Minggu, 29 Mei 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (IV)

Tanjakan Cinta. 

"AYO Jul, semangat Jul... dikit lagi..."

"Iya Mbak, ayooo bentar lagi sampai..."

Seruan-seruan itu banyak membakar semangat saya untuk lekas menyelesaikan Tanjakan Cinta. Begitu kata orang-orang untuk menyebut tanjakan yang berada di atas Ranu Kumbolo tersebut. Kata mereka, dua bukit yang mengapit jalur tersebut mirip dengan bentuk hati. Itulah kenapa disebut Tanjakan Cinta.

Hap. Sepasang kaki saya sudah berada di tempat kawan-kawan beristirahat. Dengan napas terengah-engah, lekas menggeletakkan carrier yang rasanya hampir menimpa tubuh kurus saya.

"Tak pikir yo, yang namanya Tanjakan Cinta itu, tanjakannya cuma sebentar dan nggak tinggi-tinggi amat. Hla nek liat di gambar kan rasane cedek banget yo, jebulanee... nguras tenaga," kata saya sembari meluruskan kaki. 

Masih tentang Tanjakan Cinta. 
Kawan-kawan saya, seperti Fahmi Fauzi, Anas Masruri, Elvis Rijal, Ariyadi, dan Jack Kidd yang sudah terlebih dahulu sampai hanya tertawa ringan menanggapi omelan saya. Melihat ada kawan lain yang masih berusaha menyelesaikan tanjakan ini, saya lantas turut menyemangati. 

Ayo Mbak Mei, semangat... Dikit lagi sampe... 

"Ayo Mbak Mei, Mas Supri, Reni... Semangat, sebentar lagi sampai," seru saya. 

Setelah semua sampai, tak butuh waktu lama untuk kembali memanggul carrier dan menyelesaikan satu tanjakan lain yang akan mengantarkan kami ke lanskap yang tak kalah keren. Satu tanjakan terakhir di puncak bukit yang cukup membuat saya kembali tergeletak di tanah Semeru. 

"Yo istirahat di depan aja, jangan di sini," kata Akhmad M turut mengomando kawan lainnya. Dengan ogah-ogahan, saya pun menurutinya. Begitu sampai di tempat terbuka, kami semua bengong, mata kami terbelalak, dan raut wajah kami sama bahagianya seperti kali pertama sampai di Ranu Kumbolo. Inilah bonus setelah bersahabat dengan tanah tinggi di Tanjakan Cinta. 

Oro-oro Ombo. Itulah pemandangan yang membawa kami seperti ke alam lain. Sebuah padang savana nan maha luas dengan jalan setapak yang membelah dan perlahan menjadi kebun Verbena brasiliensis, tanaman perdu berwarna ungu. Banyak orang mengira itu adalah lavender. Sayangnya bukan. 

Oro-oro Ombo. Ada dua jalan, mlipir ke kiri atau jalan di tengah.

Di balik keindahannya, tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini rupanya mengancam ekosistem dan habitat tanaman asli Gunung Semeru. Sifat invansifnya secara membabi-buta mengubah padang sabana Oro-oro Ombo. 

"Makanya sama tim Sahabat Volunter (Saver) Semeru dan Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS), tanaman ini disarankan untuk dicabut," kata Supriyono menjelaskan. 

"Boleh dibawa pulang?"

"Boleh. Mau sekarung juga nggak apa-apa."

"Jadi, kita mau lewat mana? Lewat tengah, nglewatin padang atau mlipirin di bukit," tanya Akhmad sambil menunjuk jalan setapak di bukit sebelah kiri. 

"Sama nggak sih Om?" 

"Bedanya kalau kita lewat bawah, harus turun, lumayan curam. Kalau lewat sana, lebih landai dan teduh. Ending-nya sama, nanti ketemu taneman ini juga," ujarnya. 

"Mlipir aja deh. Besok pulangnya lewat tengah Oro-oro Ombo." 

Verbena brasiliensis, tanaman yg disarankan utk dicabut. Bukan lavender ya.

Semuanya pun sepakat. Bukan apa-apa, supaya lebih hemat tenaga dan tak terlalu ngoyo saat turun. Apalagi tenaga kami sudah terkuras di Tanjakan Cinta.

Benar saja, seperti ucapan pria asal Yogyakarta tersebut, akhir dari jalan setapak ini tetap di kebun Verbena brasiliensis. Tentu kami tak menyiakan kesempatan ini untuk berfoto, mengabadikan momen. Jarang-jarang kami bertemu dengan tanaman ungu ini. 

Pura-pura candid. Uhuk. Makasih fotonya Mas Jack yg nama
panggilannya mirip sama Layouter kantor, Pak Jack. :D
Setelah menyelesaikan Oro-oro Ombo, kejutan kembali menanti kami di depan. Cemoro Kandang, yakni sebuah hutan cemara yang menjadi jalur pendakian kami selanjutnya. Di berandanya, kami kembali beristirahat dan menggeletakkan carrier

"Ngemil, ngemil dulu, makan," komando Supriyono sambil menuju ke arah warung. 

Ya, di jalur pendakian yang sudah semakin jauh ini, yang bila dijumlah menempuh enam jam berjalan kaki, kami masih menemukan sebuah warung yang menjajakan aneka gorengan, semangka, dan rokok. Jangan tanya soal harganya. Sebanding dengan perjuangan para penjual untuk sampai ke Cemoro Kandang. Satu bungkus rokok dihargai Rp 30 ribu, sedangkan satu potong semangka dijual Rp 2.500. 

Dan untuk kedua kalinya, Supriyono membawakan 10 potong semangka. Seketika, dahaga dan lelah sirna usai menyantap sepotong semangka. Yang lagi-lagi kenikmatannya tak bisa terjabarkan.

Semangka dan Mas Supri. Duhhh, suegernyaaa...

Tak ingin terlalu lama beristirahat, tepat pukul 11.45 WIB, kami sudah harus kembali memanggul carrier. Yang rasanya semakin berat saja. Apalagi setelah mendengar arahan bila kami mulai mendaki alias lebih banyak ketemu tanjakan ketimbang jalan datar. 

Benar saja, baru berapa langkah, kami sudah bertemu dengan jalan yang mulai naik, naik, naik, dan diapit pohon cemara. Membuat saya harus kembali mengambil napas dan jeda sembari meluruskan punggung, mengusap keringat. 

Jalan lagi di tengah cuaca yang semakin terik, berteman dengan semilir angin, serta obrolan ringan. Terus berjalan, mengikuti jalur yang sudah ada, saling menyapa, memberi semangat pada pendak lain. Bagi saya, bertemu, berbincang dengan mereka, para pendaki seakan jadi oase di tengah perjalanan yang belum ada separuhnya ini. Walau hanya bertanya, datang dari mana. Seakan kami adalah sahabat dan saudara yang lama tak bertemu.

Saya terus berjalan. Berjalan sambil menahan diri agar tak lekas berhenti. Berjalan hingga pikiran dan kaki kompak menyuruh saya berhenti. Berhenti, saat saya benar-benar butuh untuk jeda. Saya baru benar-benar berhenti saat bertemu dengan kawan lain yang sudah mendahului dan menemukan tanah lapang untuk meluruskan kaki. 

Muka-muka udah capek setelah dihajar jalan naik. Masih ada satu tanjakan lagi. Foto: Mas Jack

"Leren, leren sek, Mbak..." ajak Jack Kidd sambil mengulurkan botol minuman. 

Glek glek. Cukup dua teguk dan air dari Ranu Kumbolo itu sudah langsung membasahi tenggorokan. Duhhh, segarnya... Beberapa kawan lain seperti Anas Masruri, Elvis Rijal, Fahmi Fauzi, Ariyadi, dan Reni Suryati sudah terlebih dulu melepas lelah.

"Mbak Mei sama Mas Supri masih di belakang, Mbak?" 

"Iya masih, Mas. Paling bentar lagi sampe. Lha Mas Akhmad, Mas Irkhas, sama Mas Momo?" 

"Udah duluan. Kayaknya malah udah sampai tempat camp," kata Jack. 

"Apa malah udah bikin tenda sama makanan ya, Mas. Jadi begitu dateng kita tinggal makan? Hahaha," seru lainnya. 

"Iya, iya bener," sambung kawan lain. 

"Emang udah mau deket, Mas?" tanya saya. 

"Udah. Itu naik sekali lagi terus jalan turun, landai," kata Jack Kidd sembari menunjuk puncak bukit yang membentang di hadap kami.

Meski hanya menyisakan satu bukit lagi, tanjakan di depan kami, lumayan terjal dan tinggi. Ditambah beban yang semakin berat dan cuaca terik. Tenaga pun sempurna terkuras. Beberapa kali, saya harus membujuk kaki dan merundukkan punggung untuk mau kembali mendaki. Sekali lagi. 

Dan fiuh, kami sudah sampai di puncak bukit. Bagaikan keluar dari sebuah hanggar yang besar, kami disambut dengan padang rumput nan luas juga edelweis. Dari Jambangan, puncak Gunung Semeru yang disebut Mahameru terlihat jelas, lengkap dengan garis-garis penanda aliran lahar berwarna perak,  walau lebih sering tertutup kabut. 

Sampai juga di Jambangan. Fiuh, fiuh, akhirnya...
Saya dan Reni begitu antusias. Rona wajah kami yang sedari tertekuk lantaran panjangnya jalur kini kembali cerah. Tawa meledak di antara kami. Juga antusias, ketidaksabaran akan datangnya perjalanan menuju puncak. 

"Mbak, itu Mbak... Mahameru," serunya sambil menunjuk Mahameru nun di atas sana. 

"Iya Ren. Kita udah sampai sini ya... Ah nggak sabar..," kata saya dan mengarahkan ponsel. 

"Nanti malem kita muncak dan semoga besok bisa bareng-bareng berdiri di sana. Amin..." ujar dia yang harus saya amini. 

"Jul, Mbak Mei mana? Aku pengin nunjukin treknya, biar dia siap-siap," tanya Ariyadi yang saya jawab dengan menunjuk Mei Mustikawati di belakang, tertinggal beberapa meter dari saya. 

Ren, Ren, depan Mahameru tuh. :D
Foto: Mas Fahmi
Betapa girangnya kami dengan kenyataan, di depan adalah Mahameru membuat kaki lebih ringan mengayun. Lebih tepatnya sedikit berlari kecil. Apalagi jalur pendakian ini cenderung landai dan kembali menurun. Tak terlalu lagi peduli dengan carrier serta jalur yang masih sekitar 2 km. Melihat puncak Semeru yang gagah sekali di siang jelang sore itu, benar-benar menjadi mood booster.

Jalan menurun dari Jambangan itu akhirnya menemui ujungnya, sebuah padang nan maha luas, Kalimati. Di sana, sudah ada Akhmad M dan Irkhas Kurniawan yang tergeletak menunggu. Kami bergembira. Empat jam, waktu yang kami butuhkan dari Ranu Kumbolo hingga Kalimati. 

Siang itu, Kalimati sudah penuh dengan tenda warna-warni para pendaki yang telah datang lebih dahulu. Tak usah khawatir bakal kehabisan tempat, sebab area Kalimati sangat luas dan bisa menampung hingga ribuan tenda. Beruntung, kami menemukan spot mendirikan camp dengan posisi yang cukup teduh, di bawah pohon cemara. 

Bebongkar carrier, bikin tenda, sebelum gerimis datang.
Foto: Mas Fahmi
Baru sebentar membongkar carrier dan memasang tenda, tetiba saja gerimis yang berubah jadi hujan tercurah dari langit. Sempat menghentikan kegiatan kami. Namun tak lama, begitu jadi gerimis, kami kembali membangun rumah sederhana, tanpa jendela. 

Menyiapkan santapan sore jadi aktivitas selanjutnya. Segelas teh hangat, susu, bandrek, kopi, aneka camilan, serta senda gurau terlebih dulu jadi penghangat dan pengakrab suasana di antara dinginnya angin lembah Semeru.

Lebih beruntung lagi, di Kalimati juga terdapat sumber mata air yang disebut Sumber Mani. Jaraknya sekitar 500 meter dan dapat ditempuh selama 30 menit PP dari Kalimati. Tak hanya itu, tersedia pula MCK untuk kebutuhan buang air dengan kondisi layak. 

Selamat sore, kamu... dari Kalimati. Depan: Mas Jack, belakang: Mbak Mei.
Foto: Mas Supri
Siang berganti sore dan malam pun menjelang. Usai menandaskan santapan, membersihkan piring, dan alat masak, Akhmad M mengambil alih untuk melakukan briefing untuk persiapan summit attack. Pertama yang dilakukan adalah mendata jumlah daypack atau tas kecil milik anggota. "Yang cewek nanti nggak usah bawa tas," kata dia. 

Setelah mengumpulkan daypack, kami diminta menyiapkan perlengkapan pribadi yang harus dibawa saat ke puncak. Sebut saja penutup wajah (masker/buff), kaus tangan, kaus kaki, senter, dan jaket. 

"Disiapin dari sekarang, biar nanti malem nggak gugup. Jangan lupa masing-masing bawa emergency blanket. Selain yang dipakai, semuanya harus masuk tas termasuk P3K, air, camilan, madu," ujarnya memberi komando. 

Suasana tegang sempat menyelimuti kami. Bukan apa, perjalanan yang akan kami lalui berikutnya tak sama seperti yang sudah dilakukan sebelumnya. Bahkan perjalanan itu belum ada apa-apanya dibanding perjalanan ke puncak. Persiapan maksimal dan disiplin adalah satu kuncinya. 

"Summit nanti jalannya nggak kayak kemarin atau tadi. Kalau memang ragu, nggak kuat mending mundur dari sekarang dan stay di tenda. Kalau mau niat naik, harus kuat, yakin. Setelah ini, jam 7, semua anggota harus tidur. Nggak ada toleransi, semua harus tidur. Jam 11 malam nanti kita bangun terus jalan." (bersambung)


GALERI

Meninggalkan Ranu Kumbolo. Satu per satu. Foto: Mas Fahmi

Wefie terakhir di Ranu Kumbolo. Foto: Ariyadi

Ketemu anjing di Tanjakan Cinta. Foto: Mas Fahmi

Saya dan Oro-oro Ombo. Foto: Mas Fahmi

Selonjor, setelah bersahabat dengan Tanjakan Cinta. 

Ibu dan anak. Saya, besok, 10 tahun kemudian. :D


Oro-oro Ombo. Padang sabana yang jadi kebun Verbena.
Foto: Mas Fahmi

Kaki, sepatu, dan kami. Jalan sekali lagi ya, kaki. 

Cie, Mbak Mei ketemu temennya. :D
Foto: Mas Supri

Sampai di Kalimati. Foto keluarga lagi. Foto: Lupa.

Kalimati, siang jelang sore itu. Foto: Mas Fahmi

Gerimis, tenda, dan Mas Supri. 

Sumbermani. Foto: Mas Supri

Mas Akhmad lagi nyiapin makanan. Foto: Mas Supri

We........ Foto: Mbak Mei

Depan-belakang: Mas Momo, Mas Fahmi, dan Mas Akhmad yang
lagi masak. Lagi? Iya, di mana-mana mah dia masak terus.
Foto: Mbak Mei


Jumat, 27 Mei 2016

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (III)


Ranu Kumbolo pagi itu. Bening, kayak kamu. *eh*

NGEBUT. Satu kata yang pas untuk menggambarkan saya untuk tulisan kali ini. Selain gairah menulis tengah menggebu, banyak respons positif dari teman dan pembaca yang bertebaran di grup WA, BBM, serta Facebook jadi mantra untuk segera menyelesaikan kelanjutan dari perjalanan Tim Piknik Keong Hore.

Ditemani suaranya Mas Ariel Peterpan -bagaimana pun saya ngefans berat sama band ini- bolak-balik dari album pertama sampai enam plus membuka foto-foto waktu di Gunung Semeru -dan langsung bikin kangen-, selesai juga bagian ketiga dari rangkaian perjalanan kami. 

Terima kasih untuk respons kalian yess. Saya happy

Ini kelanjutannya dan ini semua untuk kalian, gaes. 



Sensasi Menikmati Pagi di Ranu Kumbolo


PAGI, belum sempurna benar hari itu, Jumat (6/5). Pukul 05.15 WIB. Namun telinga saya menangkap suara di luar tenda. Sayup-sayup dan berubah perlahan sesuai dengan tingkat kesadaran saya menjadi seru-seruan. Bila tak salah ingat ada suara Akhmad M, Supriyono, dan Jack Kidd.

Saat kesadaran yang dimiliki sudah benar-benar kembali, saya membuka pintu tenda, melangkah ke luar, dan menyapa mereka. "Pagi semua..." 

Nyatanya bukan hanya Akhmad M, Supriyono, dan Jack Kidd. Kawan lain seperti Anas Masruri (Layouter SatelitPost), Elvis Rijal, Ariyadi, Irkhas Kurniawan, Anggres Santo, dan Fahmi Fauzi pun sudah beraktivitas. 


Mas-mas yang sudah bangun langsung berkerumun, nung-
gu Mas Akhmad bikin minuman. Nasib ketua rangkap juru
masak rangkap porter ya Mas... :D
"Pagi Mbak... Semalem aman?" tanya Supriyono. 

Mendengar pertanyaan tersebut, saya pun menjelaskan kondisi tenda perempuan, di mana Mei Mustikawati malam harinya, sebelum beranjak tidur, muntah-muntah lantaran masuk angin.

"Ya udah sama Reni dibikinin teh anget, terus dikasih jaket dobel. Semoga sekarang udah mendingan, Mas," kata saya. 

Usai memberikan laporan, saya dan beberapa kawan lain menikmati keajaiban di hadapan. Pagi itu, Ranu Kumbolo berselimut kabut tebal. Saking tebalnya menutup sinar Matahari yang seharusnya terbit persis di depan kami. 

Ini adalah paginya kami. Tentang Ranu Kumbolo dan kabut. 
Tak apa. Sebab paginya kami tak melulu tentang Matahari terbit, puncak gunung, atau langit cerah. Namun juga tentang kabut, suhu dingin, bahkan soal hujan atau gerimis.

Kami tetap bersukacita. Tetap dengan riang mengabadikan lanskap seindah ini dengan ponsel. Sembari mengusap-usapkan tangan, mengusir hawa dingin agar tak terperangkap di tubuh. 

Tetap dengan bahagia berloncatan, jalan ke sana ke mari, mengelilingi tenda, berbagi kejahilan bersama kawan, dan mencoba menyentuh air Ranu Kumbolo di tepiannya. Brrrrr, dingin seperti es.

Air Tuhan di Ranu Kumbolo yang dinginnya... Brrr
Supriyono yang kebagian tugas untuk mengisi botol-botol minuman pun harus merasakan dinginnya air Tuhan yang diteteskan-Nya. Beranjak agak ke tengah, ia berseru, "Nggak dingin kok kalau di sini. Malah anget."

Mendengar seruan tersebut, beberapa kawan dan saya mulai berani mlipir dan menuju ke arah tengah. Dengan air Ranu Kumbolo, kami membasuh wajah. Segarnya tak terkira. Tak ada lagi bekas kantuk atau lelah berjalan sesiangan kemarin. Semua luruh bersama air Ranu Kumbolo, pagi itu. 

Matahari dari balik bukit. Perlahan, menjadi raja pagi itu. 

Namun keeksotisan Ranu Kumbolo berselimut kabut itu tak lama. Sebab perlahan, sinar Matahari mengalahkannya. Menembus dari balik bukit, memberi terang di kawasan seluas 15 hektare tersebut. Mengikis hawa dingin yang masih tersisa, menggantinya dengan sinar hangat.

Memanfaatkan Matahari yang kian benderang, kami menjemur apa saja yang basah, bekas disiram air hujan selama pendakian kemarin. Jaket, baju, sepatu, cover bag, topi, gaiter, dan lainnya kami jemur di atas tenda. Untuk sementara, tenda kami beralih fungsi menjadi lapak peralatan outdoor

Lapak outdoor Tim Piknik Keong Hore. Monggo dipilih...

Terlalu asyik menatap Ranu Kumbolo, saya tak sadar bila camp area telah berubah menjadi 'kompleks' tenda warna-warni para pendaki. Ada ratusan tenda ada di camp area tersebut. Itu baru di sisi kiri, masih ada di sisi kanan dan di pinggir Ranu Kumbolo. Bisa jadi malah ribuan tenda.

Puas menikmati segala macam keindahan pagi itu, kami lekas membantu Akhmad M menyiapkan sarapan. Nasi goreng yang pertama kali tersaji sebagai pengganjal perut sembari menunggu sup dan nasi yang baru saja ditanak. 

Sarapan sup dengan air Ranu Kumbolo dan sayuran
Ranu Pani. Sedeppppppp. Foto: Mas Supri

Lepas dari aktivitas tersebut, sarapan pun jadi agenda selanjutnya. Nasi dihidangkan bersanding dengan sepanci sup berisi kentang, kobis, wortel, dan bunga kol, serta kering tempe, kentang, dan teri. Bagi kami, saat itu, tak ada yang lebih mewah dan enak dari menu sarapan pagi itu. Cepat saja, kami menyantapnya dan menandaskannya hingga menyisakan panci kosong.

"Setelah ini, kita packing. Jam 10 berangkat ya, biar sampai camp area berikutnya nggak terlalu sore," kata Akhmad M. 

"Emang masih berapa jam lagi, Mas?"

"Empat sampai lima jam."

Saya pun membatin, empat hingga lima jam sama saja dengan pendakian sore kemarin. Artinya jarak yang kami tempuh, kurang lebih sama. 

"Tenang, banyak bonus kok," seru anggota lain seakan mengerti apa yang menjadi kegelisahan saya. 

After packing dan bongkar tenda. Nampak saya menikmati 
semangka sisa yang dibeli di Pos 2. Enak kok. Foto: Mas Supri

Bergegas, kami pun berkemas. Mengemasi peralatan makan dan perlengkapan pribadi. Lantas bersama-sama membongkar tenda, mengumpulkan sampah, memastikan tak ada yang tertinggal, dan kembali mengisi botol air minuman dengan air Ranu Kumbolo. 

Satu lagi kemewahan saat pendakian ke Gunung Semeru, kami tak perlu khawatir tentang persediaan air sebab mata air di sini melimpah ruah. Kami hanya membutuhkan air sebagai bekal perjalanan. Selebihnya untuk masak dan lainnya, Semeru telah berbaik hati menyediakan. 

Foto keluarga. Tanjakan Cinta, Tim Piknik Keong Hore datang...
Foto: Minta tolong mas-mas tenda sebelah untuk fotoin. 
Seettt bleettt. Ransel telah dikencangkan, beban kembali berpindah ke punggung, kaki siap berjalan lebih jauh dan lama lagi, mental dan semangat harus terus digeber. 

Kami berkerumun, membentuk satu lingkaran besar, berucap syukur atas semua karya dan kebaikan Tuhan pagi itu, juga doa yang berpilin, bersatu menuju langit agar Tuhan kembali memudahkan dan melancarkan perjalanan kami. Amin. 

Tanjakan Cinta, kami datang... (bersambung)



GALERI:

Masih tentang kabut, dingin, dan Ranu Kumbolo. 

Mba Mei yang abis muntah semalam dan Mas Fahmi.
Foto: Mas Anas

Mas Supri, bapak dua anak yang punya ide ke sini.
Foto: Nah lho, ini yang motret siapa? Dedek Elvis lagi?

Persiapan sarapan. Foto: Nggak mungkin saya kan? Trus? 

Terima kasih kami pada Pak Nur Faizin, temannya Mas Supri
yang sayang banget nggak jadi ikut tapi tetap nganterin kami
ke Stasiun Tugu, Yogyakarta. Makasih atas Teh Kotak, burger,
dan sangunya Pak Nur... Panjang umur dan sehat selalu.
Foto: Reni atau siapa ya?

Reni dan foto andalannya, jam tangan. Foto: Reni

Masak-masak, kupas kobis, kentang, wortel. 

Camp Area yang berubah jadi kompleks tenda. Foto: Reni

Kaus SatelitPost pun harus eksis di Ranu Kumbolo.
Foto: Reni


Lanskap lain di Ranu Kumbolo. Ademmm benerrrr...
Foto Reni

Jadi hidup telah memilih, menurunkan aku ke Bumi.
Foto: Reni 
Meniti. Satu dari view keren di Ranu Kumbolo.
Foto: Mas Jaka
Perkampungan para pendaki di Camp Area Ranu Kumbolo
sisi kiri. Masih ada sisi kanan dan tepi-tepinya.
Foto: Reni
Verbena brasiliensis di Ranu Kumbolo. 
Ikat yang kuat Mas Irkhas... Sepatunya.
Foto: Hayoloh, ini siapa yang foto... 
Bareng Mas Supri. Apalah saya yg cuma sepundaknya. T.T
Foto: Siapa ya? Reni bukan? 
Semangka sisa beli di Pos 2 dan Dedek Elvis.


The Senior. Dari kiri-kanan: Mas Fahmi, Mas Anggres/Momo,
Mas Akhmad, dan Mas Supri. Senior secara umur dan pengalaman.
Melompat lebih tinggi bersama dua pemuda harapan desa,
Mas Jaka dan Brian. Cerita tentang keduanya ada di tulisan
mendatang ya. Foto: Mas Anas

Ranu Kumbolo dari jauh. Terima kasih untuk paginya.