Minggu, 29 November 2015

Wisata Bukit yang Lagi Hits di Banyumas

Panorama dari Bukit Taman Angkasa, Banyumas.
Foto dari Sukarni, Gerakan Desa Membangun


BANYUMAS boleh bangga. Meski menyandang status kota (kecil) namun wilayah ini dikelilingi landmark alam yang amat mengagumkan. Kawasan perbukitan, lembah, dan sungai, membentang di Sinaring Tanah Jawa ini.

Tak berlebihan menyematkan julukan Banyumas, surga seribu curug alias air terjun. Juga tak berlebihan pula, menambahkan kata: bukit. Banyumas, surga 1000 curug dan bukit. Hal ini sebagai bonus topografi Banyumas yang berada persis di kaki Gunung Slamet.

Dulu, orang hanya mengenal Banyumas dari Lokawisata Baturraden sebagai ikon wisatanya. Namun, beberapa waktu belakangan, wisata curug mulai mendapat tempat. Yang dulu didatangi hanya segelintir orang, kini ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun luar kota. Mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang tua. 

Pun dengan wisata bukit. Dulu, orang hanya tahu Bukit Bintang di Baturraden sebagai satu lokasi untuk melihat Kota Purwokerto dari ketinggian. Kini, ada beberapa bukit yang bisa 'dijelajahi' demi memandang Banyumas dan sekitarnya dari ketinggian tertentu. 

Bisa dibilang, media sosial jadi satu pemicu tenarnya dua lanskap alam hadiah untuk Banyumas ini. Banyaknya pengunjung yang ber-selfie lantas membagikannya ke media sosial memancing keingintahuan para pengguna lainnya. Imbasnya, mereka pun berbondong-bondong datang, berkunjung, atau sekadar membuktikan keindahan yang dilihat di media sosial. 

Beberapa waktu lalu, SatelitPost membahas keindahan curug yang tersebar di Banyumas, kini Anda akan diajak menjelajah, berwisata ke dua bukit yang tengah jadi perbincangan banyak orang, utamanya anak-anak muda. Supaya seperti mereka, jadi anak kekinian. Bila ada waktu, sempatkanlah mampir ke sana. Namun ingat, bawa turun sampah yang dibawa ya. Selamat bertualang.

1. Bukit Watu Meja, Kebasen
Sungai Serayu dari Bukit Watu Meja.

NAMA bukit yang satu ini jelas sudah tak asing lagi karena sudah kondang ke mana-mana. Dikunjungi oleh siapa saja dan darimana saja. Satu kata untuk bukit ini, ramai. Apalagi saat hari libur.

Bukit ini berada di Desa Tumiyang, Kecamatan Kebasen. Bila datang dari Purwokerto, lurus dan ikuti saja jalan di samping Pasar Patikraja. Jarak dari persimpangan Pasar Patikraja hingga ke desa ini lumayan agak jauh. Namun jangan khawatir, Anda tidak akan tersesat sebab beberapa petunjuk jalan sudah dipasang. Yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti penanda tersebut. Lokasinya ada di sisi kiri jalan. 

Sampai di sana, Anda bisa memarkirkan kendaraan di rumah warga setempat. Tarif? Seikhlasnya. Soal keamanan kendaraan, tenang, aman kok. Sebab warga sekitar memberikan karcis parkir untuk menghindari tertukarnya kendaraan. Hati-hati jangan sampai hilang.

Dari lokasi parkir tersebut, Anda tinggal berjalan kaki. Ada dua jalur yang bisa dipilih, jalur ekstrem dan jalur landai. Kelebihan jalur ekstrem, lebih cepat sampai tapi tanjakannya lumayan bikin napas ngos-ngosan. Sebaliknya jalur landai, lebih lama karena harus memutar. Tenang, dua jalur itu akan bertemu di titik yang sama kok.

Jalur Ekstrem menuju Watu Meja. Semangat kakak...
Setelah berjalan kurang lebih 30 menit (sudah dengan istirahat dan foto-foto) sampailah di lokasi Bukit Watu Meja. Namun sebelum masuk, Anda harus mencatatkan nama serta asal disertai tarif seikhlasnya untuk membangun pengembangan wisata ini. 

Dan tadaaa... pemandangan Sungai Serayu yang berkelak-kelok, beserta jembatan rel kereta api, yang jadi ikon Banyumas, dan kawasan perbukitan, persawahan, di wilayah tersebut membentang luas. Lanskap alam yang begitu mengagumkan. Membuat mata tak jemu untuk memandang. Apalagi saat kereta api melintas di jembatan tersebut, sempurna. 
Itu rel kereta api di atas Sungai Serayu yang jadi ikon Banyumas.

Warga sekitar bilang, waktu paling pas untuk menikmati keindahan Bukit Watu Meja adalah saat pagi, matahari terbit juga sore, matahari terbenam. Namun, siang ke sini pun tak masalah, karena sama-sama kerennya. 

Di lokasi ini juga terdapat sebuah batu besar yang bentuknya menyerupai meja. Mungkin, ini jadi alasan penamaan dari tempat wisata ini, Watu Meja. Tak cuma menikmati lanskap Sungai Serayu, Anda juga bisa menjelajah hutan pinus yang masuk di wilayah KPH Banyumas Timur. Awesome
Hutan Pinus dan kami. Lagi-lagi sama Reni. Hahaha. ^^

Ramai? Bangetttt... Apalagi kalau hari libur. 

Soal makanan, tenang, Anda tak perlu bawa banyak bekal sebab ada banyak sekali warung yang menjajakan makanan dan minuman, lengkap dengan lesehan. Harganya, masih bisa terjangkau kok. (sri juliati)


2. Taman Angkasa, Banyumas
ADA cara lain untuk menikmati pemandangan saat matahari terbit dan tenggelam. Jika bosan ke pantai, Anda bisa coba berkunjung ke Taman Angkasa Banyumas di Desa Binangun. 

Selamat datang di Taman Angkasa
Taman Angkasa Banyumas terletak di Grumbul Juwiring, Desa Binangun, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas. Taman ini berada di kawasan puncak Gunung Depok yang berketinggian sekitar 420 meter dpl.

Gunung Depok merupakan gunung kecil dengan puncak landai. Anda dapat melihat wilayah Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga. Jika Anda perhatikan dengan saksama, melihat Banyumas dari puncak Gunung Depok seperti menyaksikan taman raksasa. Pemandangannya indah dan hijau. Sungai-sungai yang mengalir menyempurnakan menambah asri pemandangan. 
Jalur menuju Taman Angkasa. Siap-siap...
Taman Angkasa bisa ditempuh dari Alun-alun Banyumas, yaitu Alun-alun-Desa Pasinggangan-Desa Binangun. Jika lewat jalan ini, ada sebagian rusak jalan di Desa Pasinggangan dan Binangun. Rute lain yaitu Desa Kalisube-Dawuhan-Binangun. Hati-hati saat melintas di Desa Binangun, sedangkan jalan di Desa Kalisube dan Dawuhan, mulus. 

Desa Binangun juga mengembangkan sejumlah paket wisata. Pengunjung bisa belajar dengan biaya sebesar Rp 50 ribu untuk jumlah maksimal 10 orang per kelompok.

Enjoy sunrise. Sun is shining and so are you... 
Taman Angkasa Banyumas di Binangun masih dukungan infrastruktur pendukung karena objek wisata ini baru dikembangkan pada Juni 2015. Mari, menikmati sunrise atau sunset dengan secangkir teh senggani di Binangun. (Sukarni dari Gerakan Desa Membangun)

Jumat, 27 November 2015

Sampai Jumpa di Yogya


SLOGAN Yogya berhati nyaman membekas di ingatan. Tak ayal, Kota Yogya masuk jadi satu wish list destinasi saya tahun ini.


Hello Jogja
Sebenarnya, kota ini sangat tidak asing bagi saya. Pertama, waktu masih kecil, usia TK, saya pernah tinggal di sini sama bapak. Kalau nggak salah, di daerah Pengok. Kedua, setiap mudik, pulang ke rumah, saya selalu melintas kota ini. Sayang, untuk menikmati, jalan-jalan santai di malam hari, haha-hihi bareng sahabat di kota ini, belum pernah saya lakukan. Paling sekadar jalan, cari oleh-oleh, dan sudah, pulang.

Nah, di tulisan kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman jalan ke Yogya. Saking banyaknya yang ingin dibagikan, cerita akan terbagi dalam tiga tulisan. Dan ini lah tulisan pertamanya. Selamat membaca...

=================================================

Semalam di Kota Pelajar

Bisa dibilang, main ke Yogya bukanlah tujuan utama. Jadi rencana utamanya adalah: akhir November tanggal 20an, saya mau pulang, kondangan ke tempat seorang sahabat yang menikah, Indah Diana lantas menuju ketinggian. Berhubung Mz Ganjar, Gubernur Jateng menutup semua ketinggian di Jawa Tengah pasca-tragedi kebakaran hutan, alhasil rencana utama itu gagal.

Rencana utama boleh gagal dan harus ada rencana cadangan. Saya tetap pulang dengan alasan kondangan itu dan untuk mengisi waktu, Yogya jadi tujuan. Langsung saja saya hubungi seorang kawan yang sempat satu kelas waktu SMA. Yep, Ariyadi alias Ariel, yang dulu meet up di Gn Prau. 


Ariel, paling kiri saat main ke Baturraden, Banyumas
Susun-menyusun rencana dan destinasi, jadilah keputusan: Sabtu-Minggu (21-22/11) main di Yogya. Sendirian? Yo nggak donggg... Ada Reni Suryati, yang beberapa waktu belakangan jadi teman makan, jogging, main, tidur, #eh. Sebenarnya masih ada Nur Fatimah atau Nung dan temannya yang mau ikut. Lantaran nggak dapat cuti, keduanya memilih mundur. 

Sabtu (21/11) pun datang. And I was so excited. Selain bakal ke Yogya, saya juga nggak perlu menghabiskan malam Minggu di kantor dengan setumpuk pekerjaan. Bagi saya, itu satu kemewahan tersendiri. Hahaha.

Demi bisa berangkat pagi, pakai KA Logawa jurs Purwokerto-Jember, saya pilih nggak tidur setelah pulang dari kantor sekira pukul 02.30 WIB. Beberes kamar, packing, masak nasi goreng, dan nungguin pagi. Sayang, rencana ini gagal karena partner saya, Reni Suryati bangun kesiangan. Hahaha.

Kami pun sepakat memundurkan jadwal keberangkatan, jadi jam 10.30 WIB dengan KA Joglokerto, kereta baru lansiran DAOP V Purwokerto, jurusan Purwokerto-Solo. Kebetulan banget, saya memang kepengin mencoba KA Joglokerto. Sembari nunggu jam 10, saya pun tidurrr. Zzzzzz.

Sekitar pukul 09.30 WIB, saya bangun, bersiap kembali, menunggu Reni. Nggak lama Reni datang dan kami berangkat ke Stasiun Purwokerto pakai taksi. Tapi apa daya, karena sopir taksinya nyasar, kami pun ketinggalan KA Joglokerto. Hahaha. Berpikir cepat, kami pun memutuskan untuk ke terminal dan menggunakan Bus Efisiensi. Dari Stasiun Purwokerto-Terminal Bulupitu, kami gunakan angkot G1 dengan tarif Rp 4 ribu per satu orang. 

Sebelum turun angkot, saya sempat ngobrol dengan bapak sopir angkot. Usianya paruh baya. Dia bilang, pendapatan angkot sekarang turun drastis. "Kalau dulu, ditarget Rp 150 ribu, Mbak, sak niki Rp 75 ribu mpun gedhe banget. Mpun kathah motor, Mbak," kata dia.

Saya pun ber-oh pelan. Kemudahan memiliki sepeda motor yang digeber diler bisa disebut sebagai pemicu hidup segan mati tak maunya bisnis angkot. Bagaimana pun masyarakat butuh moda transportasi yang cepat dan murah. Di sisi lain angkot memiliki kekurangan, kerap ngetem dan terkadang tidak praktis. 

Jalan sebentar dari terminal angkot, kami pergi ke loket bus Efisiensi beli dua tiket, masing-masing dibanderol Rp 60 ribu. "Berangkat jam 12.00 ya Mbak," kata kasir loket sambil memberikan lembaran tiket hasil print.
Tiket Bus Efisiensi yang sekarang ini... 
 Kami pun melongok jam tangan. Pukul 11.15 WIB, masih 45 menit lagi. Demi menunggu waktu, saya sempatkan mampir sebentar ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang berlokasi di dalam Terminal Bulupitu. Terminal yang menempati lahan seluas delapan hektare ini dilengkapi dengan taman bermain untuk anak-anak, Taman Payung, TBM, serta Taman Lalu Lintas yang masih dibangun. Juga ada aksesori berupa backdrop besar bergambar Menara Eifel di Paris dan patung singa Merlion, Singapura. Dua tambahan ini yang bikin terminal nggak cuma jadi tempat antar jemput penumpang, melainkan sudah menjadi tempat wisata foto.


TBM di Terminal Bulupitu. Adem karena ada AC dan Free WiFi
TBM berada di samping ruang menyusui dengan kaca hitam. Seperti TBM pada umumnya, maka ruangan ini berisikan buku-buku dari berbagai genre, seperti fiksi, non-fiksi, tokoh, agama, kesehatan, dan lainnya. Ruangannya relatif sempit, hanya 4x4 meter dengan tiga rak yang cukup besar dan penuh. 

Buku Para Priyayi-nya Umar Kayam jadi pilihan saya. Tapi nggak lama saya kembalikan ke rak karena menemukan buku lain, karangan Goenawan Muhammad, pendiri Tempo. Judul lengkapnya saya nggak inget tapi isinya tentang tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Tan Malaka, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan lainnya. Karena saya lagi ngefans dengan Pram, maka tulisan tentang dia yang saya baca. 


Beberapa koleksi di TBM Terminal Bulupitu
Sempat ngobrol-ngobrol bentar dengan petugas, TBM buka setiap hari. Siapa pun boleh meminjam gratis. Baik dibaca di tempat maupun dibawa pulang. Boleh dibawa pulang asal ybs kerap ke terminal. Kecuali kalau mau ninggalin KTP asli yes. 

"Kebanyakan ke sini pada baca koran Mbak. Beberapa paling baca buku," ujarnya petugas. 

Ketika jarum jam menuju angka 11.45 WIB, kami segera menuju pool Efisiensi. Di sana, sudah ada beberapa calon penumpang yang menunggu. Tak lama, bus yang hendak mengantarkan kami ke Kota Pelajar itu datang. Tepat pukul 12.00 WIB, bus berangkat. Ramai walau tak terlalu penuh. 

Sepanjang perjalanan, kami ngobrol santai, haha-hihi bareng, cerita ngalor-ngidul, termasuk membahas telatnya kami ke stasiun, hahaha. Sampai kemudian rasa kantuk melanda dan kami pilih untuk tidur. Save energy boooo, buat jalan-jalan di Yogya nanti.

Dibandingkan menggunakan kereta, perjalanan memakai bus lebih lama. Sekali pun pakai PATAS AC, sekitar 4,5 jam. Alhasil, pukul 16.30 WIB, kami sampai di Yogya, itu pun belum di kotanya, masih di Gamping, Sleman untuk ganti shuttle yang akan mengantarkan kami ke Malioboro, lokasi meet up dengan Ariel. Akhirnya, pukul 16.55 WIB, kami sampai di kawasan Malioboro. Huraaiiii...
Malioboorrrrrrooooooooooooooooooo.... 
Langsung saja kami melangkahkan, menyusuri kawasan yang rame beuudd itu dan mencari masjid yang terdekat. Hingga kami temukanlah dengan Masjid Malioboro yang berada di Kompleks DPRD Provinsi DIY. Usai salat, kami menunggu Ariel yang kala itu ada di Malioboro Mall. Nggak lama, kawan saya yang udah kemana-mana itu muncul. Ngobrol-ngobrol bentar hingga datanglah sesosok laki-laki, mengenakan jaket, tas selempang, celana pendek, dan berkumis yang wajahnya sudah sangat tidak asing bagi saya. Nama dia pun kerap muncul di tulisan-tulisan saya. 

Guess he?

Yesss, Widi Nugroho!!! Iyaakkk, dia. 
Ini nih, biang keresean kali ini. :p

Jadi gini ceritanya: si mas ini, awalnya ngajakin saya ke ketinggian yang akhirnya gagal. Karena nggak jadi, si mas ini sudah ada rencana buat pulang kampung ke Yogya yang tanggalnya sama dengan rencana saya ke Yogya. Jadilah kita janjian untuk meet up dan main bareng dengan catatan dia dapat tiket kereta plus nggak disuruh lembur. Sepekan sebelum pulang, dia BBM, kasih kabar kalau tiket ke Yogya sudah ludes. Dari situ, dia kasih kesimpulan nggak jadi pulang.

Anehnya, selama seminggu itu, dia mancing-mancing soal rencana saya ke Yogya, jadi apa nggak, sama siapa saja, mau ke mana aja, tidurnya gimana, dan lainnya. Namun setiap kali saya tanya, jadi pulang apa nggak, dia nggak jawab. Kalau pun jawab, pasti ngeles. Saya pun mencium gelagat, ini orang pasti ngerjain. 

Ternyata, bener. Siang-siang, waktu saya dan Reni dalam perjalanan, dia BBM tanya kami sudah sampai mana dan berujung pada kalimat: Nanti ketemuan di Malioboro jam 5 ya. Hmmm.

Setelah ngumpul semua, mencari penginapan jadi agenda selanjutnya setelah salat Magrib. Kami pun sepakat cari penginapan di sekitar Malioboro sambil menyusun ulang rencana mau kemana kita. Di kawasan Malioboro yang agak masuk gang itu, kami nggak menemukan tempat penginapan yang pas. Ada sih yang murah, Rp 100 ribuan lah. Tapi lokasinya lebih masuk gang dan arah Pasar Kembang. Hehehe

Akhirnya kami jalan lagi sampai di Jalan Pasar Kembang. Sempat tanya ke sebuah guest house tapi masih pikir-pikir dulu. Jalan lagi, coba nyari di depan Stasiun Tugu karena di sana ada beberapa penginapan baru, siapa tahu tarifnya lebih miring. Nyatanya enggak. Dua hotel yang kami sempat tanyakan, tarifnya Rp 300 ribu sampai Rp 350 ribu. 

Sembari jalan, kami haha-hihi, saling berbagi cerita lucu, konyol, juga sembari ketak-ketik cari sewa motor. Sayang, sampai Reni menghubungi tiga nomor sewa motor, nggak ada satu pun yang diterima. Alhasil, ia pun memutuskan untuk pulang ke Cilacap, Minggu (22/11) pagi. Iya, selain ada agenda ke Yogya, Reni juga ada rencana untuk pulang ke rumah untuk melepas rindu pada ayah-ibu dan saudara-saudaranya. 

Berhubung Reni mau pulang, kami pun sepakat menginap di hotel yang kali pertama didatengin tadi. Terpaksa balik lagi dengan pembagian tugas, saya dengan Ariel booking kamar, sedangkan Reni dan Mas Widi beli tiket KA Lodaya. Lokasi meet up pun disepakati di Mall Malioboro. 


Tempat penginapan yang boleh kami rekomendasikan.
Khresna Guest House, nama penginapan kami. Berlokasi di Jalan Pasar Kembang nomor 29, Yogyakarta alias pinggir jalan persis, depan St Tugu. Dari hasil tanya-tanya dengan petugas resepsionis, Khresna Guest House punya 14 kamar dengan dua tipe. Rinciannya, sembilan tipe Standard Double Room (Rp 160 ribu) dan lima Superior Double and Twin Room (Rp 250 ribu). Berhubung tipe Standard sudah habis, kami terpaksa memilih tipe Superior. Itu pun tinggal tersisa satu kamar. Kami mendapat kamar nomor lima di lantai dua. Btw, kalau nggak bawa duit tunai, ada mesin EDC BCA kok.
Info lebih lengkapnya, monggo...

Meski ada di Jalan Pasar Kembang, tenang penginapan ini aman kok. Aman dalam arti sebenarnya ya. Meski nggak begitu luas, tapi kamarnya nyaman dan homie banget. Persis dengan tagline yang disematkan feel at home.

Setelah meletakkan tas, kami lekas menuju Malioboro Mall. Suasana malam itu makin ramai. Banyak anak muda, orangtua yang menikmati malam di Malioboro dengan foto-foto, belanja-belanji. Agak lama menunggu dua orang tua eh orang dua itu. Hehehe. Dan setelah berkumpul, maka melintaslah sepeda motor kami, membelah jalanan Malioboro. 

Tujuan pertama kami, pedagang helm. Kebetulan si Ariel nggak bawa helm cadangan. Demi menghindari tilangan, akhirnya saya memutuskan untuk beli helm. Lumayan dapat Rp 75 ribu, helm CTR warna biru. 

Setelah mendapat helm, makan jadi agenda selanjutnya. Perut minta diisi, apalagi seharian itu saya belum makan makanan berat. Sekadar ngemil dan minum susu. Saya pun mengusulkan makan Bakmi Jawa khas Yogya. Ketemulah dengan warung kaki lima yang punya menu bakmi Jawa di dekat SMP 6 dan STM 2 Yogya. Kami pun memesan tiga Bakmi Jawa dan satu nasi goreng untuk Reni. 

Agak lama kami menunggu pesanan. Apalagi kawasan itu tengah mati listrik. Alhasil, kami menunggu sambil menikmati keremangan cahaya senter. Hahaha.

Bau harum pun memenuhi indra penciuman saya. Aroma gurih dari bumbu masak yang digunakan, kuah kaldu yang disiramkan, lantas mi dan aneka sayuran yang diolah bersama, membuat lidah ingin lekas mencicipi. Begitu seporsi Bakmi Jawa itu datang, wuuhhh, tangan sama lidah nggak sabar buat mencicip. Porsinya banyak banget. Saat dicicip, ada sensasi gurih yang terjejak di mulut. Nggak terlalu gurih banget sesuai sama bayangan saya sih. But overall, enak dan mantap. Kerennya lagi, saya nggak minta bantuan buat menghabiskan! 

Setelah makan, kami melanjutkan jalan-jalan. Niat semula adalah nongkrong di kawasan Tugu. Tapi melihat ramainya yang pada nongkrong dan foto-foto di situ, kami memilih mlipir dan 'berpindah' ke angkringan. Berhubung Reni minta nongkrong di tempat yang bisa buat foto-foto, maka Mas Widi dan Ariel ngajak kami merapat kawasan angkringan Kali Code.

"Eh ada kopi joss. Pahit nggak, Mas?" tanya saya sama Mas Widi.

"Ya pesen pake gula lah," jawab dia. 


Kopi Joss. Tapi yang disajikan
nggak sebanyak ini kok. Foto diambil
dari kuliner.panduanwisata.id
Maka, sama dengan Mas Widi, saya pesan kopi joss, yaitu minuman kopi dengan tambahan arang. Sementara Reni pesan susu Milo dan Ariel, Cooffemix. Tambahan dua porsi pisang bakar cokelat keju. 

Setelah pesanan kopi datang, saya langsung meniup dan menyeruput pelan-pelan kopi itu. Slurppp... Kok nggak asing sama rasanya ya? Mikir sebentar tapi udah langsung dikomentarin sama Mas Widi. "Ini mah kopi instan terus ditambahin arang, Mbak... Kalau yang depan Stasiun Tugu itu benar-benar pakai kopi hitam, porsinya juga banyak, dan dijamin melek sampai pagi." Ohh pantes, rasanya nggak asing di lidah.
Angkringan di kawasan Kali Code. Foto diambil di
santapjogja.com

Di kompleks angkringan tersebut, para pengamen silih berganti. Pun dengan kami yang bergonta-ganti topik obrolan hingga tak terasa jarum jam nyaris menuju angka 11. Reni sudah beberapa kali menguap, Ariel yang harus pulang ke rumah di Klaten dan butuh waktu 45 menit sampai sana, dan Mas Widi yang bakal dicariin Ibuk kalau pulang kemalaman. Akhirnya, kami menyudahi jalan-jalan malam ini, demi perjalanan esok pagi. 

Selesai lah malam Mingguan di Yogya kali ini. Saya pun happy.

Btw, lagu yang jadi soundtrack trip kali ini adalah: Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa-nya Frau. Iya, saya lagi jatuh cinta dengan denting piano dan suara perempuan yang bernama lengkap Leilani Hermiasih. Suaranya itu unik. Pun dengan lirik lagunya yang nggak biasa dan membuat saya bertekuk lutut. Ditambah dengan suaranya Mas Ugoran Prasad. Wuuhhh, mantaaaaapppp jaya, luar biasa. Apalagi, pas banget Mbak Lani asli Yogya dan sempat menempuh kuliah di jurusan Antropologi, UGM. Saya pun lantas membayangkan, jangan-jangan angkringan di Kali Code ini kerap disambangi sama Mbak Lani ya. Who knows! (bersambung)

Senin, 16 November 2015

Cerpen Anak: Hadiah Terindah Wita

ILUSTRASI KADO. SUMBER: CLIPARTPANDA.COM

Selamat Malam,  
Ini adalah kali ke dua saya ngepost cerpen anak yes. Selain menepati kekonsistenan (halah), setiap hari Senin, menerbitkan cerpen, juga belum ada tulisan atau catatan perjalanan lain yang perlu dibagikan. Hehehe


Sekilas soal cerpen ini. Honestly, saya mendapatkan nama Bang Todi dari sebuah drama radio. Jadi begini, sekitar tahun 2006 (kalau nggak salah), sebuah radio swasta yang siar di Solo selalu menyiarkan drama saat bulan Ramadan. Tayangnya tiga kali sehari, setelah Ashar, jam 11 malam, dan saat sahur alias re-run



Kalau kalian pikir dramanya itu drama kolosal, dengan cerita masa lampau, zaman kerajaan-kerajaan gitu, salah besar. Ceritanya kekinian booo, dengan efek-efek suara dan soundtrack lagu yang hits pula. Seperti Muse-Starlight, Fix You-nya Coldplay, dan dua lagu ini favorit saya sampai sekarang. 


Sebagai fans berat radio itu, saya hampir nggak pernah melewatkan siaran dramanya. Alhasil, saban sore, ba'da Ashar, saya sudah stand by, ngerasin volume radio, demi drama ini. Tentu sambil nyapu. Kalau pun ketinggalan, bela-belain begadang deh


Nah, si Todi ini adalah pemeran utama dalam drama radio tersebut. Ia dicitrakan sebagai pria yang matang, baik, penyayang, dan humble banget. Terinspirasi dari Bang Todi yang keren itulah, saya menggunakannya dalam tokoh cerpen anak kali ini. Nggak beda jauh sama Bang Todi yang di drama radio, Bang Todi yang di cerpen ini juga sayanggggg banget sama adiknya. 



Sudah ya. Selamat membaca...


=====================================================================


WITA sangat kesal dengan ulah Bang Todi hari ini. Kenapa? Karena sang kakak baru saja menabrakkan sepeda kesayangan Wita ke pagar. 


Jelas saja Wita marah. Seharian ia ngambek. Meski warnanya sudah pudar, namun sepedanya tetap menjadi kesayangan. Lantaran sepeda itu dibeli kakek Wita sebagai hadiah ulang tahun. 


Ceritanya ini Wita lagi marah.
Sumber: CLIPARTPANDA.COM
"Abang tahu kan, sepeda itu diberikan kakek khusus untuk Wita?" ucap Wita kesal pada kakaknya.

"Ya, Dek.. Abang tahu.. Makanya Abang minta maaf. Sumpah Dek, Abang nggak sengaja. Besok Abang ganti deh," rayu Bang Tody.


"Nggak mau! Wita maunya sepeda itu!" Wita terpaksa berteriak saking kesalnya.


"Ya deh, Abang beliin sepeda yang mirip sama sepeda itu."


"Nggak mau! Pokoknya Wita cuma mau sepeda itu. Nggak mau yang lain!"


"Kan sepedanya udah rusak berat Dek, kalaupun mau dibenerin susah jalan lagi..."


"Salah Abang dong, kenapa sampai ngerusakin. Pokoknya Wita nggak mau tahu. Harus sepeda itu!"


Bunda pun datang melerai. "Eh, eh, ada masalah apa nih? Kok ada yang teriak-teriak sampai kedengeran di bawah?" tanya Bunda.


"Bun, Abang.. Sepeda Wita ditabrakin ke pagar. Bunda tahu kan sepeda itu dari kakek buat hadiah ulang tahun Wita..."


Bunda langsung berpaling. "Bener, Bang?" 


Todi mengangguk lemah. "Tapi Adek juga keterlaluan, Bun. Masak Abang udah minta maaf, nggak mau dimaafin juga," sela Todi. 


"Pokoknya Wita mau sepeda itu saja. Nggak mau yang lain!" bentak Wita. 


"Adek.. Udah, udah. Ok, nanti kita cari solusinya, gimana caranya memperbaiki sepeda itu. Kalau tidak bisa baru beli lagi. Ok? Dicoba dulu saja..." Mendengar saran itu, kedua murid SD Harapan Bangsa ini mengangguk pelan. 


(***)


Todi berusaha mati-matian memperbaiki sepeda itu. Tapi tetap saja tidak bisa karena kondisi sepeda yang cukup parah. Bagian roda bengkok dan rem blong. 


Todi pun putus asa. Ia menemui bunda dan melaporkan hasilnya. Wita harus dibelikan sepeda baru. Bahkan Todi bersedia mengeluarkan tabungannya untuk membeli sepeda baru.


Bunda pun terharu dan menuruti keinginan putra sulungnya. Sementara Todi memecah celengan dan menghitung, ibu bersiap-siap pergi. Sedangkan Wita masih berada di rumah temannya, belajar kelompok.

Si Abang Todi yg baik banget.
SUMBER: cipartheaven

"510, 520, 530, 550. Hore, tabunganku Rp 550 ribu. Cukup untuk beli sepeda apa ya?" kata Todi girang. "Bun, tabungan Abang ada Rp 550 ribu.." teriak Todi pada Bunda yang sudah menunggunya di teras. 


Mereka bergegas ke toko sepeda. Ada banyak sepeda dengan berbagai macam warna, corak, dan bentuk. Todi terheran-heran. Ia berkeliling toko dan menemukan sepeda yang mirip dengan sepeda Wita. Hanya warnanya saja yang berbeda. Biru tua. 


"Pak, sepeda itu yang warna merah masih ada tidakk?" tanya Todi pada pelayan toko.


"Wah, sudah tidak ada lho.. Yang itu saja tinggal satu-satunya," terangnya. 


Karena sudah tidak ada lagi yang cocok, maka Todi membeli sepeda biru tadi. Setelah dicek, uang Todi kurang Rp 250 ribu. Lantaran sepeda itu seharga Rp 800 ribu. 


Todi kecewa dan memalingkan muka pada Bunda. Bunda yang seakan mengerti, mendekati Todi dan mengeluarkan dompetnya. "Sudah, Todi simpan saja uangnya. Biar sepeda ini, Bunda yang membelikannya," ucap Bunda.


"Tapi, Bun..."


"Sudah.... Simpan saja tabungannya," sergah Bunda. Todi pun terpaksa memasukkan kembali uangnya.


(***)


Sesampai di rumah, Todi langsung memberikan sepeda ini pada Wita. Terang saja, Wita teriak-teriak karena sepeda baru tidak sama dengan sepeda lamanya. 


Kali ini Wita benar-benar ngambek. Ia tidak mau menyapa abangnya, bunda, dan ayahnya. Ia hanya diam saja. Raut wajahnya juga muram. 


Suatu hari, Todi menggeledah isi tas Wita. Ia menemukan selembar kertas bertuliskan kontes sepeda hias. Terpikirlah satu ide cemerlang. 


Todi merombak habis-habisan sepeda Wita. Dihias dengan kertas creep, batik, dan lainnya. Benar-benar cantik. 


Todi mengerjakan sendiri di gudang. Sepulang sekolah ia langsung ke gudang. Pasalnya, Todi hanya punya waktu tiga hari untuk menghias sepeda. 


Sementara itu, Wita semakin kecut saja. Apalagi, hari ini dilaksanakan kontes sepeda hias. Wita jelas tidak mungkin ikut karena ia tidak menyukai sepedanya. Namun...

Ini hadiah sepeda buat Wita. Sumber: clipartpanda.com

"Tara.... Adek.....," panggil Todi. Wita hanya menengok. Matanya terbelalak. Kaget. 

Sepeda barunya berubah total lebih cantik dengan hiasan batik, kertas creep, dan lainnya. 

"Ini Abang yang bikin?"


"Iya, gimana? Bagus nggak?"


Wita hanya mengangguk dan tersenyum senang.


(***)


"Pemenang kontes sepeda hias kali ini, Wita dari kelas lima," kata Bu Astuti, wali kelas lima SD Putera Harapan. 


Wita kegirangan. "Hore...............," teriaknya.


Todi melihatnya dari kejauhan. Kerja kerasnya membuahkan hasil juara. Tak hanya itu saja, Todi sudah berbaikan dengan Wita. Adik perempuan satu-satunya yang ia sayangi. (*)




Purwokerto, 15 Oktober 2011

Senin, 09 November 2015

Kumpulan Cerpen

HALLO, selamat malam. 
Satu naskah cerpen yang pernah dimuat di koran sebelah, 2011.
Thanks utk gambarnya Mas Suro Adi

Ini adalah kali pertama nulis di bulan November setelah off beberapa hari. Apalagi alasannya karena pekerjaan. Padahal pekerjaannya kan nulis ya? Emm, tauk ah. 

Jadi begini, Minggu (8/11) kemarin itu saya lagi happy banget. Bukan, bukan karena menang lomba atau dapat hadiah. Seharian itu saya belanja perkakas rumah tangga macam sapu, pengki, kotak tisu buat di meja kerja, termasuk dua frypan yang cuma dibanderol Rp 40 ribu. Pulangnya, panen mangga depan rumah sama Kak RosHahaha. Iya, sesimple itu ke-happy-an saya. 

Tapi memang ada yang lebih bikin happy kok. Saya menemukan beberapa karya, cerita pendek anak yang dulu muat di koran sebelah alias media tempat saya pertama kali bekerja.

Jadi dulu itu, ada semacam tugas 'khusus' yang disematkan pada saya setiap minggu: menulis cerita pendek anak-anak.

Awalnya, tulisan saya masih panjanggg bangettt dan langsung ditolak sama editornya. Nyoba lagi yang kedua, masih juga nggak dimuat. Saya coba lagi, coba terus, sampai nggak tahu berapa bulan kemudian, akhirnya cerpen saya diterima editor. Sejak saat itulah, setiap seminggu sekali, saya menulis cerpen anak-anak sampai akhirnya keluar dari media tersebut. 

Dulu, sebelum resign, saya berencana mengumpulkan beberapa cerpen yang sudah pernah diterbitkan. Tapi apa daya, saking sibuknya nyari dan nulis berita, sampai nggak punya waktu buat beberes file. Padahal kalau dikumpulkan mungkin ada 30-an judul kali ya. Lumayan kalau dijadikan kumpulan cerpen. Hehehe. Sempat juga minta tolong dengan teman lain yang masih stay di kantor itu tapi sampai sekarang belum dicariin juga. Ya  sudahlah, mungkin bukan rizki saya.  

Nah, ndilalahe, ada teman yang tetiba ngechat. Terus saya pun iseng buka beberapa percakapan kami terdahulu. Dan ternyata, ada puluhan cerita pendek yang pernah saya kirimkan pada teman saya itu... Wuaaahhh, happyyyy banget. Kayak nemuin harta karun! Iya, bagi saya, cerpen-cerpen itu adalah harta karun yang hilang. Setidaknya, saya pernah punya karya dan karya itu dibaca oleh anak-anak di Banyumas Raya sekitarnya. Juga kelak, akan dibaca pasangan dan anak-anak saya. 

Bisa dibilang, tulisan atau tema dalam cerpen saya itu, terlalu mainstream alias biasa banget. Nggak kayak penulis cerpen anak lainnya yang wuuuhhh, jempol. Idenya luar biasa. Biasanya ya tentang baik, buruk, jahat, bohong, jujur, marah, sabar, dan lainnya. Kalau ditanya idenya dari mana, ya dari mana saja. Seringnya dari beberapa pengalaman yang pernah saya alami waktu kecil, termasuk waktu saya hilang di acara Sekaten pas kelas 5 SD. Juga dari buku atau cerita-cerita yang pernah saya baca. 

Kalau pas nulis, biasanya malam jelang dinihari, setelah pulang kantor. Maklum, insomnia saya, parah banget. Dlosoran di kasur, sambil dengerin lagu-lagunya Owl City, lalu ngetik pake BB Gemini. Bagi saya, itu mood booster banget. Bahkan, saya pernah bikin status di fesbuk: "Gara-gara insomnia, Adam Young als Owl City bisa punya lagu-lagu bagus. Kalau saya, cerpen anak saja deh." Iya, zaman itu, saya emang lagi kesengsem sama Mas Adam. Sampai sekarang sih.

Ok, sampailah pada akhir bagian sekapur sirih ini. Maap, terlalu panjang, hehehe. Saya akan men-share cerpen-cerpen waktu di media sebelah, sepekan sekali, setiap hari Senin. Siapa tahu jadi inspirasi buat dongengin anak, ponakan, atau temen yang susah tidur. Oke, selamat mencoba dan semoga wawasannya bertambah. Bye.


NB: Maap bila ada kesamaan nama dan tokoh. Serius, ini nggak disengaja. :)
==================================================================
Sungai Jovindra


ILUSTRASI SUNGAI. SUMBER: PINTEREST
Oleh : Sri Juliati


PADA zaman dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang baik hati. Mereka memerintah kerajaan Nusanta dengan bijaksana. Raja Jalandra dan Ratu Jisca namanya. Selain dikenal bijaksana, mereka dikenal sebagai pemimpin yang ramah dan baik hati. Bahkan mereka tidak segan-segan turun langsung menemui rakyatnya untuk melihat kehidupan mereka secara langsung.

Raja dan ratu memiliki dua orang anak lelaki, yang bernama Judika dan Jovindra. Meski kakak adik, namun tabiat mereka tidak sama. Judika dikenal sebagai kakak yang berperangai kasar. Selain galak, ia juga sering marah-marah. Berbeda dengan adiknya yang berperilaku baik. Oleh sebab itu, rakyat di kerajaan Nusanta lebih menyukai sang adik dibanding sang kakak.

***

Suatu hari, mereka berdua berjalan-jalan di sekitar kerajaan untuk mencari angin segar. Di jalan, mereka dielu-elukan rakyat. Terutama Jovindra. 

Setiba di pasar, timbullah niat jahat Judika. Ketika berjalan di dekat penjual buah, ia menyambar satu buah apel dan cepat-cepat dimasukkan di saku tas Jovindra. Ia pun lantas berteriak pada pedagang buah. 

"Hei kau, pedagang buah. Apakah kamu tidak melihat ada yang berkurang dalam keranjang buahmu ini?"

Mendengar teriakan Judika, Jovindra lantas berhenti. Orang-orang pun juga melihat ke arah mereka berdua.

"E...e... Sepertinya tidak, Pangeran," jawab pedagang buah tersebut.

"Coba kau cek lagi. Aku yakin pasti ada yang kurang. Sebab, aku melihat ada orang yang mengambil satu apelmu," kata Judika sambil tersenyum licik. 
ILUSTRASI APEL. SUMBER: FOTONET

Pedagang pun lantas memeriksa seluruh apel yang berada di keranjangnya. Benar saja, ada satu apel yang hilang. 

Judika lantas menyuruh orang-orang di sekitarnya mengeluarkan isi dalam tas mereka. Tak terkecuali Jovindra. Ketika ia merogoh tasnya, ia menemukan ada benda yang menonjol dalam tasnya. Ketika dikeluarkan, ternyata apel milik pedagang tadi.

Jovindra kaget bukan kepalang. Merasa tidak mengambil, ia lantas membela diri. "Sungguh, aku tidak tahu kenapa apel ini bisa berada di tasku," kata Jovindra. Bukannya membantu, Judika malah menuduh Jovindra mengambil apel itu. 

"Bagaimana bisa adikku, bukankah apel tidak punya kaki? Masak ia bisa jalan sendiri ke tasmu. Sudahlah adikku, kau mengaku saja, memang kau yang mengambil apel itu. Bahkan aku lihat tadi dengan jelas, tanganmu memang mengambil apel itu."

"Kakak, setega itukah kakak menuduhku. Aku berani bersumpah, bukan aku yang mengambil," teriak Jovindra. Namun, sia-sia saja Jovindra menjelaskan. Orang-orang yang berada di pasar tersebut telanjur mempercayai perkataan Judika.

***

Berita tentang Jovindra yang mencuri telah sampai ke telinga Raja Jalandra. Betapa malunya Raja Jalandra kala itu. Begitu pula dengan Ratu Jisca. Ia sangat terpukul sekali. Padahal selama ini, Jovindra dikenal sebagai anak yang baik.

Malam hari, ia mengumpulkan seluruh anggota kerajaan. Tak terkecuali kedua putranya.

"Sungguh, Ayah sangat malu dengan kelakuanmu, Jov. Ayah mengira kamu anak yang baik. Tapi kenapa kamu seperti itu di belakang Ayah. Apa kamu pernah diajari mencuri oleh Ayah?"

"Ayah, jujur... Bukan Jov yang mencuri. Sumpah Ayah, Jov sama sekali tidak mengetahui kenapa apel itu bisa berada dalam tas Jov. Ayah, percaya Jov...," kata Jovindra sambil menangis.

"Tapi Ayah, Judika benar-benar melihat tangan Jov mengambil apel itu. Dia berjalan persis di sebelah dengan keranjang apel itu. Makanya dengan gampang, ia menyambar apel itu dan cepat-cepat memasukkan dalam tasnya," ucap Judika.

"Kakak bohong!! Kak, apa yang kakak pikirkan? Kenapa kakak setega ini menuduhku? Apa yang kakak mau dari aku?"

"Ayah selalu mengajari kami untuk jujur. Walaupun jujur itu menyakitkan, namun Ayah percayalah. Apa yang Judika bilang adalah benar. Meski Jov adalah adik Judika, namun Judika tidak akan menutup-nutupi kesalahan Jov."

"Kakak!! Ayah, ibu.. Demi Tuhan, Jov tidak melakukan perbuatan itu. Ini hanya karangan kakak saja. Percayalah pada Jov..." ratap Jovindra sambil memohon ampunan dari kedua orangtuanya.

Jauh di lubuk hati, raja dan ratu sebenarnya juga tidak mempercayai apa yang dikatakan Judika. Namun, kenyataannya apel ada di tas Jovindra. Sementara mereka tengah kebingungan, Judika dan Jovindra malah bertengkar. Hingga, Raja Jalandra naik pitam. 

"Judika! Jov! Sudah diam!! Jov, perilakumu benar-benar keterlaluan. Apa yang Ayah katakan pada rakyat, ternyata anak Ayah adalah seorang pencuri. Ayah malu! Mulai sekarang, Jov bukan anak Ayah lagi. Keluar dari istana sekarang. Ayah tidak sudi punya anak seorang pencuri! Keluar dari istana sekarang juga!!" usir Raja Jalandra. 

Mendengar itu ucapan Raja Jalandra, semua orang kaget. Tak menyangka raja akan mengusir Jovindra. Ratu yang mendengar itu semakin menangis menjadi-jadi. 

"Ayah....," ucap Jovindra lirih, tak menyangka ia akan diusir ayahnya.

"Keluar sekarang juga dari istana. Ayah tak sudi melihatmu lagi!"

Ucapan raja Jalandra ini disambut dengan gelegar petir dan hujan yang turun dengan deras.

ILUSTRASI HUJAN. SUMBER: CLIPARTPANDA
Apa boleh buat, Jovindra terpaksa menuruti perkataan sang ayah. Dengan gontai, ia keluar dari istana dan menuju ke sebuah sungai yang berada di belakang kerajaan. Sungai itu cukup deras alirannya. Sementara Judika tersenyum simpul melihat kemenangannya. 

"Ayah, jika ayah tak bisa mempercayai apa yang Jov ucapkan, silakan. Namun, alam akan membuktikan bahwa Jov sama sekali tidak bersalah. Jov akan menceburkan diri ke dalam sungai ini. Jika, setelah menceburkan diri banyak ikan yang memakan tubuh Jov, berarti Jov tidak bersalah. Namun, jika tidak ada ikan, Jov memang pantas dihukum!" teriak Jov di tengah derasnya hujan.

Sebelum sempat mencegah keinginan Jov, Jov lantas menceburkan tubuhnya ke dalam sungai. BYUR!!!! Benar saja, banyak ikan yang mengerubungi dan memakan tubuh Jov yang sudah mati. Orang-orang yang melihat peristiwa tersebut, terperangah kaget. Benar apa yang dikatakan Jov, bahwa ia tidak mencuri. Raja pun menyesali keputusannya telah menuduh putra tercintanya tanpa bukti. Sejak itulah, penduduk kerajaan Nusanta memberi nama sungai itu Sungai Jovindra. (*)

Purwokerto, 4 Maret 2011 pukul 00.49 WIB