun dua jam, kalau nggak? Padahal masih ada perjalanan Wonosobo-Purwokerto. Sementara Yeti naik kereta jam tengah 9. Gimana, muncak nggak?"
Maka tak ada lima menit, keputusan penting pun diambil. Pendakian ke Sindoro, kami cukupkan sampai di sini, di kawasan hutan bekas terbakar tinggal rerantingan, di kawasan tebing dengan ketinggian 45 derajat.
Ya, kami memilih tidak summit attack. Selain durasi waktu dan jarak tempuh, juga cuaca Sindoro yang tak kunjung cerah. Sebentar cerah maka lebih lama mendung dan kabut yang turun.
Jadilah, dengan keikhlasan, legowo, dan tidak ada sesal sama sekali, kami tidak naik. Kami tidak berada di ketinggian 3.153 mdpl. Cukup di ketinggian 2.000an mdpl.
"Dua kali ke Sindoro, lewat jalur berbeda, dua kali nggak muncak tapi nggak apa-apa sih, besok dicoba lain waktu, tapi via Kledung aja deh, lebih landai, hahaha," ujar Nung.
Be calm Nung, puncak Gunung Sindoro nggak akan pindah kok. Sabar saja, pasti suatu saat bisa di atas sana. :))
Setelah rapat itu, kami sarapan dengan menu super lengkap dan enak. Nyaaammmm, kenyang... Dan Alhamdulillah ya, nggak pake acara rebutan telur karena telurnya udah dimasak bareng nasgor. Hehehe.
|
Sarapan termewah selama naik gunung. Abaikan kaki Yeti. |
Saat berkemas usai sarapan, beberapa pendaki sempat menyapa kami bahkan menawarkan bantuan kalau mau muncak bareng karena puncak setengah jam lagi. Kami jawab, "Nggak Mas, makasih. Hati-hati." Niat kami sudah bulat, kali ini kami tidak ingin muncak. Apalagi kami tidak percaya, kalau cuma setengah jam. Tim SAR aja bilang, dua jam kok.
Di sela-sela packing dan foto-foto itu, saya sekelebat melihat si adek, Firman. Iya tim dari Jakarta yang rencananya mau bareng. Tapi saya pikir lagi, kayaknya nggak deh, kan rencanannya dia Senin udah perjalanan balik ke Jakarta. Tapi pas saya masuk ke tenda, tetiba " Mbak, Mbak itu kayak Ahyar (sapaan Firman lainnya karena nama dia Firman Al Ahyar) bukan sih?" tanya Reni sambil nunjuk anak laki-laki pakai kaus hijau di bawah kami, jarak 20 meter.
|
Dua tenda di bawah itu, ternyata tendanya Firman dkk. |
"Genah iya koh, Ren, aku lihat dari tadi kok kayak Firman."
"Aku ngehnya sama gesture-nya. Beneran nggak sih ya, Mbak?"
"Ana apa sih?" Kak Ros tetiba ikut nimbrung.
"Itu koh Mbak, kayak si Ahyar," kata Reni.
"Ya udahlah, panggil."
Dan begitu saja, kami dengan kerasnya berseru... "Firman..." dan Kak Ros menimpali, "Ahyar..."
Ndilalah-nya yang bersangkutan mendongak, mencari sumber suara dan bener, itu Firman Al Ahyar, si bongsor yang saya panggil adek karena usianya masih muda beliaaahhh, 20 tahun ya Dek?
Lambaian tangan kami disambut Firman dengan naik, menyusul ke tenda. Dengan gaya bicara 'sedikit' dewasa, dia cerita tentang macetnya perjalanan dari Jakarta sampai ke sini. Juga alasan kenapa masih di sini. Termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Kami pun menawarkan diri untuk turun bersama dan diiyakan.
|
Rombongan Mendoan dan Kerak Telur. Akhirnya ketemu juga.
Jangan kapok ya gaes... |
(Dan setelah turun, setelah pulang ke kota, setelah balik ke meja kerja masing-masing ada satu cerita dari Adek yang bikin sesak dada dan menohok nurani saya. Maapin Mbak ya Dek...)
|
Turun, turun. Cerah terus mendung lagi. |
Sekitar pukul 11.00 WIB, kami turun. Membawa segudang cerita, pengalaman, dan banyak hal yang kian mengeratkan persahabatan dan persaudaraan kami. Mendung memayungi langkah dan disusul hujan deras di sekitar perkebunan teh, memaksa kami berhenti lebih lama di shelter 2 hingga pukul 15.00 WIB.
Terima kasih untuk Tuhan atas semua perlindungan-Mu. Terima kasih pada orangtua kami yg tiada henti melantunkan doa untuk anak-anak kesayangannya. Juga saudara, para sahabat, dan semua orang yang kami temui di mana saja.
Dan yes, masih ada PR dari sekolah Gunung Sindoro. Semoga lekas kami selesaikan. (*)
Note: Kalau ditanyain lagu-lagu apa saja yang nemenin atau jadi soundtrack naik kali ini, jawabnya fourtwenty alias 4.20. Ya nggak usah sensi atau negative thinking gitu kalau cuma baca nama band-nya, apalagi kalau tahu siapa yang di belakang band ini. Iya, Roby Geisha.
|
Rebahkan lelah tubuh, di tempat tinggi tak berpenghuni
Lupakan sejenak masalah duniamu
lembut sang awan kan menyambutmu
Bermimpiku berada, di tempat indah tak terjamah
Hanya ada aku dan teman-temanku
Mimpi-mimpi tak seperti mimpi
Bahagia, bahagiaku cukup sederhana
Tak terhingga, sekali pun harta dan takhta
Tak sanggup membayarnya
Bercanda dan tertawa, berbagi apa saja yang ada
Tak terpikir dunia, tak peduli juga
Apa yang ada di bawah sana
Hemmmm...
Puisi Alam-fourtwenty |
Dengerin karya-karyanya aja deh, dari Fana Merah Jambu, Argumentasi Dimensi, Aku Tenang, Diam-diam Kubawa Satu, Iritasi Ringan, apalagi Puisi Alam. Beuhhh, itu kami bangeeettttt. Trust it. Suaranya Ari Lesmana itu bikin kecanduan plus petikan gitarnya Nuwi yang bikin kita nggak mau lepas headset.
Btw, ada yang terlupa dari semua cerita ini.
Pertama soal perbekalan. Karena kami wanita doyan makan plus kami naik dalam cuaca tak menentu, kami lebihkan logistik yang dibawa. Selain nasi, kering tempe, dan teri, kami juga membawa beras, lima telur, lima bungkus mi instan, dua bungkus roti sobek, sayur untuk sup, roti gandum, camilan, gula, teh, susu, kopi, agar-agar, dan aneka bumbu masak.
Kedua air. Kondisi Sindoro via Tambi nggak ada sumber mata air, at least masing-masing dari kami bawa tujuh botol air mineral ukuran besar, tiga botol air mineral ukuran sedang, dan satu liter termos air panas.
Ketiga fisik. Persiapkan fisik dengan sebaik mungkin, ya seminggu sebelumnya olahraga seperti jogging.
Keempat jangan lupa kanebo. Ini musim hujan dan benda ini sangat berguna selama pendakian. Juga jas hujan.
Galeri
|
Area perkebunan teh Tambi. Kata Kak Ros: Ichi Ochaaaaa |
|
Masih di kebun teh dan cerah. 10 menit kemudian, hujan. |
|
Kak Ros, jangan tunjuk-tunjuk. |
|
Area datar yang udah diisi sama tenda lain. Hiks... |
|
Langit Desa Sigedang sebelum kami berangkat. Cerah ya? |
|
Maksudnya, biar di-endorse sama Cozmeed. Plis abaikan cover yg terbalik |
|
Eh, ada yang jatuh yaa... :D |
|
Juli lagi lari-lari, katanya biar Menghapus Jejakmu
Foto oleh Reni |
wah kyake asik nik liat kaka2 kece yg pd naik,doain yak 2minggu lg maw rencana ksitu juga,,mintak doanya yg terbaik yak wohohoho 🙌
BalasHapuswahh, semangat, semangat...
BalasHapussemoga selamat sampai di tujuan dan rumah ya, :)
jangan lupa, latihan fisik dulu, soalnya treknya bikin gampang capek, :)
terima kasih catpernya, rencana sore nanti mau berangkat kesana dari Jogja, pas musim hujan juga ni, moga moga cuaca baik, aamiin 😊
BalasHapusSama-sama, kak.
HapusSemoga pendakiannya sukses ya dan selamat sampai rumah lagi.
Salam utk Sindoro via Tambi yang begitu dekat di mata, jauh di kaki dan didaki. :)