Sabtu, 20 Juni 2015

Antara Batu, Malang, dan Bromo


BAGIAN 1


PUKUL 05.12 WIB, Kamis, 25 Desember 2015. Menengok jam tangan, melihat sekitar. Jalanan sepi, bekas tersapu kabut, dan dingin. Kembali menutup badan dengan selembar kain dan merapatkan badan. 

Melanjutkan tidur sebentar lantas terbangun lagi. Sebenarnya, mata masih berat untuk membuka. Namun goncangan-goncangan kecil kerap terasa membuat saya memilih bangun. Benar-benar bangun walau serangan ngantuk terus menghantam. 

"Itu hapemu jatuh," bilang Hoho sambil menyenggol badan. 

Saya pun geragapan. Antara sadar, tahu bahwa ponsel yang di-charge jatuh meski di satu sisi terkantuk-kantuk. Setelah mengambil hape, sedikit banyak tersadar, jika kami sudah memasuki wilayah Malang, Jawa Timur.

Matahari masih terlalu malu untuk menampakkan diri. Jalanan di luar kereta ini sudah mulai ramai. Para penumpang mulai banyak yang bangun, bercakap dengan kawan-kawannya, sembari berkemas. Suasana gerbong makin renyah dengan obrolan-obrolan ringan mereka. Sedikit banyak, saya menguping.

Stasiun Malang Kotalama. Begitu yang tertulis di papan yang saya baca. Berada di ketinggian 429 meter di atas permukaan laut. Cukup tinggi dibandingkan Stasiun Kota Purwokerto yang hanya 75 meter. Kereta yang kami tumpangi, KA Matarmaja berhenti sebentar menurunkan penumpang. 

Tak lama, kereta yang datang dari Jakarta itu melanjutkan perjalanan. Kami, saya dan Hoho, berkemas, merapikan penampilan. Tak banyak barang yang kami bawa. Hanya dua daypack berisi kebutuhan selama dua hari satu malam, camilan, dan air minum. 

Sekilas tentang Hoho. Nama lengkapnya Dodi Nugroho. Kepada orang baru, ia mengenalkan dirinya sebagai Dodi. Lima belas tahun usia persahabatan kami tepatnya sejak kelas 1 SMP, tahun 2000 silam. Berawal dari teman satu kelas, lantas 'berpisah' kala SMA, di bangku kuliah, di Jurusan D3 Bahasa Mandarin, Unsoed kami kembali bertemu. Dan bersahabat sampai sekarang. Ide ngetrip ke Malang ini pun saya dapat dari dia. 

tiket buat ke Malang
Kereta melambat. Penumpang mulai berdiri, berjalan beriringan menuju pintu gerbong. Pun kami. Satu hirup, dua hirup, sambil mengedarkan pandangan di sekitar, saya sadar, sudah berada di Malang. Sekarang, saya sudah benar-benar tersadar, tanpa tersisa rasa kantuk sedikit pun, walau boleh berhitung, pagi tadi, sekitar empat jam menutup mata. Itu pun sesekali harus terbangun. 

Hawa khas Kota Malang menampar wajah. Logat khas kota itu mulai terdengar karib di telinga. Juga patung singa yang ada di depan Stasiun Kota Malang. Ya, kota ini sangat bangga dengan Arema, klub sepakbola yang 'membirukan' langit dan Bumi Malang. 

"Makan atau langsung ke Batu?" tanya Hoho. 

"Makan dulu gimana? Laper..." ujar saya. 

Beruntung, di depan Stasiun Kota terhampar taman sekaligus kedai makan. Jumlahnya bisa mencapai puluhan, memanjang. Beberapa sudah ada yang buka, melayani pembeli. Sementara sisanya, masih ada yang bersiap membuka lapak.

Kami sempat menjelajah ke beberapa kedai sebelum akhirnya saya memutuskan menikmati seporsi pecel Madiun dengan lauk telur plus segelas teh hangat. Hoho yang awalnya hanya ingin menikmati teh hangat, rupanya tergiur dengan pecel yang saya makan. Enak, kata dia, setelah mencicip sesuap nasi pecel. Walhasil, laki-laki usia 26 tahun itu memesan pecel Madiun, persis seperti yang saya makan.

Harga untuk dua porsi pecel dan dua gelas teh hangat, tak terlalu mahal. Hanya Rp 25 ribu. Artinya, satu orang makan Rp 12.500. Apalagi porsi pecelnya lumayan bikin kenyang dan harus membuat Hoho turun tangan membantu saya. 

Kala itu, jam masih menunjukkan angka 08.30 WIB. Masih lumayan pagi. Keramaian juga belum mengintai kota ini. Malah kata Hoho, cenderung sepi. Sebab, jarang terlihat lalu lalang kendaraan bermotor. Dengan angkot biru jurusan ADL alias Arjosari-Dinoyo-Landungsari, kami menuju ke Terminal Landungsari sebelum berganti menggunakan bus jurusan Kediri untuk membawa kami ke Kota Batu, destinasi berikutnya. 

Malang sudah jauh berubah dibanding saat saya pertama kali ke sini akhir Desember 2011 silam. Banyak perubahan hingga harus membuat saya mengingat, kira-kira saya pernah melintas di jalan ini belum ya. 

Hampir 30 menit di dalam angkot. Tarifnya, dari Stasiun Malang ke Terminal Landungsari sekitar Rp 4 ribu. Sebelum turun, kami sempat tanya pada sopir angkot, akses Batu dan jam berapa angkot terakhir beroperasi. Untuk lebih memastikan, sekali lagi kami bertanya pada petugas Dishub yang tengah berjaga. 

"Lha niko mbak, bus yang ke Batu. Naik itu aja," katanya sambil menunjuk bus warna biru yang tengah menaikkan penumpang.

Tak mau ketinggalan, kami berlari kecil dan sampai di pintu belakang bus tepat waktu. Sayang, tak ada kursi kosong, bahkan sudah banyak penumpang yang berdiri dan berdesak-desakan. 

Bus jurusan Kediri ini pun berjalan. Busnya kecil, seperti mikro bus kebanyakan dengan dua pintu yang kesemuanya dijejali banyak penumpang. 

'Kemana Mbak, Museum Angkut atau Jatim Park?" tanya kondektur bus pada saya. Saya pun menoleh pada Hoho, meminta jawaban. "Lewat depan Museum Angkut kan, Pak?" tanyanya.

"Iya, lewat," jawab sang kondektur yang lantas kami putuskan untuk ke Museum Angkut terlebih dahulu. Untuk sampai ke sana, kami membayar Rp 15 ribu untuk dua orang. 

Sepanjang perjalanan, lebih banyak kendaraan pribadi yang melintas. Ya, jalur Malang-Batu padat merayap, tersendat-sendat. Bisa ditebak karena hari itu adalah hari libur, Natal sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke kota itu. Seperti kami.

"Kayak jalur ke Baturraden ya, Ho? tanya saya yang dijawab anggukan dan senyuman.Hampir 45 menit, kami berdiri di bus yang penuh sesak ini. Punggung saya agak pegal karena beban daypack yang lumayan berat. 

Memasuki Kota Batu, jalanan benar-benar padat merayap. Bus yang kami tumpangi mulai stuck, tak bisa bergerak usai keluar dari Terminal Batu. Saya dan Hoho berpandangan, mahfum ini akan memakan waktu yang agak lama. Akhirnya, kami memutuskan untuk turun dan jalan menuju Museum Angkut. Dekat? Banget. Mungkin sekitar 200 meter.
Hoho dari belakang dan Museum Angkut dari depan.

Sekitar pukul 10.00 WIB, kami sampai di museum alat transportasi terbesar di Indonesia ini. Ramai. Meski museum ini baru buka pukul 12.00 WIB, namun sudah banyak wisawatan yang memadati halaman parkiran dan depan museum. Bahkan, ada yang sudah mengular di depan loket. Terbanyak adalah keluarga.

Kami pun mengedarkan pandangan. Pasar Apung yang masih satu lokasi dengan Museum Angkut menjadi lokasi menunggu sebelum loket museum buka. Sesuai namanya, kami menemukan miniatur kecil pasar apung seperti di Kalimantan. 'Sungai', perahu, jembatan, dan warung atau tempat berdagang di tepinya. Di sanalah kami menunggu agak lama hingga akhirnya memutuskan kembali ke Museum Angkut. Pertama, agar lekas antre tiket. Ke dua, warung di sini belum ada yang buka. 

Antrean di depan loket makin mengular. Terbagi menjadi tiga baris. Hoho pun mengambil inisiatif untuk membeli tiket dan menyuruh saya duduk menunggu. Tak berapa dia menunggu, ternyata loket tiket sudah dibuka. Pun dengan pintu museum. Dari yang saya dengar dari petugas, pihak museum sengaja membuka lebih awal melihat banyaknya pengunjung yang ingin masuk. Jadi yang seharusnya buka pukul 12.00, maju satu jam menjadi 11.00 WIB. 
Gelang tiket atau Tiket Gelang. Intinya, butuh Rp 75 ribu buat beli ini.

"Rp 75 ribu tiketnya, Rp 30 ribu buat kamera. Kameranya kusubsidi deh," kata Hoho di depan saya sambil menunjukkan 'gelang kertas' sebagai ganti tiket. Yeay.

Satu aturan saat masuk ke Museum Angkut adalah pemeriksaan tas. Berhubung daypack saya lumayan besar dan agak ribet untuk membongkarnya, petugas pun mempersilakan saya tetap masuk. 

"AMAZING!" begitu kata saya saat menyaksikan koleksi di museum ini. Keren. Beragam koleksi alat angkut seperti mobil, dokar, kereta, dan sepeda motor seperti menyambut kami. Saya tak menghitung pasti. Tapi buanyak!! Koleksi-koleksi antik nan unik ini yang bikin saya kagum. Termasuk mobil Presiden RI pertama Soekarno seri Chrysler Windsor Deluxe yang bikin saya jatuh cinta. Beberapa koleksi diberi semacam pagar dan larangan tidak boleh disentuh. 

Termasuk saat naik ke lantai dua. Di sana telah menunggu alat angkut khas Indonesia. Mulai dari becak, andong, dokar, perahu, kapal, hingga kereta api. Untuk alat angkut tertentu seperti becak diumbar koleksi per daerah. 

"Ke sana yuk," bilang saya sambil menunjuk ke arah luar museum. Di sana, ada semacam miniatur pesawat luar angkasa Apollo. Dari wahana ini kami menikmati pemandangan Kota Batu yang sungguh segar. Lantas, ada pasangan yang meminta saya untuk mengambil gambar mereka. Klik klik klik. 
satu koleksi Museum Angkut favorit saya

Masuk lagi ke dalam, kami mulai menjelajah masing-masing alat angkut. Hoho nampak takzim mencari objek dan memotretnya. Saya? Baca setiap keterangan atau penjelasan yang telah ditempelkan di dekat objek. Agak lama saya berada di ruangan ini. Tanpa sadar, rupanya Hoho tak lagi berada di dekat saya. Saya celingukan di tengah banyaknya orang. Aduh. Apalagi saat saya buka HP, rupanya blank spot alias tidak ada sinyal. Meski sedikit panik namun berusaha tetap tenang. Setelah keluar dan terbebas dari wahana sepeda dan masuk ke Zona Pecinan dan Batavia, saya agak mulai lega karena dapat sinyal. 

Zona Pecinan dan Batavia ini menampilkan panorama Jakarta zaman dulu. Lengkap dengan Pelabuhan Sunda Kelapa dan aktivitasnya, beberapa alat angkutnya, toko, dan noni-abang yang mengenakan kostum Belanda. 

Setelah agak lama tengak-tengok kanan-kiri, muncullah Hoho dengan senyuman khasnya. "Hehehe, habis dari toilet," ujarnya sebelum saya bertanya macam-macam. Fiuhhh, lega... 

"Mau foto juga nggak sama itu," sambungnya sambil menunjuk noni-abang yang jadi perhatian banyak pengunjung. Saya pun menggeleng pelan. "Enggak, udah biasa. Cari yang lain aja," jawab saya. 
Akkkk, aku dimakan ikan... begitu kata Hoho.

Kami pun kembali berjalan dan masuk ke Zona Jepang. Di sana telah menunggu, koleksi alat angkut dari Jepang mulai dari motor dan mobil. Wihh, keren... Sebelum keluar, kami sempet selfie di satu unit mobil yang kece gegara spionnya.

Dan, Zona Amerika menyambut kami di langkah berikutnya. Zona ini dilengkapi scene gangster, Las Vegas, Broadway, dan Hollywood. Koleksi kendaraannya pun masih banyak. Dilengkapi dengan poster-poster film-film Hollywood. Tetiba: "Garis zebra cross-nya nggak kelihatan ya, Ho?" "Buat apa? Ohhh, foto biar kayak The Beatles..." Hihihi, ketahuan juga. 

Puas main dan beristirahat di zona ini, langkah kami berhenti di Zona Eropa. Italia menjadi negara pertama yang kami kunjungi. Tiga vespa unik menarik perhatian Hoho. "Fotoin," ucap dia. Setelah Italia, Prancis menjadi negara ke dua lengkap dengan miniatur Menara Eifel. "Gantian. Fotoin," kata saya. Setelah beberapa kali jepret, ternyata hasilnya kurang begitu bagus. 

Dan, Jerman adalah negara ke tiga di zona ini. Saya pun langsung excited dan meminta Hoho tidak jauh-jauh dari saya. Siapa tahu saya khilaf di negara Mario Gotze ini. Ternyata, benar. Nyaris semua foto di zona ini adalah foto saya. Setelah Jerman, kami menyambangi Inggris dan masuk ke miniatur Buckingham Palace dan berakhir di Zona Hollywood. Satu yang menarik di zona ini adalah patung Hulk yang tengah menghancurkan mobil. Hoho pun lantas bergerak maju dan memberi tanda: Fotoin. 

Lelah, kami beristirahat. Meluruskan kaki, menikmati jajan yang tersisi. Mendung menggelayut.

Langkah selanjutnya, menuntun kami ke Stasiun Jakarta Kota dan membawa kami 'merasakan' sensasi naik kereta dan ke luar menuju Pasar Apung. Di sini, kami sebentar menjelajah hingga mata saya tertuju pada anak-anak kecil yang membawa es krim. "Es krim, Ho, es krim...," rajuk saya mirip anak kecil. Jalan sebentar, kami melewati kedai es krim dan langsung memesan dua cup rasa cokelat. 

Usai menikmati es krim, kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari Museum Angkut. Menuju destinasi selanjutnya. Saat itu, jarum jam menunjuk angka 3. (bersambung)

Minggu, 07 Juni 2015

MTs Pakis, Rumah Kedua untuk 16 Siswa


BEKERJA, bagi saya, tak melulu berada di lapangan, mencari narasumber, melakukan penggalian, lantas menuangkannya ke dalam sebuah tulisan. Bekerja, bagi saya, adalah bagaimana (setidaknya) menjadi 'oksigen.'

Inilah naskah feature saya tentang sebuah sekolah di ujung lereng Gunung Slamet sana. Yang jauh dari riuh gemelap lampu kota namun mampu memberi terang bagi anak usia sekolah di kampung tersebut. 

Dari mereka, saya belajar banyak tentang arti sekolah itu sesungguhnya. Sekolah yang tak sekadar sebagai tempat untuk menambah ilmu tapi berproses untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi sesama. Sekolah yang tak hanya memborbardir anak didik dengan ilmu eksak namun mengajak mereka untuk bercengkerama dengan alam. 

Terima kasih untuk semua yang sudah membantu. Terutama untuk Fotografer SatelitPost, Anang Firmansyah yang sudah menemani liputan sampai azan Salat Jumat berkumandang. Selamat membaca.  

SISWA MTS Pakis melakukan kegiatan belajar Agroforestry di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas, Jumat (27/3). Agroforestry merupakan kegiatan belajar menggabungkan materi pertanian dengan kehutanan sesuai dengan latar belakang siswa. SATELITPOST/ANANG FIRMANSYAH

Sutarni dan Laboratorium Alami Seluas 35 Hektare
"Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita
Tanah air, pasti jaya, untuk selama-lamanya
Indonesia pusaka, Indonesia tercinta
Nusa bangsa dan bahasa, kita bela bersama."

LAGU Satu Nusa Satu Bangsa ciptaan Liberty Manik mengalun pelan dari MP3 komputer jinjing. Lagu yang dinyanyikan ulang oleh band Cokelat itu, sayup-sayup terdengar pada ruangan di Kampung Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jumat (27/3). 

Lagu pembawa hawa nasionalisme itu menghiasi langit cerah, beriringan dengan suara serangga khas hutan. Lantas bergantian dengan lagu nasional dan lagu bertema perjuangan lainnya seperti Syukur, Tanah Air, Bendera, hingga Bangun Pemudi Pemuda yang membuat siapapun pendengarnya merasa takjub. 

Lalu, saat jarum jam menunjukkan angka 10, seorang pemuda memberikan aba-aba berkumpul. Nihil dengan lonceng dan bel yang berbunyi, 12 siswa MTs Pakis nampak takzim, berkerumun di depan kelas. Sebagian mereka menggunakan seragam Pramuka. Sebagian lagi, berpakaian ala kadarnya anak-anak desa. Seorang lelaki bernama Mat Roif lantas membeberkan rencana kegiatan belajar siang ini.

"Tadi kan teman-teman sudah bikin adonan dari daun yang dicampur air dan tanah, sekarang ambil kertas HVS, sikat gigi atau kuas. Masukkan sikat atau kuas tersebut ke dalam adonan, lalu pulaskan pada kertas sampai merata. Jika kertas sudah tertutup, tulis besar-besar nama kalian. Nek wis rampung, tembe dipe ngasi garing (setelah selesai, baru dijemur hingga kering, red)," ujarnya sembari mencontohkan. 

Hening, kemudian berganti dengan riuh-rendah ke-12 siswa dari kelas VII dan VIII itu. Ada yang langsung sibuk sendiri membuat prakarya, ada yang masih ngurusi adonan daunnya. Ada yang sudah nyaris selesai, ada yang masih sibuk mengguratkan sikat gigi di atas kertas. Sesekali, mereka saling bergurau, berceloteh tentang tulisan siapa yang paling bagus. 

"Jajal deleng nggonmu, kie nggone nyong wis rampung, apik maning (coba lihat punyamu, punyaku sudah selesai, bagus lagi, red)." Sepintas suara terdengar di antara celotehan riang ini. "Nggonku juga uwis, mayuh koh gagian dipe (punyaku juga sudah selesai, ayo lekas dijemur, red)," sahut beberapa siswa lainnya. 

Di tengah, gaduh indah itu, Kepala MTs Pakis, Isrodin memberi sinyal soal tugas selanjutnya. "Nek sampun rampung damel prakarya, niki teng kacang panjang wonten hama. Hama niki sing marai kacang panjange mboten woh. Tugase rencang-rencang sakniki ngresiki hamane. Ben ngenjang saged dipanen (Kalau sudah selesai membuat prakarya, di kacang panjang ini ada hama. Hama ini yang membuat kacang panjang tak bisa berbuah. Tugas teman-teman sekarang membersihkan hama, supaya kelak bisa dipanen, red)," kata Kang Isrodin, begitu biasa dia disapa. 

Beberapa siswa yang telah selesai lantas bergegas, 'melupakan' sejenak tugas kerajinan tangan. Mereka masuk dalam bidang-bidang tanaman, memetik hama yang mengganggu. Tentu sambil sesekali mengobrol ringan. 

Sutarni (14) nampak antusias dalam pembelajaran ini. Ia tak henti-henti mengecek apakah kacang panjang di hadapannya telah bersih dari hama. Bagi pelajar yang bercita-cita jadi dokter ini, ini adalah pengalaman baru. Pun dengan banyak materi pelajaran yang diberikan sekolah padanya. "Seneng karena dapat pengalaman baru bagaimana cara bercocok tanaman kacang panjang," ujarnya pada SatelitPost

Beginilah suasana kegiatan belajar di MTs Pakis. Sekolah yang baru berdiri dua tahun lalu ini seakan menjadi oase di Kampung Pesawahan. Bagaimana tidak, puluhan tahun kampung yang berada di ketinggian 700 mdpl ini tak memiliki fasilitas layanan pendidikan yang memadai. Sekolah terdekat dari kampung tersebut ada di desa tetangga, yakni Desa Karanggondang. Itu pun hanya jenjang sekolah dasar. Kondisi inilah yang membuat banyak anak usia sekolah di Kampung Pesawahan dan sekitarnya memilih tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Untuk sampai di sekolah ini, setidaknya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Kota Purwokerto. Beruntung sejak satu tahun lalu, jalanan yang menuju desa di ujung utara Kecamatan Cilongok ini sudah diaspal mulus bak jalan tol. Sehingga tak menyulitkan laju sepeda motor walau harus melintasi belokan tajam, tanjakan, serta hutan pinus sepanjang 2 kilometer meski suasana sepi tetap mengungkung wilayah ini. 

Lantaran berlokasi persis di lereng gunung, MTs Pakis memiliki satu mata pelajaran (mapel) andalan, yakni Agroforestry yang menggabungkan materi serta mengenalkan siswa pada kegiatan seputar pertanian dan kehutanan. Setiap Selasa, Rabu, dan Jumat, siswa belajar Agroforestry. "Dalam materi ini, anak-anak diajarkan langsung bagaimana cara menanam sayuran, beternak, sampai ngarit (menyiangi tanaman, red)," kata Kang Isrodin. 

Tak heran jika di sekeliling sekolah yang hanya memiliki tiga ruang kelas ini, tumbuh berbagai macam tanaman hortikultura seperti kacang panjang, padi, dan lainnya. Di depan kelas juga terdapat kolam yang berisi ikan hasil 'sumbangan' siswa. Di bawah sekolah, terdapat tiga kandang kambing yang dirawat para siswa. "Impiannya, ketika lulus, selain punya ijazah, mereka juga punya tabungan berupa kambing. Satu siswa satu ekor kambing," ujar pria asli Purbalingga ini. 

Siswa di sekolah ini juga terbiasa belajar langsung dengan alam. Terkadang mereka lesehan di dekat Telaga Kumpe yang tak jauh dari sekolah. Tak jarang, mereka duduk melingkar di gazebo dekat kandang kambing. Pada mereka, tak ada cerita, hanya duduk dan menerima materi di dalam kelas. Saban hari, mereka menjadikan hutan dan lahan seluas 35 hektare milik Perhutani sebagai media belajar. Mengelola langsung apa-apa yang di dalam dan pinggir hutan. 

"Lahan sekolah kami memang hanya sekitar 500 meter persegi tapi kami punya laboratorium alami seluas 35 hektare!" ujar Kang Isrodin sambil berseloroh. 

Tak mau siswa hanya asyik dengan alam, sekolah ini memperluas cakrawala anak didiknya dengan proses pembelajaran yang menyenangkan. Para siswa kerap belajar langsung dengan masyarakat di sekitar sekolah dan orangtua sebagai sumber belajar. Seperti mengamati aktivitas sehari-hari, belajar langsung bagaimana cara beternak, hingga melakukan pendataan penduduk. Termasuk mengadakan kunjungan alias anjangsana ke beberapa lembaga atau instansi pemerintahan yang ada di Kota Purwokerto. 

"Hal ini kami lakukan agar siswa mengenal dunia luar, sekalian ngajak mereka refreshing, jalan-jalan ke kota," kata dia.

Untuk menanamkan karakter pada siswa, sekolah ini juga memiliki program bulanan seperti pendekar alias pendidikan karakter. Dalam kegiatan ini, anak-anak menginap di sekolah dan berkegiatan bersama teman lainnya. Seperti memasak, makan, salat bersama, dan kegiatan belajar lainnya. "Program Pramuka dan OSIS juga tetap berjalan meski dengan jumlah siswa yang terbatas," ujarnya. 


Dengan Cangkul, Nurwati Bisa Bersekolah
DUA tahun, MTs Pakis menjadi tempat belajar untuk anak-anak usia sekolah di Kampung Pesawahan dan Karanggondang, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar pun terbilang memadai. Empat unit komputer dan ratusan buku-buku penunjang pelajaran tertata rapi di sudut kelas. Termasuk LCD Proyektor yang nyaris semua fasilitas ini merupakan sumbangan dari donatur. 

Bayangan tentang guru-guru nan mumpuni, pengajar di sekolah ini sempat terlintas di kepala SatelitPost. Ketika hal ini ditanyakan pada Kepala MTs Pakis, Kang Isrodin sedikit tersenyum. 

Ia bilang, para relawan dari berbagai kalanganlah yang membantu proses kegiatan belajar mengajar di sekolah ini. Relawan yang berjumlah hingga 15 orang ini datang dari penjuru Kota Purwokerto. Terbanyak adalah para guru yang sesekali menyempatkan waktu, ikut mengajar. Sebutan untuk mereka pun bukan guru, melainkan teman belajar. Selain 'menghilangkan' kecanggungan antara guru dan siswa, juga aktivitas yang kerap dilakukan adalah berbagi ilmu. Hubungan inilah yang membuat keakraban antara siswa, guru, kepala sekolah, dan orangtua lekas terjalin serta bersahabat. 

"Kalau hari Sabtu, banyak mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang membantu jadi volunteer," kata dia, Jumat (27/3). 

Di tengah banyaknya kegiatan menyenangkan dan program yang dijalankan sekolah, terbersit pertanyaan, berapa biaya yang dikeluarkan para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di MTs Pakis? Kang Isrodin menggeleng pelan. "Tidak ada biaya alias gratis. Kami sama sekali tidak menarik biaya SPP atau biaya lainnya dari para siswa. Sekolah ini didirikan untuk melayani siswa yang tak terjangkau," kata pria lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto tersebut. 

Siswa berasal dari keluarga kurang mampu dan tinggal di desa di sekitar hutan. Sementara sebagian besar walimurid berprofesi sebagai petani, peternak, atau penderes. Kondisi itulah yang sangat tak memungkinkan bagi sekolah untuk menarik biaya. Bahkan untuk seragam, pihak sekolah tak mewajibkan siswa untuk memiliki. Pun saat pendaftaran siswa baru. Sekolah hanya meminta walimurid untuk menyerahkan satu jenis alat pertanian seperti cangkul dan parang/arit. Ya, dengan cangkul, anak-anak ini bisa terus bersekolah hingga lulus tanpa biaya apapun.

"Yang terpenting bagi kami, anak-anak di desa ini bisa sekolah, mendapatkan pendidikan, memperoleh bekal yang berguna saat mereka lulus, dan bisa mengaplikasikan di masyarakat," kata teman belajar di MTs Pakis, Mad Taufik. 

Bagi mereka, sekolah harus bisa menjadi rumah ke dua bagi para siswa. Satu di antaranya dengan menyusun kegiatan dan materi pembelajaran yang menggembirakan, bukan membebani siswa.  

"Anak-anak harus senang dulu dengan sekolah. Itu yang pertama dan utama. Bagaimana caranya? Cari tahu latar belakang siswa. Karena di sini banyak siswa yang orangtuanya petani dan tinggal di pinggir hutan, maka materi pendidikan yang kami berikan sebagian besar berkaitan dengan pertanian. Namun, kami tetap menggunakan kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah. Kami berikan ruang bebas agar siswa bisa belajar dan berkreasi sehingga sekolah bisa menjadi tempat yang menyenangkan untuk mereka," ujar mereka.

Hal yang sama juga disampaikan Nurwati (14). Siswa kelas VIII ini mengaku senang bisa bersekolah. Selain jarak sekolah yang tak terlalu jauh ditambah tak ada pungutan, ia mendapatkan banyak pengalaman lantaran sering belajar langsung di alam. Termasuk saat ia diajak berjalan-jalan ke Purwokerto dan Jakarta. Melihat Monas di Jakarta menjadi kisah tak terlupakan bagi Ketua OSIS ini.

"Dulu, setelah lulus dari SD, orangtua menyuruh saya untuk kerja, tapi setelah ada kunjungan dari teman-teman MTs Pakis, orangtua mengizinkan saya sekolah. Ternyata, sekolahnya asyik, menyenangkan. Saya ingin terus sekolah sampai saya jadi guru yang bisa membagikan ilmu untuk murid-muridnya," kata dia. 

Pun dengan Ibu Yatinah, warga Karanggondang. Ibunda dari Prihartini ini selalu mendukung apapun yang dilakukan pihak sekolah. "Nganah sekolah, aja kaya nyong sing gur lulus SD (bersekolahlah, jangan seperti saya yang hanya lulusan SD)," ujar wanita yang berusia 40 tahun ini. (sri juliati/habis)



NB:
Feature ini telah terbit di Harian Pagi SatelitPost, edisi 31 Maret dan 1 April 2015. Tulisan ini pula yang mengantarkan penulis menjadi Juara ke Dua dalam Lomba Features yang diselenggarakan Pusat Informasi dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2015. 

Millionaires

Catatan Perjalanan Menuju Kaki Gunung Gede (2)


MASIH di Kaki Gunung Gede. Masih tentang perjalanan. Dan masih tentang keindahan di tanah sendiri. 

===

KEINDAHAN berbalut kesunyian di Telaga Biru menyihir mata kami. Sebelum malas beranjak, kami pun lekas bergegas. Kembali mengepak tas dan menyusuri jalan menuju destinasi utama, Curug Cibeureum.

Sepanjang perjalanan di jalur bebatuan tersebut, kami berpapasan dengan rombongan lain yang memiliki tujuan sama. Juga mereka yang turun dari pendakian. Duh, kalau melihat yang menggendong keril itu, saya jadi kepengin digendong. #eh

Jalur bebatuan yang kami lalui. Lumayan bikin capek. Foto: Mbak Icung
Sekian lama berjalan, napas mulai ngos-ngosan, dan kaki mulai pegal, kami mendapatkan bonus! Bonus kali ini adalah view Gunung Gede yang nampak dari kejauhan serta jalan landai berupa jembatan. Hasil nanya ke Wikipedia, jembatan ini berada di atas Rawa Gayonggong. Jembatan ini sudah dicor dan dibentuk menyerupai potongan kayu, sehingga aman buat dilewati banyak orang. Dan ini yang bikin saya salah kasih info ke Mbak Icung karena kami bakal ketemu sama jembatan kayu. 


"Tapi ini memang dulunya kayu kok Mbak," kata Mas Widi. "Hasil baca blog..." sambungnya seolah ingin mengoreksi kata 'dulu' itu. 

Karena view-nya yang okeh, saya langsung ambil Tab, buka kamera, dan membidik beberapa sasaran. Klik klik klik. Gunung Gede setinggi 2.958 mdpl itu berdiri gagah di hadapan kami. Sangat gagah. Beratapkan langit biru. Seolah melambai, menawarkan kebahagiaan dan rasa syukur saat berada di puncaknya. Iya, someday, kami akan datang ke sana. 

Ini soal menunggu.
Track jembatan ini lumayan panjang dan berkelok-kelok. Hati-hati saat melintas karena ada beberapa bagian yang sudah bolong. Pun perhatikan langkah yang diambil.

Usai melintasi jembatan tersebut, kami bertemu lagi dengan jalur bebatuan. Tak lama, kami dihadapkan dengan dua persimpangan dengan papan penunjuknya. Kanan ke arah Curug Cibeureum sedangkan kiri arah Puncak Gunung Gede. Penginnya ke kiri namun kaki kami memilih berjalan ke kanan. Hehehe.

Tahu jika tujuan kami semakin dekat, saya kembali semangat saat berjalan. Makin lama, suara deburan air terdengar jelas, kian kencang di telinga. Bahkan hidung ini sudah mencium 'aroma' air yang ditumpahkan dari ketinggian. 

