Catatan Perjalanan Menuju Kaki Gunung Gede (1)
SABTU (30/5). The Days. Lagu yang ada di otak saya pagi itu adalah The Days kepunyaan Avicii yang dinyanyiin Robbie Williams. Dengan suara pelan bahkan lebih mirip bergumam, saya nyanyikan lagu itu. Sambil sesekali menimpali obrolan Mbak Icung yang dengan cepatnya berjalan kaki menyusuri bantalan rel menuju Stasiun Kranji, Bekasi. Kalau soal jalan kaki, Mbak Icung emang jawaranya!!!
Dan, inilah kali pertama saya mau naik KRL Commuter Line milik orang Jabodetabek dari Stasiun Kranji menuju Stasiun Manggarai. Cihuiii. Di jalan, udah ngebayangin pasti bakal desek-desekan kayak di berita-berita. Ternyata, enggak. Meski nggak nemu kursi kosong, namun masih ada banyak ruang buat berdiri. Mungkin karena Stasiun Kranji merupakan stasiun keberangkatan ke dua setelah Bekasi, juga mungkin karena ini masih bagi, jadi belum banyak penumpang.
Btw, mau kemana sih kok pagi-pagi sudah mendarat mulus di St Manggarai? Hehehe. Bogor. Daerah berjuluk Kota Hujan ini menjadi destinasi saya berikutnya. Ide ke Bogor ini saya dapat dari obrolan singkat dengan ketua pasukan chiboy, Mas Widi. Itu lho, kumpulan mas-mas baik hati yang jadi temen jalan ke Gn Papandayan, awal April 2015.
Singkatnya, saya kasih tahu dia kalau ada acara di Jakarta. Soal mau ngapain ke Jakarta nanti saya tulis di bagian lain. Terus Mas Widi ngasih referensi tempat piknik, namanya Curug Cibeureum di Cibodas, kaki Gn Gede. Penasaran, saya pun googling. Wihh, tempatnya keren. Langsung tanpa pikir panjang saya mengiyakan. Apalagi Mas Widi juga sedikit berpromosi. "Iki nang kaki Gede lho, Mbak..." Koyoke, Mas Widi pinter bakulan, hehe.
Sayang, kurang empat hari dari waktu yang udah disepakati, mas ini ngabarin kalau diminta tetep kerja hari Sabtunya. Sadar karena cuma nebeng ya sudah nggak apa-apa, toh next time juga masih bisa buat main bareng. Tapi sambil ngasih harapan, dia bilang mau lobi dulu kali aja boleh libur. Kabar baiknya, ada tambahan personel yang mau ikut, yaitu Mbak Icung yang gagal mudik dan Fikri, a man behind camera yang sekarang udah sukses di CNN.
Dan ternyata, H-1 jelang keberangkatan alias Jumat malem sekitar pukul 22.00 WIB, baru deal mau main bareng ke Bogor. Jam dan tempat ketemuan disepakati. Kalau nggak di dalam kereta ya sekalian Stasiun Bogor.
Ternyata bener. Saya dan Mbak Icung ketemu Fikri di dalam KRL yang awalnya nggak tahu kalau ternyata satu kereta. Lama nggak ketemu sama eks partner kerja yang satu ini, sontak saya bilang: "Ih gantenge" dan dibales sama dia, "Tambah item ya, Jul." Pengin rasanya menjitak. Tapi ya sudahlah, saya kalah tinggi sama dia.
Selama di jalan, kami ngobrol soal apapun. Secara lebih dari enam bulan nggak ketemu. Maka buanyakkk buanget yang dibahas. Mulai dari kabar, kerjaan, gimana kantor sekarang, kabar teman-teman, dan ya urusan lawan jenis.
Sekitar pukul 09.00 WIB, kami sampai Stasiun Bogor. Makan waktu lumayan juga nih. Begitu sampai, langsung ambil ponsel ngabarin Mas Widi. Centang satu di WA membuat saya harus menelepon dia dan mengabarkan posisi kami. Nggak lama, kelihatan juga mas yang masih eksis dengan jambulnya ini. Kali ini, dia nggak pakai celana pendek tapi celana jins berpadu kaus polo warna merah. Setelah tanya kabar dan lainnya, berangkatlah kami menuju tujuan utama.
Di jalan, sempat ada diskusi kecil antara mau makan dulu atau langsung ke Cibodas. Saya usul, gimana kalau langsung ke Cibodas dengan alasan ngindarin macet. Oke, semuanya setuju. Kami pun masuk ke angkutan menuju Terminal Bogor. Belum sampai terminal, angkot udah mogok duluan. Terpaksa kami turun di tengah jalan dengan membayar Rp 7 ribu untuk empat orang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata di depan kami berjejer warung makan kaki limaan. Mungkin karena Fikri lapar jadi dia langsung mengusulkan untuk makan duluan. Baiklah, nggak ada salahnya. Kami pun masuk ke warung tenda yang menjual lontong sayur, pecel, dan rames. Mbak Icung dan Fikri pesen pecel dengan lauk ayam, saya lontong sayur, dan Mas Widi nggak makan. Sementara dia sibuk dengan gadget-nya, kami sibuk dengan sarapan kami. Nyammm...
Usai sarapan, kami langsung mencari angkot untuk melanjutkan perjalanan ke terminal. Nggak lama, yesss dapet. Bisa dibilang, perjalanan kami kali ini sangat beruntung karena sopir angkot memberikan rute alternatif lain supaya lebih mudah ke Cibodas. Mamangnya kasih saran, jika naik angkot putih jurusan Bogor-Cianjur bakal makan waktu lama karena dia harus ngetem sambil nunggu penumpang penuh. Alternatif ke dua, pakai angkot lagi sampai ke Ciawi. Di Ciawi, baru ganti pakai bus. Oke, kita ambil opsi ke dua biar lebih cepat. Untuk tarif angkot baik yang ke dua dan tiga ini, saya kurang paham karena dibayarkan sama Fikri dan Mas Widi.
Pertigaan Ciawi, siang itu jelang pukul 10.00 WIB, macet. Parah! Yang seharusnya kami bisa turun di pertigaan terpaksa harus turun agak jauh dan jalan kaki. Lumayan, sekitar 100 meter. Setiba di pertigaan yang ada patung macan, kami sempat mampir ke toko kelontong beli Aqua dan biskuit. Naik bus ber-AC menjadi pilihan kami untuk sampai ke Cibodas. Dan tepat dugaan saya, bus ini bakal penuh penumpang dan kami nggak kebagian tempat duduk, sehingga harus berdiri, berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Mas Widi sempat berseloroh, "Baru pertama kali ya?" Wuuh, enak aja. Dia nggak tahu kalau waktu naik bus zaman SMA jauh lebih parah dari ini. Di jalan, saya masih sempat nulis berita. Edisi Mingguan yang jadi tanggung jawab saya wajib dirampungkan hari itu juga. Sambil berdiri, browsing berita, edit, dan kirim. Setelah semuanya rampung, Tab saya matikan dan masukkan ke tas. Oke. Ini liburan, so enjoy it.
Sepanjang jalan, saya nggak henti ngajak ngobrol Mas Widi. Mulai dari soal perjalanan ke Garut lalu, tragedi di Terminal Garut, soal Bogor yang macet (dan memang kondisi waktu itu macet parah, bus sempat stuck), sampai soal gunung. Dan lagi-lagi, dia merendah kalau nggak pernah kemana-mana. Emm, emang beda ya pendaki yang udah expert alias berpengalaman sama pemula macam saya, yang baru ke Gunung Papandayan aja udah seneng bangetttt.
Groufie dulu. Lihat siapa yang paling girang? |
Dari pertigaan itu, perjalanan masih disambut sekali lagi dengan angkot jurusan ke Cibodas, destinasi utama kami. Satu orangnya dikenai tarif Rp 5 ribu per orang untuk sampai ke terminal kecil itu.
"Kayak Baturraden ya?" kicau Fikri usai sampai di terminal tersebut. Sontak saja, saya dan Mbak Icung ngakak. Iya ya, suasana dan cuacanya mirip banget sama Baturraden, lokawisata kenamaan di Banyumas.
Sampai di terminal, maka lokasi yang kami tuju adalah warung yang biasanya jadi basecamp bagi pendaki. Dan Mas Widi yang duluan jalan. Jadi, masih percaya dia belum pernah ke sini? Saya sih enggak, heheheu.
Di warung tersebut, kami sedikit meluruskan badan, salat, sambil berbincang next seperti apa. Setelah disepakati, oke kami lekas berangkat supaya nggak terlalu sore. Dan tadaaa, Mas Widi keluar sudah dengan berganti kaus dan celana. Saya pun agak sedikit bengong, persiapannya mateng bener. Ternyata setelah dikasih detil lokasinya seperti apa barulah kami tersadar, kalau salah kostum. Ampun deh...
Perjalanan pun dimulai. Perjalanan menggunakan kaki masing-masing. Kami pun berjalan bersisian. Mas Widi di depan, Mbak Icung dan saya di tengah, Fikri di belakang sambil update Path. Ternyata selain saya, Fikri lebih girang saat sampai di sini. Bukan tanpa alasan, si sulung itu memang jarang piknik semenjak di Jakarta. Hahaha.
Berjalan kaki selama 10 menit sampailah kami di pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Rupanya, ada banyak orang yang naik. Dari pakaian dan bawaannya, ada yang sengaja mau ke Curug Cibeureum, ada juga yang mau muncak ke Gn Gede. Jalur ini memang menjadi jalur pendakian ke Gn Gede dan Pangrango. Jadi di sepanjang jalan, kami bertemu dengan para pendaki, baik yang mau naik atau turun.
Di depan pos registrasi, kami harus membayar HTM Rp 18.500 per orang. Emm, agak mahal sih memang karena kebiasaan kalau wisata curug di Banyumas selalu gratis. Itu pun nggak dikasih lembaran tiketnya. Hehehe.
Dan, ini dia petualangan kami. Diselingi candaan kecil, kami melangkah di jalur batu yang telah ditata rapi dan berundak. Jalurnya sedikit demi sedikit menanjak dan beberapa kali ketemu bonus jalur landai. Awalnya, langkah yang saya ambil cukup lebar, ngikutin yang di depan. Lama-lama, ngempos juga. Ikuti saja langkah kaki sendiri toh tak akan lari curug dikejar. Kalau pun lari ya bukan jodohnya. Haiiishhh!!!
Lama kami berjalan dan sayup terdengar suara gemericik air. Muka saya langsung cerah. Wah, udah mau dekat. Saya pun mempercepat langkah dan nggak sabar pengin lihat curug itu.
Tapi...
Suara itu memang suara air. Tapi bukan dari curug melainkan aliran sungai kecil yang mengantarkan kami pada keindahan yang pertama, Telaga Biru.
Mas Widi selaku pemandu piknik sedikit memberi penjelasan yang kata dia bersumber dari blog atau tulisan yang ia baca. Waktu sampai di Telaga Biru, sempet bingung juga dengan kondisi telaganya karena agak sedikit keruh. Hingga akhirnya kami mengambil kesimpulan, jika warna biru yang dimaksud berasal dari pantulan langit yang kala itu memang biru!!! Warna langit kesukaan saya.
Telaga Biru. Foto by Mbak Icung. Cakep kan? |
Saya pun mengambil banyak udara di sini. Menghirup sebanyak yang saya bisa. Merasakan kedamaian, ketenangan, keheningan, yang berpadu dengan warna biru langit yang sangat indah. Menciptakan harmoni luar biasa dan bikin enggan beranjak. Ditambah suara gemericik air yang bagai candu bagi saya.
Alhamdulillah, terima kasih, Tuhan. Sungguh, ini luar biasa...
(bersambung)
Di balik foto sepatunya Fikri, ada usaha seperti ini. Hihihi. Foto by Mbak Icung |
When blue meets blue. Cantik? Pasti. Bukan sayanya tapi view-nya. Foto: Mbak Icung |
groufie dulu... ini Mas Widi nggak ada, masih malu-malu kucing belum mau poto2. :D |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar