Minggu, 07 Juni 2015

Millionaires

Catatan Perjalanan Menuju Kaki Gunung Gede (2)


MASIH di Kaki Gunung Gede. Masih tentang perjalanan. Dan masih tentang keindahan di tanah sendiri. 

===

KEINDAHAN berbalut kesunyian di Telaga Biru menyihir mata kami. Sebelum malas beranjak, kami pun lekas bergegas. Kembali mengepak tas dan menyusuri jalan menuju destinasi utama, Curug Cibeureum.

Sepanjang perjalanan di jalur bebatuan tersebut, kami berpapasan dengan rombongan lain yang memiliki tujuan sama. Juga mereka yang turun dari pendakian. Duh, kalau melihat yang menggendong keril itu, saya jadi kepengin digendong. #eh

Jalur bebatuan yang kami lalui. Lumayan bikin capek. Foto: Mbak Icung
Sekian lama berjalan, napas mulai ngos-ngosan, dan kaki mulai pegal, kami mendapatkan bonus! Bonus kali ini adalah view Gunung Gede yang nampak dari kejauhan serta jalan landai berupa jembatan. Hasil nanya ke Wikipedia, jembatan ini berada di atas Rawa Gayonggong. Jembatan ini sudah dicor dan dibentuk menyerupai potongan kayu, sehingga aman buat dilewati banyak orang. Dan ini yang bikin saya salah kasih info ke Mbak Icung karena kami bakal ketemu sama jembatan kayu. 


"Tapi ini memang dulunya kayu kok Mbak," kata Mas Widi. "Hasil baca blog..." sambungnya seolah ingin mengoreksi kata 'dulu' itu. 

Karena view-nya yang okeh, saya langsung ambil Tab, buka kamera, dan membidik beberapa sasaran. Klik klik klik. Gunung Gede setinggi 2.958 mdpl itu berdiri gagah di hadapan kami. Sangat gagah. Beratapkan langit biru. Seolah melambai, menawarkan kebahagiaan dan rasa syukur saat berada di puncaknya. Iya, someday, kami akan datang ke sana. 

Ini soal menunggu.
Track jembatan ini lumayan panjang dan berkelok-kelok. Hati-hati saat melintas karena ada beberapa bagian yang sudah bolong. Pun perhatikan langkah yang diambil.

Usai melintasi jembatan tersebut, kami bertemu lagi dengan jalur bebatuan. Tak lama, kami dihadapkan dengan dua persimpangan dengan papan penunjuknya. Kanan ke arah Curug Cibeureum sedangkan kiri arah Puncak Gunung Gede. Penginnya ke kiri namun kaki kami memilih berjalan ke kanan. Hehehe.

Tahu jika tujuan kami semakin dekat, saya kembali semangat saat berjalan. Makin lama, suara deburan air terdengar jelas, kian kencang di telinga. Bahkan hidung ini sudah mencium 'aroma' air yang ditumpahkan dari ketinggian. 

Dan, tadaaaa.... keajaiban alam membentang di hadapan kami. Curug Cibeureum 'berteriak' kencang seolah berucap selamat datang. Debit airnya kencang mengirimkan jutaan bulir air yang tak berhenti mengalir. Jatuh dari ketinggian sekitar 40-50 meter. Terkadang, jatuh adalah sesuatu yang indah ya. ^^

Terkadang, jatuh adalah sesuatu yang indah. Curug Cibeureum. 


Kami dibuat terpukau dengan kemegahan ini. Berucap ribuan terima kasih pada Tuhan, alam, dan para penjaganya. Ah, betapa negeri ini punya banyak keindahan yang membuat kita lebih dekat pada sang Pencipta.

Siang jelang sore itu, suasana di sekitar Curug Cibeureum cukup ramai. Banyak pengunjung yang rela berbasah-basahan dengan berdiri di bawah air terjun ini. Merasakan langsung dingin dan segarnya air. 

Hasil mencari jejak di Wikipedia, nama Cibeureum berasal dari bahasa Sunda yang berarti sungai merah. Nama ini diambil dari nuansa merah dinding tebing yang terbentuk dari lumut merah yang tumbuh secara endemik di sana.

Melihat banyaknya wisatawan sehingga tak memungkinkan untuk melepas lelah, maka Mas Widi mengajak kami sedikit mlipir ke sebelah kanan curug. Di sana telah 'menunggu' curug lainnya yang sama kerennya. 

"Ini namanya curug apa, Mas?" tanya saya sama Mas Widi setiba di sebuah batu lempeng yang agak besar dan bisa buat duduk. 

Curug Cidendeng yang sama cantiknya dengan Cibeureum
"Emm, Curug Cibeureum 2 kali Mbak. Kan saya baru pernah ke sini..." jawab dia dengan nada sedikit ngeles dan langsung kubalas dengan tatapan yang rada galak. Masak baru pernah?

Di sekitar curug itu (yang kemudian saya baru tahu itu adalah Curug Cidendeng), kami beristirahat. Mengeluarkan bekal berupa nopia dan keripik kimpul yang merupakan produk langsung dari Purwokerto serta biskuit yang dibeli di toko kelontong Pertigaan Ciawi. 

Fikri yang masih excited dan saya yang terlalu bahagia karena bisa datang ke sini nggak menyiakan pemandangan ini untuk difoto. Mbak Icung cuma bisa duduk karena ponselnya mati. Sementara Mas Widi tetap stay cool, menikmati semua karya Tuhan ini. Keren ya.

Puas berfoto-foto, saya kembali ke tempat istirahat. Menikmati camilan sambil bercakap ringan dengan Mbak Icung dan Mas Widi. Fikri? Masih sibuk hunting foto. 

Sure. Saya terkagum di sini. Pertama, kagum dengan semua pesona yang ada di tanah ini. Ke dua, akhirnya kaki saya bisa menjejak di tanah Gunung Gede, walau hanya di kakinya. Gunung Gede yang dulu kerap dinyanyikan Mak'e bersama gunung-gunung lainnya seperti Pangrango, Salak, Sumbing, waktu saya kecil. Saya lupa lagu apa tapi nama Gunung Gede-Pangrango sangat akrab di telinga. 

Ke tiga, saya bisa ke sini bareng sahabat-sahabat yang keren dan gokil!!! Coba kalau Mas Widi nggak ngajak saya ke sini. Coba kalau Mbak Icung jadi mudik. Coba kalau Fikri nggak ikut. Ya saya nggak bakal ke sini. Thanks ya geng... Kalian keren!

Pasukan Piknik Ceria Para Pekerja. Big thanks guys... Dari kiri-kanan: Mbak Icung, saya, Fikri, dan Mas Widi
Di tengah-tengah menikmati keelokan ini, tetiba Fikri mengeluarkan kertas kecil dari tasnya. Ia menyodorkan pada saya dan bilang: "Jul, Jul bikin tulisan dong, biar kayak anak kekinian." 

Beneran, setelah Fikri ngomong seperti itu, saya langsung ngakak. Emang ini anak bener-bener kurang piknik. "Aku pengin bales temen-temenku yang pada pamer foto liburan kemarin," lanjutnya. 

Baiklah, Fik. Sebagai sahabat dan teman kerja yang sering mendengarkan curhatanmu waktu di kantor dulu, tak turutin kemauanmu deh. Fyi, kertas kecil yang diberikan adalah struk ATM. Ampun deh, Fik. 

Agak lama kami di sini. Buktinya, keripik kimpul sama nopia yang dibawa nyaris habis. Itu pun setelah Mas Widi sedikit protes sama Mbak Icung. "Mbak, perasaan itu oleh-oleh buat aku. Kok dihabisin?" Hahaha.

Mungkin kalau Mas Widi nggak ngingetin untuk lekas berkemas, saya nggak mau pulang. Mungkin, kalau dia nggak ngingetin betapa macetnya Bogor dan berapa jam lagi sampai Jakarta, saya masih ingin tetap di sini. Masih ingin mencium aroma gunung, dedaunan hijau nan menyegarkan, udara yang masih fresh, serta air gunung yang dingin. Dan, saya pun harus mengucapkan selamat tinggal, sampai berjumpa lagi pada curug ini. Iya, sampai jumpa lagi sebab di kemudian hari, saya pasti ke sini. 

Perjalanan pulang kali ini lebih cepat daripada saat berangkat. Ya iya, wong jalannya turun. Tinggal waspada sama ngerem. "Coba tadi pas berangkat jalannya kayak gini, kan cepet.." seloroh Mas Widi. Yah Mas, tadi kan jalannya nanjak, ini turun. Huuu...

Sesampai di warung yang jadi basecamp, hari sudah menjelang petang. Awan hitam bergelayut, tanda malam siap membentang. Udara dingin juga mulai merasuk ke badan. Namun, Gunung Gede tetap gagah di sore itu. 

Tahu kalau saya tertarik dengan gunung itu, Fikri dan Mas Widi mencoba merayu. "Wis Jul, nginep aja. Nggak usah pulang. Pulangnya lusa. Kalau kamu mau ngecamp, ini langsung aku pinjem tenda," kata Fikri yang langsung disambar Mas Widi. "Iya Mbak, sayang lho udah di sini. Nginep di sini, besok liat sunrise." Duh Fik, Mas, kalau nggak inget Minggu pagi aku harus pulang ke Purwokerto dan sorenya ngantor sih oke-oke aja. Mau bangetttttt malah... 

Di warung tersebut, kami meluruskan kaki sambil menikmati nasi goreng dan mi rebus. Diselingi obrolan ringan tentang apa saja sebagai penghangat suasana.

Pulang menjadi aktivitas kami selanjutnya. Dengan menumpang lagi angkotan kuning menuju Pertigaan Cibodas untuk kemudian menunggu bus atau angkot colt yang akan membawa kami ke Bogor. Kebetulan, itu adalah malam Minggu. Malam yang biasanya saya lalui di kantor karena harus berkutat dengan edisi Mingguan, kini saya jalani di kaki Gunung Gede bersama sahabat-sahabat hebat. Bahagianya sayaaaaa..... 

Saat menunggu itulah, lagu dari band favorit saya, The Script yang judulnya Millionaires melintas di kepala. Saya menyanyikannya dengan pelan. We were singin' our hearts out, standin' on chairs//Spendin' our time like we were millionaires//Laughin' our heads off, the two of us there//Spendin' our time like we were millionaires, millionaires. Terus dan terus saya nyanyikan lagu itu. Bahkan saat di dalam colt, saya mengulangnya dengan lirih. Look at us, it's 6 in the mornin'//If time was money, then we'd be worth a fortune//I swear, you may think you're rich//You can have a million euros but you can't buy this

The Script... kalian memang juara. Geng... kalian keren. Next, kapan kita ke mana? ^^ (*)


NB:
Sebenarnya ada lagu lain yang saya nyanyikan pas pulang, tepatnya saat naik KRL dari Stasiun Bogor, yaitu Never Say Goodbye by Hardwell & Dyro feat Bright Lights. Alasannya simple, si model di video klip ini lari-larian di dalam kereta saat dia mulai interest dengan cowok yang meliriknya dari bangku seberang. Hehehe

Sisi lain dari seorang Fikri Adin. Fokus sama tasnya. :p

Gunung Gede-nya gagah banget ya. Ke sana ya... 

Mbak Icung nggelar lapak. Keluarkan bekalnya, Mbak... Hihihi

Jangan bilang2, kertas yang dipakai buat nulis adalah struk ATM. 

Happy Weekend buat kamu. Iya, kamu... :D

Mbak Icung, kita keren yaaaa.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar