Minggu, 18 Oktober 2015

Menebas Rindu di Gunung Slamet: Puncak Nggak Akan Lari Kok


YAP. Ini adalah bagian terakhir dari tulisan khas alias feature-nya Rizqi. Tulisan ini lebih pada perjuangan mereka ke Puncak Slamet. Selanjutnya, silakan disimak. Semoga berkenan, maaf bila ada salah-salah kata. 

==================================================================

KONDISI kawah Gunung Slamet di sekelilinganya masih terdapat
 material pasir hitam akibat erupsi setahun yang lalu, Senin (28/9).
SATELITPOST/RIZKY RAMADANI


PUNCAK ada di hadap kami. Tanah tertinggi di Jawa Tengah itu, nyata di depan kami. Tinggal beberapa langkah lagi, kaki ini akan menjejak untuk kali ketiga.

Rupanya, kami sudah berjalan selama 2,5 jam dari Pos 5 Samhyang Rangkah menuju Pos 9 Pelawangan. Kami mulai pendakian dari Pos 5, tempat kami ngecamp pukul 07.30 WIB dan sampai di Pos 9, yang menjadi 'gerbang' menuju puncak Slamet pukul 09.00 WIB. 

Jalan dari Pos 5 hingga Pos 6 Samhyang Jampang tak terlalu jauh. Cukup mendaki sekitar 25 menit, kami sampai di ketinggian 2800 mdpl. Kami pun sempat beristirahat sebentar, duduk santai di sebatang pohon yang tumbang. 

Usai mengembalikan tenaga, kami kembali berjalan menuju Pos 7 yang jaraknya sedikit lebih jauh. Sepanjang perjalanan menuju pos bernama Samhyang Kendit tersebut, saya menjumpai 'keajaiban' lain, tanaman edelweis. Saya bersyukur masih bisa menjumpai si bunga abadi dengan kecantikan yang sungguh memikat ini. Sesi foto bersamanya pun jelas tak kami lewatkan.
Jalur menuju Pos 7. Iya, ini yang kebakaran kemarin.

Sayangnya, baru beberapa langkah dari rerimbunan si bunga abadi, kami menjumpai pemandangan yang tidak enak dilihat. Di jalur yang kami lewati terdapat sisa-sisa pohon bekas terbakar. Akibat dari ulah pendaki yang sembrono membuat api unggun dan tidak benar-benar dimatikan saat meninggalkan, membuat terjadinya insiden kebakaran di jalur pendakian. Kejadian ini terjadi usai dibukanya kembali jalur pendakian Slamet pasca-erupsi.

Dari Pos 7, kami langsung beranjak ke Pos 9, tanpa perlu berhenti di Pos 8 Samhyang Katebonan. Pasalnya, jarak antara ketiga pos ini teramat pendek. 

"Mau muncak, Mas? Udah, istirahat dulu saja. Puncak nggak akan lari kemana-mana kok," kata seorang pendaki yang tetiba saja menyapa kami begitu sampai di Pos 9.


Monggo, istirahat dulu, Mas. Nggak akan lari puncak dikejar. 
Ajakan ini tak kuasa kami tolak. Selain mengistirahatkan kaki, kami juga perlu menghimpun tenaga untuk pendakian ke puncak yang jelas-jelas ada di depan saya. Ya, pendakian sebenar-sebenarnya pendakian dimulai dari Pos 9. Medan terjal dengan kemiringan kurang lebih 30-45 derajat serta material batuan cadas akan menjadi sahabat kami. 

Dengan penuh perjuangan serta kesabaran, kami mulai menapakkan kaki di bebatuan cadas. Pelan-pelan agar tidak terperosok. Maklum, bebatuan di sini ada yang berbentuk kerikil yang bisa membuat kaki terperosok jika salah meniti langkah. Perlu keseimbangan serta kehati-hatian saat melewati medan ini. 

Baru setengah perjalanan di medan bebatuan tersebut, kabut mulai ikut naik. Matahari langsung tertutup awan dan sempat membuat kami kecewa. Tak mungkin menyelesaikan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Sangat berbahaya jika semua jalur tertutup kabut. Selain juga menutup pemandangan di atas dan kawah Gunung Slamet.


Jalur menuju Puncak Slamet. Juli, lihat Mbak itu, kamu nggak kepengin? 
Kami tunggu dengan sabar sampai kemudian kabut itu menghilang dan mulai lagi pendakian. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, sampai satu setengah jam kemudian, kami berhasil melewati jalur bebatuan dari Pos Pelawangan. 

Yes. Puncak! Dua kaki saya rupanya sudah menginjak di puncak. Dua kaki saya sudah menapak di tanah tertinggi Jawa Tengah dengan ketinggian 3482 mdpl. Kami bertiga, saya, Ega Firmanto dan Mujiono sampai dengan selamat di atapnya Jawa Tengah. 

"Alhamdulillah akhirnya sampai semua di puncak," kata Mujiono, anggota organisasi pencinta alam Walang Ajibarang yang kali pertama naik ke Gunung Slamet.

Ada banyak rasa yang tak bisa dilukiskan. Haru, bahagia, senang, jadi satu. Juga rasa syukur yang tak henti kami ucapkan pada Tuhan. Sungguh, terima kasih Tuhan sudah melindungi dan menjaga kami. Sudah menciptakan karya yang luar biasa indah ini. Kami sangat kagum, terpesona, sampai tak henti-henti memandang sekeliling puncak.

Puas menikmati pemandangan ini, kami kembali berjalan menuju bibir kawah. Ada semacam tugu atau batas kabupaten antara Purbalingga-Banyumas. Dari situ, kami melihat kawah Gunung Slamet yang begitu luas, lengkap dengan lubang menganga di tengah kawah berselimutkan kepulan asap belerang. Bila ingin mengitari kawah, bisa ditempuh dengan waktu sekitar dua jam. 
PUNCAK SLAMET, 3482 MDPL. 

Saya takjub melihat karya ini. Sempurna dari Sang Maha Sempurna. Saya pun lantas mengingat bagaimana perjuangan untuk sampai di sini. Canda tawa dengan pedagang dan pendaki lain. Tertatih-tatih melewati jalur pendakian. Menikmati kemewahan di pagi hari, ngopi sambil melihat sunrise. Sungguh, ini akan jadi cerita tak terlupakan. 

Puas menikmati pemandangan di puncak, yang walaupun tertutup kabut, pukul 11.30 WIB, kami bergegas turun. Kembali ke Pos 5. Dibanding perjalanan naik, perjalanan turun kali ini lebih cepat dan tidak menguras tenaga. Yang diperlukan hanya kehati-hatian dan fokus saat menuruni lereng supaya tidak tergelincir dan jatuh ke jurang.

Satu setengah jam kemudian, tepatnya pukul 13.00 WIB, kami sudah nyante di Pos 5. Cepat kan? Kami tak ingin bergegas pulang dan memutuskan kembali 'menginap' di hotel seribu bintang, bertakhtakan bintang-gemintang di langit. 

Keesokan harinya, Selasa (28/9), kami bersiap untuk berkemas. Pulang menuju Basecamp Bambangan. Berangkat dari Pos 5 pukul 07.30 WIB, sampai di basecamp pukul 11.30 WIB. Kami sangat santai saat perjalanan pulang dengan alasan ingin lebih menikmati pemandangan di sekitar Gunung Slamet. Padahal alasan sebenarnya, kaki saya terkilir sehingga 'menghambat' laju jalan.

Bagi saya, ini sungguh perjalanan yang amat menyenangkan. Bisa kembali datang, mengunjungi Simbah Slamet adalah satu keinginan saya selama delapan tahun ini. Kerinduan padanya sudah tertebas dan tersampaikan. Lunas. Namun, bukan berarti saya tak akan lagi mengunjungi Gunung Slamet. Pasti. Suatu hari nanti, saya akan kembali lagi ke sini. Tentu dari jalur pendakian yang berbeda. Terima kasih Tuhan, alam, dan Gunung Slamet. 

Sekadar saran bagi yang ingin melakukan pendakian, siapkan fisik, mental, peralatan, dan logistik. Utamanya air. Sebagai pandangan, kami membawa tiga botol air mineral ukuran besar, dua botol ukuran kecil, dan dua derigen air masing-masing lima liter. Musim kemarau menjadikan ketiadaan mata air di Pos 5 sehingga mau tidak mau harus membawa air dari basecamp. 

Selain itu, pastikan api yang telah dibuat baik dalam bentuk rokok maupun api unggun, harus benar-benar mati. Jika tak ingin kejadian kebakaran kembali terulang dan membuat jalur pendakian kembali ditutup seperti sekarang ini. Jangan lupa juga, bawa turun sampahmu. Gunung bukan tempat sampah. Salam. (rizqi ramdhani)


note: setelah merampungkan tulisan ini, Rizqi kembali lagi ke Gn Slamet dengan dalih mengantar teman-temannya dari Bekasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar