Minggu, 07 Juni 2015

MTs Pakis, Rumah Kedua untuk 16 Siswa


BEKERJA, bagi saya, tak melulu berada di lapangan, mencari narasumber, melakukan penggalian, lantas menuangkannya ke dalam sebuah tulisan. Bekerja, bagi saya, adalah bagaimana (setidaknya) menjadi 'oksigen.'

Inilah naskah feature saya tentang sebuah sekolah di ujung lereng Gunung Slamet sana. Yang jauh dari riuh gemelap lampu kota namun mampu memberi terang bagi anak usia sekolah di kampung tersebut. 

Dari mereka, saya belajar banyak tentang arti sekolah itu sesungguhnya. Sekolah yang tak sekadar sebagai tempat untuk menambah ilmu tapi berproses untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi sesama. Sekolah yang tak hanya memborbardir anak didik dengan ilmu eksak namun mengajak mereka untuk bercengkerama dengan alam. 

Terima kasih untuk semua yang sudah membantu. Terutama untuk Fotografer SatelitPost, Anang Firmansyah yang sudah menemani liputan sampai azan Salat Jumat berkumandang. Selamat membaca.  

SISWA MTS Pakis melakukan kegiatan belajar Agroforestry di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas, Jumat (27/3). Agroforestry merupakan kegiatan belajar menggabungkan materi pertanian dengan kehutanan sesuai dengan latar belakang siswa. SATELITPOST/ANANG FIRMANSYAH

Sutarni dan Laboratorium Alami Seluas 35 Hektare
"Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita
Tanah air, pasti jaya, untuk selama-lamanya
Indonesia pusaka, Indonesia tercinta
Nusa bangsa dan bahasa, kita bela bersama."

LAGU Satu Nusa Satu Bangsa ciptaan Liberty Manik mengalun pelan dari MP3 komputer jinjing. Lagu yang dinyanyikan ulang oleh band Cokelat itu, sayup-sayup terdengar pada ruangan di Kampung Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jumat (27/3). 

Lagu pembawa hawa nasionalisme itu menghiasi langit cerah, beriringan dengan suara serangga khas hutan. Lantas bergantian dengan lagu nasional dan lagu bertema perjuangan lainnya seperti Syukur, Tanah Air, Bendera, hingga Bangun Pemudi Pemuda yang membuat siapapun pendengarnya merasa takjub. 

Lalu, saat jarum jam menunjukkan angka 10, seorang pemuda memberikan aba-aba berkumpul. Nihil dengan lonceng dan bel yang berbunyi, 12 siswa MTs Pakis nampak takzim, berkerumun di depan kelas. Sebagian mereka menggunakan seragam Pramuka. Sebagian lagi, berpakaian ala kadarnya anak-anak desa. Seorang lelaki bernama Mat Roif lantas membeberkan rencana kegiatan belajar siang ini.

"Tadi kan teman-teman sudah bikin adonan dari daun yang dicampur air dan tanah, sekarang ambil kertas HVS, sikat gigi atau kuas. Masukkan sikat atau kuas tersebut ke dalam adonan, lalu pulaskan pada kertas sampai merata. Jika kertas sudah tertutup, tulis besar-besar nama kalian. Nek wis rampung, tembe dipe ngasi garing (setelah selesai, baru dijemur hingga kering, red)," ujarnya sembari mencontohkan. 

Hening, kemudian berganti dengan riuh-rendah ke-12 siswa dari kelas VII dan VIII itu. Ada yang langsung sibuk sendiri membuat prakarya, ada yang masih ngurusi adonan daunnya. Ada yang sudah nyaris selesai, ada yang masih sibuk mengguratkan sikat gigi di atas kertas. Sesekali, mereka saling bergurau, berceloteh tentang tulisan siapa yang paling bagus. 

"Jajal deleng nggonmu, kie nggone nyong wis rampung, apik maning (coba lihat punyamu, punyaku sudah selesai, bagus lagi, red)." Sepintas suara terdengar di antara celotehan riang ini. "Nggonku juga uwis, mayuh koh gagian dipe (punyaku juga sudah selesai, ayo lekas dijemur, red)," sahut beberapa siswa lainnya. 

Di tengah, gaduh indah itu, Kepala MTs Pakis, Isrodin memberi sinyal soal tugas selanjutnya. "Nek sampun rampung damel prakarya, niki teng kacang panjang wonten hama. Hama niki sing marai kacang panjange mboten woh. Tugase rencang-rencang sakniki ngresiki hamane. Ben ngenjang saged dipanen (Kalau sudah selesai membuat prakarya, di kacang panjang ini ada hama. Hama ini yang membuat kacang panjang tak bisa berbuah. Tugas teman-teman sekarang membersihkan hama, supaya kelak bisa dipanen, red)," kata Kang Isrodin, begitu biasa dia disapa. 

Beberapa siswa yang telah selesai lantas bergegas, 'melupakan' sejenak tugas kerajinan tangan. Mereka masuk dalam bidang-bidang tanaman, memetik hama yang mengganggu. Tentu sambil sesekali mengobrol ringan. 

Sutarni (14) nampak antusias dalam pembelajaran ini. Ia tak henti-henti mengecek apakah kacang panjang di hadapannya telah bersih dari hama. Bagi pelajar yang bercita-cita jadi dokter ini, ini adalah pengalaman baru. Pun dengan banyak materi pelajaran yang diberikan sekolah padanya. "Seneng karena dapat pengalaman baru bagaimana cara bercocok tanaman kacang panjang," ujarnya pada SatelitPost

Beginilah suasana kegiatan belajar di MTs Pakis. Sekolah yang baru berdiri dua tahun lalu ini seakan menjadi oase di Kampung Pesawahan. Bagaimana tidak, puluhan tahun kampung yang berada di ketinggian 700 mdpl ini tak memiliki fasilitas layanan pendidikan yang memadai. Sekolah terdekat dari kampung tersebut ada di desa tetangga, yakni Desa Karanggondang. Itu pun hanya jenjang sekolah dasar. Kondisi inilah yang membuat banyak anak usia sekolah di Kampung Pesawahan dan sekitarnya memilih tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Untuk sampai di sekolah ini, setidaknya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Kota Purwokerto. Beruntung sejak satu tahun lalu, jalanan yang menuju desa di ujung utara Kecamatan Cilongok ini sudah diaspal mulus bak jalan tol. Sehingga tak menyulitkan laju sepeda motor walau harus melintasi belokan tajam, tanjakan, serta hutan pinus sepanjang 2 kilometer meski suasana sepi tetap mengungkung wilayah ini. 

Lantaran berlokasi persis di lereng gunung, MTs Pakis memiliki satu mata pelajaran (mapel) andalan, yakni Agroforestry yang menggabungkan materi serta mengenalkan siswa pada kegiatan seputar pertanian dan kehutanan. Setiap Selasa, Rabu, dan Jumat, siswa belajar Agroforestry. "Dalam materi ini, anak-anak diajarkan langsung bagaimana cara menanam sayuran, beternak, sampai ngarit (menyiangi tanaman, red)," kata Kang Isrodin. 

Tak heran jika di sekeliling sekolah yang hanya memiliki tiga ruang kelas ini, tumbuh berbagai macam tanaman hortikultura seperti kacang panjang, padi, dan lainnya. Di depan kelas juga terdapat kolam yang berisi ikan hasil 'sumbangan' siswa. Di bawah sekolah, terdapat tiga kandang kambing yang dirawat para siswa. "Impiannya, ketika lulus, selain punya ijazah, mereka juga punya tabungan berupa kambing. Satu siswa satu ekor kambing," ujar pria asli Purbalingga ini. 

Siswa di sekolah ini juga terbiasa belajar langsung dengan alam. Terkadang mereka lesehan di dekat Telaga Kumpe yang tak jauh dari sekolah. Tak jarang, mereka duduk melingkar di gazebo dekat kandang kambing. Pada mereka, tak ada cerita, hanya duduk dan menerima materi di dalam kelas. Saban hari, mereka menjadikan hutan dan lahan seluas 35 hektare milik Perhutani sebagai media belajar. Mengelola langsung apa-apa yang di dalam dan pinggir hutan. 

"Lahan sekolah kami memang hanya sekitar 500 meter persegi tapi kami punya laboratorium alami seluas 35 hektare!" ujar Kang Isrodin sambil berseloroh. 

Tak mau siswa hanya asyik dengan alam, sekolah ini memperluas cakrawala anak didiknya dengan proses pembelajaran yang menyenangkan. Para siswa kerap belajar langsung dengan masyarakat di sekitar sekolah dan orangtua sebagai sumber belajar. Seperti mengamati aktivitas sehari-hari, belajar langsung bagaimana cara beternak, hingga melakukan pendataan penduduk. Termasuk mengadakan kunjungan alias anjangsana ke beberapa lembaga atau instansi pemerintahan yang ada di Kota Purwokerto. 

"Hal ini kami lakukan agar siswa mengenal dunia luar, sekalian ngajak mereka refreshing, jalan-jalan ke kota," kata dia.

Untuk menanamkan karakter pada siswa, sekolah ini juga memiliki program bulanan seperti pendekar alias pendidikan karakter. Dalam kegiatan ini, anak-anak menginap di sekolah dan berkegiatan bersama teman lainnya. Seperti memasak, makan, salat bersama, dan kegiatan belajar lainnya. "Program Pramuka dan OSIS juga tetap berjalan meski dengan jumlah siswa yang terbatas," ujarnya. 


Dengan Cangkul, Nurwati Bisa Bersekolah
DUA tahun, MTs Pakis menjadi tempat belajar untuk anak-anak usia sekolah di Kampung Pesawahan dan Karanggondang, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar pun terbilang memadai. Empat unit komputer dan ratusan buku-buku penunjang pelajaran tertata rapi di sudut kelas. Termasuk LCD Proyektor yang nyaris semua fasilitas ini merupakan sumbangan dari donatur. 

Bayangan tentang guru-guru nan mumpuni, pengajar di sekolah ini sempat terlintas di kepala SatelitPost. Ketika hal ini ditanyakan pada Kepala MTs Pakis, Kang Isrodin sedikit tersenyum. 

Ia bilang, para relawan dari berbagai kalanganlah yang membantu proses kegiatan belajar mengajar di sekolah ini. Relawan yang berjumlah hingga 15 orang ini datang dari penjuru Kota Purwokerto. Terbanyak adalah para guru yang sesekali menyempatkan waktu, ikut mengajar. Sebutan untuk mereka pun bukan guru, melainkan teman belajar. Selain 'menghilangkan' kecanggungan antara guru dan siswa, juga aktivitas yang kerap dilakukan adalah berbagi ilmu. Hubungan inilah yang membuat keakraban antara siswa, guru, kepala sekolah, dan orangtua lekas terjalin serta bersahabat. 

"Kalau hari Sabtu, banyak mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang membantu jadi volunteer," kata dia, Jumat (27/3). 

Di tengah banyaknya kegiatan menyenangkan dan program yang dijalankan sekolah, terbersit pertanyaan, berapa biaya yang dikeluarkan para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di MTs Pakis? Kang Isrodin menggeleng pelan. "Tidak ada biaya alias gratis. Kami sama sekali tidak menarik biaya SPP atau biaya lainnya dari para siswa. Sekolah ini didirikan untuk melayani siswa yang tak terjangkau," kata pria lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto tersebut. 

Siswa berasal dari keluarga kurang mampu dan tinggal di desa di sekitar hutan. Sementara sebagian besar walimurid berprofesi sebagai petani, peternak, atau penderes. Kondisi itulah yang sangat tak memungkinkan bagi sekolah untuk menarik biaya. Bahkan untuk seragam, pihak sekolah tak mewajibkan siswa untuk memiliki. Pun saat pendaftaran siswa baru. Sekolah hanya meminta walimurid untuk menyerahkan satu jenis alat pertanian seperti cangkul dan parang/arit. Ya, dengan cangkul, anak-anak ini bisa terus bersekolah hingga lulus tanpa biaya apapun.

"Yang terpenting bagi kami, anak-anak di desa ini bisa sekolah, mendapatkan pendidikan, memperoleh bekal yang berguna saat mereka lulus, dan bisa mengaplikasikan di masyarakat," kata teman belajar di MTs Pakis, Mad Taufik. 

Bagi mereka, sekolah harus bisa menjadi rumah ke dua bagi para siswa. Satu di antaranya dengan menyusun kegiatan dan materi pembelajaran yang menggembirakan, bukan membebani siswa.  

"Anak-anak harus senang dulu dengan sekolah. Itu yang pertama dan utama. Bagaimana caranya? Cari tahu latar belakang siswa. Karena di sini banyak siswa yang orangtuanya petani dan tinggal di pinggir hutan, maka materi pendidikan yang kami berikan sebagian besar berkaitan dengan pertanian. Namun, kami tetap menggunakan kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah. Kami berikan ruang bebas agar siswa bisa belajar dan berkreasi sehingga sekolah bisa menjadi tempat yang menyenangkan untuk mereka," ujar mereka.

Hal yang sama juga disampaikan Nurwati (14). Siswa kelas VIII ini mengaku senang bisa bersekolah. Selain jarak sekolah yang tak terlalu jauh ditambah tak ada pungutan, ia mendapatkan banyak pengalaman lantaran sering belajar langsung di alam. Termasuk saat ia diajak berjalan-jalan ke Purwokerto dan Jakarta. Melihat Monas di Jakarta menjadi kisah tak terlupakan bagi Ketua OSIS ini.

"Dulu, setelah lulus dari SD, orangtua menyuruh saya untuk kerja, tapi setelah ada kunjungan dari teman-teman MTs Pakis, orangtua mengizinkan saya sekolah. Ternyata, sekolahnya asyik, menyenangkan. Saya ingin terus sekolah sampai saya jadi guru yang bisa membagikan ilmu untuk murid-muridnya," kata dia. 

Pun dengan Ibu Yatinah, warga Karanggondang. Ibunda dari Prihartini ini selalu mendukung apapun yang dilakukan pihak sekolah. "Nganah sekolah, aja kaya nyong sing gur lulus SD (bersekolahlah, jangan seperti saya yang hanya lulusan SD)," ujar wanita yang berusia 40 tahun ini. (sri juliati/habis)



NB:
Feature ini telah terbit di Harian Pagi SatelitPost, edisi 31 Maret dan 1 April 2015. Tulisan ini pula yang mengantarkan penulis menjadi Juara ke Dua dalam Lomba Features yang diselenggarakan Pusat Informasi dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2015. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar