Jumat, 04 Desember 2015

Kala Hati Terpikat di Bromo


SELAMAT malam.

Gunung Batok, Bromo, dan Semeru dari kejauhan.
Kerennnnn bangettttttt. Foto: Anang Firmansyah

Ternyata, lama nggak posting soal gunung itu bikin kangen. Ngublek-ngublek file lama, ketemulah dengan cerita perjalanan ke Gunung Bromo, akhir tahun lalu. Pas banget, belum ada bahan untuk mengisi halaman Leisure Time SatelitPost.

Jadilah dengan kecepatan penuh, berpacu dengan deadline, saya lekas merampungkan tulisan ini. Kalau dirunut lebih jauh, ini adalah kelanjutan perjalanan ke Malang bareng anaknya Pak Bambang alias Dodi Nugroho, sahabat saya dari SMP sampai sekarang.

Untuk itu, terima kasih buat kontributor tulisan ini, Dodi yang karib disapa Hoho, sekaligus inisiator main ke Gunung Bromo. Terima kasih sudah nyariin open trip, terima kasih sudah jadi sahabat perjalanan yang baik. Kamu emang paling bisa diandalkan, bro... 

Juga Anang Firmansyah, fotografer SatelitPost buat foto-foto kecenya. Yap di tulisan ini, saya lebih banyak menggunakan foto milik Anang. Alasannya, secara teknik dan hasil, jauh lebih bagus dibanding punya saya dan Dodi.

Maklumin untuk kosakata yang rapi ya karena ini untuk terbit di koran. Dan di beberapa bagian, saya sisipi beberapa cerita dengan diksi versi saya. Selamat membaca. 

Btw, saat mau post tulisan ini, ada berita tentang status Gunung Bromo yang dinaikkan dari level II Waspada ke level III Siaga. Imbasnya, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menutup objek wisata kawah gunung tersebut seperti kawah Bromo, lautan pasir berbisik, dan savana dari seluruh aktivitas wisata.

Seperti dikutip dari liputan6.com, dengan status siaga tersebut, kaldera di Gunung Bromo harus steril dari wisatawan dan aktivitas masyarakat karena jarak aman sekitar 2,5 kilometer. Semoga selalu aman, Bromo. Kami rindu. 

================================================================

BRAHMA. Nama dewa utama dalam Agama Hindu tersebut disematkan pada gunung setinggi 2.329 mdpl di Jawa Timur. Yang kemudian dialihbahasakan menjadi Gunung Bromo. 

Bagi penduduk sekitar, utamanya Suku Tengger, Bromo merupakan gunung suci. Setahun sekali, mereka mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara tersebut bertempat di Pura Luhur Poten yang berlokasi di kaki gunung. Upacara Kasodo dilakukan pada tengah malam hingga dinihari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (ke 10) menurut penanggalan Jawa.

Kawasan Pegunungan di sekitar Bromo.
Foto: Anang Firmansyah
Kini, tak ada yang tak mengenal Bromo. Berlokasi di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, gagahnya Bromo sudah moncer hingga ke penjuru dunia. Hamparan lautan pasir membentang, gunung tinggi gagah menjulang, serta berbaris pegunungan, perbukitan seakan menjadi pagar kawasan ini. Menjadikan kawasan Bromo sebagai daerah tereksotis di Indonesia, bahkan di dunia. 

Oleh karena itu, tak sebatas menjadi gunung suci, Bromo juga menjadi satu destinasi wisata di Jawa Timur, bagi wisatawan lokal dan manca. Jangan heran, nyaris setiap hari, ada saja wisatawan yang datang berkunjung. Jumlah ini bakal meningkat kala libur panjang dan akhir pekan. Kebanyakan, mereka ingin menikmati suasana sunrise atau matahari terbit di Bromo. 

Ada dua cara yang bisa dipilih untuk 'bermain' di sini. Jika cukup nyali, tahu medan, mahir berkendara, dan irit budget, membawa kendaraan pribadi bisa menjadi pilihan. Sebaliknya, bila terlalu awam, sama sekali buta tentang Bromo, bergabung dengan paket wisata alias open trip bisa jadi solusi. Selain lebih aman dan terkondisikan, dengan open trip, bisa menambah teman perjalanan. Pasalnya, dalam satu rombongan terdiri dari empat hingga delapan, menyesuaikan dengan kapasitas jeep yang disediakan. 

Gunung Batok dan Pura Luhur Ponten. Foto: Saya
Seperti yang SatelitPost lakukan, beberapa waktu lalu. Besaran biaya yang dipatok dari penyedia jasa open trip, mulai dari Rp 300 ribu hingga jutaan, tergantung paket wisata yang dipilih. Berkaca pengalaman, Fun Adventure Malang menawarkan tarif yang lumayan yaitu Rp 300 ribu. Dari cerita beberapa teman seperjalanan, tarif ini jauh lebih murah dibanding yang mereka dapatkan.

(Teman seperjalanan ini kami 'temukan' saat sama-sama menunggu jemputan. Kebanyakan dari Jakarta dan pasangan. Glek)

Gunung Bromo bisa ditempuh melalui jalur Probolinggo, Nongkojajar, dan Tumpang. Dari penjelasan sopir jeep yang kami sewa, Mas Andik, jalur Probolinggo dan Nongkojajar bersahabat untuk setiap jenis kendaraan. Sebaliknya dengan jalur Tumpang, Malang. Siap-siap untuk berlonjak kaget saat melintasi jalan makadam dengan tanah dan batu mencuat lepas. Pun lagi jalurnya sempit dan gelap, utamanya saat malam hari. 

Bila menggunakan jasa open trip, biasanya para sopir jeep akan menjemput wisatawan di meeting point yang telah disepakati. Biasanya di dalam Kota Malang, seperti di alun-alun, stasiun, atau beberapa kawasan lainnya. Karena tujuan utama SatelitPost ingin menikmati sunrise, maka Mas Andik menjemput di Alun-alun Malang pukul 00.30 WIB. 

Jangan kira perjalanan yang dibutuhkan hanya satu atau dua jam, nyaris tiga jam. Meski demikian perjalanan malam itu cukup mengasyikkan karena Mas Andik sangat komunikatif, merangkap menjadi tour guide yang menjelaskan segala detil perjalanan, apa saja yang harus dilalui, dan lainnya. Jeep pun beberapa kali berhenti demi menunggu rombongan lain. Sekitar pukul 02.00 WIB, rombongan jeep pun berarak, bergantian melibas jalur menuju Bromo.

Setelah 'bertempur' jalanan yang lebih sering membuat kaget dan gagal tidur, jeep pun berhenti di jalan menuju Bukit Penanjakan 1, satu spot terbaik untuk menikmati keeksotisan Bromo dari kejauhan serta ketinggian tertentu. 

(Soal kemahiran Mas Andik mengemudikan jeep, jempol 10 buat dia. Wuuuhhh, jago banget. Tahu mana lokasi kubangan, ketemu jalan berlumpur. Kagum saya)

Jika beruntung, jeep akan berhenti di dekat lokasi bukit sehingga hanya tinggal jalan kaki beberapa langkah saja. Namun bila sopir jeep tak menemukan tempat parkir yang cukup dekat, siap-siap saja jalan kaki dengan trek jalan aspal menanjak dan menguras tenaga. Tenang, bagi Anda yang memilih hemat waktu dan tenaga, bisa menggunakan ojek yang akan terus-menerus menawarkan jasanya dengan tarif mulai Rp 15 ribu hingga Rp 50 ribu untuk dua orang, tergantung jarak yang ditempuh. Jika masih keukeuh jalan kaki, tolaklah dengan halus dan gunakan bahasa Jawa. Niscaya, Anda tak akan dikejar atau ditawari lagi.

(Saya pun sempat berniat untuk menggunakan jasa ojek. Bukan apa-apa, saya agak kaget dengan langkahnya si Hoho yang cepat dan lebih sering tertinggal di belakang. Karena satu alasan, saya memilih tetap jalan kaki. And the best moment adalah Hoho akhirnya mau nemenin jalan sambil menepuk-nepuk punggung dan bilang, "kuat lah, lulusan Prau kok ra kuat." Sahabat 15 tahun saya itu kayaknya nggak bisa sehari aja nggak ngledekin ya. Hemmm.

Satu-dua tukang ojek memang masih menawari kami dan bilang,"nanti nggak dapet sunrise lho, Mas." Dan Hoho pun menjawab, "Mboten nopo-nopo, Pak. Lagian niki masih kuat jalan kok."

"Depan, yang ada portal itu berhenti bentar ya, istirahat," pinta saya yang dibalas dengan anggukan.

Setelah sampai portal, lho ternyata sudah masuk lokasi Bukit Penanjakan. Kami pun langsung mencari lokasi yang nyaman dan tak terlalu ramai, yaitu di dekat menara. Waktu itu, hanya ada beberapa pengunjung. Kami pun foto-foto sebentar. 


"Aku kayaknya mau ke toilet dulu sambil beli Pop Mie. Kamu mau?" tanya Hoho. 

"Enggg, aku kopi aja deh," jawab saya sambil tetap mengarahkan kamera ponsel milik Hoho. Sementara Tab saya sudah wafat sebelum waktunya. 

Baru jalan beberapa langkah, Hoho sudah memanggil. "Ju, ju... Sini, sini, lebih bagus," seru dia sambil menunjuk lokasi baru yang tak jauh dari tempat saya berdiri. Dan ternyata benar, lokasi ini jauh lebih terbuka dan padang)
Selain Alhamdulillah, terima kasih Tuhan untuk panorama sekece ini,
apalagi yang harus diucapkan. Foto: Anang Firmansyah
Menikmati sunrise dari Bukit Penanjakan adalah satu kemewahan yang dihadirkan Tuhan di Bromo. Dari ujung timur, matahari muncul, 'melahirkan' warna emas yang rupawan dan menyihir mata. Sementara jika melirik ke sebelah, Gunung Semeru, Bromo, dan Batok nampak, menyembul dari lautan kabut yang berarak. 

Kawah Jonggring Saloka, kawah Gunung Semeru terlihat mengeluarkan asap, juga Gunung Bromo, tanda masih aktif. Sementara Gunung Batok bersemayam tenang dengan rupa hijaunya. Hanya kalimat indah, pujian yang terlontar kala melihat pemandangan alam yang amat luar biasa. 

Sebenarnya lokasi untuk menikmati magic-nya pemandangan ini tak hanya dari Bukit Penanjakan, melainkan di Bukit Cinta yang masih satu jalur dengan Penanjakan. Hanya saja itu lokasi alternatif bila Bukit Penanjakan terlalu ramai. 

(Sambil menikmati sunrise, foto-foto, kami pun berbagi. Saya nggrusuhi dia makan Pop Mie, sebagai gantinya kopi saya jadi sasaran. Buat saya, ngopi dan ngemi di atas bukit atau gunung adalah satu hal yang paling menyenangkan. 

Kami pun sempat bertemu dengan rombongan keluarga asal Jerman dan Tiongkok, jika didengar dari bahasa mereka. Kami pun hanya tersenyum. Mau diajakin ngobrol, bahasa Jerman saya sudah sangat payah. Mandarin? Lupa. Ampun deh, Mak...)

Puas menikmati sunrise, SatelitPost dibawa untuk menjelajah ke Gunung Bromo. Untuk sampai, menjejakkan kaki di Bromo, ada dua cara, jalan kaki atau menyewa kuda. Jalur yang menuju puncaknya pun ada dua, naik tangga dan mlipir di pinggir gunung. Keduanya sama-sama bertemu di pinggir kawah. 

(Mau tahu cara saya turun dari Bukit Penanjakan menuju lokasi parkir jeep? Lari. Hahaha. Hoho yang ngajakin saya lari, katanya biar cepat sampai. 

Saya dan Hoho foto di atas jeep yang mengantarkan kami ke sini.
Suwun atas jepretannya Mas Andik
Setelah ketemu dengan jeep-nya yang harus dihafal nomor pelatnya, kami pun ngobrol-ngobrol dengan Mas Andik dan sopir jeep lainnya. Soal Bromo dan lain-lainnya. Bosan ngobrol ya kami duduk santai di pinggir jalan sambil nunggu peserta lain yang masih di jalan. Saya sempat menunjuk satu gunung yang terletak di kejauhan dan Hoho pun menegur. 

"Itu jangan tunjuk-tunjuk. Pamali. Tarik lagi." Tapi sejurus kemudian, "Hahaha. Kan cuma mitos, kayak gitu kok dipercaya." Huuuu, dasar.

Sebelum sampai ke Gunung Bromo, Mas Andik sempat mengajak kami main sebentar di kawasan rerumputan. Foto-foto itu yang pasti. Kami kan pasukan narsis. 

Setelah sampai di lokasi parkir Gunung Bromo, Mas Andik cuma berpesan, hati-hati dan akan tetap menunggui kami jam berapa pun mau turun. Alhamdulillah-nya, cuaca kala itu teduh, nggak panas dan mendung banget.

Berbekal satu botol air minum dan Coki-coki, kami pun mulai melangkahkan kaki. Saat itu, ramaiiiii bangettttt. Mungkin karena libur Natal dan anak-anak sekolah ya. Dan sepanjang jalan itu, tetap saja saya ketinggalan dari Hoho. Dia? Nungguin lah. Termasuk saat kami memilih mlipir pinggir gunung. Ogah capek dan ngedap jadi alasan kenapa saya nggak mau naik lewat tangga. 

Monggo, buat yang nggak mau capek, bisa naik kuda.
Foto: Anang Firmansyah
Saat berjalan mlipir itu, kami berpapasan dengan banyak orang. Satu yang paling saya ingat adalah rombongan keluarga dari Kartasura dengan seorang bapak yang kocak abis karena diledek anak-anaknya, "Jarene mantan penerbang, ngene wae wedi Pak." "Lho kuwi kan mbiyen, saiki bapak wis tuwo, wis wedi."

"Dari mana Mas?" tanya si bapak ke Hoho. 

"Dari Solo, Pak..."

"Lho Solone pundi?"

"Hehehe, Klaten, Pak."

"Klatene?"

"Polanharjo."

"Woalah, jebule wong Polanharjo tooo. Aku Kartosuro. Iki ngajak dolan anak-anak. Heh, cah, bapak dienteni... Bapak i lho wediii, ngertio mau lewat tangga wae," ujar si bapak. 

Dan karena satu daerah, akhirnya kami pun ngobrol dengan si bapak menggunakan bahasa Jawa. Termasuk saat mereka mengambil foto kami bersama dan berpamitan, turun lebih dulu karena hendak melanjutkan perjalanan ke Bali. 

"Mbak, Mas Polanharjo, pamit sek yoo," seru si bapak. "Nggih Pak, ngatos-atos," jawab kami, kompak)

Saya dan Kawah Bromo yang aduhaaiiii bangett dan bikin nyer-nyer.
Foto: Dodi Nugroho
Dari bibir kawah, terdengar jelas bagaimana suara gemuruh Bromo, tanda masih aktif. Mendesiskan asap. Hati-hati, jaga langkah saat di kawasan ini karena konturnya berpasir. Namun lebih dari itu, ini adalah pengalaman paling ajaib, menarik, dan jelas tak terlupakan. Sebab kawah Bromo begitu nyata di depan. 

Masih di kawasan Bromo, bersemayam pula sebuah pura yang menjadi tempat beristananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dipuja oleh umat Hindu, yaitu Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pura ini menjadi tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Pura Luhur Poten berdiri tahun 2000. Pura ini menjadi tempat pemujaan Dewa Brohmo (Dewa Brahma), yang menjadi manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Pencipta. 

Pura Luhur Ponten nampak dari kejauhan. Foto: Anang Firmansyah

Dari Bromo, lautan pasir alias Segara Wedi jadi tujuan selanjutnya. Sejauh mata memandang, hanya ada pasirrrrrrr yang terlihat. Membentang maha luas. Pasir berbisik, begitu fenomena alam yang disematkan di area ini. Pasalnya, pasir-pasir yang terbawa angin tersebut, seakan bergemerisik, 'berbicara' dalam bahasanya mereka. 

(Di sini, kami tak terlalu banyak mengambil gambar. Mati gaya, boooo)

Masih ada kawasan lain yang dipastikan menghipnotis, yaitu padang savana yang orang sebut dengan Bukit Teletubbies. Perbukitan 'berbaris rapi' dengan permadani warna hijau yang amat empuk. Benar-benar mirip seperti rumah Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Po itu.

(Sayang pas sampai sini, hujan turun dengan lebatnya. Plus kami yang sudah mulai payah. Capek)
Foto: Anang Firmansyah

Semua lanskap alam yang ada di Bromo sungguh memikat mata, menenangkan jiwa, dan membuat jatuh hati. Mata benar-benar dimanja pemandangan seajaib ini. Keakraban dan keramahan warga sekitar juga membuat betah, damai. Tak ada yang tak terpikat dengan karya Tuhan ini. Bahkan, Tuhan mungkin tersenyum kala mencipta panorama seindah ini. (*)


Nomor telepon Fun Adventure Malang: 0821-3989-9009
Nomor telepon Mas Andik, sopir jeep yang baik hati banget: 0812-3373-6374

Minggu, 29 November 2015

Wisata Bukit yang Lagi Hits di Banyumas

Panorama dari Bukit Taman Angkasa, Banyumas.
Foto dari Sukarni, Gerakan Desa Membangun


BANYUMAS boleh bangga. Meski menyandang status kota (kecil) namun wilayah ini dikelilingi landmark alam yang amat mengagumkan. Kawasan perbukitan, lembah, dan sungai, membentang di Sinaring Tanah Jawa ini.

Tak berlebihan menyematkan julukan Banyumas, surga seribu curug alias air terjun. Juga tak berlebihan pula, menambahkan kata: bukit. Banyumas, surga 1000 curug dan bukit. Hal ini sebagai bonus topografi Banyumas yang berada persis di kaki Gunung Slamet.

Dulu, orang hanya mengenal Banyumas dari Lokawisata Baturraden sebagai ikon wisatanya. Namun, beberapa waktu belakangan, wisata curug mulai mendapat tempat. Yang dulu didatangi hanya segelintir orang, kini ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun luar kota. Mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang tua. 

Pun dengan wisata bukit. Dulu, orang hanya tahu Bukit Bintang di Baturraden sebagai satu lokasi untuk melihat Kota Purwokerto dari ketinggian. Kini, ada beberapa bukit yang bisa 'dijelajahi' demi memandang Banyumas dan sekitarnya dari ketinggian tertentu. 

Bisa dibilang, media sosial jadi satu pemicu tenarnya dua lanskap alam hadiah untuk Banyumas ini. Banyaknya pengunjung yang ber-selfie lantas membagikannya ke media sosial memancing keingintahuan para pengguna lainnya. Imbasnya, mereka pun berbondong-bondong datang, berkunjung, atau sekadar membuktikan keindahan yang dilihat di media sosial. 

Beberapa waktu lalu, SatelitPost membahas keindahan curug yang tersebar di Banyumas, kini Anda akan diajak menjelajah, berwisata ke dua bukit yang tengah jadi perbincangan banyak orang, utamanya anak-anak muda. Supaya seperti mereka, jadi anak kekinian. Bila ada waktu, sempatkanlah mampir ke sana. Namun ingat, bawa turun sampah yang dibawa ya. Selamat bertualang.

1. Bukit Watu Meja, Kebasen
Sungai Serayu dari Bukit Watu Meja.

NAMA bukit yang satu ini jelas sudah tak asing lagi karena sudah kondang ke mana-mana. Dikunjungi oleh siapa saja dan darimana saja. Satu kata untuk bukit ini, ramai. Apalagi saat hari libur.

Bukit ini berada di Desa Tumiyang, Kecamatan Kebasen. Bila datang dari Purwokerto, lurus dan ikuti saja jalan di samping Pasar Patikraja. Jarak dari persimpangan Pasar Patikraja hingga ke desa ini lumayan agak jauh. Namun jangan khawatir, Anda tidak akan tersesat sebab beberapa petunjuk jalan sudah dipasang. Yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti penanda tersebut. Lokasinya ada di sisi kiri jalan. 

Sampai di sana, Anda bisa memarkirkan kendaraan di rumah warga setempat. Tarif? Seikhlasnya. Soal keamanan kendaraan, tenang, aman kok. Sebab warga sekitar memberikan karcis parkir untuk menghindari tertukarnya kendaraan. Hati-hati jangan sampai hilang.

Dari lokasi parkir tersebut, Anda tinggal berjalan kaki. Ada dua jalur yang bisa dipilih, jalur ekstrem dan jalur landai. Kelebihan jalur ekstrem, lebih cepat sampai tapi tanjakannya lumayan bikin napas ngos-ngosan. Sebaliknya jalur landai, lebih lama karena harus memutar. Tenang, dua jalur itu akan bertemu di titik yang sama kok.

Jalur Ekstrem menuju Watu Meja. Semangat kakak...
Setelah berjalan kurang lebih 30 menit (sudah dengan istirahat dan foto-foto) sampailah di lokasi Bukit Watu Meja. Namun sebelum masuk, Anda harus mencatatkan nama serta asal disertai tarif seikhlasnya untuk membangun pengembangan wisata ini. 

Dan tadaaa... pemandangan Sungai Serayu yang berkelak-kelok, beserta jembatan rel kereta api, yang jadi ikon Banyumas, dan kawasan perbukitan, persawahan, di wilayah tersebut membentang luas. Lanskap alam yang begitu mengagumkan. Membuat mata tak jemu untuk memandang. Apalagi saat kereta api melintas di jembatan tersebut, sempurna. 
Itu rel kereta api di atas Sungai Serayu yang jadi ikon Banyumas.

Warga sekitar bilang, waktu paling pas untuk menikmati keindahan Bukit Watu Meja adalah saat pagi, matahari terbit juga sore, matahari terbenam. Namun, siang ke sini pun tak masalah, karena sama-sama kerennya. 

Di lokasi ini juga terdapat sebuah batu besar yang bentuknya menyerupai meja. Mungkin, ini jadi alasan penamaan dari tempat wisata ini, Watu Meja. Tak cuma menikmati lanskap Sungai Serayu, Anda juga bisa menjelajah hutan pinus yang masuk di wilayah KPH Banyumas Timur. Awesome
Hutan Pinus dan kami. Lagi-lagi sama Reni. Hahaha. ^^

Ramai? Bangetttt... Apalagi kalau hari libur. 

Soal makanan, tenang, Anda tak perlu bawa banyak bekal sebab ada banyak sekali warung yang menjajakan makanan dan minuman, lengkap dengan lesehan. Harganya, masih bisa terjangkau kok. (sri juliati)


2. Taman Angkasa, Banyumas
ADA cara lain untuk menikmati pemandangan saat matahari terbit dan tenggelam. Jika bosan ke pantai, Anda bisa coba berkunjung ke Taman Angkasa Banyumas di Desa Binangun. 

Selamat datang di Taman Angkasa
Taman Angkasa Banyumas terletak di Grumbul Juwiring, Desa Binangun, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas. Taman ini berada di kawasan puncak Gunung Depok yang berketinggian sekitar 420 meter dpl.

Gunung Depok merupakan gunung kecil dengan puncak landai. Anda dapat melihat wilayah Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga. Jika Anda perhatikan dengan saksama, melihat Banyumas dari puncak Gunung Depok seperti menyaksikan taman raksasa. Pemandangannya indah dan hijau. Sungai-sungai yang mengalir menyempurnakan menambah asri pemandangan. 
Jalur menuju Taman Angkasa. Siap-siap...
Taman Angkasa bisa ditempuh dari Alun-alun Banyumas, yaitu Alun-alun-Desa Pasinggangan-Desa Binangun. Jika lewat jalan ini, ada sebagian rusak jalan di Desa Pasinggangan dan Binangun. Rute lain yaitu Desa Kalisube-Dawuhan-Binangun. Hati-hati saat melintas di Desa Binangun, sedangkan jalan di Desa Kalisube dan Dawuhan, mulus. 

Desa Binangun juga mengembangkan sejumlah paket wisata. Pengunjung bisa belajar dengan biaya sebesar Rp 50 ribu untuk jumlah maksimal 10 orang per kelompok.

Enjoy sunrise. Sun is shining and so are you... 
Taman Angkasa Banyumas di Binangun masih dukungan infrastruktur pendukung karena objek wisata ini baru dikembangkan pada Juni 2015. Mari, menikmati sunrise atau sunset dengan secangkir teh senggani di Binangun. (Sukarni dari Gerakan Desa Membangun)

Jumat, 27 November 2015

Sampai Jumpa di Yogya


SLOGAN Yogya berhati nyaman membekas di ingatan. Tak ayal, Kota Yogya masuk jadi satu wish list destinasi saya tahun ini.


Hello Jogja
Sebenarnya, kota ini sangat tidak asing bagi saya. Pertama, waktu masih kecil, usia TK, saya pernah tinggal di sini sama bapak. Kalau nggak salah, di daerah Pengok. Kedua, setiap mudik, pulang ke rumah, saya selalu melintas kota ini. Sayang, untuk menikmati, jalan-jalan santai di malam hari, haha-hihi bareng sahabat di kota ini, belum pernah saya lakukan. Paling sekadar jalan, cari oleh-oleh, dan sudah, pulang.

Nah, di tulisan kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman jalan ke Yogya. Saking banyaknya yang ingin dibagikan, cerita akan terbagi dalam tiga tulisan. Dan ini lah tulisan pertamanya. Selamat membaca...

=================================================

Semalam di Kota Pelajar

Bisa dibilang, main ke Yogya bukanlah tujuan utama. Jadi rencana utamanya adalah: akhir November tanggal 20an, saya mau pulang, kondangan ke tempat seorang sahabat yang menikah, Indah Diana lantas menuju ketinggian. Berhubung Mz Ganjar, Gubernur Jateng menutup semua ketinggian di Jawa Tengah pasca-tragedi kebakaran hutan, alhasil rencana utama itu gagal.

Rencana utama boleh gagal dan harus ada rencana cadangan. Saya tetap pulang dengan alasan kondangan itu dan untuk mengisi waktu, Yogya jadi tujuan. Langsung saja saya hubungi seorang kawan yang sempat satu kelas waktu SMA. Yep, Ariyadi alias Ariel, yang dulu meet up di Gn Prau. 


Ariel, paling kiri saat main ke Baturraden, Banyumas
Susun-menyusun rencana dan destinasi, jadilah keputusan: Sabtu-Minggu (21-22/11) main di Yogya. Sendirian? Yo nggak donggg... Ada Reni Suryati, yang beberapa waktu belakangan jadi teman makan, jogging, main, tidur, #eh. Sebenarnya masih ada Nur Fatimah atau Nung dan temannya yang mau ikut. Lantaran nggak dapat cuti, keduanya memilih mundur. 

Sabtu (21/11) pun datang. And I was so excited. Selain bakal ke Yogya, saya juga nggak perlu menghabiskan malam Minggu di kantor dengan setumpuk pekerjaan. Bagi saya, itu satu kemewahan tersendiri. Hahaha.

Demi bisa berangkat pagi, pakai KA Logawa jurs Purwokerto-Jember, saya pilih nggak tidur setelah pulang dari kantor sekira pukul 02.30 WIB. Beberes kamar, packing, masak nasi goreng, dan nungguin pagi. Sayang, rencana ini gagal karena partner saya, Reni Suryati bangun kesiangan. Hahaha.

Kami pun sepakat memundurkan jadwal keberangkatan, jadi jam 10.30 WIB dengan KA Joglokerto, kereta baru lansiran DAOP V Purwokerto, jurusan Purwokerto-Solo. Kebetulan banget, saya memang kepengin mencoba KA Joglokerto. Sembari nunggu jam 10, saya pun tidurrr. Zzzzzz.

Sekitar pukul 09.30 WIB, saya bangun, bersiap kembali, menunggu Reni. Nggak lama Reni datang dan kami berangkat ke Stasiun Purwokerto pakai taksi. Tapi apa daya, karena sopir taksinya nyasar, kami pun ketinggalan KA Joglokerto. Hahaha. Berpikir cepat, kami pun memutuskan untuk ke terminal dan menggunakan Bus Efisiensi. Dari Stasiun Purwokerto-Terminal Bulupitu, kami gunakan angkot G1 dengan tarif Rp 4 ribu per satu orang. 

Sebelum turun angkot, saya sempat ngobrol dengan bapak sopir angkot. Usianya paruh baya. Dia bilang, pendapatan angkot sekarang turun drastis. "Kalau dulu, ditarget Rp 150 ribu, Mbak, sak niki Rp 75 ribu mpun gedhe banget. Mpun kathah motor, Mbak," kata dia.

Saya pun ber-oh pelan. Kemudahan memiliki sepeda motor yang digeber diler bisa disebut sebagai pemicu hidup segan mati tak maunya bisnis angkot. Bagaimana pun masyarakat butuh moda transportasi yang cepat dan murah. Di sisi lain angkot memiliki kekurangan, kerap ngetem dan terkadang tidak praktis. 

Jalan sebentar dari terminal angkot, kami pergi ke loket bus Efisiensi beli dua tiket, masing-masing dibanderol Rp 60 ribu. "Berangkat jam 12.00 ya Mbak," kata kasir loket sambil memberikan lembaran tiket hasil print.
Tiket Bus Efisiensi yang sekarang ini... 
 Kami pun melongok jam tangan. Pukul 11.15 WIB, masih 45 menit lagi. Demi menunggu waktu, saya sempatkan mampir sebentar ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang berlokasi di dalam Terminal Bulupitu. Terminal yang menempati lahan seluas delapan hektare ini dilengkapi dengan taman bermain untuk anak-anak, Taman Payung, TBM, serta Taman Lalu Lintas yang masih dibangun. Juga ada aksesori berupa backdrop besar bergambar Menara Eifel di Paris dan patung singa Merlion, Singapura. Dua tambahan ini yang bikin terminal nggak cuma jadi tempat antar jemput penumpang, melainkan sudah menjadi tempat wisata foto.


TBM di Terminal Bulupitu. Adem karena ada AC dan Free WiFi
TBM berada di samping ruang menyusui dengan kaca hitam. Seperti TBM pada umumnya, maka ruangan ini berisikan buku-buku dari berbagai genre, seperti fiksi, non-fiksi, tokoh, agama, kesehatan, dan lainnya. Ruangannya relatif sempit, hanya 4x4 meter dengan tiga rak yang cukup besar dan penuh. 

Buku Para Priyayi-nya Umar Kayam jadi pilihan saya. Tapi nggak lama saya kembalikan ke rak karena menemukan buku lain, karangan Goenawan Muhammad, pendiri Tempo. Judul lengkapnya saya nggak inget tapi isinya tentang tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Tan Malaka, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan lainnya. Karena saya lagi ngefans dengan Pram, maka tulisan tentang dia yang saya baca. 


Beberapa koleksi di TBM Terminal Bulupitu
Sempat ngobrol-ngobrol bentar dengan petugas, TBM buka setiap hari. Siapa pun boleh meminjam gratis. Baik dibaca di tempat maupun dibawa pulang. Boleh dibawa pulang asal ybs kerap ke terminal. Kecuali kalau mau ninggalin KTP asli yes. 

"Kebanyakan ke sini pada baca koran Mbak. Beberapa paling baca buku," ujarnya petugas. 

Ketika jarum jam menuju angka 11.45 WIB, kami segera menuju pool Efisiensi. Di sana, sudah ada beberapa calon penumpang yang menunggu. Tak lama, bus yang hendak mengantarkan kami ke Kota Pelajar itu datang. Tepat pukul 12.00 WIB, bus berangkat. Ramai walau tak terlalu penuh. 

Sepanjang perjalanan, kami ngobrol santai, haha-hihi bareng, cerita ngalor-ngidul, termasuk membahas telatnya kami ke stasiun, hahaha. Sampai kemudian rasa kantuk melanda dan kami pilih untuk tidur. Save energy boooo, buat jalan-jalan di Yogya nanti.

Dibandingkan menggunakan kereta, perjalanan memakai bus lebih lama. Sekali pun pakai PATAS AC, sekitar 4,5 jam. Alhasil, pukul 16.30 WIB, kami sampai di Yogya, itu pun belum di kotanya, masih di Gamping, Sleman untuk ganti shuttle yang akan mengantarkan kami ke Malioboro, lokasi meet up dengan Ariel. Akhirnya, pukul 16.55 WIB, kami sampai di kawasan Malioboro. Huraaiiii...
Malioboorrrrrrooooooooooooooooooo.... 
Langsung saja kami melangkahkan, menyusuri kawasan yang rame beuudd itu dan mencari masjid yang terdekat. Hingga kami temukanlah dengan Masjid Malioboro yang berada di Kompleks DPRD Provinsi DIY. Usai salat, kami menunggu Ariel yang kala itu ada di Malioboro Mall. Nggak lama, kawan saya yang udah kemana-mana itu muncul. Ngobrol-ngobrol bentar hingga datanglah sesosok laki-laki, mengenakan jaket, tas selempang, celana pendek, dan berkumis yang wajahnya sudah sangat tidak asing bagi saya. Nama dia pun kerap muncul di tulisan-tulisan saya. 

Guess he?

Yesss, Widi Nugroho!!! Iyaakkk, dia. 
Ini nih, biang keresean kali ini. :p

Jadi gini ceritanya: si mas ini, awalnya ngajakin saya ke ketinggian yang akhirnya gagal. Karena nggak jadi, si mas ini sudah ada rencana buat pulang kampung ke Yogya yang tanggalnya sama dengan rencana saya ke Yogya. Jadilah kita janjian untuk meet up dan main bareng dengan catatan dia dapat tiket kereta plus nggak disuruh lembur. Sepekan sebelum pulang, dia BBM, kasih kabar kalau tiket ke Yogya sudah ludes. Dari situ, dia kasih kesimpulan nggak jadi pulang.

Anehnya, selama seminggu itu, dia mancing-mancing soal rencana saya ke Yogya, jadi apa nggak, sama siapa saja, mau ke mana aja, tidurnya gimana, dan lainnya. Namun setiap kali saya tanya, jadi pulang apa nggak, dia nggak jawab. Kalau pun jawab, pasti ngeles. Saya pun mencium gelagat, ini orang pasti ngerjain. 

Ternyata, bener. Siang-siang, waktu saya dan Reni dalam perjalanan, dia BBM tanya kami sudah sampai mana dan berujung pada kalimat: Nanti ketemuan di Malioboro jam 5 ya. Hmmm.

Setelah ngumpul semua, mencari penginapan jadi agenda selanjutnya setelah salat Magrib. Kami pun sepakat cari penginapan di sekitar Malioboro sambil menyusun ulang rencana mau kemana kita. Di kawasan Malioboro yang agak masuk gang itu, kami nggak menemukan tempat penginapan yang pas. Ada sih yang murah, Rp 100 ribuan lah. Tapi lokasinya lebih masuk gang dan arah Pasar Kembang. Hehehe

Akhirnya kami jalan lagi sampai di Jalan Pasar Kembang. Sempat tanya ke sebuah guest house tapi masih pikir-pikir dulu. Jalan lagi, coba nyari di depan Stasiun Tugu karena di sana ada beberapa penginapan baru, siapa tahu tarifnya lebih miring. Nyatanya enggak. Dua hotel yang kami sempat tanyakan, tarifnya Rp 300 ribu sampai Rp 350 ribu. 

Sembari jalan, kami haha-hihi, saling berbagi cerita lucu, konyol, juga sembari ketak-ketik cari sewa motor. Sayang, sampai Reni menghubungi tiga nomor sewa motor, nggak ada satu pun yang diterima. Alhasil, ia pun memutuskan untuk pulang ke Cilacap, Minggu (22/11) pagi. Iya, selain ada agenda ke Yogya, Reni juga ada rencana untuk pulang ke rumah untuk melepas rindu pada ayah-ibu dan saudara-saudaranya. 

Berhubung Reni mau pulang, kami pun sepakat menginap di hotel yang kali pertama didatengin tadi. Terpaksa balik lagi dengan pembagian tugas, saya dengan Ariel booking kamar, sedangkan Reni dan Mas Widi beli tiket KA Lodaya. Lokasi meet up pun disepakati di Mall Malioboro. 


Tempat penginapan yang boleh kami rekomendasikan.
Khresna Guest House, nama penginapan kami. Berlokasi di Jalan Pasar Kembang nomor 29, Yogyakarta alias pinggir jalan persis, depan St Tugu. Dari hasil tanya-tanya dengan petugas resepsionis, Khresna Guest House punya 14 kamar dengan dua tipe. Rinciannya, sembilan tipe Standard Double Room (Rp 160 ribu) dan lima Superior Double and Twin Room (Rp 250 ribu). Berhubung tipe Standard sudah habis, kami terpaksa memilih tipe Superior. Itu pun tinggal tersisa satu kamar. Kami mendapat kamar nomor lima di lantai dua. Btw, kalau nggak bawa duit tunai, ada mesin EDC BCA kok.
Info lebih lengkapnya, monggo...

Meski ada di Jalan Pasar Kembang, tenang penginapan ini aman kok. Aman dalam arti sebenarnya ya. Meski nggak begitu luas, tapi kamarnya nyaman dan homie banget. Persis dengan tagline yang disematkan feel at home.

Setelah meletakkan tas, kami lekas menuju Malioboro Mall. Suasana malam itu makin ramai. Banyak anak muda, orangtua yang menikmati malam di Malioboro dengan foto-foto, belanja-belanji. Agak lama menunggu dua orang tua eh orang dua itu. Hehehe. Dan setelah berkumpul, maka melintaslah sepeda motor kami, membelah jalanan Malioboro. 

Tujuan pertama kami, pedagang helm. Kebetulan si Ariel nggak bawa helm cadangan. Demi menghindari tilangan, akhirnya saya memutuskan untuk beli helm. Lumayan dapat Rp 75 ribu, helm CTR warna biru. 

Setelah mendapat helm, makan jadi agenda selanjutnya. Perut minta diisi, apalagi seharian itu saya belum makan makanan berat. Sekadar ngemil dan minum susu. Saya pun mengusulkan makan Bakmi Jawa khas Yogya. Ketemulah dengan warung kaki lima yang punya menu bakmi Jawa di dekat SMP 6 dan STM 2 Yogya. Kami pun memesan tiga Bakmi Jawa dan satu nasi goreng untuk Reni. 

Agak lama kami menunggu pesanan. Apalagi kawasan itu tengah mati listrik. Alhasil, kami menunggu sambil menikmati keremangan cahaya senter. Hahaha.

Bau harum pun memenuhi indra penciuman saya. Aroma gurih dari bumbu masak yang digunakan, kuah kaldu yang disiramkan, lantas mi dan aneka sayuran yang diolah bersama, membuat lidah ingin lekas mencicipi. Begitu seporsi Bakmi Jawa itu datang, wuuhhh, tangan sama lidah nggak sabar buat mencicip. Porsinya banyak banget. Saat dicicip, ada sensasi gurih yang terjejak di mulut. Nggak terlalu gurih banget sesuai sama bayangan saya sih. But overall, enak dan mantap. Kerennya lagi, saya nggak minta bantuan buat menghabiskan! 

Setelah makan, kami melanjutkan jalan-jalan. Niat semula adalah nongkrong di kawasan Tugu. Tapi melihat ramainya yang pada nongkrong dan foto-foto di situ, kami memilih mlipir dan 'berpindah' ke angkringan. Berhubung Reni minta nongkrong di tempat yang bisa buat foto-foto, maka Mas Widi dan Ariel ngajak kami merapat kawasan angkringan Kali Code.

"Eh ada kopi joss. Pahit nggak, Mas?" tanya saya sama Mas Widi.

"Ya pesen pake gula lah," jawab dia. 


Kopi Joss. Tapi yang disajikan
nggak sebanyak ini kok. Foto diambil
dari kuliner.panduanwisata.id
Maka, sama dengan Mas Widi, saya pesan kopi joss, yaitu minuman kopi dengan tambahan arang. Sementara Reni pesan susu Milo dan Ariel, Cooffemix. Tambahan dua porsi pisang bakar cokelat keju. 

Setelah pesanan kopi datang, saya langsung meniup dan menyeruput pelan-pelan kopi itu. Slurppp... Kok nggak asing sama rasanya ya? Mikir sebentar tapi udah langsung dikomentarin sama Mas Widi. "Ini mah kopi instan terus ditambahin arang, Mbak... Kalau yang depan Stasiun Tugu itu benar-benar pakai kopi hitam, porsinya juga banyak, dan dijamin melek sampai pagi." Ohh pantes, rasanya nggak asing di lidah.
Angkringan di kawasan Kali Code. Foto diambil di
santapjogja.com

Di kompleks angkringan tersebut, para pengamen silih berganti. Pun dengan kami yang bergonta-ganti topik obrolan hingga tak terasa jarum jam nyaris menuju angka 11. Reni sudah beberapa kali menguap, Ariel yang harus pulang ke rumah di Klaten dan butuh waktu 45 menit sampai sana, dan Mas Widi yang bakal dicariin Ibuk kalau pulang kemalaman. Akhirnya, kami menyudahi jalan-jalan malam ini, demi perjalanan esok pagi. 

Selesai lah malam Mingguan di Yogya kali ini. Saya pun happy.

Btw, lagu yang jadi soundtrack trip kali ini adalah: Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa-nya Frau. Iya, saya lagi jatuh cinta dengan denting piano dan suara perempuan yang bernama lengkap Leilani Hermiasih. Suaranya itu unik. Pun dengan lirik lagunya yang nggak biasa dan membuat saya bertekuk lutut. Ditambah dengan suaranya Mas Ugoran Prasad. Wuuhhh, mantaaaaapppp jaya, luar biasa. Apalagi, pas banget Mbak Lani asli Yogya dan sempat menempuh kuliah di jurusan Antropologi, UGM. Saya pun lantas membayangkan, jangan-jangan angkringan di Kali Code ini kerap disambangi sama Mbak Lani ya. Who knows! (bersambung)

Senin, 16 November 2015

Cerpen Anak: Hadiah Terindah Wita

ILUSTRASI KADO. SUMBER: CLIPARTPANDA.COM

Selamat Malam,  
Ini adalah kali ke dua saya ngepost cerpen anak yes. Selain menepati kekonsistenan (halah), setiap hari Senin, menerbitkan cerpen, juga belum ada tulisan atau catatan perjalanan lain yang perlu dibagikan. Hehehe


Sekilas soal cerpen ini. Honestly, saya mendapatkan nama Bang Todi dari sebuah drama radio. Jadi begini, sekitar tahun 2006 (kalau nggak salah), sebuah radio swasta yang siar di Solo selalu menyiarkan drama saat bulan Ramadan. Tayangnya tiga kali sehari, setelah Ashar, jam 11 malam, dan saat sahur alias re-run



Kalau kalian pikir dramanya itu drama kolosal, dengan cerita masa lampau, zaman kerajaan-kerajaan gitu, salah besar. Ceritanya kekinian booo, dengan efek-efek suara dan soundtrack lagu yang hits pula. Seperti Muse-Starlight, Fix You-nya Coldplay, dan dua lagu ini favorit saya sampai sekarang. 


Sebagai fans berat radio itu, saya hampir nggak pernah melewatkan siaran dramanya. Alhasil, saban sore, ba'da Ashar, saya sudah stand by, ngerasin volume radio, demi drama ini. Tentu sambil nyapu. Kalau pun ketinggalan, bela-belain begadang deh


Nah, si Todi ini adalah pemeran utama dalam drama radio tersebut. Ia dicitrakan sebagai pria yang matang, baik, penyayang, dan humble banget. Terinspirasi dari Bang Todi yang keren itulah, saya menggunakannya dalam tokoh cerpen anak kali ini. Nggak beda jauh sama Bang Todi yang di drama radio, Bang Todi yang di cerpen ini juga sayanggggg banget sama adiknya. 



Sudah ya. Selamat membaca...


=====================================================================


WITA sangat kesal dengan ulah Bang Todi hari ini. Kenapa? Karena sang kakak baru saja menabrakkan sepeda kesayangan Wita ke pagar. 


Jelas saja Wita marah. Seharian ia ngambek. Meski warnanya sudah pudar, namun sepedanya tetap menjadi kesayangan. Lantaran sepeda itu dibeli kakek Wita sebagai hadiah ulang tahun. 


Ceritanya ini Wita lagi marah.
Sumber: CLIPARTPANDA.COM
"Abang tahu kan, sepeda itu diberikan kakek khusus untuk Wita?" ucap Wita kesal pada kakaknya.

"Ya, Dek.. Abang tahu.. Makanya Abang minta maaf. Sumpah Dek, Abang nggak sengaja. Besok Abang ganti deh," rayu Bang Tody.


"Nggak mau! Wita maunya sepeda itu!" Wita terpaksa berteriak saking kesalnya.


"Ya deh, Abang beliin sepeda yang mirip sama sepeda itu."


"Nggak mau! Pokoknya Wita cuma mau sepeda itu. Nggak mau yang lain!"


"Kan sepedanya udah rusak berat Dek, kalaupun mau dibenerin susah jalan lagi..."


"Salah Abang dong, kenapa sampai ngerusakin. Pokoknya Wita nggak mau tahu. Harus sepeda itu!"


Bunda pun datang melerai. "Eh, eh, ada masalah apa nih? Kok ada yang teriak-teriak sampai kedengeran di bawah?" tanya Bunda.


"Bun, Abang.. Sepeda Wita ditabrakin ke pagar. Bunda tahu kan sepeda itu dari kakek buat hadiah ulang tahun Wita..."


Bunda langsung berpaling. "Bener, Bang?" 


Todi mengangguk lemah. "Tapi Adek juga keterlaluan, Bun. Masak Abang udah minta maaf, nggak mau dimaafin juga," sela Todi. 


"Pokoknya Wita mau sepeda itu saja. Nggak mau yang lain!" bentak Wita. 


"Adek.. Udah, udah. Ok, nanti kita cari solusinya, gimana caranya memperbaiki sepeda itu. Kalau tidak bisa baru beli lagi. Ok? Dicoba dulu saja..." Mendengar saran itu, kedua murid SD Harapan Bangsa ini mengangguk pelan. 


(***)


Todi berusaha mati-matian memperbaiki sepeda itu. Tapi tetap saja tidak bisa karena kondisi sepeda yang cukup parah. Bagian roda bengkok dan rem blong. 


Todi pun putus asa. Ia menemui bunda dan melaporkan hasilnya. Wita harus dibelikan sepeda baru. Bahkan Todi bersedia mengeluarkan tabungannya untuk membeli sepeda baru.


Bunda pun terharu dan menuruti keinginan putra sulungnya. Sementara Todi memecah celengan dan menghitung, ibu bersiap-siap pergi. Sedangkan Wita masih berada di rumah temannya, belajar kelompok.

Si Abang Todi yg baik banget.
SUMBER: cipartheaven

"510, 520, 530, 550. Hore, tabunganku Rp 550 ribu. Cukup untuk beli sepeda apa ya?" kata Todi girang. "Bun, tabungan Abang ada Rp 550 ribu.." teriak Todi pada Bunda yang sudah menunggunya di teras. 


Mereka bergegas ke toko sepeda. Ada banyak sepeda dengan berbagai macam warna, corak, dan bentuk. Todi terheran-heran. Ia berkeliling toko dan menemukan sepeda yang mirip dengan sepeda Wita. Hanya warnanya saja yang berbeda. Biru tua. 


"Pak, sepeda itu yang warna merah masih ada tidakk?" tanya Todi pada pelayan toko.


"Wah, sudah tidak ada lho.. Yang itu saja tinggal satu-satunya," terangnya. 


Karena sudah tidak ada lagi yang cocok, maka Todi membeli sepeda biru tadi. Setelah dicek, uang Todi kurang Rp 250 ribu. Lantaran sepeda itu seharga Rp 800 ribu. 


Todi kecewa dan memalingkan muka pada Bunda. Bunda yang seakan mengerti, mendekati Todi dan mengeluarkan dompetnya. "Sudah, Todi simpan saja uangnya. Biar sepeda ini, Bunda yang membelikannya," ucap Bunda.


"Tapi, Bun..."


"Sudah.... Simpan saja tabungannya," sergah Bunda. Todi pun terpaksa memasukkan kembali uangnya.


(***)


Sesampai di rumah, Todi langsung memberikan sepeda ini pada Wita. Terang saja, Wita teriak-teriak karena sepeda baru tidak sama dengan sepeda lamanya. 


Kali ini Wita benar-benar ngambek. Ia tidak mau menyapa abangnya, bunda, dan ayahnya. Ia hanya diam saja. Raut wajahnya juga muram. 


Suatu hari, Todi menggeledah isi tas Wita. Ia menemukan selembar kertas bertuliskan kontes sepeda hias. Terpikirlah satu ide cemerlang. 


Todi merombak habis-habisan sepeda Wita. Dihias dengan kertas creep, batik, dan lainnya. Benar-benar cantik. 


Todi mengerjakan sendiri di gudang. Sepulang sekolah ia langsung ke gudang. Pasalnya, Todi hanya punya waktu tiga hari untuk menghias sepeda. 


Sementara itu, Wita semakin kecut saja. Apalagi, hari ini dilaksanakan kontes sepeda hias. Wita jelas tidak mungkin ikut karena ia tidak menyukai sepedanya. Namun...

Ini hadiah sepeda buat Wita. Sumber: clipartpanda.com

"Tara.... Adek.....," panggil Todi. Wita hanya menengok. Matanya terbelalak. Kaget. 

Sepeda barunya berubah total lebih cantik dengan hiasan batik, kertas creep, dan lainnya. 

"Ini Abang yang bikin?"


"Iya, gimana? Bagus nggak?"


Wita hanya mengangguk dan tersenyum senang.


(***)


"Pemenang kontes sepeda hias kali ini, Wita dari kelas lima," kata Bu Astuti, wali kelas lima SD Putera Harapan. 


Wita kegirangan. "Hore...............," teriaknya.


Todi melihatnya dari kejauhan. Kerja kerasnya membuahkan hasil juara. Tak hanya itu saja, Todi sudah berbaikan dengan Wita. Adik perempuan satu-satunya yang ia sayangi. (*)




Purwokerto, 15 Oktober 2011