Kamis, 15 Oktober 2015

Ngopi di Pos 5 Sambil Menikmati Sunrise


INI adalah bagian ke dua dari tulisan, Menebas Rindu di Gunung Slamet karya layouter SatelitPost. Bagian pertama, bisa dilihat di link http://tulisanjuli.blogspot.co.id/2015/10/menebas-rindu-di-gunung-slamet.html.

Sesuai dengan judulnya, tulisan ini bercerita tentang moment sunrise di Pos 5. Tentu, masih ada satu tulisan tentang perjalanan ke puncak. Sabar ya. Untuk sementara, sila disimak. 

===========================================================
MATAHARI terbit  difoto dariPos 5 pendakian Gunung Slamet, Senin (28/9).
SATELITPOST/RIZKY RAMDHANI

DELAPAN tahun yang lalu. Tepat di tanggal 17 Agustus 2007, pagi. Usai pengibaran sang saka Merah-Putih di puncak Gunung Slamet oleh Mapala Satria UMP. Setelah perayaan Hari Kemerdekaan. Api berkobar di Pos 4 Samarantu. Kabar ini datang dari seorang pendaki dan langsung tersiar cepat, termasuk di telinga saya. 

Insiden ini memaksa saya dan 239 pendaki lainnya bertahan atau mungkin lebih tepatnya terjebak di puncak. Demi apapun, kami tak bisa turun kala itu.

Delapan tahun kemudian. Senin (28/9), saya sudah terbangun di 'rumah' kecil kami di Pos 5 Samhyang Rangkah. Di atas ketinggian 2650 mdpl itu, masih terekam jelas dalam ingatan semua detil peristiwa delapan tahun silam. 

Ya, saya selamat. Sebab tak lama dari kabar kebakaran itu, tim Basarnas bergegas mendaki untuk melakukan pemadaman. Saya tak tahu persis apa penyebab kebakaran tersebut. Itulah satu peristiwa menegangkan yang pernah saya alami saat melakukan pendakian. 

Selain saya, dua rekan dalam pendakian, Ega Firmanto dan Mujiono juga telah bangun. Walau badan masih terasa pegal, mata merah kurang tidur, kami tetap memaksakan diri untuk bangun, untuk menyaksikan sebuah keajaiban alam di pagi hari. Golden sunrise di Pos 5 Gunung Slamet.

Demi menghangatkan badan dan suasana, saya pun bergegas memasak air. Kami sepakat untuk membuat kopi sebagai minuman 'pembuka' di pagi hari. Aroma harum kopi langsung menguar begitu air panas disiramkan di atasnya, memenuhi indra penciuman. Wuuuhhh, sedeppp... Itulah kemewahan yang bisa saya rasakan di gunung. Kapanlagi bisa ngopi di atas gunung sambil lihat sunrise?!

Bersandingkan secangkir kopi, kami bersama para pendaki lain, berdiri memandang ke arah yang sama. Timur. "Ini nih moment yang paling saya tunggu kalau manjat (Gunung) Slamet, lihat sunrise," kata seorang pendaki yang duduk di depan tenda. Mau tidak mau, ucapannya harus saya amini. 

Dan, kejadian tersebut cepat saja. Di timur, pancaran garis cakrawala berwarna merah kekuningan mulai terlihat. Itu jadi satu tanda, sang penguasa siang akan segera terbit. Saya pun bersiap, berbekal kamera ponsel, mengarahkan posisi di mana ia akan muncul dan mulailah, klik klik klik. Ia, matahari bangun, muncul dan menampakkan diri. Menjadikan semua panorama yang lihat menguning, bukan kuning melainkan, menjadi emas seperti warnanya. Juga semburat warna biru. Menjadikan langit yang semula pekat menjadi terang. Membangunkan semesta raya dan tentu saja saya yang masih terkantuk-kantuk. 

"Mas, minta tolong fotoin dong, yang belakangnya ada sunrise ya," pinta seorang pendaki wanita sembari menyodorkan kameranya. 

Saya pun tak kuasa menolak permintaan itu, walau sebenarnya saya juga kepengin difoto seperti itu. Hehehe.

Sejuknya udara pagi, ditambah kicauan burung, suara khas babi hutan, dan lolongan anjing hutan menambah semarak suasana pagi hari di Pos 5. Hijaunya punggungan bukit yang mulai terlihat kala matahari kian meninggi, membuat mata semakin segar. Sebuah harmoni panorama yang luar biasa indah. 

Suasana dan kondisi Pos 5 juga kian ramai dengan coletehan-celotehan para pendaki. Ada sekitar lima tenda yang berdiri di camp area tersebut. Dalam hitungan saya, itu banyak dan sempat membuat kami bingung saat mendirikan tenda. Kondisi Pos 5 sekarang jauh berbeda dibanding dulu. Dulu, area camp masih luas. Sekarang, sudah nampak rimbun dengan tanaman perdu. 

Tak terasa, jarum jam sudah menunjuk angka enam. Saatnya sarapan. "Gie arep masak apa nggo sarapan? Masak sayur bayem bae apa?” tanya Ega kepada saya. 

"Ya kena, sing penting kena nggo sarapan, nyong tak gawe wedang susu ya," sahut saya kepada Ega, si atlet maraton. 

Momen kebersamaan dan canda tawa riang menemani aktivitas pagi itu. Tentu saja, apapun makanannya tetap kami lahap sebab bagaimana pun saat melakukan pendakian ke puncak, jangan sampai perut dibiarkan kosong. Sarapan itu kunci. 

Usai sarapan, kami masuk ke tenda, menyiapkan bekal untuk summit attack. Bersiap menuju puncak. Bersiap menjejak di ketinggian 3428 mdpl. Bersiap melangkah di tanah tertinggi di Jawa Tengah. Tuhan, restui dan lindungi perjalanan kami. (*)


penulis: rizqi ramdhani
editor: sri juliati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar