Minggu, 04 Oktober 2015

Sisa-sisa yang Tidak Sia-sia

SELALU ada cerita yang tak terduga dalam setiap perjalanan. Sisi lain, selain inti kisah itu sendiri. Dan rasanya, sayang banget jika tidak ditulis.


Dari ki-ka: Reni, Simbah als Widi, Juli, Nur, Adek als Firman
Seperti petualangan menuju Gunung Prau dan Bukit Sikunir, Dieng, Wonosobo bareng Nur Fatimah, Reni Suryati, Widi Nugroho, dan Firman Al Ahyar, Sabtu-Minggu (12-13/9).

Semuanya akan saya tuliskan di sini, tentu dengan gaya bahasa yang berbeda, dibanding dua tulisan sebelumnya. Selamat membaca sambil ngopi... sruput duluuu.......

1. Satu Bulan
Siapa penggagas piknik kali ini? Tak lain dan tak bukan adalah Mas Widi. Itu, mas-mas asli Yogya yang ketemu di Gunung Papandayan. Iya, mas-mas yang cuma pakai celana pendek pas muncak. Yang juga ngajakin ke Curug Cibeureum, Cibodas, Mei lalu. Iya, itu orangnya. 

Nah, ini yang ngajakin piknik. Iya, itu yang jalan sendiri, di belakang.
Satu sore, dia Wasap. Tanya soal rute ke Dieng, Prau, jauh nggak dari Purwokerto. Setelah saya jelaskan, eh lha dalah malah langsung ngajak ke sana. Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan. Apalagi, saya udah kangen berat sama Prau. Nyaris setahun nggak ke sana.

Tanggal berapa kita ke Prau? Diputuskan tanggal 12-13 September, pas hari Sabtu-Minggu. Artinya, saya harus minta libur dua hari. Boleh nggak ya? 

Di tengah kebimbangan itu, muncullah kabar baik. Pak Kholil, Redaktur Pelaksana mau cuti dari Selasa (8/9)-Jumat (11/9). Kalau Pak Lil, nggak berangkat, artinya saya harus standy by di kantor, termasuk Selasa yang jadi jatah saya libur. 

Langsung saja saya samber sambil nyengir: "Pak, berarti liburku diganti Sabtu aja ya, malam Minggu. Sama minta izin Minggu, nanti kuganti Selasa depan."

Pak Lil sempat mikir bentar. "Ya nggak apa-apa, asal edisi Mingguan beres," kata dia. 

"Yessss!!! Mingguan kalau sama Juli mah aman, Pak. Jumat udah kelar," ujar saya penuh keyakinan dan mantap. Udah biasa kan Jul? 

Nah, mau tahu berapa lama kami merencanakan perjalanan ini? Sebulan! Tepat tanggal 12 Agustus, si mas ini nge-Wasap ngajakin, sambil ngerencanain ini-itu, bawa apa aja, transport gimana, dan lainnya. Agak kaget juga sih, karena rata-rata perjalanan yang saya lakukan, persiapannya paling dua minggu sebelum hari H. Bahkan bisa jadi seminggu atau malah sehari. Berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, ada beberapa agenda yang gagal dilakukan saat direncanakan jauh-jauh hari. 

Namun bukan berarti persiapan itu tidak penting. Amat penting. Bahkan, sukses tidaknya sebuah acara, kegiatan, dan lainnya ditentukan dari persiapan. Cuma kalau orangnya tipe macam saya yang suka menggebu-gebu di awal dan nglokro di belakang, maka persiapan singkat atau malah ndadak bisa jadi jalan tengah. Ya daripada udah disiapin jauh-jauh hari dan akhirnya nggak jadi, ya mangkel!

2. Teman Baru
Rencana mau ke Gn Prau sudah saya sounding-kan bareng teman-teman, seperti Nur Fatimah alias Nung sama Reni Suryati. Mereka pun angkat tangan sambil ngangguk. Berangkat. Sempat ngajakin beberapa teman tapi, karena ada berbagai sebab dan alasan, jadilah kami bertiga yang 'bertugas' mengantar tamu dari Jakarta itu. 

Awalnya, ada empat orang dari Jakarta yang mau naik. Selain Widi, ada yang namanya Firman, Andre, sama Leeyoo. Dua yang saya sebut terakhir mundur. The show must go on, petualangan harus terus berlanjut. 

Nah, dua malam sebelum hari H. Saat saya laporan sama Mas Widi soal tenda, dia bilang: "Aku yang nggak aman. Sabtu suruh masuk." Saya pun jawab (lebih tepatnya nyemprot): "Bolosss, apa-apaan kalau nggak jadi." Ada nada jengkel waktu itu. Tapi lekas saya cairkan dengan emoticon melet (:p) dan tertawa (:D). Plus bumbu, kalau saya percaya pada kemampuan melobi dan merayunya. Karena kejadian ini sama persis yang kami alami waktu main ke Cibodas, Mei lalu. Dan Alhamdulillah, berhasil!!!

Jadilah, hanya ada dua orang yang ke sini, Mas Widi dan Firman. Berangkat dari Jakarta, Jumat (11/9) sekitar pukul 21.00 WIB malam, pakai KA Serayu Malam, sampai di St Purwokerto, keesokan harinya tepatnya Sabtu (13/9) pukul 07.30 WIB. Artinya, mereka menempuh perjalanan dari Jakarta-Purwokerto sekitar 10 jam! Pegel-pegel deh. :D

Yang bertugas buat jemput mereka adalah saya dengan Reni. Dan, itu kali pertama saya bertemu dengan seorang teman baru. Yap, Firman. Kali ini, kami langsung kenalan, nggak kayak di Gn Papandayan beberapa waktu lalu, kenalannya pas udah mau pulang. 

Si Adek sama si Kakak. Adek yang kuat ya... :D
Pas pertama kali ketemu, saya mbatin: "Wah, bongsor juga nih, bocah." Setelah sampai rumah, muncullah naluri kewartawanan saya alias suka tanya-tanya. Seperti asal, di Jakarta berapa tahun, dan lainnya. Bukan asl plz kok. Hihihi.

Firman, yang kemudian dan seterusnya saya panggil dengan sebutan adek, adalah anggota termuda sekaligus terkuat di tim kami. Termuda secara umur dan paling kuat karena dia yang bawa tenda. Malu ya Dek, sama umur, kalau nggak kuat bawa tenda. Heheheu. Karena yang paling muda dan kuatlah, dia selalu jalan di depan. Bahkan sampai menantang saya lari pas pulang via jalur Dieng. Dilakuin? Nggak. Hemat tenaga, boiiiii... Masih jauhhh...

3. Pasukan Kece Bong
Itu adalah nama yang disematkan pada pasukan kami. Siapa lagi kalau bukan Mas Widi. Pasukan kece bong adalah sekumpulan anak-anak muda yang keren, gemesh, dan tetap kece di manapun, kapan pun, walau baru tidur dan nggak mandi. Hihihi. 


Pasukan Kece Bong swafoto di dalam tenda. Tetap kece. 
Pasukan ini beda ya sama pasukan kece bong kebanyakan. Just kece bong dengan penulisan berjarak antara kece dan bong. Pun tidak ada embel-embel belakangnya.

Tertarik untuk jadi anggota pasukan kami? Boleh. Free kok. Syaratnya juga gampang. Siap jalan jauh dan jangan ngeluh. Susah? Ya wajar sih, pekerjaan paling mudah di dunia ini kan mengeluh. For more information, hubungi langsung sama kepala sukunya, di IG @widinugroho28. Angka 28 menandakan umur si pemilik akun. #eh 

Sekilas soal Mas Widi. Frankly speaking, paling nggak tahan kalau nggak cerita soal ini orang. Saya mengaku: saya tertipu. Awalnya, saya kira, dia akan seperti waktu di Gn Papandayan dan Cibodas, beberapa waktu lalu. Yang kalem, cool, sedikit malu, dan jarang mau difoto, meski dia tetap jalan paling belakang dan pakai celana pendek. Saya kira, dia cuma ramai pas di WA atau BBM saja.

Dan, perkiraan ini berubah 180 derajat! Dia bukan lagi Widi yang cool, yang ogah difoto. Yang ada dia ngajak swafoto mulu. Nyaris semua foto-foto di Tepi, foto selfie-nya. Sebagai peringatan, jangan berikan hape sama Mas Widi. Niscaya, memori ponsel bakal penuh sama foto-fotonya. x_x 

Pun dengan si Adek. Saya pikir dia akan sama antengnya, mirip seniornya. Ternyata nggak. Anaknya seru dan hobi selfie. Duh jon...

Di mana pun dan kapan pun, swafoto tetap hayuk ajah. 
Overall, di tim ini kami saling melengkapi. Ecieee... Si Adek yang kuat, yang bawa tenda. Nung yang walau kecil badannya tapi paling senior di antara kami. Maklum, anak Mapala. Reni, si juru masak, suporter paling semangat, dan Mas Widi yang jadi penyapu, memastikan tidak ada yang tertinggal. 


Saya? Kebagian merekam, mengamati, dan menulis cerita lah dengan iming-iming muat di koran sama blog. Siapa coba yang nggak mau, kisahnya dibaca orang se-Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, sebagian Gombong dan Bumiayu. Hahaha. Apalagi berkat catatan perjalanan ini, banyak pembaca yang suka dan ngefans. Seperti Mbak Ningsih, Mbak Irtanti, Pak Hartoko yang bilang: "kalau baca tulisannya Mbak Juli itu, seperti ikut beneran, ikut ngrasain dinginnya, ikut takjub melihat sunrise." Sedikit narsis boleh kan? :v

4. Menembus Kabut
Sesuai rencana, kami berangkat dari Purwokerto menuju Dieng dengan menggunakan sepeda motor sekitar pukul 13.00 WIB. Pembagiannya, Mas Widi boncengan sama Reni, Nung sama si ade, dan saya sama Supri. Motor yang gantengnya maksimal! 


Supri nih, yang gantengnya maksimal. Foto di kosan lama. 

Brum brum brum. Motor melaju, membelah Jalan Riyanto Sumampir, Pabuwaran, Tambaksogra, Sumbang, masuk ke Padamara, Purbalingga, membelah jalanan di Kota Perwira dan melaju hingga ke Bojong dan Wirasaba. Nah pas sampai di jalan arah ke Wirasaba itu, saya sudah bahagia, jalanan mulus, enak buat si Supri. Saya pun teriak, "Jayalah Purbalingga." Tapi nggak lama. Tadaaaaaaa, jalan rusak, berlubang di-mana-mana, sampai bingung mau lewat mana, menyambut kami. Langsung kalimat Jayalah Purbalingga saya tarik. Jalan PHP!

Lepas dari jalanan rusak itu, kami kembali ngaspal jalanan Purbalingga-Banjarnegara. Wuuuhhh, mulusss. Tapi, no offense ya, jalanan Banjarnegara itu mbosenin. Lurusnya minta ampun! Panjang lagi. Berasa nggak habis-habis kalau lewat jalan di daerah itu.

Sayang, mulusnya jalanan Banjarnegara hanya sebentar, begitu masuk kota, selamattt, jalannya bergelombang dan di beberapa lokasi berlubang. Duh, jalan rusak di Banjarnegara itu selalu diberitain lho, sering ditulis sama Mas Maula dan Mas Gatot, wartawan SatelitPost Banjarnegara. Tapi kok ya nggak dibenerin juga. Duh, Gusti. 

Setelah dari Banjarnegara, kami mulai masuk ke Wonosobo. Tapi tunggu dulu, kok belakang saya nggak pasukan kece bong? Alhasil, di deket markas kantornya cabangnya Kak Ros di Wonosobo, saya berhenti sambil menunggu mereka. Ditambah kepala bagian belakang juga mulai cenat-cenut. Mungkin karena kurang minum plus terlalu lama berkendara. 

Agak lama menunggu mereka, sekitar 20 menit. Setelah kembali bersama, kami berlima bergegas menuju Wonosobo dan di sinilah saya mengalami tragedi yang paling ditakutkan semua pengendara yang tidak memiliki kelengkapan berkendara. Razia kendaraan bermotor alias tilangan! Kena, Jul? Ada dehhh, ;)

Lepas dari razia itu, kami sempatkan mampir sebentar di masjid setelah Alun-alun Wonosobo untuk salat Asar sambil kembali berkemas. Maklum ada yang bawaannya sedikit. Hheheu. Dari masjid itu, kami masih mampir bentar isi bahan bakar untuk motor dan perut. Tepat pukul 17.30 WIB, kami benar-benar menuju Dieng. 

Perjalanan menuju Dieng sangat jauh berbeda dibanding perjalanan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Ini adalah kali pertama saya motoran sendiri, jadi sopir buat diri sendiri. Sempat agak was-was tapi Bismillah saja sambil berhati-hati bawa si Supri. Maklum, motor tua. Ketika sudah di area tanjakan dan turunan, serta kelokan panjang, saya cuma memacu Supri di gigi 2. Paling pindah ke gigi 1 abis itu balik lagi ke gigi 2. 

Selain itu, awan hitam yang mulai menggelayut, menandai dimulainya malam hari. Suara binatang malam mulai terdengar. Dan kabut pun perlahan turun. Membuat saya mulai kedinginan, merembes melalui jaket. Juga mulai menghalangi jarak pandang. Sebelumnya saya bisa melihat sekitar enam meter, lama-lama berkurang, lima, empat, tiga, dua, dan satu. Ya, saya hanya memiliki kemampuan melihat dalam jarak satu meter, mengandalkan lampu depan si Supri.


Jalan menuju Dieng di siang hari. Iya, itu yang berjajar kendaraan.
Dan, saat kabut turun inilah, nyali saya sedikit ciut. Di jalanan itu, hanya ada mobil colt dan satu sepeda motor di depan. Dan saya sama sekali enggan menyalip dua kendaraan itu. Sementara teman-teman jauh di belakang.

Dari beberapa perjalanan malam hari yang pernah saya lakukan, honestly, ini yang bikin saya olahraga jantung. Dulu, saya pikir, ngaspal jalur selatan Jawa Tengah di malam hari dalam situasi hujan, sudah yang paling bikin tratapan. Ternyata ada yang lebih. Apalagi di sepanjang Dieng itu, saya jarang berpapasan dengan pengendara lain, baik yang searah maupun berlawanan.

Sudah. Di titik itulah saya pasrah. Saya bilang sama Tuhan: "Tuhan, Engkau pelindungku. Apapun yang terjadi, itu terserah pada-Mu saja." Dan saya pun merapalkan beberapa ayat dan surat. Entah saat ketemu tanjakan, turunan, belokan, atau landai. Begitu seterusnya sampai kabut perlahan menghilang, dan saya bisa memandang dengan jangkauan normal. Alhamdulillah...

Apalagi tak lama, kami sampai di gapura selamat datang di Dieng. Huaaa, legaaaaaa sekali. Berkali-kali saya mengusap dan memujinya: Kamu hebat, Sup. Kamu keren. Saya juga. Hehehe. And I was so excited. Takjub aja kok bisa nyetir sendirian ke Dieng, nembus kabut. Ini pengalaman seru.

Dan saking excited dan terharunya, begitu sampai di halaman Kantor Desa Patakbanteng, saya mencium Supri sambil bilang: "I am so proud of you, Sup." Tak lupa memeluk dua sahabat saya, Nur dan Reni dengan kondisi agak gemetar. Gemetar karena kaget dan dingin.

Di halaman kantor kepala desa itu kami hanya menitipkan motor dan helm. Iyess, karena basecampnya udah pindah ujung Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Tarif nitipin motor dan empat helm, Rp 22 ribu. Oleh mas-mas penjaga parkir, kami diberitahu jalan menuju basecamp, yang ternyata nggak jauh dan ada arah penunjuknya. 

5. Hardwell
Robbert van de Corput. Itu nama asli si mas ganteng asli Belanda yang kemudian bernama panggung Hardwell. Dua kali dinobatkan sebagai The World's No. 1 DJ on DJ Magazine's tahun 2013 dan lagi 2014. 


Make some noise... Hardwell. sumber: fotonet
Pertanyaannya, ada hubungan antara mas ganteng ini sama Gunung Prau? Ada. 

Sepanjang perjalanan, baik naik dan turun, saya nyanyi lagu-lagu racikannya. Sampai beberapa beat ringan yang sering ia tampilkan saat tur. Mulai dari Apollo, Dare You, Young Again, Never Say Goodbye, sampai yang kemudian jadi favorit saya dua bulan belakangan ini, Follow Me dan beberapa lagu yang kemudian baru saya ketahui judulnya, Mad World dan Echo

Ini sebagai efek sebulan penuh, dari Agustus, turun dari Gn Sumbing langsung tancap gas dengerin Hardwell, setiap hari. Mungkin kalau mas ganteng ini ada di samping saya, dia bakal teriak: "Juli, bosennn, disetel kamu terus."

Nggak lupa lagunya Ed Sheeran-Photograph. Ah lagunya Paramore yang Ain't It Fun juga jadi soundtrack pas lari-larian di padang aster. Itu janji saya tahun lalu. Kelak kalau lewat jalur ini, saya harus nyanyi lagunya Paramore. Dan baru keinget masih ada lagunya Zedd yang Beautiful Now. Padahal pas buat dinyanyiin di jalur Dieng itu. 

Padang Aster, yang bikin saya nyanyi lagunya Paramore
Dan, satu lagu wajib pas di gunung: A Sky Full of Stars-nya Coldplay. Itu saya gumamkan saat melihat langit bertakhtakan gemerlap bintang, yang aduhaiii, kerennn banget. Emejing! 

The Script dan Owl City untuk sementara saya simpen dulu. Nah begitu turun, saya malah nyanyi lagunya Payung Teduh dan Float. Jeglek banget! 

6. Sikunir, Kami Datang...
Sesuai rencana semula, begitu kami turun via Jalur Dieng, kami akan langsung menuju Sikunir. Jaraknya memang nggak begitu jauh karena masih di kawasan Dieng. Di jalan kami sempat merogoh kocek Rp 10 ribu untuk masuk ke kawasan lokawisata Dieng.

Kami ke sana sekitar pukul 11.00 WIB. Sayang, kabut lagi-lagi turun dan menghalangi pandangan. Termasuk saat kami tiba di area parkir Sikunir. Kondisi ini sempat bikin galau, antara mau naik apa enggak. Namun, demi mengusir rasa penasarannya Mas Widi dan Firman, sambil berharap siapa tahu di jalan, kabutnya hilang, kami putuskan untuk naik. 


Kami sampai di Sikunir. Hal wajib foto di sini. 
Nah, bukannya menghilang, kabut malah semakin tebal. Di tengah jalan, kami memutuskan untuk turun lagi setelah beberapa kali swafoto. Sayang...







FINISH. Lunas yess sudah ditulis sebagian besar perjalanan kali ini. Memang ada beberapa hal yang nggak ditulis demi kenyamanan dan keselamatan bersama. Maaf sekali jika terlalu lama nunggu tulisannya karena beberapa pekan terakhir, harus berkutat dengan banyaknya tugas, baik liputan, editing berita, share berita online, maupun proyek lainnya. Termasuk melahap buku dan mantengin tulisan-tulisan dari penulis favorit. Semoga berkenan. (*)


Galeri:
Oke. Tetap kecehh kan? 

Surprise. Ketemu teman sekelas waktu SMA, Ariyadi alias Ariel.
Di tangan saya, itu oleh2 dari Ariel waktu ke Rinjani, Lebaran kemarin.
Demm, delapan tahun nggak ketemu, dia masih inget suara saya. :D

Thanks Prau, sudah membuat kami rindu.

Yang dua asyik swafoto, satunya lagi nulis, satunya mager, jadi papan. *eh

Yeahhhh, I will fly... Nung, tunggu.... 

Biru dan hijau. Kombinasi paling berkelas yang bikin adem. 

Heiii, kamunya aku. Selamat pagi, semoga selalu dimudahkan
dan dilancarkan sama Tuhan. Aku tunggu kamu... #baper

Ih, apaan sih mas-mas ini. :v

Oke, mari nyanyi lagunya Float yang Pulang. Dan, lalu...............

Turun gunung, foto. Naik gunungnya enggak. Maapkeuunn T.T

Tiati, adek dan simbah. Thanks all... Di Stasiun Purwokerto. :))

Yeesss, ini bukti kalau merekaaaaaaaaaaa ituuuuu: hobi selfie








Tidak ada komentar:

Posting Komentar