Sabtu, 22 Agustus 2015

Catatan Pendakian Menuju Gunung Sumbing

Mendaki gunung bukanlah hobi utama saya. Namun, saya cukup senang bila diajak melangkahkan kaki ke tempat-tempat tertinggi. Seperti, pekan kemarin, ketika seorang kawan mengajak saya ke Gunung Sumbing.



JARUM jam menuju angka delapan. Motor saya sudah mengaspal di jalanan Banyumas-Banjarnegara, Minggu (16/8). Jalanan, relatif sepi pagi itu. Jadilah dengan kecepatan penuh, kami, saya bersama ketiga rekan, Reni Suryati, Supri, dan layouter SatelitPost, Anas Masruri, beranjak menuju Wonosobo. 

Kami sempat berhenti dua kali. Pertama di daerah Banjarnegara untuk mengisi perut dengan semangkuk soto Semarang nan menyegarkan. Kedua, di Pasar Kretek, Wonosobo, membeli buah-buahan sebagai bekal pendakian.

Sekitar pukul 11.15 WIB, kami tiba di pos pendakian Gunung Sumbing, Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Tak hanya kami, puluhan bahkan ratusan pendaki telah memadati satu di antara basecamp yang menjadi jalur resmi pendakian gunung setinggi 3.371 mdpl ini. Tujuh kilometer dari basecamp, gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah itu, gagah menyambut kami.

Sempat beristirahat selama 1,5 jam sembari memastikan tidak ada bekal yang tertinggal, tepat pukul 13.00 WIB, pendakian pun dimulai. Cuaca cerah, cenderung panas memayungi kami. Awalnya, kami melintasi jalur beraspal sebelum sampai jalur bebatuan yang tersusun rapi, membelah Dusun Garung. 

Gunung Sumbing dari basecamp Dusun Garung. 

 Di sepanjang jalan, aroma tembakau kering menyeruak, menguar, memenuhi lubang pernapasan. Lembaran daun tembakau itu ditata rapi, dijemur di depan rumah, lapangan. Ya, sebagian besar warga di dusun menggantungkan nasib hidupnya dari ladang tembakau. 

Wajah-wajah ceria para pendaki. ki-ka: Mas Supri, Mas Anas, Reni
Selepas menikmati perjalanan di dusun tersebut, kami masuk ke ladang warga dan sempat berbincang dengan seorang petani yang hendak pulang soal harga tembakau. "Alhamdulillah, panen Mas, sak niki sekilo biasane seket ewu (Alhamdulilah, panen, Mas, sekarang satu kilogram Rp 50 ribu)," kata pria paruh baya sambil menenteng cangkul itu. 

Usai dari ladang warga, kami kembali bertemu dengan jalan bebatuan yang ditata rapi atau makadam sebelum menuju Pos 1 Malim KM III. Bisa dibilang, jalur ini cukup menyita tenaga dan waktu. Selain panjang, jalur ini mulai menanjak. Kami lebih sering berhenti untuk melepas lelah. 

Sebenarnya, ada cara 'mudah' menyelesaikan jalur ini yaitu menggunakan transportasi ojek. Warga sekitar menawarkan jasa ojek mengantar pendaki dari basecamp menuju Pos 1. Tarifnya sekitar Rp 25 ribu sekali jalan. Lumayan, bagi mereka yang ingin menyimpan waktu dan tenaga. 
Mereka, nampak dari belakang menuju Pos 1. Semangat, kakak!!!!
 Saat sinar matahari mulai meredup dan sayup terdengar suara azan Magrib, kami memutuskan berhenti. Meletakkan beban yang semakin berat di punggung, sembahyang, dan membuat teh, sebagai penghangat suasana yang semakin dingin. Rupanya, kami telah memasuki Pos 2 KM IV Genus. 

"Lepas dari Pos 2, nanti nglewatin jalur namanya engkol-engkolan. Ada tiga lajur tapi semuanya ketemu di titik sama. Dinikmatin aja jalannya, nyante, nggak usah cepet-cepet. Kalau capek, istirahat. Soalnya jalurnya nikmat bangettt," ujar Supri. Sebagai jawaban, kami menganggukkan kepala sambil memakai masker, kaus tangan, dan menyalakan senter. Perjalanan menuju Pos 3 pun dimulai di bawah langit yang mulai menghitam. 
Jalur pendakian mulai Pos 1

Baru saja melangkah, rombongan kami berhenti. Banyaknya pendaki yang naik, membuat kami berjalan satu per satu. Antre. Tak apa. Anggap saja sembari melepas lelah. Dibanding jalur yang telah kami lalui sebelumnya, jalur engkol-engkolan jauhhh lebih susah. Kondisi jalur berupa track tanah merah berpasir dan sedikit licin. Minim pohon lagi. Bila tak hati-hati melangkah, bisa saja terpeleset.

Banyak pendaki bilang, tanjakan di jalur ini sungguh tak manusiawi. Maksudnya, sama sekali tak ada bonus berupa jalan datar. Tanjakan curam semua. Apalagi dengan kemiringan hingga 70 derajat. Alhasil, sebagian besar dari tanjakan ini saya lalui dengan merangkak, merayap. Tenaga pun nyaris terkuras habis di jalur ini. Entah sudah puluhan kali kami berhenti di jalur ini. 

Semangat saya nyaris down. Rasanya, hampir mustahil menyelesaikan ongkel-ongkelan. Ini belum separuhnya. 

"Istirahat dulu aja, santai. Kalau capek, lihat ke bawah, lihat apa yang kalian udah lalui," ujar Supri yang sepanjang perjalanan terus menyemangati kami. 

Ya, di antara kami berempat, maka Supri-lah yang bisa dibilang senior. Terhitung, sudah tiga kali ia mendaki Gunung Sumbing yang membuat pria asal Banyumas ini hapal jalur pendakian. 

Benar saja. Saat kami berbalik, duduk, merebahkan badan, terhampar luas pemandangan Wonosobo di malam hari. Kerlap-kerlip lampu, lalu-lalang kendaraan di jalan utama Wonosobo-Temanggung, Gunung Sindoro, gagah menjulang di depan kami, menjadi penawar lelah paling ampuh malam itu. Apalagi saat mendongak ke atas, ke langit. Langit malam itu cerah, dipenuhi bintang. Spektakuler.

Teriakan semangat dari rekan sesama pendaki, juga membuat rasa lelah dan down perlahan hilang. Setiap kali kami berhenti, maka pemandangan nan eksotis dan hentakan semangat menjadi obat. Rasa pesimistis sirna, digantikan dengan optimisme tinggi: yakin sampai tempat camp.

Dan setelah melalui engkol-engkolan, sampailah di Pos 3 KM V Sedelupak Roto. Total, kami telah berjalan sepanjang lima kilometer. Di Pos 3, telah banyak berdiri tenda. Karena tak ada lagi tempat untuk mendirikan camp, kami memutuskan untuk kembali menanjak hingga ke Pestan yang menjadi lokasi ngecamp paling favorit.

Namun, jalur menuju Pestan bukanlah jalur yang nyaman karena harus kembali melewati track menanjak. Meski tak seperti jalur engkol-engkolan, tetap saja, kami kewalahan. Berkali-kali kami menyemangati diri kami masing-masing. "Sebentar lagi sampai, sebentar lagi sampai."

Pestan merupakan kawasan yang hampir keseluruhan hanyalah rerumputan dan hanya ada beberapa pepohonan kecil. Alhasil, angin berhembus sangat kencang di area ini. Namun, di sini, telah berdiri tenda yang akan menjadi 'rumah' para pendaki. 

Setelah menemukan sedikit tanah kosong, di balik rerimbunan, kami pun berbagi tugas. Supri dan Anas mendirikan tenda, sedangkan saya dan Reni memasak. Mi rebus telur dengan lauk ikan asin dan teh hangat menjadi santapan kami malam itu. Tak terasa, jam menunjuk angka 10 dan kami pun bersiap tidur, demi perjalanan ke puncak, dinihari nanti.

=====================================================================


Perjalanan 4,5 Jam Terbayarkan


ANGIN malam menderu. Menghantam sisi-sisi tenda. Suara kerasnya membuat saya terbangun. Senin (17/8), pukul 01.20 WIB.

Setelah memastikan tak ada apa-apa dengan 'rumah' kami, saya kembali merebahkan badan, memejamkan mata. Suara angin terus bergemuruh. 

Barulah pada pukul 02.00 WIB, saat alarm berbunyi, kami berempat, saya, Reni Suryati, Supri, dan Layouter SatelitPost, Anas Masruri benar-benar bangun, membuka tenda. 

"Wuzzzz wuzzzz wuzzzz." Angin dingin menampar wajah. Kami pun kompak, kembali masuk tenda.

Sambil mengumpulkan 'nyawa', di dalam tenda, kami menyiapkan beberapa perbekalan untuk perjalanan menuju puncak Gunung Sumbing sesuai rencana. Di samping membuat teh untuk menghangatkan badan. 

Selepas bersiap dan badan sudah mulai beradaptasi dengan hawa dingin di ketinggian 2.437 mdpl, tepat pukul 03.00 WIB, kami memulai perjalanan. Menuju puncak. Menuju ketinggian 3.371 mdpl.

Telapak tangan diusap-usapkan untuk 'mengalirkan' udara hangat. Jaket dirapatkan. Sambil berjalan, sambil berdoa. Harapan agar Tuhan memberi kemudahan dan kelancaran untuk summit attack pagi ini, membumbung tinggi. 

Langit masih pekat. Cahaya senter dari para pendaki lainnya, dengan tujuan yang sama, mulai nampak. Menciptakan formasi bak bintang berjalan. Kaki-kaki kecil mulai menapaki jalur pendakian. Selangkah demi selangkah.

Teriakan semangat, izin jalan duluan, permisi, memenuhi jalur Pestan menuju Pasar Watu. Disebut Pasar Watu, karena jalur ini berupa bebatuan yang berserakan. Hati-hati saat melangkah dan berpijak. Bisa jadi batu yang dipijak tak cukup kuat dan membuatnya tergelincir, jatuh. Para pendaki akan berseru, mengingatkan pendaki lainnya atau yang di bawah untuk menghindar dengan kata 'awas batu' dan 'rock'.

Cukup lama kami berkutat di Pasar Watu. Track yang kian menanjak, tanpa ampun, dan tiada henti. Sempat ada bonus sedikit berupa jalan menurun yang di sisi kirinya terdapat jurang. Setelah itu, kami kembali menemui tanjakan curam. Dahi dan lutut semakin lebih sering beradu, bertemu saking curamnya. Dan saya, entah sudah berapa kali saya menyelesaikan jalur ini dengan merangkak. 
Jalur ke Watu Kotak. Foto diambil saat turun.

"Sesekali kita memang harus merangkak, menunduk, untuk bisa sampai ke puncak. Sama kayak hidup," kata Supri seraya menyemangati kami yang mulai kelelahan.

Usai melintasi Pasar Watu, di hadapan kami ada sebuah batu yang amat besar. Lokasi ini disebut Watu Kotak yang merupakan perbatasan kilometer VI. Kami pun melepas lelah. Berbalik dan melihat ke bawah. 

Pemandangan super keren terbentang di hadapan. Awan berarak, menyelimuti wilayah Wonosobo-Temanggung. Bagai lautan warna putih. Semburat warna orange, khas matahari hendak bangun memberi warna tersendiri. Indah dan amat eksotis. Kami pun terhipnotis dengan keajaiban ini.

"Kerennnnn bangettttttt. Amazingggg, gengs...," teriak saya.
Spektakuler di pagi hari. Lautan awan dari ketinggian 2.763 mdpl

Semuanya terkagum. Bahagia. Sempurna, terbentang keindahannya. Sempurna, karena ini ciptaan dari sang Maha Sempurna. Syukur pun kami panjatkan melalui doa di subuh itu. 

Panorama ini menjadi obat segala letih. Memompa semangat demi kembali meneruskan perjalanan menuju puncak. Dari Watu Kotak, kami mendaki menuju Tanah Putih. Track menanjak dengan bebatuan belumlah habis.

Tepat saat sampai di Tanah Putih, matahari di hari Kemerdekaan, Senin, 17 Agustus terbit. Memberi warna terang pada semesta. Memancarkan cahaya benderang. Menyingkap pekat dan gelap yang masih menggantung di langit. Sementara di atas sana, sayup terdengar lantunan lagu Indonesia Raya dari para pendaki yang telah terlebih dahulu sampai. 

"Nggak masalah, nggak dapat sunrise di puncak. Sampai di puncak aja udah bersyukur banget, sunrise itu bonus," ujar Supri yang terus sepanjang perjalanan, tak henti membagikan semangat dan membimbing kami. 

Ya bagi kami, terutama saya, menikmati sunrise di puncak gunung adalah bonus setelah melewati semua ini. Yang paling utama, bagaimana kami semua bisa sampai puncak bersama dan pulang dengan selamat. 
Jalur di Tanah Putih. Foto diambil saat turun. 
Bisa dibilang, jarak Tanah Putih menuju puncak Gunung Sumbing, hanyalah sepelemparan batu. Tak seperti jarak track engkol-engkolan, jalur Pestan menuju Pasar Watu, atau bahkan dari basecamp sampai ke Pos 1. Dekat. Tapi terjalnya jalur membuat kami lebih kerap berhenti. Ditambah dengan tenaga yang nyaris terkuras. 

Maka dengan sisa-sisa tenaga, kami kembali mendaki, walau tertatih-tatih sambil terus menyemangati diri sendiri: "Sebentar lagi puncak, Jul. Sebentar lagi. Kuat, kuat." 

Sekitar 100 meter dari puncak, kami menemukan pertigaan. Satu lurus, terus mendaki dan ke kanan untuk menuju Puncak Kawah Gunung Sumbing. Kami memilih lurus. Puncak Buntu menjadi tujuan. Gunung Sumbing memang memiliki dua puncak yaitu Puncak Buntu dan Kawah dengan ketinggian yang tak jauh beda. 

Saat tenaga sudah habis, kaki sudah tak lagi kuat untuk terus mendaki, dan matahari kian benderang, rupanya kami telah sampai di bagian tertinggi dari Gunung Sumbing. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4,5 jam dari Pestan, dari pukul 03.00-07.30 WIB, sampailah kami di puncak tertinggi kedua di Jawa Tengah ini. 

Gunung Sindoro, Gunung Prau, dan Pegunungan Dieng
Setelah menemukan tanah sedikit lapang, cukup untuk meluruskan kaki dan punggung, kami berhenti. Menghadap ke depan dan tampaklah di sana Gunung Sindoro, gagah menjulang. Gunung setinggi 3.136 mdpl itu tampak merayu. Di belakangnya, ada Gunung Prau, yang saat 17-an kemarin rupanya disambangi 6 ribu pendaki. Juga Gunung Slamet dan kawasan Pegunungan Dieng. Sementara jika berbalik ke belakang, Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu 'menyembul' di antara lautan awan.

Rasanya, saat berada di titik tinggi walau bukan yang tertinggi di Gunung Sumbing, sangat luar biasa. Ada rasa puas, syukur yang tiada terhingga. Yang tak mampu dijabarkan dengan serentatan kata-kata, selain dengan kata: Alhamdulillah.

Bagaimana tidak. Setelah melewati jalur terpanjang dari basecamp ke Pos 1, dari Pos 1 ke Pos 2, melintasi engkol-engkolan demi menuju Pos 3, yang disambung melintasi tanjakan ke Pestan, 'bermain' di antara bebatuan di Pasar Watu, beristirahat di Watu Kotak, dan mendaki di Tanah Putih, semua lelah dan usaha keras itu terbayar.

Cozmeed dan puncak tinggi Gunung Sumbing
Dari ketinggian 3.371 mdpl itu, kami banyak belajar. Pantang menyerah, kerjasama, saling menyemangati, sabar, dan legowo. Pantang menyerah dengan segala tanjakan. Kerjasama, bagaimana saling berbagi peran. Saling menyemangati saat ada satu di antara kami mulai hopeless. Sabar karena puncak tak akan lari. Legowo tidak bisa menikmati momen sunrise.

Di puncak itu, berfoto menjadi agenda wajib. Kami juga memasak nasi goreng dan teh hangat. Rasanya, sudah pasti sangat lezat. Apalagi bukan hanya kami saja yang menikmati, beberapa rekan pendaki lain juga ikut 'menghabiskan.'
Monggo, nasi goreng spesial dicicip... :) 

"Monggo, Mas, dicicipi. Lumayan lho..." seru layouter SatelitPost, Anas Masruri pada rekan pendaki lain yang duduk di sebelah kami. 

"Iya, Mas. Ayo, ayo, kita semua di sini saudara, nggak usah sungkan-sungkan, habiskan..." kata Supri menimpali.  Benar saja, lima menit kemudian. Seporsi nasi goreng itu langsung tandas. 

Puas menikmati puncak Sumbing, kembali ke tenda di Pestan menjadi agenda selanjutnya. Bisa dibilang, waktu tempuh saat naik dan turun berbeda, nyaris separuhnya. Jika untuk naik kami butuh waktu 4,5 jam, saat turun kami menghabiskan waktu dua jam. Setelah berkemas, memastikan tidak ada sampah dan bekal yang tertinggal, kami pun pulang. Tepat saat kabut turun dan kembali melintasi track engkol-engkolan yang 'aduhai' itu. Pukul 17.30 WIB, kami tiba di basecamp
Pak Ketua sekaligus bapak dua anak takzim menulis. 
 Selamat merencanakan pendakian. Jangan buang sampah sembarangan, apalagi puntung rokok karena dapat mengakibatkan kebakaran. Termasuk bila membuat api unggun, pastikan telah memadamkannya. Yang paling utama, patuhi semua peraturan dan pantangan saat mendaki seperti jangan mengeluh di Pestan serta jangan bohong dan sombong saat di Dusun Garung. (sri juliati)




Alhamdulillah, sampai puncak... 

ketika biru bertemu biru dan aku mencintai warna biru...

Halooo, kamu-ku... Selamat pagi... :)

Saat lelah, pandanglah ke bawah.



Naskah ini telah terbit di Harian Pagi SatelitPost edisi Sabtu (22/8) dan Minggu (23/8) halaman Etalase (1) sebagai Feature. 

Big thanks, guys. Kalian keren... 







Rabu, 05 Agustus 2015

Sahabat Sejati Itu Bernama BNI



22 OKTOBER 2007. Jarum jam belum sempurna menuju angka 1. Cuaca tak begitu panas, sedikit berawan.

Kendaraan lalu lalang di Jalan HR Bunyamin, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Jalan sepanjang 2,5 km ini, membentang dari utara ke selatan menjadi satu di antara jalan utama di Kota Satria. Menjadi urat nadi perekonomian sekaligus kehidupan bagi masyarakat Purwokerto, utamanya para mahasiswa. Sebab di jalan inilah, universitas terbesar di Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berdiri gagah.

Di satu sisi, di jalan yang tak pernah tidur ini, seorang remaja berdiri. Usianya masih 18 tahun kala itu. Dia tak sendiri. Ada beberapa orang, berdiri dan duduk, seakan menunggu antrean.

Begitu jarum jam menunjuk angka 1, begitu plakat dibalik, dari close menjadi open, dia dan beberapa orang tadi masuk ke sebuah bangunan berlantai dua. Di hadapannya, berdiri seorang petugas keamanan yang dengan ramah bertanya soal keperluan.

"Mau buka rekening, Pak," jawabnya. Petugas keamanan dengan sigap memberikan lembaran kertas antrean. "Nanti ke bagian customer service ya, nunggu dipanggil nomor antreannya."

Singkat cerita, berbekal Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), serta uang tunai senilai Rp 200 ribu, remaja tersebut resmi menjadi nasabah BNI 46 Cabang Pembantu (Capem) Unsoed atau yang biasa disebut dengan BNI Unsoed. Hingga kini.

Hampir delapan tahun, remaja yang kini beranjak usia 26 tahun tersebut tetap setia bersama BNI. Jika dulu, saat duduk di bangku kuliah, ia memanfaatkan BNI Taplus Mahasiswa (BNI Tapma), sekarang sudah 'meningkat', menjadi nasabah BNI Taplus.

Dan remaja itu adalah penulis. Sejak menyandang status mahasiswa Unsoed hingga sekarang menjadi karyawan, penulis tetap menjadi secuil bagian dari BNI. Setia berada di barisan nasabah bank yang didirikan begawan ekonomi, Margono Djojohadikusumo.

Memilih BNI sebagai tempat menabung dan bertransaksi keuangan lainnya bukanlah tanpa alasan. Pertama, banyak dari teman penulis yang menjadi nasabah BNI. Semua kompak bilang, pelayanan yang diberikan bank berkode saham BBNI ini memuaskan dan cepat. Kedua, jarak kantor cabang pembantu BNI dengan kampus relatif lebih dekat. Hal ini tentu memudahkan penulis saat hendak bertransaksi. Kala itu, transaksi keuangan yang kerap dilakukan adalah menabung dan tarik tunai.

Ketiga, tarif potongan administrasi yang dikenakan BNI cukup terjangkau. Penarikan, cek saldo via ATM, free. Menabung pun free. Hanya potongan biaya administrasi per bulan dengan nominal yang sangat mahasiswa dan manusiawi. Juga berbagai kelebihan lain yang diberikan BNI.

Menemukan ATM BNI Semudah Menemukan Minimarket
Selama hampir delapan tahun menjadi nasabah, telah banyak kisah dan pengalaman yang pernah penulis lalui. Terutama haru-biru kehidupan masa kuliah, penulis lalui bersama BNI. Mulai dari pembayaran SPP, wisuda, hingga penerimaan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Semua itu selalu dengan BNI.

Bahkan dengan BNI, penulis mahfum dengan transaksi keuangan, di luar menabung dan tarik tunai. Masih segar di ingatan, bagaimana delapan tahun lalu, penulis sama sekali tak tahu cara menarik uang via ATM BNI. Tangan gemetar, gagap, dan menerka-nerka apa yang harus dilakukan. Sedikit memalukan, memang.

Juga saat penulis harus bolak-balik memeriksa saldo tabungan gegara terdengar kabar beasiswa telah masuk ke rekening masing-masing. Peristiwa ini terjadi tahun 2010. Kabar tersebut masih simpang-siur. Ada beberapa rekan yang bilang sudah masuk, tak sedikit yang menggeleng.

Untuk lebih memastikan, berangkatlah penulis ke ATM terdekat. Kala itu, sama sekali tidak terbersit untuk menggunakan layanan SMS Banking. Alhasil, dalam sehari, lebih dari lima kali mengecek saldo tabungan. Bayangkan, bila BNI tega membebankan tarif administrasi saat setiap kali cek saldo, berapa 'kerugian' yang harus penulis tanggung.

Termasuk saat uang di tangan nyaris habis, BNI memberikan 'penyelamatan'. Penulis masih bisa menarik uang meski sisa saldo tabungan tak lebih dari Rp 60 ribu. Sebab, hingga kini, hanya BNI-lah yang menyediakan ATM dengan pecahan uang Rp 20 ribu.

Berbicara mengenai ATM, menemukan ATM berplang BNI semudah menemukan minimarket yang 'bertebaran' di kanan-kiri jalan. Artinya, nyaris sepanjang jalan di Purwokerto dapat dengan mudah ditemukan ATM BNI.

Di Jalan HR Bunyamin, Purwokerto misalkan, ada sekitar lima ATM BNI GALLERY berdiri. Terbesar dan terlengkap berada di depan Kantor Capem Unsoed serta samping RM Mie Kelinci III. Selain menyediakan mesin ATM tarik tunai dengan nominal mulai Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu, BNI juga melengkapinya ATM jenis setor tunai (Cash Deposit Machine) serta ATM yang diperuntukkan untuk transaksi non-tunai.

Catatan saja, saat ini KCU BNI Purwokerto telah memiliki 102 ATM yang tersebar hingga ke pelosok Banyumas. Jumlah ini meningkat pesat dibanding tahun 2012 yang hanya 50-an ATM. Tahun ini, KCU BNI Purwokerto akan menambah 15 mesin ATM yang akan disebar ke beberapa wilayah.

Dalam wawancara yang pernah penulis lakukan, Pimpinan Cabang BNI Kantor Purwokerto, Mohammad Prasetio bilang, bukan tanpa alasan kenapa bank pelat merah ini jor-joran untuk urusan penyediaan mesin ATM. Pertama, angka transaksi di ATM BNI sangat luar biasa yaitu mencapai 6 ribu transaksi per bulan. Padahal untuk mencapai titik BEP, hanya perlu 4 ribu transaksi per bulan. Bahkan, untuk ATM nominal Rp 20 ribu di kompleks Unsoed, maka transaksinya bisa mencapai 25 ribu per bulan.

Artinya, untuk mengatasi lonjakan transaksi ini, BNI Kantor Purwokerto membutuhkan lebih banyak lagi ATM. Apalagi ke depan, ATM akan menjadi tumpuan pertumbuhan bisnis perbankan, di samping menggenjot layanan Electronic Data Capture (EDC).

Maka dengan banyaknya ATM BNI sudah pasti memudahkan sekaligus memanjakan para nasabahnya. Termasuk penulis yang nyaris tiap minggu menyambangi ATM walau sekadar untuk membayar tagihan PLN, membeli pulsa, setor atau pun tarik tunai.

Rasanya, amat pantas menyematkan frasa 'sahabat sejati' pada BNI. Bagaimana pun BNI telah bersama penulis, menemani baik suka dan duka, memberikan pelayanan maksimal yang hingga kini tak pernah dikeluhkan sebab BNI memberikan lebih. Jayalah BNI di tahun ke 69-nya dan teruslah melayani negeri, kebanggaan bangsa. Salam. (*)





Sabtu, 01 Agustus 2015

Surga Curug Itu Bernama Banyumas



BANYUMAS boleh bangga. Berada di lereng Gunung Slamet, tanah ini dianugerahi dengan buanyak sekali air terjun atau biasa kita menyebutnya dengan nama curug.  

Tak terhitung berapa banyaknya air terjun di Banyumas. Bisa jadi puluhan, bahkan sangat mungkin ratusan. Rasanya, sangat pantas bila menyebut Banyumas adalah surganya curug.

Akhir-akhir ini, wisata curug memang tengah digandrungi banyak orang. Tua-muda, besar-kecil kesengsem dengan keindahan yang ditawarkan. Walau hanya sekadar berfoto untuk kemudian di-upload ke media sosial, hal ini menjadi keasyikan tersendiri. 

Tak ada yang salah dari aktivitas yang ini. Yang salah adalah mereka yang datang ke lokasi-lokasi curug ini lantas merusak alam dengan membuang sampah sembarangan dan melakukan aksi corat-coret. 

Dan, berikut SatelitPost merangkum beberapa kemegahan air terjun di kawasan Baturraden, Banyumas. Meski hanya sedikit, setidaknya bisa menjadi referensi tempat melepas penat dan lelah dari Purwokerto yang mulai ramai. Selamat menjelajah. Jangan lupa bawa sampahnya!

1. Desa KarangsalamCURUG Telu, Lawang, Moprok, Abang, Kembar, dan Tebela adalah beberapa curug yang ada di Desa Karangsalam. Kesemuanya memiliki keunikan masing-masing. 


