JARUM jam menuju angka delapan. Motor saya sudah mengaspal di jalanan Banyumas-Banjarnegara, Minggu (16/8). Jalanan, relatif sepi pagi itu. Jadilah dengan kecepatan penuh, kami, saya bersama ketiga rekan, Reni Suryati, Supri, dan layouter SatelitPost, Anas Masruri, beranjak menuju Wonosobo.
Kami sempat berhenti dua kali. Pertama di daerah Banjarnegara untuk mengisi perut dengan semangkuk soto Semarang nan menyegarkan. Kedua, di Pasar Kretek, Wonosobo, membeli buah-buahan sebagai bekal pendakian.
Sekitar pukul 11.15 WIB, kami tiba di pos pendakian Gunung Sumbing, Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Tak hanya kami, puluhan bahkan ratusan pendaki telah memadati satu di antara basecamp yang menjadi jalur resmi pendakian gunung setinggi 3.371 mdpl ini. Tujuh kilometer dari basecamp, gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah itu, gagah menyambut kami.
Sempat beristirahat selama 1,5 jam sembari memastikan tidak ada bekal yang tertinggal, tepat pukul 13.00 WIB, pendakian pun dimulai. Cuaca cerah, cenderung panas memayungi kami. Awalnya, kami melintasi jalur beraspal sebelum sampai jalur bebatuan yang tersusun rapi, membelah Dusun Garung.
Gunung Sumbing dari basecamp Dusun Garung. |
Wajah-wajah ceria para pendaki. ki-ka: Mas Supri, Mas Anas, Reni |
Usai dari ladang warga, kami kembali bertemu dengan jalan bebatuan yang ditata rapi atau makadam sebelum menuju Pos 1 Malim KM III. Bisa dibilang, jalur ini cukup menyita tenaga dan waktu. Selain panjang, jalur ini mulai menanjak. Kami lebih sering berhenti untuk melepas lelah.
Sebenarnya, ada cara 'mudah' menyelesaikan jalur ini yaitu menggunakan transportasi ojek. Warga sekitar menawarkan jasa ojek mengantar pendaki dari basecamp menuju Pos 1. Tarifnya sekitar Rp 25 ribu sekali jalan. Lumayan, bagi mereka yang ingin menyimpan waktu dan tenaga.
Mereka, nampak dari belakang menuju Pos 1. Semangat, kakak!!!! |
Jalur pendakian mulai Pos 1 |
Baru saja melangkah, rombongan kami berhenti. Banyaknya pendaki yang naik, membuat kami berjalan satu per satu. Antre. Tak apa. Anggap saja sembari melepas lelah. Dibanding jalur yang telah kami lalui sebelumnya, jalur engkol-engkolan jauhhh lebih susah. Kondisi jalur berupa track tanah merah berpasir dan sedikit licin. Minim pohon lagi. Bila tak hati-hati melangkah, bisa saja terpeleset.
Banyak pendaki bilang, tanjakan di jalur ini sungguh tak manusiawi. Maksudnya, sama sekali tak ada bonus berupa jalan datar. Tanjakan curam semua. Apalagi dengan kemiringan hingga 70 derajat. Alhasil, sebagian besar dari tanjakan ini saya lalui dengan merangkak, merayap. Tenaga pun nyaris terkuras habis di jalur ini. Entah sudah puluhan kali kami berhenti di jalur ini.
Semangat saya nyaris down. Rasanya, hampir mustahil menyelesaikan ongkel-ongkelan. Ini belum separuhnya.
"Istirahat dulu aja, santai. Kalau capek, lihat ke bawah, lihat apa yang kalian udah lalui," ujar Supri yang sepanjang perjalanan terus menyemangati kami.
Ya, di antara kami berempat, maka Supri-lah yang bisa dibilang senior. Terhitung, sudah tiga kali ia mendaki Gunung Sumbing yang membuat pria asal Banyumas ini hapal jalur pendakian.
Benar saja. Saat kami berbalik, duduk, merebahkan badan, terhampar luas pemandangan Wonosobo di malam hari. Kerlap-kerlip lampu, lalu-lalang kendaraan di jalan utama Wonosobo-Temanggung, Gunung Sindoro, gagah menjulang di depan kami, menjadi penawar lelah paling ampuh malam itu. Apalagi saat mendongak ke atas, ke langit. Langit malam itu cerah, dipenuhi bintang. Spektakuler.
Teriakan semangat dari rekan sesama pendaki, juga membuat rasa lelah dan down perlahan hilang. Setiap kali kami berhenti, maka pemandangan nan eksotis dan hentakan semangat menjadi obat. Rasa pesimistis sirna, digantikan dengan optimisme tinggi: yakin sampai tempat camp.
Dan setelah melalui engkol-engkolan, sampailah di Pos 3 KM V Sedelupak Roto. Total, kami telah berjalan sepanjang lima kilometer. Di Pos 3, telah banyak berdiri tenda. Karena tak ada lagi tempat untuk mendirikan camp, kami memutuskan untuk kembali menanjak hingga ke Pestan yang menjadi lokasi ngecamp paling favorit.
Namun, jalur menuju Pestan bukanlah jalur yang nyaman karena harus kembali melewati track menanjak. Meski tak seperti jalur engkol-engkolan, tetap saja, kami kewalahan. Berkali-kali kami menyemangati diri kami masing-masing. "Sebentar lagi sampai, sebentar lagi sampai."
Pestan merupakan kawasan yang hampir keseluruhan hanyalah rerumputan dan hanya ada beberapa pepohonan kecil. Alhasil, angin berhembus sangat kencang di area ini. Namun, di sini, telah berdiri tenda yang akan menjadi 'rumah' para pendaki.
Setelah menemukan sedikit tanah kosong, di balik rerimbunan, kami pun berbagi tugas. Supri dan Anas mendirikan tenda, sedangkan saya dan Reni memasak. Mi rebus telur dengan lauk ikan asin dan teh hangat menjadi santapan kami malam itu. Tak terasa, jam menunjuk angka 10 dan kami pun bersiap tidur, demi perjalanan ke puncak, dinihari nanti.
=====================================================================
Perjalanan 4,5 Jam Terbayarkan
Setelah memastikan tak ada apa-apa dengan 'rumah' kami, saya kembali merebahkan badan, memejamkan mata. Suara angin terus bergemuruh.
Barulah pada pukul 02.00 WIB, saat alarm berbunyi, kami berempat, saya, Reni Suryati, Supri, dan Layouter SatelitPost, Anas Masruri benar-benar bangun, membuka tenda.
"Wuzzzz wuzzzz wuzzzz." Angin dingin menampar wajah. Kami pun kompak, kembali masuk tenda.
Sambil mengumpulkan 'nyawa', di dalam tenda, kami menyiapkan beberapa perbekalan untuk perjalanan menuju puncak Gunung Sumbing sesuai rencana. Di samping membuat teh untuk menghangatkan badan.
Selepas bersiap dan badan sudah mulai beradaptasi dengan hawa dingin di ketinggian 2.437 mdpl, tepat pukul 03.00 WIB, kami memulai perjalanan. Menuju puncak. Menuju ketinggian 3.371 mdpl.
Telapak tangan diusap-usapkan untuk 'mengalirkan' udara hangat. Jaket dirapatkan. Sambil berjalan, sambil berdoa. Harapan agar Tuhan memberi kemudahan dan kelancaran untuk summit attack pagi ini, membumbung tinggi.
Langit masih pekat. Cahaya senter dari para pendaki lainnya, dengan tujuan yang sama, mulai nampak. Menciptakan formasi bak bintang berjalan. Kaki-kaki kecil mulai menapaki jalur pendakian. Selangkah demi selangkah.
Teriakan semangat, izin jalan duluan, permisi, memenuhi jalur Pestan menuju Pasar Watu. Disebut Pasar Watu, karena jalur ini berupa bebatuan yang berserakan. Hati-hati saat melangkah dan berpijak. Bisa jadi batu yang dipijak tak cukup kuat dan membuatnya tergelincir, jatuh. Para pendaki akan berseru, mengingatkan pendaki lainnya atau yang di bawah untuk menghindar dengan kata 'awas batu' dan 'rock'.
Cukup lama kami berkutat di Pasar Watu. Track yang kian menanjak, tanpa ampun, dan tiada henti. Sempat ada bonus sedikit berupa jalan menurun yang di sisi kirinya terdapat jurang. Setelah itu, kami kembali menemui tanjakan curam. Dahi dan lutut semakin lebih sering beradu, bertemu saking curamnya. Dan saya, entah sudah berapa kali saya menyelesaikan jalur ini dengan merangkak.
Jalur ke Watu Kotak. Foto diambil saat turun. |
"Sesekali kita memang harus merangkak, menunduk, untuk bisa sampai ke puncak. Sama kayak hidup," kata Supri seraya menyemangati kami yang mulai kelelahan.
Usai melintasi Pasar Watu, di hadapan kami ada sebuah batu yang amat besar. Lokasi ini disebut Watu Kotak yang merupakan perbatasan kilometer VI. Kami pun melepas lelah. Berbalik dan melihat ke bawah.
Pemandangan super keren terbentang di hadapan. Awan berarak, menyelimuti wilayah Wonosobo-Temanggung. Bagai lautan warna putih. Semburat warna orange, khas matahari hendak bangun memberi warna tersendiri. Indah dan amat eksotis. Kami pun terhipnotis dengan keajaiban ini.
"Kerennnnn bangettttttt. Amazingggg, gengs...," teriak saya.
Spektakuler di pagi hari. Lautan awan dari ketinggian 2.763 mdpl |
Semuanya terkagum. Bahagia. Sempurna, terbentang keindahannya. Sempurna, karena ini ciptaan dari sang Maha Sempurna. Syukur pun kami panjatkan melalui doa di subuh itu.
Panorama ini menjadi obat segala letih. Memompa semangat demi kembali meneruskan perjalanan menuju puncak. Dari Watu Kotak, kami mendaki menuju Tanah Putih. Track menanjak dengan bebatuan belumlah habis.
Tepat saat sampai di Tanah Putih, matahari di hari Kemerdekaan, Senin, 17 Agustus terbit. Memberi warna terang pada semesta. Memancarkan cahaya benderang. Menyingkap pekat dan gelap yang masih menggantung di langit. Sementara di atas sana, sayup terdengar lantunan lagu Indonesia Raya dari para pendaki yang telah terlebih dahulu sampai.
"Nggak masalah, nggak dapat sunrise di puncak. Sampai di puncak aja udah bersyukur banget, sunrise itu bonus," ujar Supri yang terus sepanjang perjalanan, tak henti membagikan semangat dan membimbing kami.
Ya bagi kami, terutama saya, menikmati sunrise di puncak gunung adalah bonus setelah melewati semua ini. Yang paling utama, bagaimana kami semua bisa sampai puncak bersama dan pulang dengan selamat.
Jalur di Tanah Putih. Foto diambil saat turun. |
Maka dengan sisa-sisa tenaga, kami kembali mendaki, walau tertatih-tatih sambil terus menyemangati diri sendiri: "Sebentar lagi puncak, Jul. Sebentar lagi. Kuat, kuat."
Sekitar 100 meter dari puncak, kami menemukan pertigaan. Satu lurus, terus mendaki dan ke kanan untuk menuju Puncak Kawah Gunung Sumbing. Kami memilih lurus. Puncak Buntu menjadi tujuan. Gunung Sumbing memang memiliki dua puncak yaitu Puncak Buntu dan Kawah dengan ketinggian yang tak jauh beda.
Saat tenaga sudah habis, kaki sudah tak lagi kuat untuk terus mendaki, dan matahari kian benderang, rupanya kami telah sampai di bagian tertinggi dari Gunung Sumbing. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4,5 jam dari Pestan, dari pukul 03.00-07.30 WIB, sampailah kami di puncak tertinggi kedua di Jawa Tengah ini.
Gunung Sindoro, Gunung Prau, dan Pegunungan Dieng |
Rasanya, saat berada di titik tinggi walau bukan yang tertinggi di Gunung Sumbing, sangat luar biasa. Ada rasa puas, syukur yang tiada terhingga. Yang tak mampu dijabarkan dengan serentatan kata-kata, selain dengan kata: Alhamdulillah.
Bagaimana tidak. Setelah melewati jalur terpanjang dari basecamp ke Pos 1, dari Pos 1 ke Pos 2, melintasi engkol-engkolan demi menuju Pos 3, yang disambung melintasi tanjakan ke Pestan, 'bermain' di antara bebatuan di Pasar Watu, beristirahat di Watu Kotak, dan mendaki di Tanah Putih, semua lelah dan usaha keras itu terbayar.
Cozmeed dan puncak tinggi Gunung Sumbing |
Di puncak itu, berfoto menjadi agenda wajib. Kami juga memasak nasi goreng dan teh hangat. Rasanya, sudah pasti sangat lezat. Apalagi bukan hanya kami saja yang menikmati, beberapa rekan pendaki lain juga ikut 'menghabiskan.'
Monggo, nasi goreng spesial dicicip... :) |
"Monggo, Mas, dicicipi. Lumayan lho..." seru layouter SatelitPost, Anas Masruri pada rekan pendaki lain yang duduk di sebelah kami.
"Iya, Mas. Ayo, ayo, kita semua di sini saudara, nggak usah sungkan-sungkan, habiskan..." kata Supri menimpali. Benar saja, lima menit kemudian. Seporsi nasi goreng itu langsung tandas.
Puas menikmati puncak Sumbing, kembali ke tenda di Pestan menjadi agenda selanjutnya. Bisa dibilang, waktu tempuh saat naik dan turun berbeda, nyaris separuhnya. Jika untuk naik kami butuh waktu 4,5 jam, saat turun kami menghabiskan waktu dua jam. Setelah berkemas, memastikan tidak ada sampah dan bekal yang tertinggal, kami pun pulang. Tepat saat kabut turun dan kembali melintasi track engkol-engkolan yang 'aduhai' itu. Pukul 17.30 WIB, kami tiba di basecamp.
Pak Ketua sekaligus bapak dua anak takzim menulis. |
Alhamdulillah, sampai puncak... |
ketika biru bertemu biru dan aku mencintai warna biru... |
Halooo, kamu-ku... Selamat pagi... :) |
Saat lelah, pandanglah ke bawah.
Naskah ini telah terbit di Harian Pagi SatelitPost edisi Sabtu (22/8) dan Minggu (23/8) halaman Etalase (1) sebagai Feature.
Big thanks, guys. Kalian keren...
|