Sabtu, 20 Juni 2015

Antara Batu, Malang, dan Bromo


BAGIAN 1


PUKUL 05.12 WIB, Kamis, 25 Desember 2015. Menengok jam tangan, melihat sekitar. Jalanan sepi, bekas tersapu kabut, dan dingin. Kembali menutup badan dengan selembar kain dan merapatkan badan. 

Melanjutkan tidur sebentar lantas terbangun lagi. Sebenarnya, mata masih berat untuk membuka. Namun goncangan-goncangan kecil kerap terasa membuat saya memilih bangun. Benar-benar bangun walau serangan ngantuk terus menghantam. 

"Itu hapemu jatuh," bilang Hoho sambil menyenggol badan. 

Saya pun geragapan. Antara sadar, tahu bahwa ponsel yang di-charge jatuh meski di satu sisi terkantuk-kantuk. Setelah mengambil hape, sedikit banyak tersadar, jika kami sudah memasuki wilayah Malang, Jawa Timur.

Matahari masih terlalu malu untuk menampakkan diri. Jalanan di luar kereta ini sudah mulai ramai. Para penumpang mulai banyak yang bangun, bercakap dengan kawan-kawannya, sembari berkemas. Suasana gerbong makin renyah dengan obrolan-obrolan ringan mereka. Sedikit banyak, saya menguping.

Stasiun Malang Kotalama. Begitu yang tertulis di papan yang saya baca. Berada di ketinggian 429 meter di atas permukaan laut. Cukup tinggi dibandingkan Stasiun Kota Purwokerto yang hanya 75 meter. Kereta yang kami tumpangi, KA Matarmaja berhenti sebentar menurunkan penumpang. 

Tak lama, kereta yang datang dari Jakarta itu melanjutkan perjalanan. Kami, saya dan Hoho, berkemas, merapikan penampilan. Tak banyak barang yang kami bawa. Hanya dua daypack berisi kebutuhan selama dua hari satu malam, camilan, dan air minum. 

Sekilas tentang Hoho. Nama lengkapnya Dodi Nugroho. Kepada orang baru, ia mengenalkan dirinya sebagai Dodi. Lima belas tahun usia persahabatan kami tepatnya sejak kelas 1 SMP, tahun 2000 silam. Berawal dari teman satu kelas, lantas 'berpisah' kala SMA, di bangku kuliah, di Jurusan D3 Bahasa Mandarin, Unsoed kami kembali bertemu. Dan bersahabat sampai sekarang. Ide ngetrip ke Malang ini pun saya dapat dari dia. 

tiket buat ke Malang
Kereta melambat. Penumpang mulai berdiri, berjalan beriringan menuju pintu gerbong. Pun kami. Satu hirup, dua hirup, sambil mengedarkan pandangan di sekitar, saya sadar, sudah berada di Malang. Sekarang, saya sudah benar-benar tersadar, tanpa tersisa rasa kantuk sedikit pun, walau boleh berhitung, pagi tadi, sekitar empat jam menutup mata. Itu pun sesekali harus terbangun. 

Hawa khas Kota Malang menampar wajah. Logat khas kota itu mulai terdengar karib di telinga. Juga patung singa yang ada di depan Stasiun Kota Malang. Ya, kota ini sangat bangga dengan Arema, klub sepakbola yang 'membirukan' langit dan Bumi Malang. 

"Makan atau langsung ke Batu?" tanya Hoho. 

"Makan dulu gimana? Laper..." ujar saya. 

Beruntung, di depan Stasiun Kota terhampar taman sekaligus kedai makan. Jumlahnya bisa mencapai puluhan, memanjang. Beberapa sudah ada yang buka, melayani pembeli. Sementara sisanya, masih ada yang bersiap membuka lapak.

Kami sempat menjelajah ke beberapa kedai sebelum akhirnya saya memutuskan menikmati seporsi pecel Madiun dengan lauk telur plus segelas teh hangat. Hoho yang awalnya hanya ingin menikmati teh hangat, rupanya tergiur dengan pecel yang saya makan. Enak, kata dia, setelah mencicip sesuap nasi pecel. Walhasil, laki-laki usia 26 tahun itu memesan pecel Madiun, persis seperti yang saya makan.

Harga untuk dua porsi pecel dan dua gelas teh hangat, tak terlalu mahal. Hanya Rp 25 ribu. Artinya, satu orang makan Rp 12.500. Apalagi porsi pecelnya lumayan bikin kenyang dan harus membuat Hoho turun tangan membantu saya. 

Kala itu, jam masih menunjukkan angka 08.30 WIB. Masih lumayan pagi. Keramaian juga belum mengintai kota ini. Malah kata Hoho, cenderung sepi. Sebab, jarang terlihat lalu lalang kendaraan bermotor. Dengan angkot biru jurusan ADL alias Arjosari-Dinoyo-Landungsari, kami menuju ke Terminal Landungsari sebelum berganti menggunakan bus jurusan Kediri untuk membawa kami ke Kota Batu, destinasi berikutnya. 

Malang sudah jauh berubah dibanding saat saya pertama kali ke sini akhir Desember 2011 silam. Banyak perubahan hingga harus membuat saya mengingat, kira-kira saya pernah melintas di jalan ini belum ya. 

Hampir 30 menit di dalam angkot. Tarifnya, dari Stasiun Malang ke Terminal Landungsari sekitar Rp 4 ribu. Sebelum turun, kami sempat tanya pada sopir angkot, akses Batu dan jam berapa angkot terakhir beroperasi. Untuk lebih memastikan, sekali lagi kami bertanya pada petugas Dishub yang tengah berjaga. 

"Lha niko mbak, bus yang ke Batu. Naik itu aja," katanya sambil menunjuk bus warna biru yang tengah menaikkan penumpang.

Tak mau ketinggalan, kami berlari kecil dan sampai di pintu belakang bus tepat waktu. Sayang, tak ada kursi kosong, bahkan sudah banyak penumpang yang berdiri dan berdesak-desakan. 

Bus jurusan Kediri ini pun berjalan. Busnya kecil, seperti mikro bus kebanyakan dengan dua pintu yang kesemuanya dijejali banyak penumpang. 

'Kemana Mbak, Museum Angkut atau Jatim Park?" tanya kondektur bus pada saya. Saya pun menoleh pada Hoho, meminta jawaban. "Lewat depan Museum Angkut kan, Pak?" tanyanya.

"Iya, lewat," jawab sang kondektur yang lantas kami putuskan untuk ke Museum Angkut terlebih dahulu. Untuk sampai ke sana, kami membayar Rp 15 ribu untuk dua orang. 

Sepanjang perjalanan, lebih banyak kendaraan pribadi yang melintas. Ya, jalur Malang-Batu padat merayap, tersendat-sendat. Bisa ditebak karena hari itu adalah hari libur, Natal sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke kota itu. Seperti kami.

"Kayak jalur ke Baturraden ya, Ho? tanya saya yang dijawab anggukan dan senyuman.Hampir 45 menit, kami berdiri di bus yang penuh sesak ini. Punggung saya agak pegal karena beban daypack yang lumayan berat. 

Memasuki Kota Batu, jalanan benar-benar padat merayap. Bus yang kami tumpangi mulai stuck, tak bisa bergerak usai keluar dari Terminal Batu. Saya dan Hoho berpandangan, mahfum ini akan memakan waktu yang agak lama. Akhirnya, kami memutuskan untuk turun dan jalan menuju Museum Angkut. Dekat? Banget. Mungkin sekitar 200 meter.
Hoho dari belakang dan Museum Angkut dari depan.

Sekitar pukul 10.00 WIB, kami sampai di museum alat transportasi terbesar di Indonesia ini. Ramai. Meski museum ini baru buka pukul 12.00 WIB, namun sudah banyak wisawatan yang memadati halaman parkiran dan depan museum. Bahkan, ada yang sudah mengular di depan loket. Terbanyak adalah keluarga.

Kami pun mengedarkan pandangan. Pasar Apung yang masih satu lokasi dengan Museum Angkut menjadi lokasi menunggu sebelum loket museum buka. Sesuai namanya, kami menemukan miniatur kecil pasar apung seperti di Kalimantan. 'Sungai', perahu, jembatan, dan warung atau tempat berdagang di tepinya. Di sanalah kami menunggu agak lama hingga akhirnya memutuskan kembali ke Museum Angkut. Pertama, agar lekas antre tiket. Ke dua, warung di sini belum ada yang buka. 

Antrean di depan loket makin mengular. Terbagi menjadi tiga baris. Hoho pun mengambil inisiatif untuk membeli tiket dan menyuruh saya duduk menunggu. Tak berapa dia menunggu, ternyata loket tiket sudah dibuka. Pun dengan pintu museum. Dari yang saya dengar dari petugas, pihak museum sengaja membuka lebih awal melihat banyaknya pengunjung yang ingin masuk. Jadi yang seharusnya buka pukul 12.00, maju satu jam menjadi 11.00 WIB. 
Gelang tiket atau Tiket Gelang. Intinya, butuh Rp 75 ribu buat beli ini.

"Rp 75 ribu tiketnya, Rp 30 ribu buat kamera. Kameranya kusubsidi deh," kata Hoho di depan saya sambil menunjukkan 'gelang kertas' sebagai ganti tiket. Yeay.

Satu aturan saat masuk ke Museum Angkut adalah pemeriksaan tas. Berhubung daypack saya lumayan besar dan agak ribet untuk membongkarnya, petugas pun mempersilakan saya tetap masuk. 

"AMAZING!" begitu kata saya saat menyaksikan koleksi di museum ini. Keren. Beragam koleksi alat angkut seperti mobil, dokar, kereta, dan sepeda motor seperti menyambut kami. Saya tak menghitung pasti. Tapi buanyak!! Koleksi-koleksi antik nan unik ini yang bikin saya kagum. Termasuk mobil Presiden RI pertama Soekarno seri Chrysler Windsor Deluxe yang bikin saya jatuh cinta. Beberapa koleksi diberi semacam pagar dan larangan tidak boleh disentuh. 

Termasuk saat naik ke lantai dua. Di sana telah menunggu alat angkut khas Indonesia. Mulai dari becak, andong, dokar, perahu, kapal, hingga kereta api. Untuk alat angkut tertentu seperti becak diumbar koleksi per daerah. 

"Ke sana yuk," bilang saya sambil menunjuk ke arah luar museum. Di sana, ada semacam miniatur pesawat luar angkasa Apollo. Dari wahana ini kami menikmati pemandangan Kota Batu yang sungguh segar. Lantas, ada pasangan yang meminta saya untuk mengambil gambar mereka. Klik klik klik. 
satu koleksi Museum Angkut favorit saya

Masuk lagi ke dalam, kami mulai menjelajah masing-masing alat angkut. Hoho nampak takzim mencari objek dan memotretnya. Saya? Baca setiap keterangan atau penjelasan yang telah ditempelkan di dekat objek. Agak lama saya berada di ruangan ini. Tanpa sadar, rupanya Hoho tak lagi berada di dekat saya. Saya celingukan di tengah banyaknya orang. Aduh. Apalagi saat saya buka HP, rupanya blank spot alias tidak ada sinyal. Meski sedikit panik namun berusaha tetap tenang. Setelah keluar dan terbebas dari wahana sepeda dan masuk ke Zona Pecinan dan Batavia, saya agak mulai lega karena dapat sinyal. 

Zona Pecinan dan Batavia ini menampilkan panorama Jakarta zaman dulu. Lengkap dengan Pelabuhan Sunda Kelapa dan aktivitasnya, beberapa alat angkutnya, toko, dan noni-abang yang mengenakan kostum Belanda. 

Setelah agak lama tengak-tengok kanan-kiri, muncullah Hoho dengan senyuman khasnya. "Hehehe, habis dari toilet," ujarnya sebelum saya bertanya macam-macam. Fiuhhh, lega... 

"Mau foto juga nggak sama itu," sambungnya sambil menunjuk noni-abang yang jadi perhatian banyak pengunjung. Saya pun menggeleng pelan. "Enggak, udah biasa. Cari yang lain aja," jawab saya. 
Akkkk, aku dimakan ikan... begitu kata Hoho.

Kami pun kembali berjalan dan masuk ke Zona Jepang. Di sana telah menunggu, koleksi alat angkut dari Jepang mulai dari motor dan mobil. Wihh, keren... Sebelum keluar, kami sempet selfie di satu unit mobil yang kece gegara spionnya.

Dan, Zona Amerika menyambut kami di langkah berikutnya. Zona ini dilengkapi scene gangster, Las Vegas, Broadway, dan Hollywood. Koleksi kendaraannya pun masih banyak. Dilengkapi dengan poster-poster film-film Hollywood. Tetiba: "Garis zebra cross-nya nggak kelihatan ya, Ho?" "Buat apa? Ohhh, foto biar kayak The Beatles..." Hihihi, ketahuan juga. 

Puas main dan beristirahat di zona ini, langkah kami berhenti di Zona Eropa. Italia menjadi negara pertama yang kami kunjungi. Tiga vespa unik menarik perhatian Hoho. "Fotoin," ucap dia. Setelah Italia, Prancis menjadi negara ke dua lengkap dengan miniatur Menara Eifel. "Gantian. Fotoin," kata saya. Setelah beberapa kali jepret, ternyata hasilnya kurang begitu bagus. 

Dan, Jerman adalah negara ke tiga di zona ini. Saya pun langsung excited dan meminta Hoho tidak jauh-jauh dari saya. Siapa tahu saya khilaf di negara Mario Gotze ini. Ternyata, benar. Nyaris semua foto di zona ini adalah foto saya. Setelah Jerman, kami menyambangi Inggris dan masuk ke miniatur Buckingham Palace dan berakhir di Zona Hollywood. Satu yang menarik di zona ini adalah patung Hulk yang tengah menghancurkan mobil. Hoho pun lantas bergerak maju dan memberi tanda: Fotoin. 

Lelah, kami beristirahat. Meluruskan kaki, menikmati jajan yang tersisi. Mendung menggelayut.

Langkah selanjutnya, menuntun kami ke Stasiun Jakarta Kota dan membawa kami 'merasakan' sensasi naik kereta dan ke luar menuju Pasar Apung. Di sini, kami sebentar menjelajah hingga mata saya tertuju pada anak-anak kecil yang membawa es krim. "Es krim, Ho, es krim...," rajuk saya mirip anak kecil. Jalan sebentar, kami melewati kedai es krim dan langsung memesan dua cup rasa cokelat. 

Usai menikmati es krim, kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari Museum Angkut. Menuju destinasi selanjutnya. Saat itu, jarum jam menunjuk angka 3. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar