Panorama Gunung Slamet dari Puncak Sakub, Bumiayu. Foto diambil tanggal 4 September 2014 oleh Fikri Adin. |
SELAMAT malam. Entah kapan pun Anda membaca ini, tetaplah selamat malam dari saya. Ya, karena saya ngepost tulisan di malam hari, usai berkutat dengan banyak tulisan.
Tulisan kali ini soal pendakian Gunung Slamet. Iya, gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut akan menjadi objek tulisan ini. Gunung yang berlokasi di lima kabupaten di Jawa Tengah, Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes.
Dan, kejutan! Kali ini, bukan saya yang menulis melainkan Rizqi Ramdhani. Perkenalkan, dia adalah layouter SatelitPost, yang biasa 'nata' halaman saya, halaman Leisure, cum yang sering ngajak berantem.
Rizqi dan timnya. Dari kiri: Ega, Rizqi, dan Mujiono. |
Sebelum berangkat, Rizqi sempat mampir ke rumah, ambil senter dan SB. Nah di situlah peran pertama saya: meminjamkan dua alat ini. Penting nih buat disebutin. Coba kalau nggak ada SB, dia mau tidur pakai apa coba? :v
Selasa (29/9) sore, saya lihat dia sudah ganti DP BBM. Tandanya, dia sudah turun, sudah di kosan dengan nyaman, dan sudah mandi. Langsung saya berondongkan beribu-ribu pertanyaan, terutama soal kondisi dan jalur pendakiannya via BBM.
Penjelasan bla bla bla, saya usulkan gimana kalau cerita pendakiannya ditulis jadi feature atau tulisan khas buat di koran. Awalnya dia nggak mau, minder. Wong job tiap hari nata berita kok suruh nulis. Tapi bukan Juli namanya kalau nggak bisa ngerayu! Hahaha. Sejurus kemudian, oke dia mau asal nanti diedit. Santai mah. Urusan edit-mengedit, that's my job!
Rupanya, menulis feature tak semudah yang dibayangkannya. Dua hari kemudian, dia lapor: "Gieelah, aku wis nulis akeh banget, malah dadi puisi." Saya pun menjawab: "Kalem Qi, semangattttt. Hanya masalah terbiasa dan tidak."
Beberapa hari kemudian, jadilah tulisan khas itu. Mau tahu panjangnya berapa? Tujuh lembar! Begitu saya buka, yang saya lihat bukan tulisannya tapi foto-fotonya. Hahaha. Tulisan baru saya baca pas malam Minggu (3/10), jelang tidur sambil BBM-an sama yang bersangkutan, detailing tulisan yang boleh saya kasih nilai, 6. Hehehe.
And, this is. Tulisan perdana dari Rizqi soal Gunung Slamet yang mau tidak mau harus saya re-write. Tentu sudah ada persetujuan dari yang bersangkutan, termasuk pemuatan di blog.
Ini tulisan pertama. Masih ada satu atau mungkin dua tulisan lagi yang merupakan sambungannya. Kenapa nggak langsung semua? Karena terlalu panjang dan saya mengikuti jadwal pemuatan di koran SatelitPost, So, happy reading. Terima kasih sudah mampir.
======================================================================
Dari Kabut hingga Badan Membentur Pohon
DELAPAN tahun tak menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Jawa Tengah, membuat saya rindu. Alhasil, saat pendakian menuju Gunung Slamet resmi dibuka kembali pasca-erupsi 2013 lalu, saya pun segera bergegas, menebas kerinduan ini.
Bersama kedua kawan saya, Ega Firmanto dan Mujiono, kami menyusuri jalanan Purwokerto-Purbalingga menuju Dusun Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Minggu (27/9). Di dusun tersebut, berdirilah posko atau yang biasa disebut Basecamp Bambangan yang menjadi satu di antara pintu masuk menuju Gunung Slamet.
Setelah berkutat pada jalanan yang berkelak-kelok, menanjak, plus menahan beban carriel yang telah menempel di punggung sejak dari keberangkatan, sampailah kami di Basecamp Bambangan, pukul 15.30 WIB.
Ramai. Begitulah suasana yang dapat saya gambarkan. Para pendaki mulai menjejali basecamp. Beberapa dari mereka adalah yang ingin turun alias pulang. Sementara lebih banyak yang baru saja datang, hendak naik. Seperti kami. Dari informasi yang saya peroleh dari petugas, ada 500 pendaki yang akan melakukan pendakian pada hari itu. Rerata berasal dari Purbalingga, Purwokerto, Magelang, hingga Jakarta.
Sebelum mendaki, para pendaki wajib melapor pada petugas dan membayar retribusi sebesar Rp 5 ribu sebagai perawatan sarana dan prasana serta Rp 10 ribu untuk parkir kendaraan. Kami pun tak langsung naik. Beristirahat sejenak demi mengembalikan tenaga sembari menata ulang perbekalan, agar jangan sampai ada yang terlewatkan dan terlupakan.
Usai packing dan badan kembali bugar, kami bersiap. Bersiap mendaki, bersiap menyatu dengan alam, dan bersiap menggenapkan kerinduan. Tak lupa, doa dirapalkan agar Tuhan merestui perjalanan ini.
Pukul 16.30 WIB, kami mulai langkah pertama menuju Gunung Slamet. Baru beberapa langkah, sudah menerima ucapan selamat datang dari kabut tebal yang 'turun gunung.' Menghalangi sebagian pandangan. Tapi bagi kami, itu adalah keasyikan tersendiri.
Jalur menuju Pos 1 (Pondok Gembirung) sebenarnya belum begitu sulit. Kami hanya perlu melewati jalur sempit nan berdebu yang diapit ladang sesayuran dan umbi-umbian milik warga sekitar. Meski tak begitu menanjak, cukup untuk membuat tenaga mulai terkuras dan mandi keringat.
Tak terasa, jarum jam menunjuk 17.45 WIB, jelang Magrib. Dengan napas tersengal-sengal, kami pun sampai di Pos 1 dengan ketinggian 1990 mdpl. Capek. Namun, rasa lelah itu seketika terobati kala bertemu dengan warga setempat yang berjualan. Iya, di pos ini, masih bisa menemukan penjual yang menjajakan beragam makanan seperti gorengan, buah-buahan, dan minuman kopi dan air mineral.
Pondok Gembirung
merupakan Pos 1 di JalurBbambangan.
Terdapat warga yang berjualan bagi
para pendaki yang sedang istirahat.
Mereka berjualan pada hari Sabtu dan Minggu.
|
Sambil menunggu azan Magrib, melepas lelah, saya pun menyomot beberapa poyong semangka dan nanas. Segarrr. Langsung memenuhi tenggorokan. Pun masih diberi bonus cerita-cerita tentang Gunung Slamet. Utamanya soal Pos 1 alias Pondok Gembirung. Nama Gembirung diambilkan dari seorang tetua yang sangat dihormati oleh warga sekitar, yaitu Kajeng atau Ki Ajeng Gembirung.
Segendang sepenarian dengan Pos 2 yang dinamakan Pos Walang. Diambilkan dari nama Kajeng Walang. Sayang, kisah bagaimana penyematan kedua nama itu di pos pendakian, tak banyak diketahui. Hanya juru kunci dan anaknya yang mengetahui.
Malam pun turun. Menggantikan sore demi memberi kesempatan pada matahari untuk kembali ke peraduan. Tenaga kami telah kembali dan siap melanjutkan perjalanan menuju Pos 2 Walang, ditemani sinar rembulan.
Jarak dari Pos 1 menuju Pos 2, lumayan jauh. Dalam hitungan jarak datar, kurang lebih 725 meter dan bisa ditempuh dengan waktu 40 hingga 60 menit. Namun, kami 'berhasil' menyelesaikannya dalam waktu 1,5 jam alias 90 menit. Lebih lama dari hitungan normal. Selain trek yang kian menanjak, juga mulai kelelahan. Di Pos 2, kami mulai menjumpai beberapa pendaki yang sudah berkemah. Rerata adalah pendaki yang baru saja turun dari puncak dan memutuskan untuk membuat tenda di Pos 2 dengan ketinggian 2245 mdpl.
Istirahat sebentar, kami segera bergegas. Malam pun kian pekat, membimbing kami menuju Pos 3 Pondok Cemara. Jaraknya tak jauh. Hanya butuh 40 menit. Tepat pukul 21.45 WIB, kami tiba di ketinggian 2475 mdpl. Rupanya kami tak sendirian. Ada sekelompok pendaki asal Purbalingga yang tengah beristirahat sambil menghangatkan badan dengan membuat api unggun.
Surprise. Tak hanya mereka namun juga dua orang pedagang! Ya, di ketinggian nyaris 2500 mdpl, kami masih menjumpai pedagang. Walau tak selengkap di Pos 1, tetap saja ini kejutan. Ditambah perut kembali berteriak, meminta kembali diisi. Jadilah lontong dan gorengan tahu empat biji yang tersisa, kami tandaskan. Habis. Kenyang. Badan pun ikut terasa hangat di tengah dinginnya malam yang kian merambat.
Pukul 22.00 WIB, kaki siap diajak ke pos selanjutnya. Pos 4? Bukan, itu bukan pos tujuan utama. Langsung menuju Pos 5 Samhyang Rangkah di ketinggian 2650 mdpl. Bukan tanpa alasan kenapa kami memilih melewati pos di ketinggian 2555 mdpl tersebut. Angker. Sesuai nama yang disematkan pada Pos 4, Samarantu yang artinya hantu samar-samar. Itulah kenapa para pendaki, tak terkecuali kami menghindar untuk mendirikan tenda di pos ini.
Bergegas ke Pos 5, kami harus melewati jalur yang menyempit disertai cerukan dalam. Tak terhitung berapa kali ransel harus tersangkut di ranting pepohonan yang melintang di atas kepala. Itu sebabnya, harus lebih menunduk. Namun apa daya, makin gelapnya malam dan semakin lelahnya badan, membuat saya beberapa kali kehilangan konsentrasi.
"Aduh! Sirahku," seru saya pada dua kawan yang berjalan di depan.
"Kenangapa ko?" tanya Ega.
Naik-naik ke puncak gunung, indah-indah sekali. |
Dan setelah perjalanan melelahkan dan menguras tenaga itu, sampailah kami di Pos 5. Di sana, kami telah menjumpai para pendaki yang telah terlebih dahulu mendirikan tenda, memasak, melepas lelah, tidur. Seperti kami yang sejurus kemudian langsung membuka peralatan, bergegas memasang tenda, dan istirahat.
Sebenarnya, kami ingin ngecamp di Pos 7 supaya lebih santai saat perjalanan ke puncak. Namun atas saran dari pedagang di Pos 3 tadi, kerap ada kawanan babi liar yang usil dan membawa carrier pendaki di Pos 7, maka kami memilih ngecamp di Pos 5, tepat pukul 22.45 WIB.
Enam jam 15 menit. Itu waktu yang kami tempuh dari Basecamp Bambangan menuju Pos 5. Cukup membuat kami mandi keringat. Cukup menguras tenaga. Dan cukup sampai di sini dulu. Kami harus lekas tidur demi pendakian menuju puncak, keesokan harinya. (*)
penulis: Rizqi Ramdhani
editor: Sri Juliati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar