Minggu, 03 Juli 2016

Dibuang Sayang 3

Dengan pose seperti ini, udah cocok punya lagu belum? 

Temu Konco
Jumat (6/5) pagi, di Ranu Kumbolo. Seperti yang sudah diceritakan pada tulisan sebelumnya, apa saja aktivitas yang kami lakukan pagi itu. Mas Akhmad masak, saya bantuin motong kobis, lainnya jemur peralatan yang keujanan dan foto-foto. 

Setelah merampungkan urusan motong-motong itu, saya santai sejenak sambil melihat sekeliling. But wait, kok nggak asing sama orang yang berjarak lima meter di depan saya ini. Saya perhatikan lagi kemeja dan kausnya, lantas berseru: "Brian!"  

Yang diteriaki pun mencari arah suara dan, "Heiii... akhirnya ketemu juga," sambil mendekat ke arah saya dan mengulurkan tangan. 

"Ren... Brian nih... Mana yang lain, Yan? Mas Jaka?" 

"Ada tuh di sana, lagi foto-foto. Bentar ya aku panggil." 

Tak lama, keduanya muncul, salaman, lanjut heboh sendiri karena suprise di antara ribuan pendaki itu akhirnya ketemu sama mereka. Kehebohan inilah yang langsung ditirukan oleh teman-teman lainnya. Yeee...

Di antara ribuan pendaki. 

Jaka dan Brian, siapa lagi mereka?

Let me introduce. Mereka berdua adalah teman perjalanan saat ke Banyuwangi. Nggak beneran seperjalanan sih karena kenalan sama mereka pun pas udah pulang, sampai di St Lempuyangan, Yk. 

Oke, begini lengkapnya. Libur Isra' Mi'raj dan Natal 2015, pasukan bela perasaan, saya, Reni, Nur, dan Kak Ros main ke Banyuwangi start dr St Lempuyangan. Di sana, kami tahu ada rombongan lain yang sepertinya satu tujuan. Ternyata bener. Sama-sama ke Banyuwangi, sama-sama turun di St Karangasem, dan sama-sama nginep di daerah tersebut.

Pasukan Bela Perasaan di Stasiun Lempuyangan. 
Keesokan hari pas mau berangkat ke TN Baluran, ketemulah satu di antara rombongan tersebut. Pun ketika main di TN Baluran dan Gunung Ijen. Sayangnya, tak ada tegur sapa di antara kami. Hanya saling senyum dan menunduk malu-malu. 

Baru ada obrolan saat papasan di depan St Karangasem, saat hendak pulang. "Ehh, masnya lagi. Bareng lagi... Di gerbong berapa, Mas?" tanya kami waktu itu. 

"Di gerbong tiga, Mbak. Eh nanti bagi nomor ya," jawab mereka. 

Terus Jaka dan Brian? Mereka dua di antara rombongan ini yang turun di St Lempuyangan. Adalah Kak Ros yang ketemu sama mereka dan tukeran PIN BB. Saat itu Reni lagi di kamar mandi, sedangkan saya dan Nur ke ATM, bobol tabungan buat pulang ke Purwokerto.

Dari tuker PIN itulah, kami akhirnya saling tersambung dan diketahui keduanya berasal dari Prambanan. It means, satu kabupaten sama saya, Klaten. Yeaaayyyy... Akhirnya punya temen sedaerah yang sehobi, hahaha

Kak Ros dan Yeti adalah yang kali pertama bertemu dengan mereka setelah perjalanan ke Banyuwangi itu. Seminggu kemudian, mereka main ke rumah pas saya mudik. Terus karena satu tujuan mau ke Semeru, janjian bakal ketemu di Ranu Kumbolo deh

Refleksi. Foto by Brian

Setelah saling sapa antar-rombongan, Jaka dan Brian mengajak saya dan Reni untuk jalan-jalan sebentar ke area Ranu Kumbolo. Kami pun melihat Ranu Kumbolo dari sudut lainnya dan sama-sama indah. (*)



Dibuang Sayang

Gunung Semeru dari Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Lumajang.

BANYAK kisah, cerita yang belum sempat dituliskan di Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa bagian 1 sampai 5. Bukan apa-apa. Ini soal keterbatasan tempat dan keleluasaan menggunakan pilihan kata. 

Padahal, cerita-cerita di bawah ini sama serunya, sama menariknya seperti tulisan sebelumnya. Sebab ada buanyak buanget hal tak terduga selama perjalanan tersebut. 

Gaya penulisan kali ini juga berbeda dengan tulisan sebelumnya. Kali ini lebih santai, banyak menggunakan kosakata verbal, walau tetap acuh pada pedoman EYD. Mari disimak...

1. Gedubrukan
Itu satu kata yang pas menggambarkan semua kejadian jelang keberangkatan, Rabu (4/5). Ada banyak alasan. Pertama, saya belum packing. Kedua, masih ada agenda refund tiket KA dan beliin tiket KA buat Ariyadi, teman dari SMA yang juga ikut pendakian kali ini. Of course, setelah merayu dia habis-habisan. 

Ketiga, masih ada beberapa kebutuhan yang harus dibeli. Keempat, belum beli tiket bus untuk ke Yogya. Dan semua sudah harus selesai sebelum pukul 13.00 WIB. 

Puncaknya, Mbak Mei M, anggota lain yang datang dari Brebes, ngasih tahu Reni kalau dia baru sampai Cilongok, Banyumas saat jarum jam menuju angka 12.50 WIB. Padahal jarak antara Cilongok-Terminal Purwokerto sekitar 30 menit, dengan catatan nggak macet dan bus yang membawa Mbak Mei bisa nyalip kendaraan lain. 