Dan, tadaaaa.... keajaiban alam membentang di hadapan kami. Curug Cibeureum 'berteriak' kencang seolah berucap selamat datang. Debit airnya kencang mengirimkan jutaan bulir air yang tak berhenti mengalir. Jatuh dari ketinggian sekitar 40-50 meter. Terkadang, jatuh adalah sesuatu yang indah ya. ^^

Terkadang, jatuh adalah sesuatu yang indah. Curug Cibeureum. 


Kami dibuat terpukau dengan kemegahan ini. Berucap ribuan terima kasih pada Tuhan, alam, dan para penjaganya. Ah, betapa negeri ini punya banyak keindahan yang membuat kita lebih dekat pada sang Pencipta.

Siang jelang sore itu, suasana di sekitar Curug Cibeureum cukup ramai. Banyak pengunjung yang rela berbasah-basahan dengan berdiri di bawah air terjun ini. Merasakan langsung dingin dan segarnya air. 

Hasil mencari jejak di Wikipedia, nama Cibeureum berasal dari bahasa Sunda yang berarti sungai merah. Nama ini diambil dari nuansa merah dinding tebing yang terbentuk dari lumut merah yang tumbuh secara endemik di sana.

Melihat banyaknya wisatawan sehingga tak memungkinkan untuk melepas lelah, maka Mas Widi mengajak kami sedikit mlipir ke sebelah kanan curug. Di sana telah 'menunggu' curug lainnya yang sama kerennya. 

"Ini namanya curug apa, Mas?" tanya saya sama Mas Widi setiba di sebuah batu lempeng yang agak besar dan bisa buat duduk. 

Curug Cidendeng yang sama cantiknya dengan Cibeureum
"Emm, Curug Cibeureum 2 kali Mbak. Kan saya baru pernah ke sini..." jawab dia dengan nada sedikit ngeles dan langsung kubalas dengan tatapan yang rada galak. Masak baru pernah?

Di sekitar curug itu (yang kemudian saya baru tahu itu adalah Curug Cidendeng), kami beristirahat. Mengeluarkan bekal berupa nopia dan keripik kimpul yang merupakan produk langsung dari Purwokerto serta biskuit yang dibeli di toko kelontong Pertigaan Ciawi. 

Fikri yang masih excited dan saya yang terlalu bahagia karena bisa datang ke sini nggak menyiakan pemandangan ini untuk difoto. Mbak Icung cuma bisa duduk karena ponselnya mati. Sementara Mas Widi tetap stay cool, menikmati semua karya Tuhan ini. Keren ya.

Puas berfoto-foto, saya kembali ke tempat istirahat. Menikmati camilan sambil bercakap ringan dengan Mbak Icung dan Mas Widi. Fikri? Masih sibuk hunting foto. 

Sure. Saya terkagum di sini. Pertama, kagum dengan semua pesona yang ada di tanah ini. Ke dua, akhirnya kaki saya bisa menjejak di tanah Gunung Gede, walau hanya di kakinya. Gunung Gede yang dulu kerap dinyanyikan Mak'e bersama gunung-gunung lainnya seperti Pangrango, Salak, Sumbing, waktu saya kecil. Saya lupa lagu apa tapi nama Gunung Gede-Pangrango sangat akrab di telinga. 

Ke tiga, saya bisa ke sini bareng sahabat-sahabat yang keren dan gokil!!! Coba kalau Mas Widi nggak ngajak saya ke sini. Coba kalau Mbak Icung jadi mudik. Coba kalau Fikri nggak ikut. Ya saya nggak bakal ke sini. Thanks ya geng... Kalian keren!

Pasukan Piknik Ceria Para Pekerja. Big thanks guys... Dari kiri-kanan: Mbak Icung, saya, Fikri, dan Mas Widi
Di tengah-tengah menikmati keelokan ini, tetiba Fikri mengeluarkan kertas kecil dari tasnya. Ia menyodorkan pada saya dan bilang: "Jul, Jul bikin tulisan dong, biar kayak anak kekinian." 

Beneran, setelah Fikri ngomong seperti itu, saya langsung ngakak. Emang ini anak bener-bener kurang piknik. "Aku pengin bales temen-temenku yang pada pamer foto liburan kemarin," lanjutnya. 

Baiklah, Fik. Sebagai sahabat dan teman kerja yang sering mendengarkan curhatanmu waktu di kantor dulu, tak turutin kemauanmu deh. Fyi, kertas kecil yang diberikan adalah struk ATM. Ampun deh, Fik. 

Agak lama kami di sini. Buktinya, keripik kimpul sama nopia yang dibawa nyaris habis. Itu pun setelah Mas Widi sedikit protes sama Mbak Icung. "Mbak, perasaan itu oleh-oleh buat aku. Kok dihabisin?" Hahaha.

Mungkin kalau Mas Widi nggak ngingetin untuk lekas berkemas, saya nggak mau pulang. Mungkin, kalau dia nggak ngingetin betapa macetnya Bogor dan berapa jam lagi sampai Jakarta, saya masih ingin tetap di sini. Masih ingin mencium aroma gunung, dedaunan hijau nan menyegarkan, udara yang masih fresh, serta air gunung yang dingin. Dan, saya pun harus mengucapkan selamat tinggal, sampai berjumpa lagi pada curug ini. Iya, sampai jumpa lagi sebab di kemudian hari, saya pasti ke sini. 

Perjalanan pulang kali ini lebih cepat daripada saat berangkat. Ya iya, wong jalannya turun. Tinggal waspada sama ngerem. "Coba tadi pas berangkat jalannya kayak gini, kan cepet.." seloroh Mas Widi. Yah Mas, tadi kan jalannya nanjak, ini turun. Huuu...

Sesampai di warung yang jadi basecamp, hari sudah menjelang petang. Awan hitam bergelayut, tanda malam siap membentang. Udara dingin juga mulai merasuk ke badan. Namun, Gunung Gede tetap gagah di sore itu. 

Tahu kalau saya tertarik dengan gunung itu, Fikri dan Mas Widi mencoba merayu. "Wis Jul, nginep aja. Nggak usah pulang. Pulangnya lusa. Kalau kamu mau ngecamp, ini langsung aku pinjem tenda," kata Fikri yang langsung disambar Mas Widi. "Iya Mbak, sayang lho udah di sini. Nginep di sini, besok liat sunrise." Duh Fik, Mas, kalau nggak inget Minggu pagi aku harus pulang ke Purwokerto dan sorenya ngantor sih oke-oke aja. Mau bangetttttt malah... 

Di warung tersebut, kami meluruskan kaki sambil menikmati nasi goreng dan mi rebus. Diselingi obrolan ringan tentang apa saja sebagai penghangat suasana.

Pulang menjadi aktivitas kami selanjutnya. Dengan menumpang lagi angkotan kuning menuju Pertigaan Cibodas untuk kemudian menunggu bus atau angkot colt yang akan membawa kami ke Bogor. Kebetulan, itu adalah malam Minggu. Malam yang biasanya saya lalui di kantor karena harus berkutat dengan edisi Mingguan, kini saya jalani di kaki Gunung Gede bersama sahabat-sahabat hebat. Bahagianya sayaaaaa..... 

Saat menunggu itulah, lagu dari band favorit saya, The Script yang judulnya Millionaires melintas di kepala. Saya menyanyikannya dengan pelan. We were singin' our hearts out, standin' on chairs//Spendin' our time like we were millionaires//Laughin' our heads off, the two of us there//Spendin' our time like we were millionaires, millionaires. Terus dan terus saya nyanyikan lagu itu. Bahkan saat di dalam colt, saya mengulangnya dengan lirih. Look at us, it's 6 in the mornin'//If time was money, then we'd be worth a fortune//I swear, you may think you're rich//You can have a million euros but you can't buy this

The Script... kalian memang juara. Geng... kalian keren. Next, kapan kita ke mana? ^^ (*)


NB:
Sebenarnya ada lagu lain yang saya nyanyikan pas pulang, tepatnya saat naik KRL dari Stasiun Bogor, yaitu Never Say Goodbye by Hardwell & Dyro feat Bright Lights. Alasannya simple, si model di video klip ini lari-larian di dalam kereta saat dia mulai interest dengan cowok yang meliriknya dari bangku seberang. Hehehe

Sisi lain dari seorang Fikri Adin. Fokus sama tasnya. :p

Gunung Gede-nya gagah banget ya. Ke sana ya... 

Mbak Icung nggelar lapak. Keluarkan bekalnya, Mbak... Hihihi

Jangan bilang2, kertas yang dipakai buat nulis adalah struk ATM. 

Happy Weekend buat kamu. Iya, kamu... :D

Mbak Icung, kita keren yaaaa.... 

Jumat, 05 Juni 2015

Yang ke Dua


MENJADI yang ke dua bukanlah impian setiap orang. Rasanya, semua orang selalu ingin menjadi yang pertama.

But sometimes, kita butuh menjadi yang ke dua. Agar tahu, bagaimana rasanya. Juga memahami setiap langkah, semua proses untuk menjadi yang utama.

Dan, inilah cerita saya kala menjadi yang ke dua. Mungkin tak sebagus dengan kisah lainnya namun setidaknya ini bisa saya ceritakan pada anak-anak, 20 tahun kelak. 

===
Jumat, 15 Mei 2015. Beberapa pesan masuk ke BBM saya, malam itu usai mengaktifkan akses Mobile Data. Tidak terlalu saya pedulikan sebab saat itu saya sibuk berkemas. Memasukkan kebutuhan camping ke ransel lantas bergegas mandi. Jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh. 

Tak berapa lama setelah mandi, kawan saya, Reni datang ke rumah. Disusul Nur alias Nung bersama sahabatnya, Dimas atau Kiyip. Sambil ngobrol menentukan rute tujuan camping kali ini. saya buka BBM di Tab (fyi, Tab ini hadiah ulang tahun ke 23 dari saya sendiri, hehe).

Rupanya, buanyak pesan pribadi yang masuk namun yang saya buka pertama kali adalah BBM Grup SatelitPost News alias grup kantor. Pesan terakhir datang dari Mas Hanan, Koordinator Liputan. Isinya tak lebih soal penugasan dan soal ucapan selamat pada Gesti juga saya. Lho, kok saya? Ada apa? Kalau Gesti jelas karena hari itu dia menikah. Saya? 

Cepat-cepat saya bukan pesan lainnya yang satu di antaranya datang dari Mbak Anies, yang tak lain adalah istri dari Mas Hanan. Dia bilang selamat sambil melampirkan gambar. Penasaran, saya cepat-cepat gambar tersebut. Dan isinya...

"PENGUMUMAN LOMBA ARTIKEL DAN FEATURES BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015"
Bibir saya lantas membaca cepat dan menemukan kolom: Lomba Features. Dalam kolom tersebut, ada nama saya!!! Lengkap dengan judul features, media, tanggal muat, dan keterangan Pemenang 2.

Tangan saya pun gemetar. Napas pun menjadi tak keruan, pun dengan detak jantung yang sangat cepat. Ada rasa sangat tak percaya jika lolos jadi juara dua di lomba tulis yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu. Lamat-lamat, saya bilang: Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah...

Usai sedikit tenang, saya bilang pada Nung, Reni, dan Dimas. Dan yeayyyy, keriuhan pecah saat itu juga. Makan-makan menjadi todongan mereka. Alhamdulillah, matur nuwun Gusti... Sungguh, berkah-Mu memang luar biasa. 

Honestly, ada rasa nggak percaya. Selain nggak pasang target bakal juara, juga ini adalah lomba Kemdikbud ke dua yang saya ikuti. Tahun 2013 di ajang yang sama, Alhamdulillah, dapat juara tiga. Agak sedikit pesimistis juga karena siapa tahu saya dicoret dari daftar peserta karena udah pernah menang tapi ikut lagi. Plus tulisan saya mengupas tentang madrasah yang notabene bukan jadi ranahnya Kemdikbud tapi Kemenag. Sehingga saat saya kirim tulisan tersebut, nothing to lose saja. Tapi ternyata, hasilnya di luar dugaan.

Dan, kabar saya jadi juara dua melesat cepat. Memenuhi dinding Facebook dan BBM. Terima kasih semuanya... =))

===

Kamis, 28 Mei 2015. Taksi Blue Bird yang disopiri mas-mas dari Garut mengantarkan saya dari depan BPKP, Rawamangun ke Hotel Atlet Century Park, Jalan Pintu Satu Senayan. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 45 menit (dan Alhamdulillah nggak macet), saya gunakan untuk ngobrol dengan pria satu anak itu. Dasar saya yang memang nggak bisa diam, jadi apa saja bisa jadi bahan obrolan. Mulai dari Garut (saya pamer pernah ke sana), keluarga, macetnya Jakarta, Purwokerto, sampai gelombang panas yang melanda India, beberapa waktu belakangan. 

Setiba di depan hotel, saya langsung menuju ke lantai satu yang jadi pusat acara penganugerahan. Sempat tingak-tinguk karena ada banyak orang di sini, sedangkan saya nggak ketemu dengan panitia yang dikenal. Saya pun permisi duduk di sebuah meja yang berisi bapak-bapak dan basa-basi tanya asal dan lainnya. Alhamdulillah, ketemu dengan mereka yang satu tujuan, hanya saja mereka jadi pemenang di bidang foto.

Tak lama, Mbak Lani, seorang panitia mendekat ke arah saya. Setelah salaman, basa-basi, dan cipika-cipiki, kami pun dipersilakan untuk mencicipi coffee break yang telah tersedia sembari nunggu Pak Menteri Anies Baswedan. Yap, orang nomor satu di Kemdikbud ini direncanakan hadir dan akan langsung menyerahkan piagam pada para pemenang. Inilah yang membuat saya sangat girang karena beliau adalah satu idola saya. 

Dengan perasaan yang campur aduk, dag dig dug, saya nunggu beliau sembari ngobrol dengan para jawara lainnya. Berkenalanlah saya dengan Mas Nanta, wartawan Harian Bhirawa yang jadi juara tiga lomba tulis Feature. Karena dia tinggal di Banyuwangi, praktis sepanjang obrolan, kami menggunakan bahasa Jawa. Juga dengan pemenang lainnya seperti Pak Hapaza dari Lombok, Pak Junaidi dari Padang, Bu Yuanita dari Manado, dan lainnya. 

Dan penantian kami selama kurang lebih tiga jam berbuah manis. Pak Menteri pun datang. Sayang, saya tak bisa melihat bagaimana ia datang karena pada saat yang bersamaan saya malah ke toilet. Duh... Begitu keluar dari toilet, saya langsung buru-buru masuk ke ruang acara dan meletakkan tas daypack di sebuah kursi. Rupanya, acara sudah langsung dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya

Usai bernyanyi, seorang panitia membisiki saya untuk pindah tempat duduk ke bagian depan, bergabung dengan pemenang lainnya. Rupanya, Pak Menteri Anies duduk di seberang saya. Wuahhh, makin nggak keruan rasanya. Ya seneng, ya deg-degan. 

Pembacaan doa dan laporan panitia menjadi agenda kegiatan selanjutnya. Rupanya, tahun ini ada peningkatan yang cukup luar biasa di semua kategori. Untuk lomba penulisan Features yang saya ikuti, diikuti 70 naskah dari tahun lalu hanya sekitar 27 tulisan. Meningkat pesat! Dan saya berhasil 'menyingkirkan' 67 naskah itu (minus yang jadi juara)!!! Warbiasaahhhh!!! Saya anggap, ini satu keberhasilan yang amat membanggakan.

Setelah itu, datanglah acara yang paling pokok, yaitu penyerahan piagam penghargaan. Satu per satu pemenang dipanggil. Yang pertama adalah Mas Nanta, juara tiga. Kemudian, saya. Yap, saya jadi nama ke dua yang dipanggil. 

Saat MC memanggil nama saya, ada rasa bahagia yang membuncah! Saya pun maju ke depan setelah menunduk, memberi hormat pada yang menyaksikan. Tepuk tangan pun membahana. Ah, rupanya saya masih merindukan suasana seperti ini. Apalagi saat biodata diri saya ditampilkan di sebuah layar. Biodata itu berisi nama, tempat tanggal lahir, agama, pekerjaan, hobi (saya mengisi membaca dan traveling), alamat, plus dengan foto close up saya yang mengenakan jersey Munchen, syal biru, dengan latar belakang telaga di Tegal Alun, Gn Papandayan. 

Di depan, saya langsung 'berhadapan' dengan Pak Anies. Beliau pun tersenyum. Saya asumsikan itu ke arah saya. Pak Anies pun tersenyum sangat bangga. Cukup, ini bikin saya beneran klepek-klepek. Sebagai balasannya, saya pun memberi senyuman atau lebih tepatnya cengiran maut. Heheheu.

MC selesai memanggil semua pemenang dan tibalah Pak Anies memberikan piagam penghargaan. Satu per satu sambil mengucapkan selamat. Tibalah giliran saya. Akkk, saya grogi setengah mati berhadapan dengan idola saya ini. Orang yang selama ini cuma bisa saya kagumi lewat tulisan, ide, pemikiran, dan quote-nya ternyata membawa piagam yang akan diserahkan pada saya. 
Salaman sama Pak Anies. Idola. Terima kasih semuanya...

Sebisa mungkin saya tersenyum dengan amat manis. Pak Menteri bilang: "Sri Juliati. Selamat ya, semoga bermanfaat." Saya pun membalas: "Nggih Pak, matur nuwun." Sejurus kemudian baru sadar kalau saya ngomong pakai bahasa Jawa. Namun, suara dan kilatan flash dari kamera melupakan pikiran saya itu. 

Sungguh. Saya terlalu bahagia hari itu. Sungguh, ada satu kisah lain yang terukir dalam kehidupan saya selama 25 tahun ini bersama ribuan cerita indah lainnya. Pengalaman ini jelas menjadi satu hal yang tak akan pernah terlupakan. Yang kelak akan saya kenang sebagai cerita membanggakan 20 tahun kemudian. 

Bahwa si bungsu nan jahil yang dulunya pemalu itu (uhuk) bisa berdiri, salaman,dan  berdampingan dengan idolanya. Bahwa, si bungsu ini bisa memberikan kebanggaan tersendiri pada keluarganya. Bahwa, si perempuan yang tengah memasuki usia kritis 25 tahun dan sering ditanyain kapan nikah ini bisa menjadi bagian dari mereka-mereka yang bekerja di dunia sunyi seperti kata Pak Anies. 

Dan, tak selamanya menjadi yang ke dua itu buruk. Menjadi yang ke dua, adalah satu capaian tersendiri untuk saya. Tentu, di lain kesempatan saya harus menjadi yang pertama. (*)

foto bersama dengan pemenang lainnya. nggak ada yang memperhatikan tali sepatu saya kan? :D

NB: 
Makkkk... anakmu ketemu Pak Menteri, dijak salaman mbek ngobrol. Anakmu iso gawe bungah ya, Makkk... Sehat terus ya Mak, ben iso deleng anake nek juara. 

Bapak, melihatku dari surga sana kan? Bangga ya Pak, anak yang paling sering kau ajak bertualang itu bisa memberikan sedikit kebanggaan pada keluarga? Senang kan Pak, anak yang sering minta duit saat bapak mau pergi itu bisa jadi juara tingkat nasional? Tenang di surga ya, Pak. 

Mbak... adimu pinter yo, ;)