Jumat, 18 September 2015

Menangkup Lima Gunung, Menyaksikan Golden Sunrise


Catatan Pendakian Menuju Gunung Prau (2)


Aku di Gunung Prau

MALAM berbalut hawa dingin menyelemuti sunrise camp Gunung Prau. Badan saya mulai gemetar, menggigil. Dingin. Saya pun lekas merapatkan jaket dan sleeping bag agar tak semakin kedinginan.

Namun, malam jelang dinihari itu, Minggu (13/9), suasana masih saja ramai. Ada banyak percakapan, suara langkah kaki. Kian larut, kian banyak pendaki yang mulai berdatangan. Saat itu, jarum jam menuju angka tiga.

Satu setengah jam kemudian, seruan-seruan kencang kian terdengar. Banyak pendaki yang mulai bangun dan keluar tenda, menunggu momen spesial yang tersaji di Gunung Prau. Sementara kawan-kawan saya, Nur Fatimah, Reni Suryati, Firman Al Ahyar, dan Widi Nugroho, masih pulas tertidur. Hawa dingin yang masih mengungkung, membuat saya memilih tetap tinggal di tenda.

Barulah sekitar pukul 05.00 WIB, kami semua kompak bangun. Beberes tenda sejenak, sembahyang, dan keluar tenda. Begitu keluar, wuuhhh, dinginnya langsung menusuk tulang. Ingin rasanya kembali ke tenda, namun pemandangan yang terhampar jelas di hadapan kami jauh lebih menggoda.

Semburat warna orange di langit memberi sedikit cahaya pada pagi itu. Gradasi warna biru, hitam, dan jingga mencipta satu harmoni. Indah. Sementara di depan kami, dua gunung menjulang tinggi, menyentuh langit. Gunung Sindoro-Sumbing berdiri gagah. Nun jauh di sana, nampak Merapi, Merbabu, dan Lawu menyembul di antara lautan awan. 
Dek Firman tampak dari belakang. Wuhuuuu... 
Ini yang saya sebut dengan keajaiban pagi di Gunung Prau. Lima gunung nampak jadi satu tangkupan tangan. Jika menengok ke belakang, maka Gunung Slamet ikut terlihat. Semuanya gagah. Seakan mengajak kami untuk menjejakkan kaki di puncak-puncaknya.

Tak hanya itu. Masih di depan kami, sekumpulan awan bergerak, berarak, dan menyelimuti kawasan Dieng juga seluruh permukaan yang bisa kami lihat. Mereka nampak seperti permadani raksasa. Bila itu nyata permadani, ingin rasanya menjatuhkan badan, lalu melompat di atasnya. Sayang, itu awan. 

Apalagi saat awan bercampur kabut itu turun, melintasi perbukitan. Bagai air mengalir, menganak sungai, mengisi bagian-bagian kosong. Terus seperti itu. Tak berhenti. Cantik nian...

Pemandangan seperti ini yang sukses membuat saya rindu pada Prau. Tiga kali ke sini namun ribuan kali sudah saya dibuat jatuh hati. Hati saya, benar-benar tertinggal di sini. 

Kami dan ratusan pendaki terpukau. Apalagi saat menanti sang surya terbit di ufuk timur. Itu adalah momen yang tak terlupa. Tepat pukul 05.30 WIB, matahari muncul. Ia beranjak, memberi terang pada semesta. Membagikan cahaya hangat, menyingkirkan hawa dingin yang masih tersisa, menyapu warna hitam, dan menggantinya dengan sinar keemasan di langit. Luar biasa.
Enjoy sunrise. In frame: Nur dan Reni. Photo by me

Banyak orang menyebut, ini adalah momen Golden Sunrise yang tak akan pernah terlupakan saat di Gunung Prau. Inilah momen yang paling ditunggu para pendaki. Tak peduli, berapa jam yang mereka habiskan menuju Gunung Prau. Tak peduli, berapa keringat yang menetes saat mendaki. Tak peduli, berapa kali harus berhenti, meluruskan kaki. Menyaksikan keindahan ini adalah hadiah. Lunas tuntas. Bahkan masih diberi bonus lebih!

Kami semua terpukau. Terhipnotis. Seru-seruan kagum terdengar. Tak ingin menyiakan kesempatan ini, kami pun mengabadikan melalui bidikan kamera. Klik klik klik.
Bayangan. Tebak siapa saja di sini? 

"Amazing. Ini keren banget," kata Firman, kawan seperjalanan yang datang dari Jakarta. 

"Iya, keren. Setiap gunung punya keindahan berbeda-beda. Treknya juga mantap," ujar Widi menambahkan. 
Ucapan wabilkhusus buat sahabat tercinta, Tante Ana


Lama sekali kami menyaksikan pemandangan ini. Hingga tak sadar, cahaya hangat matahari berubah menjadi panas. Kami pun sepakat kembali ke tenda. Sarapan, membereskan tenda sembari berkemas, dan pulang. Setelah memastikan tak ada satu pun barang yang tertinggal, juga sampah, kami memulai perjalanan pulang. Tepat pukul 08.00 WIB, kami turun bersama pendaki lainnya. 

Jalur yang kami tempuh pada perjalanan pulang kali ini pun berbeda. Jika saat berangkat kami mendaki via jalur Patakbanteng, kini kami pulang via jalur Dieng. Perbedaan yang amat terasa dari kedua jalur ini adalah treknya. Jika via Patakbanteng lebih menanjak, curam, dan berdebu, jalur Dieng lebih landai dan panjang. 

Pun jarak tempuhnya. Bila naik dari Patakbanteng, kami hanya butuh waktu 2,5 jam, nah naik melalui jalur Dieng bisa dua kali lipatnya. Bisa lima hingga enam jam! 

Di jalur ini, kami 'bermain' sebentar di padang bunga aster atau daisy. Bunga ini tampak cantik. Apalagi saat ia mekar dalam rerimbunan. Makin membuat kami jatuh hati. 
Swafoto pakai si tepi. Biarkan yang di samping saya ini tampak jelek. :p 

Padang bunga Daisy alias Aster. Satu sudut yang kurindukan di Prau

Juga Bukit Teletubbies. Disebut Bukit Teletubbies, kontur bukit ini memang seperti pemandangan bukit yang ada di film kartun anak-anak yang tenar tahun 2000-an itu. Saking gembiranya, saya sampai berlari-lari di kawasan ini. Selain untuk mengejar waktu turun supaya lebih cepat. Firman pun lantas menantang saya untuk kembali berlari hingga titik yang telah ditentukan. Tapi urung kami lakukan demi menghemat tenaga sebab perjalanan masih jauhhh. Pukul 11.30 WIB, kami sampai di jalur menuju Basecamp Dieng.

Lunas sudah perjalanan kali ini. Apalagi dalam pendakian kali ini, kami tak hanya mengantarkan dua kawan yaitu Firman dan Widi untuk menjejakkan kaki di Gunung Prau, namun juga menebas rindu pada tanah setinggi 2.565 mdpl itu. Untuk sementara, rasa kangen pada Prau sudah terobati. Entah seminggu, sebulan, atau tiga bulan kemudian. Rindu Prau itu pasti muncul lagi.
Foto di puncak tertinggi Bukit Teletubbies saat pulang. 

Sebagian orang beranggapan, Gunung Prau adalah satu dari sekian gunung yang ramah untuk pendaki pemula. Yang harus diperhatikan adalah air sebab di atas tak ada mata air. Selain itu, pihak pengelola juga menerapkan denda berupa bibit pohon yang diberlakukan atas pelanggaran yang dilakukan di Gunung Prau. Misal, untuk pelanggaran membuang sampah sembarangan dikenakan dua bibit pohon, menebang pohon lima bibit, mencoret pohon/batu lima bibit, dan lainnya. Selamat merencanakan pendakian. Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak. Jangan mengambil apapun kecuali gambar. Jangan membunuh apapun kecuali waktu. Salam. (sri juliati)

Fiuhhh, sampai juga. 


==============================================================

Tulisan ini sudah termuat di halaman 1 Harian Pagi SatelitPOst edisi Rabu (16/9)

Senin, 14 September 2015

Catatan Pendakian Menuju Bukit Prau (Bag 1)


Keajaiban Malam di Ketinggian 2565 Mdpl
Pemandangan di pagi hari dari Gunung Prau, 2565 mdpl. Nampak Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu.



DIENG sungguh eksotis. Semua pun sepakat. Dan, satu lokasi untuk menikmati kecantikan itu ada di Gunung Prau. Ini ceritanya.


"Semuanya siap ya. Nanti jalannya santai aja, nggak usah buru-buru. Kalau capek istirahat. Oke, sebelum naik, kita doa. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing dipersilakan."

Sabtu (12/9) malam, di tengah rinai gerimis, kami berlima, saya, Nur Fatimah, Reni Suryati, Widi Nugroho, dan Firman Al Ahyar menundukkan kepala, menengadahkan tangan. Mulut pun komat-kamit. Merapalkan beberapa doa agar perjalanan kali ini, Tuhan selalu memberikan kemudahan, kelancaran, dan keselamatan.

Pendakian dimulai tepat pukul 20.00 WIB. Saat gerimis mereda, kami menapakkan kaki di tangga Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo menuju Gunung Prau. Jalur ini disebut Ondo Sewu. Disebut Ondo Sewu alias Tangga Seribu, mungkin karena jumlah anak tangganya banyak. 

Ini semacam 'tantangan' yang pertama harus dilalui. Sebab, bagi sebagian orang, menaiki tangga merupakan aktivitas yang menjemukan. Butuh tenaga ekstra.

Desa Patakbanteng merupakan satu dari beberapa jalur pendakian resmi menuju gunung setinggi 2.565 mdpl tersebut. Selain via Desa Patakbanteng, pendakian bisa dimulai dari Basecamp Dieng, Basecamp Kaliembu, Basecamp Dwarawati, dan Basecamp Wates. Kelima jalur ini memiliki keunikan tersendiri, namun akan berkumpul di titik area camp yang sama.

Setelah melewati Ondo Sewu, jalur pematang dan galengan di antara ladang warga menjadi trek selanjutnya. Jalan sekitar 100 meter, akan 'bertemu' dengan jalur makadam atau batu yang disusun rapi. Di jalur tersebut, kami mulai bertemu dengan beberapa rombongan pendaki lainnya. Seperti dari Kendal, Semarang, Kudus, dan lainnya. Saling ngobrol dan guyon dapatlah menjadi penyemangat menyelesaikan jalur yang kian menanjak ini.

Sampai di tikungan, kami berhenti sebentar. Sedikit demi sedikit, tenaga mulai terkuras. Rupanya, kami hampir sampai di Pos 1.

"Tanggung, yuk jalan lagi, depan Pos 1 tuh," kata Widi Nugroho sembari mengajak kami.

Kami pun bergegas, kembali melangkahkan kaki. Sampai di Pos 1 Sikut Dewo, sudah ada beberapa petugas yang mengecek tiket. Nah, jika ketahuan tidak membawa tiket masuk, siap-siap saja kembali ke basecamp ditambah denda berupa satu bibit tanaman. 

Dari informasi yang saya dapat dari petugas tersebut, sekitar 700 orang sudah naik ke Gunung Prau. Bisa dibilang, itu jumlah yang amat sedikit bila dibandingkan saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus kemarin, tercatat ada 6 ribu pendaki!

"Hati-hati aja, Mas, Mbak. Harus mulai pakai masker atau penutup hidung. Debunya banyak banget," ujar mereka.

Benar saja, baru sebentar naik ke Pos 1 menuju Pos 2 Canggal Walangan, debu-debu jalur pendakian bergerak, terbawa saat kaki melangkah lantas terbawa angin. Jalur pendakian menuju Pos 2 terbilang susah-susah gampang. Susah karena tubuh harus mulai beradaptasi dengan udara dingin serta trek yang semakin menanjak-berdebu. Gampang, karena setelah trek naik itu, jalur kembali landai dengan kanan-kiri terdapat warung makan milik warga setempat untuk sekadar melepas lelah.

Di Pos 2, kami sejenak melepas lelah. Meletakkan ransel. Menikmati camilan yang kami bawa. Tentu sambil bersenda gurau.

"Habis Pos 2, nanti treknya mantep banget. Semangat teman-teman tapi, udah dapet setengah perjalanan kok," ujar Nur Fatimah yang disambut teriakan semangat dari kami semua sambil berdiri dan kembali melanjutkan perjalanan.

Baru sekian langkah, saya sudah meminta break alias istirahat. "Depan berhenti ya Dek," seru saya pada Firman Al Ahyar yang ada di depan. 

Saya pun duduk, meluruskan kaki. Pun dengan kawan-kawan. Rasa lelah mulai mendera. Padahal, yang tadi kami lalui, belum seberapa. Jalan masih panjang. 

Jalur menuju Pos 3, memang lebih berat dibanding trek sebelumnya. Kian menanjak, terjal, dengan kontur tanah berdebu. Saat menapak, kaki harus benar-benar mantap. Jika tidak, bisa terpeleset seperti yang terjadi pada beberapa kawan.

Di jalur ini pulalah, kami dan para pendaki lebih sering berhenti. Selain kian melelahkan, kami juga harus mulai antre demi menghindari debu yang beterbangan. Apalagi saat kami naik, bertepatan dengan turunnya kabut. Makin mantaplah jalur ini.

"Eh, jalan lagi yok. Dingin nih kalau berhenti terlalu lama," kata Reni. 

"Ayok, mending jalan pelan-pelan tapi terus gerak. Nih, sambil dimakan madu atau cokelatnya, buat nambah tenaga," ujar Widi menimpali Reni. 

Ya, kami tak ingin terlalu lama berhenti. Demi menghindari udara dingin yang mulai memerangkap tubuh. Kami harus terus berjalan, walau mulai tertatih-tatih.

Selesai dengan jalur tersebut, kami sampai di Pos 3 Cacingan. Jalurnya kembali menanjak namun tak seperti jalur dari Pos 2. Sudah ada anak tangga dari bambu sebagai pijakan. Kondisi ini jauh berbeda saat kali pertama saya ke sini, Maret 2014. Jalurnya masih berupa bebatuan dan sempit.

Tak lama berjalan, saya menemukan sekumpulan bunga aster. Artinya, kami sudah semakin dekat dengan camp area. Benar, baru saya memikirkan hal itu, Nur dan Firman yang berada di depan, berseru: "Mbak, landai... Udah sampai... Yey..." 

Benar, kami sudah sampai di jalur landai menuju camp area. Kami menyusuri setiap jengkal camp area demi menemukan sedikit tanah lapang untuk membangun 'rumah.' Ya, setiap akhir pekan seperti ini, Gunung Prau selalu ramai dengan para pendaki. Tak perlu khawatir tak mendapat tempat mendirikan tenda, sebab camp area di sini amat luas. Sangat. 
Ki-Ka: Si adek sama kakaknya alias Firman dan Nung.

"Pukul 22.30 WIB, dua setengah jam perjalanan. Yok bikin tenda," ujar Widi yang mulai membongkar ransel, mengeluarkan tenda.
Makan ya banyak, Juli...


Usai bekerjasama mendirikan tenda, sekitar 30 menit, kami mulai memasak. Kopi dan teh tersaji lebih dahulu, disusul mi serta makaroni rebus. Walau makaroni agak sedikit kurang matang namun tetap saja lahap dimakan. Lha wong lapar gegara tenaga terkuras habis saat pendakian tadi. Rencananya, setelah makan selesai, kami akan langsung masuk tenda, beristirahat. Namun, rasanya sayang melewatkan malam indah di Gunung Prau hanya dengan tidur. Saya pun menyibak tenda dan mendongak ke atas. Pemandangan langit yang sangat spektakuler tersaji di atas saya. 

"Mas Widi, keren banget. Eh ayo keluar, ini bintangnya keren banget," ujar saya dengan sedikit berteriak, walau tak terlalu kencang. 
Menu makan berupa makaroni setengah matang dan mi rebus.



Semuanya keluar dan menjadi saksi hidup bagaimana langit nan maha luas itu dipenuhi gemerlap bintang. Ribuan, jutaan, bahkan sangat mungkin miliaran jumlahnya. Kelap-kelip. Berkedip pada kami. Aihh, indah. Kami sangat beruntung, cuaca malam itu sangat cerah. Maka sambil menikmati sajian yang amat keren itu, kami duduk, ngopi-ngeteh, dan tentu saja tak melewatkan sesi swafoto. 

Dan, malam pun kian larut. Angin mulai berhembus. Dingin. Ditambah beberapa kawan mulai menguap. Kami pun sepakat masuk ke tenda, istirahat, merebahkan badan usai perjalanan melelahkan itu, demi menanti keajaiban esok pagi di Gunung Prau. (sri juliati/bersambung)


=================================
Naskah feature ini sudah dimuat di Halaman 1 Harian Pagi SatelitPost, edisi Senin (14/9).