Senin, 22 Februari 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 3

Saya di Taman Blambangan. Kali pertama lho foto tanpa tahu malu. :P
Foto oleh Nung


Jumat, 25 Desember 2015

PUKUL 05.30 WIB. Semua alarm di ponsel kami berdering, memecah Subuh, Jumat itu. Adalah Reni yang pertama kali bangun, disusul Kak Ros. Sementara saya dan Nung masih bergumul dengan dinginnya Subuh dan menyusup ke sela-sela sleeping bag yang kami jadikan selimut. 

"Heh, bangun... Gantian mandi, sebelum dipakai yang lain," kata Kak Ros dan Reni. 

Kami berdua agak ogah-ogahan. Apalagi saya yang hobi tidur. Rasanya, belum cukup merebahkan badan setelah 20 jam perjalanan itu. Apa mau dikata, daripada jadwal berantakan, saya bergegas ke kamar mandi, mengusir rasa malas, dan membenamkan diri pada air dingin. 

Brrrrr, dingin... 
Yok, packing-packing lagi.

Sambil menunggu personel yang masih mandi, yang lain berkemas, packing lagi, merapikan kamar. Tepat pukul 06.00 WIB, kami keluar kamar, turun, dan bertemu Bu Dewi yang tengah melayani pembeli.

"Lho, mau berangkat sekarang?" tanyanya.

"Inggih, Bu. Sambil cari sarapan sekalian di jalan," jawab kami.

"Ya udah, bentar, saya tak bilang bapak untuk nyiapin motor," kata dia menuju ke arah suami. 

Ya, selain menyediakan penginapan, Bu Dewi juga memiliki persewaan motor. Tarifnya Rp 70 ribu per 24 jam. Kelebihan sewa motor di sini adalah tanpa DP. Sementara untuk penginapan, diberlakukan DP seikhlasnya. Pengalaman kami, DP Rp 50 ribu.

Sambil menunggu Pak Subur menyiapkan dua unit motor, saya menyelesaikan kekurangan yang harus dibayarkan. Untuk penginapan masih kurang Rp 30 ribu, sedangkan motor, karena kami sewa dua hari dua motor, maka harus merogoh kocek Rp 280 ribu.

Hampir ada satu jam lebih kami tertahan di sini. Selain ada sedikit kesalahpahaman antara kami dengan Pak Subur, juga ada kelengkapan motor, yaitu lampu depan yang rusak. Pak Subur pun memberi kami dua alternatif, ganti motor atau nunggu dibenerin lampunya.


Dua motor yang kami gunakan untuk muter2 Bwi. Iya, merah-putih.
Opsi pertama kami pilih. Kami tak ingin kehilangan lebih banyak waktu. Sekitar pukul 07.10 WIB, kami keluar dari penginapan sambil menitipkan pesan pada Pak dan Bu Subur untuk mencarikan tenda, sesuai pesanan kami sebelumnya.

Ya demi alasan kepraktisan dan mengurangi barang bawaan, kami sekalian menyewa tenda dan matras untuk menginap di Ijen. Bu Subur sudah mengiyakan jauh-jauh hari. 

Dan lagi-lagi, saat keluar dari area stasiun, kami berpapasan dengan rombongan mas-mas yang naik dari St Lempuyangan. Interaksi kami, cuma menunduk malu-malu sambil senyum. Hehe.


Langit di Banyuwangi kala itu. Teduh. Mataharinya malu-malu.
Saya yang di belakang, bonceng Kak Ros bertugas sebagai navigator amatiran. Awalnya, saya pakai cara GPS manual tapi kata Kak Ros terlalu berisiko karena sering tidak jelas arahnya. Pindah dengan aplikasi navigasi dan muncul tragedi. Tab saya mendadak hang dan langsung tersedot habis baterainya. Mati saya. 

Beruntung, Pak Subur ada di belakang kami. Ia memberikan petunjuk ke mana kami harus melaju, menuju Kota Banyuwangi. Selama di jalan itu saya otak-atik Tab dan menancapkan kabel pada powerbank. Di situ saya merutuki Tab yang tak kunjung berdamai saat main ke daerah timur.

Ya, kejadian ini bukan kali pertama terjadi. Saat main ke Malang, 2014 lalu, si Tepi (nama Tab saya) juga begitu. Sudah di-charge semalaman di kereta, baru digunakan sebentar sudah langsung mati. Entah, ada yang salah.

Kekesalan pada si Tepi sedikit mencair setelah melintasi jalanan Banyuwangi. Ademmm, banyak pepohonan di kanan-kiri jalan. Jalannya juga mulus dan belum begitu ramai. Mungkin karena masih pagi.

Yeayyyy... kami sudah sudah di tlatah Blambangan. Satu daerah yang dulu cuma ada di angan dan tulisan buku diary saya, kini siap kami 'jelajahi' selama dua hari ke depan. 

Sesuai rekomendasi Bu Dewi, ada satu pantai yang deket sama kota, yaitu Pantai Boom. Dalam perjalanan menuju pantai tersebut, mampirlah ke Taman Blambangan.


Kami di Taman Blambangan begitu sampai. Mukanya masih ceria.
Awalnya, kami kira itu adalah alun-alun karena bentuknya tanah lapang. Kebiasaan kami, kalau main ke satu kota baru, wajib main ke alun-alun. Ternyata setelah dicek, itu sekadar taman. Sebab di sekelingnya tidak ada pendopo, masjid, atau lapas yang jadi penanda keberadaan alun-alun.

Setelah memarkirkan kendaraan di tepi jalan, memastikan aman, baik kendaraan maupun keril, kami menikmati taman ini sambil bertanya pada wanita paruh baya di mana kami bisa menemukan SPBU terdekat.

"Dari sini, ambil kiri terus lurus aja, Mbak, deket kok," jawabnya sambil melanjutkan aktivitas jogging


Warga setempat yang berolahraga. 
Taman Blambangan ramai dengan warga yang berolahraga. Sementara kami, foto-foto tanpa tahu malu di beberapa sudut. Seperti di tulisan Taman Blambangan sampai di tong sampahnya. Ini masih mending nggak tengah jalannya ya. Hahaha

Alhasil, aksi kami dilihatin sama warga sekitar, hehe. Dalam hati mereka (mungkin) mbatin, "Ini Mbak-mbake weruh tulisan wae nggumun?" 

Malu? Nggak dong, kan pasukan bela perasaan nggak punya malu ya. Ya sekali lagi, kami menggunakan dalih: mumpung, nggak ada yang kenal. 


Si Reni sampai nyebrang buat motoin kita. Maap ya Ren... 
Yang saya suka dari lokasi sekeliling taman ini, ada videotron berisikan daftar harga kebutuhan pokok masyarakat (kepokmas) di dekat perempatan. Nah, menurut saya, itu adalah info penting dan pasti dibaca sama para emak yang mau mborong beras, telur, minyak goreng, atau sembako lainnya ke pasar. Ketimbang videotronnya buat nayangin iklan sponsor dan itu cuma diulang-ulang. *eh*


Videotron di seberang Taman Blambangan. Banyumas wajib punya nih.
Lepas dari Taman Blambangan, kami menuju SPBU, dan balik lagi ke taman menuju Pantai Boom sesuai plang penunjuk jalan. Si Tepi sudah tidak bisa diharapkan lagi.\

Menggunakan feeling celeng (kalau kata Kak Ros), kami berusaha menemukan Pantai Boom. Selain ngikutin arah jalan, maka kami mengandalkan GPS alias Gunakan Penduduk Sekitar jadi solusi. Awalnya, kami bertanya pada pria paruh baya, kemudian laki-laki muda. 

Tak lama, kami sudah sampai di kawasan Pantai sekaligus Pelabuhan Boom karena menjadi dermaga kapal pencari ikan. Pantai Boom, merupakan satu pantai yang lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Banyuwangi. Kalau di Kabupaten Cilacap, ya Teluk Penyu atau Widuri-nya Pemalang. Saking tidak jauhnya, kita bisa jalan kaki. Tapi ya tetep menguras keringat sih.

Selamat datang di Pantai sekaligus Pelabuhan Boom. Foto oleh Nung
Kata Bu Dewi, Pantai Boom merupakan satu spot terbaik untuk melihat sunrise. Sayangnya, pas kami ke sana, jarum jam sudah menuju angka 8. Plus awan teduh memayungi kami.

Harga Tiket Masuk (HTM)-nya Rp 2 ribu per motor. Ada satu kejadian kurang mengenakkan saat hendak membeli tiket. Kami sedikit dibentak oleh penjual tiket karena salah ambil jalan masuk. Kebetulan jalan masuk kendaraan motor dan mobil, bersebelahan dan tidak ada penanda. Karena nggak tahu, kami asal masuk yang ternyata itu jalur mobil. 

Di situlah, kami dibentak, dimarahi karena salah lajur. Sontak, kami pun kaget, mlongo. "Yah, Mbak, kan kita ga tahu," bela kami sambil nyodorin duit Rp 4 ribu untuk dua motor.

IMO, tindakan petugas ini agak sedikit disesalkan. Pertama, nggak baik marah-marah mbak, nanti lekas tua lho. Kedua, 'objek' kemarahan itu adalah pengunjung, yang notabene masyarakat. Setahu saya, pekerjaan melayani masyarakat seperti mereka, dituntut tidak boleh marah-marah. Harus ramah. Boleh menegur, asal disampaikan dengan bijak, tidak dengan nada tinggi. Apalagi dia bekerja di bagian tiket objek wisata, yang erat kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) alias sumber duitnya pemerintah setempat. 

Mungkin, petugas nggak tau, kalau kami adalah tamu, pendatang karena kendaraan yang kami gunakan berpelat P. Mungkin juga, dia sedang kesal karena libur Natal, tanggal merah, disuruh masuk kerja. I know what you feel, Mbak. *eh*


Kesal setelah dimarahin petugas, keempat perempuan ini melampi-
askannya dengan foto-foto. Biar puas, nggak ada ganjelan. :D
Setelah mendapat tiket, kami bergegas mencari lahan parkir motor. Ada masalah lagi, kami kesusahan mencari. Mungkin karena ini pertama kali main tapi memang minim tanda dan tidak ada petugas yang mengarahkan. Bahkan kami harus muter dua kali sampai ketemu tempat parkir. Ada jalan kecil menuju lokasi parkir tapi meragukan karena tertutup sama pagar yang ada talinya. Akhirnya kami terobos aja deh.

Pantai Boom memiliki pasir hitam. Ya kan persis sama Teluk Penyu dan Widuri. Banyak warga yang berenang di pantai yang berhadapan dengan Selat Bali ini. Ombaknya tak terlalu tinggi namun akan lebih baik bila tetap mawas diri. 

Fasilitas lain yang tersedia di Pantai Boom adalah jogging track, mini-panggung, restoran, serta payung dengan kursi untuk menikmati pantai yang disewakan. Sesekali terdengar imbauan petugas agar orangtua menjaga dan mengawasi anak-anaknya yang berenang.


Pantai Boom yang berhadapan langsung dengan Selat Bali. 
Agak lama kami di sini. Setelah banyak foto sampai mati gaya, kami memutuskan untuk say goodbye pada Pantai Boom. Sebenarnya masih pengin di sini sedikit lebih lama tapi masih ada banyak lokasi yang harus kami singgahi dan itu destinasi utama. 

Terima kasih Pantai Boom... Kapan hari, kami ke sini lagi ya. Tentu pas pagi hari biar bisa lihat matahari pertama di ujung timur Pulau Jawa. Ya, di timur, Matahari selalu terbit lebih dulu. (Bersambung)




Galeri
Kelakuan kami sebelum keluar dari penginapan. Poto-poto lagi. Haha.

Mereka yang tidak tahu malu dan diri foto-foto di Taman Blambangan.

Sampai tong sampah aja harus difoto. Bwi punya 4 tong, Bms cuma 2.

Pasir ini erat kugenggam, tak bersisa sebutir di telapak tangan
Jika ia tak sanggup lagi menghakimi, mungkin hanya waktu yang mampu mengadili ia.
Pasir, kulelah mengukir, ku terusir tersingkir
Pasir, tak terukur, kau gugur teratur
Aku terkubur, tersungkur

Pasir-Tigapagi feat Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca)

Suasana Pantai Boom di pagi hari. Ramai. 

Tambahkan Matahari yang baru bangun. Sempurna. 

Kami di tenda yang disewain. Eh ini sebelum 'diminta' pergi
sama petugas. Hehehe. Foto: Reni

Minggu, 21 Februari 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 2

Kami di Stasiun Lempuyangan, Yk. Selain pake aplikasi B612, wajah
terlihat segar setelah cuci muka. :p

Rabu, 23 Desember 2015

THE days! Hari yang ditunggu pun datang. Rabu ini adalah hari terakhir kami masuk kerja sebelum libur Natal. Kami, utamanya saya, dengan kecepatan penuh, ngerjain tulisan untuk terbit di hari Sabtu (26/12/2015) dan Minggu (27/12/2015). Alhasil, hari Rabu yang merupakan hari liburnya tim redaksi, siang pukul 11.00 WIB, saya sudah stand by di kantor sampai pukul 17.00 WIB. Itu adalah batas maksimal yang tertulis dalam itenary keberangkatan ke Bwi. 

Di rumah sudah ada Nur yang tengah packing dan Kak Ros yang baru kelar mandi. Tanpa babibu, saya langsung ambil handuk dan cus mandi. Nggak lama, Reni pun datang. Kami berbagi perlengkapan yang harus dibawa, berkemas, dan memastikan tidak ada yang tertinggal. 

Kala jarum jam menuju angka 18.15 WIB, usai salat Magrib pula, kami bergegas. Memanggul keril (uhui). Memanaskan motor dan ngenggg, menuju Terminal Bulupitu, Purwokerto. Titik mula perjalanan menuju ujung timur Pulau Jawa. 

Terminal Purwokerto di siang hari dengan backdrop Menara Eiffel. 
Butuh 15 menit untuk sampai ke terminal. Jarak yang sebenarnya dekat, entah kenapa malam itu terasa cukup jauh. Begitu sampai di terminal, kami langsung menuju tempat penitipan sepeda motor. Untuk dua motor, dari hari Rabu malam sampai Minggu malam, kami hanya perlu membayar Rp 32 ribu. Murah? Banget. Dibandingkan sama penitipan di Stasiun Purwokerto yang muahall buanget

Dengan sedikit berlari-lari kecil, takut ketinggalan bus, kami segera menuju pool Efisiensi yang ada di paling ujung lajur bus AKAP. Beruntung, tiket bus Efisiensi jurusan Purwokerto-Yogya seharga Rp 70 ribu (momen libur jadi tarif naik) sudah di tangan. Kami pun tak perlu pusing, saat tersiar kabar, tiket sudah ludes terjual.

Dan, tepat pukul 19.00 WIB, bus yang identik dengan warna orange ini, meninggalkan terminal. Menuju Kota Pelajar, sebagai kota transit sebelum menuju ujung timur Pulau Jawa.

Bus Efisiensi di siang hari. Sumber foto: Bismania.com
Selama perjalanan, lebih banyak tawa dan candaan. Saling kepo, saling ledek, dan saling curhat. Walau akhirnya, satu demi satu, termasuk saya harus 'menyerah' karena kantuk menyerang. Apalagi kondisi jalur selatan Jawa Tengah saat itu padat merayap. Bahkan bus harus melewati Kota Kebumen demi menghindari kemacetan di Jalur Lingkar Selatan Kebumen. 

"Persiapan yang mau turun di Gamping, persiapan, persiapan," seru mbak kondektur yang sayup-sayup terdengar di antara rasa kantuk. 

Demi mendengar kata Gamping, pool Efisiensi di Yogyakarta, yang jadi satu titik pemberhentian penumpang, saya mengucek mata. Membuka mata dan menajamkan telinga. Iya benar, sudah sampai Gamping. Saya lekas bangunkan Kak Ros. Juga Nung dan Reni, tanpa kesulitan. 

"Jam piro, Ju?" tanya Kak Ros sambil menguap. 

"Jam setengah siji Mbak," jawab saya juga sambil menahan kantuk. 

Kami di dalam Bus Efisiensi. Ciee, Kak Ros cieeee, ^^
Tak lama, 'nyawa' pun berkumpul, menyentakkan sisi kesadaran, kami sudah sampai di Yogya dan butuh tempat untuk beristirahat. Beruntung, Efisiensi punya satu ruko yang jadi tempat menunggu shuttle dilengkapi dengan musala. Saya pun meminta izin pada bapak penjaga untuk singgah di musala.

"Iya, nggak apa-apa Mba. Istirahat saja di musala lantai atas. Nanti pintunya saya gembok saja, biar aman, jam 3 saya udah di sini kok," kata si bapak. 

Kami pun menyanggupi dan sebagai antisipasi saya tetap minta nomor telepon si bapak. Ya kali aja beliau lupa harus membuka ruko saat shuttle jam pertama datang. 


***

Kamis, 24 Desember 2015

Kaki-kaki yang siap melangkah, berjalan lebih jauh, sekali lagi.

JARUM jam hendak menuju angka 2. Dasar kami, yang awalnya ngantuk berat di bus, malah masih haha-hihi di sebuah ruangan ruko yang disulap jadi musala lengkap dengan karpet sajadah.

"Lumayan lah buat tidur bentar," kata Kak Ros sambil merebahkan badan.

"Iya, jadi nggak ada yang perlu jaga, bisa tidur," balas saya yang tidur di sebelahnya. 

"Eh, terus gimana Kak Ros? Si Pxxxx udah nge-LINE belum, tanya apa dia, Kak?" tanya Nung memberondong. Hahaha dan akhirnya malah pada curhat, nggak jadi tidur. Apalagi kalau bukan bahas (saya sih menyebutnya) gebetan Kak Ros. Eh.

Namun baru sekian percakapan, rasa kantuk kembali menyerang. Apalagi Kak Ros udah ngoprak-ngoprak buat tidur. Padahal sih biar dia nggak makin curhat si Aa ajah. Hahaha.

Baru sebentar kami tidur, suara pintu dibuka terdengar. Karena pintu besi jadi suaranya kenceng. Ternyata sudah lebih dari jam 3. Kami bergegas bangun. Berkemas, terus turun dan bertemu bapaknya. Basa-basi bentar, bilang makasih banyak, sambil nunggu fasilitas shuttle Efisiensi jam pertama, yaitu pukul 04.00 WIB. 

"Turun mana nanti, Mbak?" tanya pria paruh yang jadi sopir shuttle

"Rencananya mau ke Stasiun Lempuyangan, Pak. Saged dianter sampe mriku nopo mboten, Pak?" saya balik tanya. 

"Wah, nek Lempuyangan ora lewat Mbak. Opo ngene wae, tak terke neng nambahi Rp 10 ewu."

"Lah, mboten Rp 5 ewu to, Pak?" tawar saya. 

"Ora iso je, Mbak... Rp 10 ribu wae yo." Saya pun menengok ke arah teman-teman dan dibalas dengan anggukan, nggak apa-apa. 
Kami di dalam Shuttle Efisiensi. Maaf, ini muka baru bangun tidur.

Hampir satu jam kami nunggu penumpang lain di dalam shuttle. Sempat turun lagi untuk salat Subuh. Pukul 05.00 WIB, Efisiensi jurusan Cilacap-Yogyakarta merapat. Telat satu jam karena macet. Begitu penumpang lain masuk, shuttle lekas meluncur, membelah jalanan pagi di Kota Pelajar.

Saya yang paling nggak bisa nggak ngajak ngobrol orang, membuka percakapan dengan seorang karyawati muda, yang duduk di sebelah. "Turun mana, Mbak?"

"Malioboro Mbak," jawabnya. "Mbaknya?"

"Lempuyangan."

"Mau traveling ya, Mbak? Ke mana?"

"Main aja sih Mbak, hehehe. Ke Banyuwangi."

"Wah, keren, keren... Saya itu udah kepengin banget traveling Mbak, tapi susah waktunya sama nggak ada temen," katanya dengan raut sedih. 

"Iya sih Mbak, susahnya kalau mau pergi rame-rame itu waktu liburnya suka nggak bareng. Ya disempetin aja main kemana." (Pura-pura nasihatin, padahal sendirinya susah banget kalau disuruh libur. Hahaha)

Setelah itu, percakapan ala kadarnya seperti kerja di mana, bagian apa, sudah berapa lama, dan lainnya sampai yang bersangkutan turun di Malioboro lantas melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan Trans Yogya.

Sekitar pukul 05.45 WIB, kami sampai di Stasiun Lempuyangan, Yogya. Ramai. Kalau dilihat dari barang bawaan, banyakan anak muda yang mau backpacker dan naik gunung. Sementara Nung mampir ke ATM, saya, Reni, dan Kak Ros dengan pedenya poto-poto. Mumpung, nggak ada yang kenal sama wajah-wajah kami, hehehe

Mumpung nggak ada yg kenal sama kamu ya, Jul.
Foto oleh Reni
Barulah, kami check in, menyerahkan tiket dan KTP, masuk ke selasar ruang tunggu. Karena masih ada beberapa hal yang harus dilakukan dan agar tidak terlalu lama, kami bagi tugas. Saya dan Reni beli air dan roti, sedangkan Kak Ros dan Nung beli sarapan. Ngumpul lagi, ternyata Kak Ros dan Nung belum dapat sarapan. 

"Kayaknya yang chicken-chicken (maksudnya ayam tepung) gitu belum buka. Biasanya di sini," kata Kak Ros sambil nunjuk satu lapak yang masih tutup. "Gimana, mau yang lain aja?" 

"Nggak apa-apa sih Mbak, yang penting sarapan," jawab saya. 

Akhirnya, setelah menggeletakkan keril yang kemudian dijaga Nung, kami menuju ke lapak nasi rames yang sudah buka. "Monggo Mbak, mau sarapan pake apa? Ada gudeg, sayuran, ayam, telur," kata ibu penjual seraya berpromosi. 

Mata saya berbinar saat menemukan sayur oseng pepaya. Favorit saya nih. Sementara teman-teman lain memilih lauk ayam tepung, saya setia dengan telur dadar. 

Yeay, pasukan bela perasaan siap berangkat. Grak!!!
Sarapan sudah didapat, maka membersihkan wajah dan badan sisa tidur semalam jadi agenda selanjutnya. Numpang di toilet stasiun, kami cukup mencuci wajah, sikat gigi, pulaskan BB cream/pelembap, dan pakai parfum. Tadaaaa, tak ada lagi bekas kucel setelah menempuh perjalanan eeeenam jam. Hehehe

Nah saat balik ke tempat duduk, kami sempat melewati rombongan mas-mas ber-keril. Melihat gaya yang masih bersih dan rapi, sepertinya mau backpacker juga. Kami malah berpikiran, jangan-jangan tujuannya sama, ke Bwi. Sebab dari beberapa kereta yang sempat berhenti di Lempuyangan, mereka tidak kunjung naik. 

Asa pun tercipta. Alhamdulillah, kalau ada teman yang tujuannya sama. Lumayan jadi teman ngobrol atau jalan bareng. Tapi apalah daya kami yang nggak berani kenalan sama mereka. Sebaliknya, mereka juga nggak ngajak kenalan kami. Padahal udah lihat-lihatan dari awal ya, Mas. Hahaha

Sambil nunggu kereta jalan, ya gini foto dulu
sama keretanya. Foto oleh Nung
Pukul 07.15 WIB, KA Sri Tanjung, kereta kelas ekonomi bergerbong enam yang membawa kami menuju ujung timur Pulau Jawa, Bwi, bersiap berangkat. Bismillah, semoga dimudahkan dan dilancarkan. Lah ndilalah-nya, rombongan mas-mas itu juga satu gerbong dengan kami dan tetap tidak ada perkenalan hingga sampai di Bwi. Maklum, masih jaim.

Empat belas jam, 32 stasiun. Itu adalah waktu dan jumlah stasiun yang harus kami tempuh sebelum menginjakkan kaki di Bwi. Lantas, apa sih yang bisa kami lakukan untuk 'membunuh' waktu selama itu di kereta? Foto-foto, jahil sama yang lagi tidur, haha-hihi, makan kuaci, main tebak-tebakan, sampai kepoin LINE punya Kak Ros, haha

Honestly, kami paling nggak bisa anteng. Sebosan apapun, selalu aja ada hal yang bisa dilakuin dan bikin ketawa. Apalagi saat keretanya berhenti lama di sebuah stasiun kecil di Jawa Timur. Yang kami bahas adalah petugas keretanya yang sedappp dipandang. Termasuk saat melihat ratusan kupu-kupu kuning melintas di balik jendela pas masuk di Ngawi hingga Madiun. Bahkan mereka pun ikut menyambut kedatangan kami. Makasih... 

Stasiun Gubeng, Surabaya. Sempetin turun, jalan-jalan sekitar sini.
Biar nggak bosen. 
Saat berhenti di Stasiun Gubeng, Surabaya, Kak Ros dan Reni sempat turun beli makan. Kok bisa? Bisa dong, KA Sri Tanjung berhenti agak lama sekitar 15 menit untuk ganti 'kepala' sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini, lauknya disamain, rempela-ati. MasyaAllah, walau makan dua bungkus nasi buat berempat (sebenarnya beli empat, yang dua disimpen buat makan malam) itu enakkkkkk bangettttt. Selain cara masak ati ampela yang pas, nasinya juga masih anget. Kami sepakat, nasi rames depan Stasiun Gubeng ini rames paling endessss selama perjalanan. 

Kereta pun kembali berjalan dan air Tuhan mulai turun. Sempat was-was jangan-jangan Banyuwangi juga hujan. Ah, semoga nggak. Di sisa perjalanan itu, kami gunakan untuk tidur, pijetan, masih haha-hihi, dan ngecek stasiun satu per satu saat jam sudah menuju angka 8. Takut kelewat karena stasiun yang kami tuju bukan stasiun akhir. 

Makan malam dengan rames depan St Gubeng yang disimpan. :D
Pukul 21.00 WIB, KA Sri Tanjung merapat ke Stasiun Karangasem. Alhamdulillah... Setelah 14 jam superlama di KA Sri Tanjung itu, kami sampai di daerah berjuluk The Sunrise of Java, Banyuwangi. Tepatnya di St Karangasem. Yeayyyy...

Ada banyak rasa, nggak percaya, takjub, dan syukur jadi satu. Kami, iya sudah sampai di Banyuwangi?! Ini bukan mimpi kan? Cubit kami, plisss. Hihi.

Bukan kami kalau nggak heboh dan langsung selfie. Sampai diawasin satpam stasiun. Daripada nunggu penumpang yang keluar satu per satu, mending kami putu-putu kan, Pak? Hehehe

Pasukan Bela Perasaan sampai di St Karangasem, Alhamdulillah
Setelah puas ambil gambar, kami keluar menuju penginapan yang sudah dipesan sebelumnya. Dengan langkah percaya diri, kami berjalan kaki sambil ketawa-ketiwi. Jalan sekitar 200 meter, lho kok nggak nemu penginapannya. Pikiran salah jalan sudah menghampiri dan hehe, iya benar. Kami salah jalan.

Akhirnya kami kembali lagi ke stasiun. Ternyata, penginapan yang semalamnya Rp 20 ribu per orang itu ada di depan stasiun persis. Iya, Rp 20 ribu!!! Weladalahhh...

Sebenarnya sebelum sampai di Karangasem, saya sempat telepon pemilik penginapan, Bu Dewi tentang lokasi penginapannya. "Depan stasiun kok Mbak, dari pintu keluar ambil kanan," katanya. 

Tapi begitu kami keluar stasiun, kalau kami ambil ke kanan, itu semacam jalan buntu. Ada sih satu minimarket, terus markas Banyuwangi Adventura yang awalnya kami mau sewa motor di situ tapi nggak jadi, terus rumah singgah. Makanya, karena nggak yakin, kami ambil jalan ke kiri yang ternyata jalan sepi. Nah ternyata yang jadi penginapan ya minimarket itu, yang ada tulisan Minimarket Subur. Ampun dehhh... 

Stasiun Karangasem, Banyuwangi. Penginapannya ada di depannya.
Persis. Cuma perlu 'ngesot' kan? Sumber foto: Panoramio.com
Kedatangan kami rupanya sudah dinanti oleh Pak Subur atau Abu Tholib dan istrinya, Bu Dewi. Namun, kami lebih banyak berinteraksi dengan Bu Dewi. 

"Ini yang namanya Mbak Juli yang mana?" tanyanya saat kami sampai di hadapan. 

Saya dengan malu-malu *uhuk* maju. Lantas berbincang sebentar, berbasa-basi membahas ramai tidaknya penginapan, bagaimana cuaca selama sepekan terakhir, termasuk kabarnya. Ya, setiap kenalan atau ketemu dengan orang lain, maka selain nama, kabar adalah pertanyaan kedua yang saya sampaikan. Bu Dewi yang masih muda, kisaran 35an itu pun menyambung dengan pertanyaan rencana kami selama di Banyuwangi. 

"Kalau masih punya tenaga, mending malem ini aja ke Ijen, rame kok. Terus kalau ke Baluran, lebih baik di atas jam satu karena hewan-hewan di sana keluar jam segitu," sarannya. 

"Wah, mboten Bu. Ini masih capek, istirahat dulu aja," kata saya.

Bu Dewi pun lantas mengantar kami lantai dua yang jadi lokasi penginapan sambil masih terus bercakap, kamar yang akan kami tempati sudah dipersiapkan sedari siang dan tinggal satu-satunya. Lainnya full booked. Mau tahu kenapa? Karena tarifnya murah pakek bingittt, Rp 20 ribu per orang.

Di kamar penginapan, di pagi hari, packing. Luas kan?
Serius, saya rekomendasikan penginapan ini buat yg kantongnya cekak.
Kami pun agak kaget setelah masuk kamar. Serius, ini penginapan recommended bangettt. Murah tapi nggak murahan. Kamarnya luas, dilapisi karpet hijau dengan satu kasur, satu bantal, dan kipas angin. Bersih, nyaman, dan aman pula. Kami nggak salah pilih. Bahkan Bu Dewi sempat menawarkan bila ingin dibikinkan mi rebus atau makanan lainnya bisa pesan di bawah, maksimal pukul 22.00 WIB. 

Kalau sudah seperti ini, nikmat Tuhan mana lagi yang akan kami dustakan. Bertemu dengan orang baik dan perhatian. Semoga selalu diberkahi Bu Dewi dan sekeluarga...

Pun kamar mandinya. Meski cuma satu dan dipakai antre dengan tamu lain tapi bersih. Bak mandi berganti ember, kloset duduk, plus shower. Tidur di sini itu udah kayak di rumah sendiri. Enak dan nyamannn banget. 

Kelelahan setelah menempuh perjalanan 20 jam, enam jam di bus dan 14 jam di kereta dengan tidur ala kadarnya, tertebas sudah. Alhamdulillah... Terima kasih, Tuhan... (bersambung)


Note: Lagi-lagi soal lagu. Perjalanan ke timur ini saya lebih sering mendengarkan lagu Sia-Cheap Thrills dan Tigapagi yang album Roekmana's Repertoire, band Indie asal Bandung yang menyihir telinga saya sampai sekarang. 

CP: Penginapan sekaligus Minimarket Subur 085236155003


Sri Juliati dan Sri Tanjung. :p
Foto oleh Nung


Beginilah kelakuan kami di kereta. Malu? Nggak. :D

Reni dan Nung tertidur pulas. Capek??? Hahaha.
 

Maap, jangan tiru adegan ini, plis. Hanya utk orang2 jahil dan kurang
kerjaan. Hehehe. Maap ya Ren... :*
Ide: Nung, Tulisan: Juli, Foto: Kak Ros

Dua perompak eh perampok hati. Uhuk. :D


Jumat, 19 Februari 2016

Menuju Ujung Timur Pulau Jawa Bagian 1

Peta Kabupaten Banyuwangi. Tujuan liburan akhir tahun 2015.
Sumber foto: www.banyuwangikab.go.id
SEMUA ini berawal dari buku diary kecil, bersampul hijau, yang terselip di antara koleksi buku. Di satu lembarnya, di awal tahun 2015, saya menuliskan Banyuwangi sebagai wishlist destinasi wisata yang harus disambangi. Setidaknya sekali seumur hidup. 

Time flies. Hingga September, pas naik ke Gunung Prau bareng Pasukan Kece Bong, saya masih terngiang dengan wishlist ini. Sampai ditanyain mau ke mana akhir tahun sama Mas Widi pun, si ketua Pasukan Kece Bong, saya dengan mantap menjawab: Banyuwangi. -selanjutnya saya tulis dengan singkatan Bwi-

Sekitar bulan November, saya pun iseng, googling backpacker ke Bwi. Ada satu tulisan lengkap dari Mba Diah Nurrayni di blog-nya. Saya baca sampai akhir dan seketika muncul rasa takjub: "Gila, Mba-nya berdua, cewek-cewek aja bisa kok, masak saya yang punya banyak pasukan nggak bisa?!"

Dari tulisan itulah, rencana ke Bwi, saya share ke Reni Suryati, perempuan yang setahun belakangan jadi partner klayapan. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengiyakan. Bahkan, kalau tidak ada tambahan personel, kami siap main walau cuma berdua. 

Pun saat saya tawarkan pada Nur Fatimah, si bungsu di kelompok kami. Awalnya masih pikir-pikir, tapi sejurus kemudian, langsung diiyakan. Susun-menyusun plan kasar, saya tanyakan pada Kak Rosmawati, sosok yang paling dituakan *eh.* Sama seperti Nur, sempet pikir-pikir tapi OK deh. Yang penting beli tiket dulu, jadi atau batal, itu urusan nanti. 


Rencana kasar ala saya. Hahaha.
Sempet juga ngompor-ngomporin teman lainnya. Sayangnya, ada sudah ada plan piknik sendiri, ada yang naik gunung, ada juga yang nggak boleh ambil libur atau cuti. Akhirnya, terkumpullah pasukan bela negara, eh pasukan bela perasaan yang terdiri dari saya, Reni Suryati, Nur Fatimah, dan Kak Ros. Tanggal bepergian kami sepakati, yaitu Kamis (24/12/2015) hingga Minggu (27/12/2015). 

Karena tak ingin kehabisan tiket, saya dan Reni lekas berburu ke Stasiun Purwokerto. Ketiadaan kereta jurusan Purwokerto (Pwt) ke Bwi membuat kami cari alternatif. Hingga terpilihlah KA Sri Tanjung, jurusan St Yogyakarta Lempuyangan ke St Karangasem, Banyuwangi dengan tarif Rp 100 ribu per orang. 

Pertanyaannya, kenapa bukan Stasiun Banyuwangi? Dari referensi blog yang saya baca, Stasiun Karangasem lebih dekat ke kota dibanding St Banyuwangi yang jadi tujuan akhir si kereta ekonomi ini. Sementara stasiun akhir itu cenderung lebih dekat ke Pelabuhan Ketapang. 


Pasukan Bela Perasaan. Dari ki-ka: Juli, Nung, Reni, dan Kak Ros.

Setelah membeli tiket, hingga sekitar dua minggu sebelum hari H keberangkatan, nyaris tak ada pembahasan apapun soal Bwi. Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Saya sibuk ngurusin berita, liputan karena ada teman wartawan yang cuti, Kak Ros sibuk sama audit dan laporan akhir tahun, Reni sibuk kejar target, dan Nur sibuk ngurusin administrasi.


Tulisan saya di kolom Sorot Redaksi.
Membandingkan dua Banyu, hehe.
Namun di sela-sela kesibukan, kami masih sempatkan untuk googling, cari penginapan, transportasi, termasuk tempat yang wajib dikunjungi. Setelah mendapat kontak dll, H-2 minggu, kami putuskan untuk kumpul, bahas perlengkapan, itinerary, dan lainnya. Setelah beres, kami pun menunggu datangnya hari H sambil menyelesaikan pekerjaan. Can't wait!!! (bersambung)