Sempat mecucu? Iya, karena dari awal Mbak Mei dikasih tahu untuk berangkat gasik supaya ada selisih waktu, biar nggak kedandapan alias kemrungsung

Sampai di Terminal Bulupitu, Purwokerto sudah ada Dedek Elvis dan Mas Anas dan kompak bilang, bus yang akan membawa kami ternyata udah berangkat. Wootttt? Barusan, kata mereka. Kami terlambat. 

Mencoba menjelaskan keadaan, akhirnya kami akan diikutkan pada jam keberangkatan berikutnya alias jam 2. Jeda sebentar, Mbak Mei datang. Alhamdulillah. Sementara Mas Supri, nunggu di Banyumas. 

Yang ditunggu akhirnya datang juga. Mbak Mei, kiri nomor dua. 

Di bus saya berhitung. Bus berangkat jam 2. Perjalanan Purwokerto-Yogya butuh waktu sekitar 5-6 jam, dengan catatan nggak macet. Artinya sekitar jam 7-8, kami baru sampai. Syukur kalau jam 7 udah sampe. Soalnya dari pool bus di Gamping, masih butuh waktu sekitar 30 sampai ke Stasiun Tugu. Once again, nggak macet. Sementara tiket KA jam 20.45 WIB. Kalau sampainya jam 8? Memikirkan itu, kepala saya pusing. Mending tidur. 

Bus sempat berhenti di Kutowinangun, Kebumen, sekitar pukul 16.50. Nyaris jam 5 dan saya berpandangan sama Mas Supri. Sementara masih harus melintasi Purworejo, masuk ke Kulon Progo dan Sleman. Nyampe nggak ya? Sementara di luar jendela, hujan deras mengguyur.

Bus Efisiensi yang kami gunakan sore itu.
Sekitar jam 7, bus sudah masuk di Yogya. Jalanan lumayan sepi, bus bisa melaju cepat, dan sesekali menyalip. Saya berseru, "Alhamdulillah," sambil tetep harap-harap cemas. Dan, pukul 19.35 WIB, bus sampai di pool di kawasan Gamping, Yk. Bagi mereka yang lanjut ke kota dan bandara, diperkenankan menggunakan layanan shuttle

Apesnya kami, shuttle tersebut belum terparkir dan kami harus menunggu. Sementara di grup chat BBM, sesama anggota saling bertanya, "Tim Purwokerto, sudah sampai mana?" "Yogya macet lho?" "Nyandak nggak sampai stasiun?" dan pertanyaan lain yang bikin saya tambah keder. Ditambah dari pihak bus bilang, "Shuttle-nya kayaknya masih ketahan di kota Mbak, macet." 

Rasane, malam itu pengin mbengok: Uaaasss........ eeemmmm.

Berusaha untuk nggak panik, saya optimistis shuttle bakal datang tepat waktu dan nyusun rencana sama Mas Supri. Kalau sampai jam 8, shuttle nggak dateng, kami ngojek atau sewa kendaraan lain. Pukul 19.45 WIB. Sejam lagi kereta yang akan membawa kami, segera berangkat. 

Di tengah deal-dealan harga dengan semacam rental mobil, shuttle dengan dominasi warna orange masuk garasi. Begitu berhenti, kami langsung berebut tempat duduk, taruh tas, dan duduk sambil bilang ke pak sopir, "Pak, keretanya kami jam tengah 9, jadi langsung berangkat nggih." Dan ternyata, pak sopirnya malah ngobrol di depan pintu, sedangkan kami deg-degan parah. 

Puji syukur harus kami sampaikan pada Tuhan kala itu. Jalanan nggak macet, booo... Jadi kami sampai di Stasiun Tugu jam 20.15 WIB. Alhamdulillah

Dan, surprise!!! Pak Nur Faizin, teman kerja Mas Supri, yang awalnya mau ikut naik tapi gagal karena ada acara keluarga, duduk di tepi tangga pintu masuk selatan Stasiun Tugu, menyambut kami, sambil membawakan dua bungkus yang saya lirik itu adalah Teh Kotak. Salaman, ngobrol bentar, lantas pamitan. Rizkinya nggak cuma sampai situ: dikasih uang saku. Alhamdulillah, panjang umur dan sehat selalu nggih, Pak... 

Udah gedubrukan-nya nyampe situ aja? Ini puncaknya. 

Jadi begini, sementara teman-teman yang lain masuk, nyari gerbong dan tempat duduk, saya dan Mas Supri playon ke pintu timur St Tugu untuk jemput Ariel dan Irkhas K yang nunggu di sana. Tiketnya Ariel ada pada saya. 

Tanpa melihat, saya berikan selembar tiket pada Mas Supri yang nerobos pintu check in untuk menjemput Ariel. Saya bergegas ke ATM, mbobol tabungan sambil berharap Mas Supri tahu keberadaan saya. 

Keluar dari ATM, balik ke pintu check in ternyata Ariel masih tertahan karena tiket yang saya berikan salah. Wott!! Lekas cek tas, ternyata saya salah ambil tiket. Itu tiketnya Mas Anas yang nanti saya gunakan untuk nyari tempat duduk. Sementara tiket lainnya, saya berikan pada Reni. 

Setelah Ariel berhasil masuk, kami jalan cepat menuju kereta dan cari gerbong masing-masing. Saya di gerbong dua, Ariel gerbong 3. Setelah masuk kereta dan bertemu teman-teman lain yang sedang menata tas, saya nggak menjumpai Mas Supri. Lah ini orang kemana? Keretanya bentar lagi berangkattttt...

KA Malioboro Ekspress
Langsung cek HP dan waktu yang bersamaan ada panggilan masuk: Mas Supri. "Mbak, dimana? Aku butuh tiketku tadi ditanyain petugas?" katanya sambil tengak-tengok dari luar gerbong, terlihat mencari sesuatu.  

"Udah di dalem mas, di gerbong dua," jawab saya. Klik. Telepon terputus dan tak lama Mas Supri muncul. "Owalahhhh... tak cariin dari gerbong paling belakang, sampai tanya ke petugas mana gerbong ekonomi, ternyata udah pada di sini," katanya.

Kami berpandangan dan kompak tertawa ngakak. Mengingat serangkaian rusuh-rusuh di Terminal Bulupitu, di pool Gamping, dan terakhir di St Tugu. Harus pakai mecucu dulu, ngebut naik motor, playon, deg-degan di jalan, jalan cepat, salah kasih tiket, dan diakhiri dengan saling mencari. 

Pukul 20.45 WIB, KA Malang Ekspres jurusan Yogyakarta-Malang, berangkat. Ke timur. Sekali lagi. (*)

Sabtu, 02 Juli 2016

Realisasi Waktu dan Dana ke Semeru

Tim Piknik Keong Hore. 

TULISAN ini lebih pada hal teknis seperti aturan apa aja sih yang harus dipatuhi saat di Gunung Semeru? Apa saja yang harus dibawa, selain perlengkapan pribadi. Realisasi waktunya gimana? Dan yang paling penting, butuh budget berapa sih...

Oke, diurai satu per satu ya.

Apa yang harus dipatuhi selama pendakian. Pertama, saat pendaftaran, jangan lupa bawa surat keterangan sehat, fotokopi KTP, dan materai. Yang terakhir disebut, cukup satu lembar per kelompok. Dan ini wajib!

Kedua, untuk menghindari antrean saat pendaftaran, lebih baik lakukan pendakian saat waktu sepi alias nggak musim liburan. Kalau punyanya waktu pas libur panjang ya, risikonya lama pas pendaftaran itu. 

Langit di Basecamp Ranu Pane

Prosedur pendaftaran: Sampai di Lapangan Desa Ranu Pane, Kecamatan Senduro, Lumajang, langsung menuju kantor Resort Ranu Pane atau basecamp yang berjarak sekitar 100-200 meter. Di sana minta form pendaftaran, yang berisi surat pernyataan pendakian dan list barang bawaan yang dibawa.

Setelah itu, antre untuk briefing dengan petugas. Mereka akan menjelaskan prosedur pendakian, jalur mana yang boleh dilewati, hal yang boleh dilakukan atau tidak. 

Pos Oro-oro Ombo
Misal yang boleh dilakukan adalah mencabut Verbena brasiliensis di Pos Oro-Oro Ombo. Sementara yang dilarang, nggak boleh nyuci peralatan masak dan makan, mandi di Ranu Kumbolo. Kalau pun mau sikat gigi, bisa ambil air di Ranu Kumbolo, terus menjauh dari surganya Semeru alias mblusuk buat sikat gigi, cuci muka. 

Selain itu, sebaiknya hindari jalan di malam hari sebab dikhawatirkan ketemu dengan hewan nocturnal khas hutan. Dilarang mendekati area Kawah Jonggring Saloka dan batas bisa seneng-seneng di Puncak pukul 10.00 WIB. Yang paling penting, jangan buang sampah sembarangan!!!

Turu sek, sedelo... 

Setelah briefing, minta cap dan bayar tiket pendakian. Di hari biasanya, dikenai tarif Rp 17.500 per hari, sedangkan hari libur dan weekend, Rp 22 ribu. Sebelum benar-benar mendaki, pengecekan tiket dilakukan di gerbang Selamat Datang Para Pendaki.

Selanjutnya, apa saja yang harus dibawa saat pendakian?

Perlengkapan pribadi: 
- Sleeping Bag (SB)
- Matras
- Headlamp/senter dan baterai cadangan
- Baju sebanyak 3-4 potong. Hindari mengenakan baju/kaus berbahan cotton. Lebih baik pakai kaus yang quick dry, baju bola minimal. Tujuannya sebagai tindakan preventif atas suhu udara Semeru yang dingin beuudd.
- Celana. Jangan pakai celana jins. Beratnya itu lho ga ketulungan plus bisa bikin kram.
- Jaket. Pernah ngrasain udara di bawah 5 derajat? Nah, lebih baik bawa jaket tambahan yes, buat jaga-jaga. 
- Jas hujan. Bawa jas hujan plastik yang harganya Rp 7 ribuan itu, sebanyak dua atau tiga. Antisipasi sama cuaca Semeru. 
- Emergency blanket alias selimut darurat. Wajib bawa per orang. Ada di toko-toko outdoor terdekat. Harga kisaran Rp 30 ribu-Rp 40 ribuan. Warnanya silver, tipis.
- Sepatu. Wajib pake sepatu, apalagi kalau niat muncak. Karena lebih aman dan nyaman. 
- Sandal. Nggak wajib sih cuma kalau mau lepas sepatu, mau lari-larian di area Ranu Kumbolo, masih bisa pakai alas kaki. Kalau mau cekeran kayak saya kemarin juga nggak apa-apa. Lebih asyik. 
- Buff/masker
- Obat pribadi
- Trash bag alias plastik sampah

Hujan-hujanan dari Pos 1 sampai Watu Rejeng

Perlengkapan kelompok: 
- Tenda
- Kompor dan/atau trangia
- Gas dan/atau spiritus
- Nasting dan/atau cooking set
- Obat-obatan, P3K seperti obat merah, sakit perut, panas/paracetamol, kasa, perban, mag, pusing, Hansaplast, koyo, Tolak Angin, Oxygen, dll
- Peralatan makan; sendok, piring, gelas, pisau, 
- Konsumsi alias logistik. Beras, sayuran, lauk, buah, garam, penyedap rasa, minyak/mentega, abon, kering tempe, kering kentang, ikan teri, roti, snack yang asin dan manis, permen, cokelat, madu, kopi, bumbu masak, dll. Penting juga untuk bawa Fitbar, Soyjoy, Snickers, dan sejenisnya. Kecil sih tapi efektif buat ngganjel lapar. 
Jangan bawa mi instan banyak-banyak. Lebih baik 'bersusah' sedikit motongin sayur, bikin sup, ketimbang masak mi. Lebih enak dan bergizi. *gara-garanya nggak dibolehin makan mi sama Mas Akhmad waktu di Kalimati. Katanya, "Apa? Masak mi instan?!" Langsung aja saya, Reni, dan Mas Fahmi yang sejak dari Puncak kepengin banget makan mi langsung mrengut, menekuk muka. "Ya udah masak mi, tapi dicampur sama bihun dan sayur." Nah baru kesampaian makan mi itu waktu di Ranu Pane, ngecamp hari terakhir. 
- Kanebo. Lho buat apa sih? Emang mau ngelap motor? Asal tahu saja, benda ini bermanfaat ketika naik gunung pas musim ujan. Buat ngelap tenda, misalnya.  
- Lilin dan korek. Kali aja ye, mau candle light dinner di Ranu Kumbolo.
- Tali webbing
- Dan lainnya menyesuaikan kebutuhan. Untuk air, cukup bawa buat bekal di jalan aja. Alam Semeru itu baik buangettt kok, udah nyiapin air, kiriman Tuhan.

Terus realisasi waktunya gimana, berangkat pulang jam berapa? Transportasi dari Purwokerto gimana, kan nggak ada kereta yang langsung ke sana ya. Ada sih tapi muahaal buanget. 

Rabu (4/5/2016)
13.30 : Meet up di Terminal Purwokerto.
14.00-19.30: Perjalanan ke Yogyakarta menggunakan Bus Efisiensi.
Bus Efisiensi tingkat dua yg masih jadi pajangan di Pool Kutowinangun
20.00-20.30: Perjalanan ke Stasiun Tugu, Yk menggunakan Shuttle Efisiensi, gratis.
20.45-04.00: Perjalanan ke Stasiun Malang Baru menggunakan KA Malioboro Ekspress.

KA Malioboro Ekspress jurusan Yk-Malang

Kamis (5/5/2016)
04.00 : Sampai di Stasiun Malang, langsung cari angkot menuju Pasar Tumpang. Nggak usah pake acara tawar-menawar, karena tarifnya sama rata. 
04.00-04.30: Perjalanan ke Pasar Tumpang
05.00-05.30: Sampai di Pasar Tumpang, bisa istirahat, salat Subuh
05.45-07.30: Perjalanan ke Desa Ranu Pane, Kecamatan Senduro, Lumajang yang jadi pintu pendakian ke Gunung Semeru menggunakan jeep. Sama, nggak usah ditawar tarifnya. 

Perjalanan menuju Desa Ranu Pane, Lumajang
08.00-10.00: Urus perizinan, Simaksi, briefing, dll
11.00-12.30: Makan, cek peralatan, kebutuhan, persiapan berangkat
13.00-17.15: Let's start. Pendakian dimulai, melintasi empat pos. Dari Basecamp ke Pos 1, jarak lumayan jauh. Pos 1 ke 2 lumayan. Pos 2 ke 3, deket, tapi hati-hati dengan jurang di sisi kiri. Pos 3 ke 4, banyak ketemu tanjakan. 
17.30-18.00: Ngecamp di Ranu Kumbolo, hingga keesokan harinya. 

Ranu Kumbolo, sore itu.

Jumat (6/5/2016)
05.00: Bangun tidur kuterus Subuhan, bikin yang anget-anget
05.30-09.00: Enjoy sunrise, foto-foto, masak sup, sarapan pakai lauk kering tempe, teri, nasi goreng, dan sup. 
Mumbul-mumbul, golek keringet. Akhirnya ketemu Brian dan Jaka, :p
09.00-10.00: Beberes tenda, peralatan masak, dan makan. Persiapan pendakian.
10.15-13.45: Again, let's start. Pendakian dimulai kembali hingga Kalimati. Melewati Tanjakan Cinta, Oro-oro Ombo, Cemoro Kandang makan semangka, padang rumput Jambangan, dan finish

Pos Jambangan, sebelum Kalimati. 

14.00- 14.30: Ngecamp, bikin tenda, cari air di Sumber Mani.
15.00-18.00: Istirahat, salat, makan, briefing, nyicil persiapan ke Mahameru. Setelah jam 6, nggak ada yang nggak tidur. 
23.00-23.15: Bangun, persiapan summit attack, gerakin badan biar nggak terlalu dingin, makan jelly
23.30: Bismillah, Mahameru, kami datang. 

The Journey. In frame: Mbak Mei dan Mas Momo

Sabtu (7/5/2016)
00.00-07.45: The real journey, perjalanan yang sesungguhnya. Pertama yang dilintasi adalah padang edelweis (jangan dipetik), lalu trek pasir kasar campur kerikil kecil dan mulai nanjak, lantas trek tanah keras dan akar-akar pohon, Arcopodo yang terdapat banyak plakat untuk mengenang mereka yang menyatu dengan Gunung Semeru. Lepas dari Arcopodo, ketemu dengan batas vegetasi yang ditandai dengan Cemoro Tunggal dan jembatan berpasir. 
Dan pendakian, dimulai. 
08.00-10.00: Sampai di Mahameru, sujud syukur, melihat dari ketinggian 3.676 mdpl, foto-foto, dan turun satu per satu. Batas aman di puncak hanya sampai jam 10 ya. 

Alhamdulillah, Mahameru
10.15-12.00: Turun masih dengan jalur yang sama, sampai di Kalimati. 
12.30-16.00: Istirahat, salat, makan, dan berkemas. 
16.30-18.30: Persiapan turun dengan jalur yang sama. Waktunya lebih singkat karena lari-lari kecil, dan sampai di Ranu Kumbolo. 
19.00-23.00: Turun lagi dan sampai di Basecamp Ranu Pane. 
23.30-00.00: Ngecamp dan bikin di halaman depan kantor Kepala Desa Ranu Pane. Lanjut tidur. 

Mahameru, dalam ingatan. Mahameru, dalam wefie


Minggu (8/5/2016)
05.00: Bangun tidur kuterus Subuhan, bikin yang anget-anget. 
05.30-10.15: Beberes, packing, sarapan, mandi, beli suvenir, dan lainnya.
10.30-11.00: Persiapan kembali ke Malang, say goodbye dengan Semeru.
11.30-12.30: Menggunakan jeep, kembali ke Pasar Tumpang. 
13.00-13.30: Di Pasar Tumpang, nyari angkot untuk kembali ke Stasiun Malang, makan semangka. 
13.00-14.00: Sampai di Stasiun Malang. 
14.00-15.30: Enjoy Kota Malang, cuma bisa ke Tugu Malang, dan Masjid. 
16.00: Pulanggggggg dengan KA Malabar. Bye Semeru, Bye Malang. 

Enjoy Tugu Malang, depan Balaikota. Sempetin foto dulu, :D


Senin (9/5/2016)
00.00-02.30: Masih di KA Malabar dan persiapan turun Stasiun Kroya
02.45-03.00: Turun Stasiun Kroya, cari mendoan, dan bus ke Purwokerto
03.00-04.00: Menuju Terminal Purwokerto. 
04.30: Sampai di Terminal and home sweet home

Sampailah pada poin penting dari perjalanan ini. Biaya alias berapa duit sih yang dikeluarkan untuk ke Semeru? Nah yang perlu diperhatikan, biaya bisa berubah dan menyesuaikan ya. Apalagi kalau bisa dapet tiket KA yang murah dan banyak temen, maksimal 20 orang. Duhh, bisa lebih miring lagi nih. Plus ini start dari Purwokerto. 

Biaya masing-masing
1. Tiket KA Malioboro Ekspres = Rp 175.000
2. Tiket KA Malabar = Rp 250.000
3. Tiket Bus Efisiensi = Rp 60.000
4. Simaksi Rp 17.500x3 hari = Rp 52.500
5. Iuran Logistik, perkap, dll = Rp 100.000+
= Rp 637.500

Biaya kelompok
1. Angkotan Rp 165rbx2 (PP)   = Rp 330.000
2. Jeep Rp 650rbx2 (PP) = Rp 1.300.000+
Rp 1.630.000 dibagi dengan jumlah anggota 10 , -> Rp 163.000
Tambahkan dengan biaya masing-masing, Rp 637.500+Rp 163.000= Rp 800.500.

Oke, clear? Yeaahhh. (*)

Senin, 06 Juni 2016

Dibuang Sayang 2

Foto keluarga dengan latar kawasan Bromo. Paling kanan itu Mas Akhmad


Dikerjain
Hawa dingin diembuskan mesin pendingin di kereta. Membuat seorang wanita berkewarganegaraan asing yang duduk di depan saya, menggigil. Nggak enak badan, kata dia. Wanita tersebut tak sendiri. Ada temannya, perempuan, duduk di depan Mas Supri.

Mbak Mei pun lantas menyodorkan minyak kayu putih. Sempat kebingungan, kami mencoba menjelaskan kegunaan minyak tersebut dengan bahasa Inggris super terbata-bata. Sementara Reni turut meminjamkan jaketnya dan berbisik pada saya, "Mbak, aku pengin ngeroki bulene." 

Selesai dengan urusan mbak-mbak bule, saya diam-diam mengirimkan pesan. "Jadi di gerbong berapa, Mas?" 

Tak lama, sebuah balasan masuk. "Gerbong apaan to Mbak? Wong aku nggak jadi ikut. Kalau nggak percaya, disisir aja gerbongnya, kan cuma berapa tok." 

Dengan masih tidak percaya, saya lantas bercerita tentang segala drama yang terjadi pada kami, hari itu. Balasnya, "Tadi kalau telat, mau tak ajakin ke Merbabu aja, Mbak." Bla bla bla dst dst. 

Mas Supri dan gawainya. Ini waktu berhenti di Stasiun Balapan, waktu Mbak Bule ke posko kesehatan

Lepas berbagi pesan, saya memilih tidur, meski saban satu jam sekali terbangun. 
Pukul 04.00 WIB. KA Malioboro Ekspres yang membawa ratusan penumpang, memasuki St Malang Kota. Berjalan pelan sebelum akhirnya berhenti. Kami pun bersiap, bergantian turun dengan lainnya. 

Sampai di pelataran stasiun, Mas Supri mulai mengontak angkotan yang akan membawa kami ke Pasar Tumpang, Malang. Sementara Ariyadi dan Irkhas K yang ada di gerbong lain, mulai merapat. Subuh itu, suasana St Malang ramai. 

Keramaian itu semakin pecah saat seorang laki-laki mendekat pada rombongan kami dan menepuk Mas Supri. Keduanya pun berpelukan (nggak pake cipika-cipiki yess), berseru, kencang, dan Mas Supri pun langsung misuh

"Asem, dikerjani karo Mas Akhmad. Aku wis feeling. Tapi bar Mas Akhmad ngomong ora sida melu, yo wis, pasrah waelah," celoteh Mas Supri yang disambut tertawa cekikian ala Mas Akhmad. 

Lantas, siapa Mas Akhmad? 

Kie lakone... Ketua merangkap juru masak. :D
Iya, dia adalah laki-laki yang saya kirimi pesan itu. Jadi begini cerita, saat ribut-ribut urusan bayar Simaksi alias Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi, saya menghubungi beliau untuk minta nomor rekening. Lantas berlanjutlah pertanyaan, "Mas Akhmad ikut kan? Maksudnya biar aku bayar buat 12 orang." 

"Iya, aku ikut Mbak tapi jangan bilang Mas Supri, aku lagi ngerjain dia." 

Nah dari situlah, rencana mula untuk ngerjain Mas Supri. Di grup chat BBM sih, beliau udah bilang nggak ikut, katanya nanti ada teman yang nganter. Tapi di belakang, ya gitu lah ya. 

Demi menghindari keterlibatan Mas Akhmad, maka segala pesan-pesan untuk anggota ditujukan terlebih dulu ke saya, sebelum disebar di grup. Misal apa saja yang harus dibawa dan soal konsumsi. Ribet amat sih, Mas? "Iya, biar nggak ketahuan kalau aku ikut," katanya. 

Puncaknya, beberapa hari sebelum hari H, beliau kasih tahu, kalau Pak Nur Faizin, teman Mas Supri batal gabung. At least, karena dia sepaket dengan Pak Nur, juga ikut batal. Lah, ngerjain juga? 

"Ya nggak lah Mbak, masak siapa-siapa tak kerjain. Ini beneran, Pak Nur nggak ikut." 

Sudah, sejak saat itu sampai hari H, saya setengah percaya beliau mundur dan setengahnya lagi, enggak. Oleh karena itu, saya kirim pesan SMS itu tanya di gerbong berapa. Njuk disuruh nyisir gerbong? Ngerti orangnya aja enggak.

Dari rencana cuma ngerjain Mas Supri, saya juga ikut kena tulahnya. Kapusan! (*)

Catatan Pendakian Menuju Atap Jawa (V)

Tim Piknik Keong Hore sampai di Mahameru, 3.676 mdpl. 

MAAF. Maaf sudah lama menunggu kelanjutannya. Maaf karena belakangan ini saya kembali sibuk sama urusan kerjaan dan lainnya. Ini kelanjutannya ya. Bagian terakhir sih, tapi masih ada satu lagi nanti. 


Setelah Pendakian Delapan Jam dan Tangisan Itu...


JUMAT (6/5). Malam dingin. Gerakan tubuh tak tenang. Sementara gemerisik angin di luar. Seakan baru saja memejamkan mata, alarm berdering. Memecah malam. 

"Ayo bangun, bangun. Mbak Jul, Mba Ren, Mba Mei, bangun..." suara Supriyono membangunkan kami. 

Dengan nada berat, baru bangun tidur dan menahan kantuk, saya menyahut dari dalam. Setelah itu, dalam hitungan menit, suasana tenda kami lebih riuh. Saling bersahutan, berseru, mengabsen satu per satu. 

"Oksigen?"

"Aman, Mas."

"Air?"

"Aman."

"Webbing?"

"Udah, Mas."

"P3K?"

"Siap."

"Camilan, madu, senter, perlengkapan pribadi, jaket, sarung tangan?"

"Beres, udah lengkap semua, Mas." 

"Oke. Semua sudah siap dan lengkap. Jadi, jalur ke puncak beda banget sama jalur yang sudah kita lewati kemarin. Lebih sering ketemu tanjakan, minim jalan datar, udara semakin dingin, dan trek pasir. Semuanya saling menjaga, jangan sampai terpisah dari rombongan. Sebelum memulai perjalanan, silakan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dipersilakan," ujar Akhmad M.

Selain berucap syukur, doa-doa meminta keselamatan, perlindungan, dan penjagaan pada Tuhan, kami sampaikan malam itu. Berpilin menjadi satu dan menuju langit. Tuhan, jaga kami, anak-anak kesayangan-Mu.

Trek. Lampu senter dinyalakan. Satu per satu, mulai mengayun langkah. "Inget urutannya ya, paling depan Mas Momo, Mbak Mei, Mbak Juli, Mbak Reni, Mas Supri, setelah itu cowok-cowok, baru saya yang paling belakang. Diinget-inget siapa saja yang ada di depan dan belakang kalian," seru Akhmad dari belakang. 


Menuju Puncak. 
Jarum jam hendak menuju angka 12. Malam itu, jalur pendakian dari Kalimati menuju puncak Gunung Semeru, penuh dengan kelap-kelip lampu senter. Ramai. Yang bila dilihat dari kejauhan nampak seperti bintang berjalan. Sembari berjalan, sembari mengusap-usapkan tangan, sembari bergurau, sembari saling menyemangati. 

Stuck. Baru jalan berapa langkah, jalur pendakian menembus hutan lereng Semeru macet. Bukan hanya jalan raya yang macet, jalur pendakian pun penuh sesak oleh para pendaki, dengan tujuan yang sama: puncak. 

Bagi sebagian orang, ini cukup menyebalkan sebab harus antre, menunggu, sebelum kembali jalan satu per satu. Namun bagi kami, kondisi ini cukup menguntungkan. Sebab dapat dimanfaatkan untuk beristirahat, meluruskan kaki. 

"Antrenya udah kayak antre sembako ya," seru beberapa teman di belakang. 

"Mumpung macet, jadi lebih baik gunakan buat istirahat, makan camilan," ujar Akhmad M, sekali lagi. 

Tak lama 'kemacetan' terurai dan kami kembali berjalan, sesuai dengan formasi. Mendaki sekian langkah, terdengar teriakan break. Suara itu berasal dari Mei M yang berada persis di depan saya. 

Kembali beristirahat. Namun tak lama, kembali beranjak. Langkah Mei pun perlahan mulai stabil dan jarang meminta istirahat. Sementara itu, kami mulai berpapasan dengan para pendaki yang memilih untuk turun. 

Bruk. Mei pun terduduk. Sontak, kami pun langsung mengerumuni dan menanyakan keadaannya. 

"Kenapa Mbak Mei?"

"Ini masih jauh ya? Aku kuat nggak sampai atas?" tanyanya sembari menahan tangis.

"Lha Mbak Mei yakin sampai ke atas nggak?"

"Iya, yakin..."

"Ya udah kalau yakin, yakin aja. Jalan pelan-pelan, kita tungguin." 

Mendengar itu, perempuan asal Brebes tersebut malah menitikkan air mata, menangis. Ia tergugu di tengah deru angin dan udara yang mulai menggigil. 

"Mbak... Mbak Mei yakin sampai puncak bareng kita kan? Buang jauh pikiran bakal ngrepotin yang di sini," kata Irkhas Kurniawan sembari menenangkan Mei. 

"Iya Mbak, santai aja. Kita di sini kan saudara, saling menjaga, nggak ada yang direpotin kok," timpal lainnya. 

Terdiam sebentar. Mei pun lantas mengusap sisa tetes air. Masih dengan sedikit sesenggukan, ia mengangguk pelan. 

"Okelah, semangat! Bisa sampai puncak," kata Mei sesudah itu. 


Mbak Mei, semangat Mbak Mei... Foto: Supri
Kami pun bernapas lega. Semangat Mei telah kembali. Kami pun bersiap, bergegas menjejakkan kaki menuju tanah tertinggi di Pulau Jawa. Teriakan semangat menggema.

"Nah gitu Mbak Mei. Yang penting itu semangat dan mental Mbak, fisik mengikuti," seru Irkhas yang turut menyemangati. 

Angin malam kian menderu. Saya harus menambah jaket untuk menjaga hangat tubuh. Sementara kaki kian berat melangkah sebab kami sudah sampai di trek berpasir dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.  Sementara tali webbing sudah kami pergunakan untuk menuntun satu per satu anggota. 

Entah berapa kali kami berhenti di trek pasir itu. Benar apa kata orang, trek pasir menuju Mahameru memang luar biasa. Luar biasa indah, luar biasa susah. Bahkan tergolong trek paling sulit dari sekian banyak gunung di Tanah Air. Benar-benar menguras tenaga. 

Meski demikian, kaki saya pun mulai terbiasa dengan trek pasir tersebut. Agar tenaga yang dikeluarkan tak sia-sia, saya menggunakan trik dengan ujung sepatu yang ditancapkan ke pasir, baru kemudian mengangkat tubuh. Kebanyakan orang menggunakan tumit sebagai tumpuan. Alih-alih dapat melangkah ringan, malah kerap terperosok. Yang terjadi kemudian, naik tiga langkah, turun dua langkah.


Gunakan ujung sepatu untuk mendaki. Foto diambil waktu di puncak. 

Dengan trik tersebut, tenaga masih bisa terjaga, tidak terlalu ngos-ngosan. Langkah kaki pun sedikit lebih ringan. 

Satu lagi yang harus diperhatikan adalah pijakan. Meski didominasi pasir, jalur ke puncak tetaplah menyisakan bebatuan, kerikil, hasil muntahan dari kawah Mahameru. Pastikan batu yang dipijak kuat, menanggung beban kita. Bila tidak, ia bisa saja jatuh, meluncur. Cara memberitahu bila ada batu menggelinding adalah berteriak, "Awas, batu/rock." Dengan begitu, para pendaki bisa memperhatikan arah jatuhnya batu dan menghindarinya. 

Hingga tak terasa, sudah masuk waktu Subuh, 04.30 WIB. Total kami berjalan sudah lima jam dan belum jua sampai di puncak.

Sembari melepas lelah, beberapa anggota melaksanakan salat Subuh. Rasa syukur kembali terucap dalam sujud pagi itu. Rampung salat, saya mendongak ke atas, ke arah puncak berada. 


Leren, sekali lagi. Depan: Elvis, Reni, Mbak Mei. Belakang: Mas Anas, Juli, Mas Momo.
Foto: Mas Supri

"Mas, yang merah-merah itu puncaknya ya?" tanya saya pada Supriyono merujuk pada pendaki dengan jaket atau carrier warna merah, nun jauh di atas sana. 

"Iya Mbak. Udah deket kan?"

Saya hanya mengangguk dan berhitung. Artinya sebentar lagi kami akan sampai Mahameru. Rasa optimistis terpancar, dengan langkah seperti ini dan jarak sedekat itu, satu jam lagi, kami sampai. Sementara sinar Matahari, diam-diam muncul dari ufuk timur. 


Capek? Buanget. Tapi tetep senyum kalau ada kamera. Foto: Mas Supri.

Mendaki lagi dan sejam kemudian. Kami hanya sepersekian langkah dari lokasi bersujud. Artinya jejak yang kami tinggalkan di bawah, belum ada apa-apanya. Puncak masih terlalu jauh. 

Jalan lagi dan kini Matahari sudah benderang, memberi terang pada semesta. Mendongak sekali lagi dan puncak masih terasa amat jauh. Nyaris putus harapan. Apalagi beberapa kawan seperti Elvis Rijal, Irkhas Kurniawan, Fahmi Fauzi, Momo, dan Anas Masruri sudah jauh di depan. Namun bila mengingat harus merangkak demi menyelesaikan jalur ini, pikiran untuk berhenti, hilang sudah. 


Ramai, iya. Treknya luar biasa, iya banget. Foto: Mas Fahmi.

Dengan sepenuh hati, saya membujuk kaki untuk mendaki. Sedikit lagi. Sembari menikmati kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS) dari ketinggian tertentu di bawah sinar Matahari pagi. Bercakap dengan pendaki lain turut jadi moodbooster untuk lekas menyelesaikan jalur ini.  

Menunduk saat mendaki. Tegap saat turun. Foto: Mas Supri

Baru setengah berjalan, saya kembali terduduk. Jalur ini nyaris menjatuhkan mental dan semangat. Sudah jauh berjalan, puncak masih jauh dari pandangan. Tidak, saya belum mau menyerah. Dengan sisa tenaga, saya kembali mendaki,merambati tali webbing yang dikomandoi Supriyono.

Tak terasa, kami sampai di sebuah batu besar. Asa mengembang sebab jarak ke puncak sudah semakin dekat, seperlemparan batu lagi, kami sampai. Sebentar lagi. 

10 meter. Kami masih antre bersama para pendaki. 

Lima meter. Kami bergantian dengan pendaki yang ingin turun. 

Tiga meter. Kami melibas tanjakan bebatuan. 

Dua meter. Kami mendaki, satu tangga lagi.


Satu meter itu bersama kawan dr Palembang. Foto: Mas Supri
Satu meter. Kami melihat kawah Jonggring Saloka mengeluarkan asap. 
Dan, hap. Kaki kami, saya, Supriyono, dan disusul Jack Kidd telah menjejak tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kaki kami ada di ketinggian 3.676 mdpl. Kami sampai di tanah di mana para dewa bersemayam, Mahameru. Pukul 07.50 WIB. 


Cieee... yang udah sampai duluaaannnn.... 

Elvis Rijal, Irkhas Kurniawan, Fahmi Fauzi, Momo, dan Anas Masruri, anggota kami lainnya sudah sampai terlebih dahulu. Mereka melambaikan tangan, meminta turut bergabung. Kami menuju ke arah mereka dan disambut dengan jabat tangan erat serta ucapan selamat. 

Mata saya pun basah. Saya menahan agar rintik itu tak turun. Namun yang terjadi kemudian, saya menunduk, kemudian berjongkok, dan tergugu. Semakin saya mencegah untuk tak menangis, dada kian sesak dan air mata kian deras mengalir, tumpah. 

Saya teringat, bagaimana untuk sampai ke mari, harus berjalan kaki, menahan beban selama sembilan jam, lanjut mendaki selama delapan jam. Bagaimana saya cari cara mengatasi tiga ketakutan yaitu takut dingin, takut merepotkan anggota lain, dan takut turunan. 

Saya pun teringat, pada ayah yang 14 tahun sudah berada di surga, rambut ibu yang tak menyisakan warna hitam serta kulit keriputnya. Serta apa yang saya lakukan dan perbuat selama ini. 

Saya teringat, Maha Baiknya Tuhan pada saya, kami. Sepanjang perjalanan ini, nyaris tak ada aral besar, selalu dijaga oleh-Nya, dan diberikan banyak kemudahan. Alhamdulillah

Tak lama, Reni Suryati dan Ariyadi menyusul sampai di puncak. Menyisakan sedikit gemetar, saya memeluk Reni. "Udah Mbak, nangis bae lhoo," ledeknya. 


Mahameru, Mahameru, Mahameru. Foto: Ariyadi
Kami pun menikmati Mahameru. Kami bermain di lapangan luas dengan bebatuan berserakan. Berfoto, bersenda gurau, sambil menunggu kawah Jonggring Saloko menguarkan asap dan suara, 'Boom' menggegar. 

Kejutan datang sekali lagi. Mei M dan Akhmad M sampai di puncak. Kami berteriak kegirangan. Semua anggota akhirnya bisa menapakkan kaki di Mahameru. Bersama-sama. 


Mas Supriyono. Alhamdulillah ya Mas... 

Tak ada lagi yang bisa terucap selain ucapan syukur pada Tuhan. Terima kasih, sudah memberikan kami kesempatan untuk menikmati sekeping surga di atap Jawa. (tamat)


Depan, sedikit lagi. Pas dijalanin, ternyata nggak sampe-sampe.
Foto: Mas Supri

SatelitPost on the Top of Java. Bareng layouter SatelitPost, Anas M

Suasana puncak pagi itu. 

Mas Anas, Liverpool yg nggak juara2, dan kawah Jonggring Saloko.

Pasukan Bela Perasaan, love youuuuuu... :*

Sesekali, Id Card mejeng. 

Ketika yang lain sibuk cari spot foto, aku malah tidur-tiduran. 

Kawah Jonggring Saloko. 

Seger ya makan pir di puncak. 

Elvis dan pertanyaan khusus untuk Mas Akhmad M


Formasi. 

Biru dan Langit Luas.