Curug Telu
Curug Telu misalnya. Sesuai namanya, curug ini terdiri dari tiga air terjun yang jatuh dari ketinggian sekitar 25 meter. Curug ini lantas membentuk sebuah kolam yang sangat bisa digunakan untuk berenang, lantas mengalir membentuk sungai. 

Akses ke Curug Telu bisa dibilang cukup mudah namun melelahkan. Anda harus melalui anak tangga. Tak jadi masalah saat turun tapi saat naik atau perjalanan pulang, lutut rasanya mau copot.

Tak jauh dari Curug Telu, Anda bisa menikmati Curug Lawang atau Bidadari. Jatuh dari ketinggian sekitar 10 meter, curug ini seperti berada di dalam gua yang terbentuk dari tebing-tebing di sekitar curug. 


Curug Moprok
Bagi Anda yang senang menjelajah sungai, maka Curug Moprok bisa menjadi destinasi. Pasalnya, untuk sampai di curug yang berketinggian sekitar 80 meter ini, satu-satunya jalan yang harus dilalui adalah sungai dengan bebatuan besar. Hati-hati saat melangkah, bisa-bisa terpeleset.

Sedikit mlipir dari ketiga curug yang lokasinya berdekatan tersebut, bisa menjelajah ke Curug Abang dan Kembar yang benar-benar masih fresh dan belum terlalu banyak pengunjung. Ketiadaan akses yang memadai sepertinya menjadi alasan. Sebab, untuk sampai ke kedua lokasi ini, Anda harus menyusuri sawah dan sungai. 


Curug Jumeneng
Seperti Curug Jumeneng atau Juneng. Setelah melewati sawah, satu-satunya jalan adalah dengan menuruni tebing. Tak terlalu tinggi tapi cukup membuat lutut gemetaran. Namun, perjalanan melelahkan itu tak akan pernah sia-sia sebab keindahan alam membentang di hadapan. Curug Jumeneng juga bisa menjadi lokasi favorit bagi Anda yang hobi berenang. 

2. Desa Kemutug
ADA beberapa curug di Desa Kemutug yang bisa dijelajahi. Di antaranya Curug Lumarap/Gagak, Carang, dan Orak-arik. Istimewanya lagi, belum banyak orang yang datang ke sini. Alhasil Anda bisa menikmati curug-curug ini layaknya air terjun pribadi. Asyik.
Curug Lumarap atau Gagak


Curug Carang
Tak jauh dari Curug Lumarap, ada Curug Carang. Dibandingkan Curug Gagak, debit air di curug ini jauh lebih besar dan kencang. Membentuk kolam dengan air yang berlimpah. Biasanya, kolam ini dimanfaatkan warga untuk memancing.
Bagaimana aksesnya? Bolehlah dikatakan agak sulit dan menantang. Karena setelah berjalan jauh sekitar 30 menit menembus ladang kopi, Anda harus menuruni tebing yang cukup tinggi dengan cara merayap. Posisi tebing memang sangat menyulitkan untuk turun dengan cara biasa atau bahkan mengesot.



















3. Desa Ketenger
NAMA Curug Gede dan Bayan jelas sudah tak asing lagi. Namun jika Anda ingin menjelajah selain dua curug itu, maka Curug Penganten bisa menjadi pilihan. Disebut Curug Penganten lantaran curug dengan ketinggian 50 meter tersebut memiliki dua aliran alias sepasang. 
Curug Penganten

Untuk sampai ke lokasi curug ini, siap-siap saja dengan perjalanan menembus hutan lereng Gunung Slamet sekitar 1,5 jam dengan trek layaknya pendakian. Tenang, semua itu bakal terbayar lunas. Namun, karena aliran airnya yang cukup besar plus bebatuan nan tajam kurang disarankan untuk mandi. (*)









* Tulisan ini sudah termuat di Harian Pagi SatelitPost edisi Jumat (31/7) halaman Leisure Time.