Jumat, 30 Oktober 2015

Banyumas juga Punya Bukit Teletubbies Lho




Sebagian view Bukit Teletubbies di Ds Karangtengah, Cilongok


BENTAR, saya mau nyanyi dulu dan, eh coba tebak single ini ada di serial apa ya? "Tinky-Winky, Dipsy, Laa Laa, Po. Teletubbies, Teletubbies, berpelukan... Eh Oh. Beep beep."

Sudah bisa ketebak ya? Jelas, semua anak-anak yang hidup di era 90-an pasti inget dengan serial ini, kecuali yang tidak. Yap, Teletubbies

Selain para tokoh yang lucu bin nggemesin, ada yang membuat saya jatuh cinta dan terus ingat serial ini hingga sekarang, yaitu Teletubbyland. Teletubbyland merupakan wilayah dengan bebukitan kecil nan hijau, lengkap dengan tanaman bunga, kelinci, burung, serta rumah Teletubbies.

Dari serial inilah, setiap tempat atau bebukitan hijau langsung disematkan nama Bukit Teletubbies. Dan, sepengetahuan saya, Bukit Teletubbies di Jawa itu baru ada dua, yaitu di Gunung Prau dan kawasan Gunung Bromo.

Ternyata, nggak jauh dari 'rumah' saya, di Banyumas ada lho tempat yang disebut Bukit Teletubbies. Lokasinya ada di dekat Curug Cipendok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Untuk detilnya, baca sampai selesai ya karena akan saya ceritakan semua di tulisan ini. Ini dia...

Kaki-kaki. Dunia yang seluas jangkauan kaki.
Saya mendapat cerita tentang Bukit Teletubbies dari Nur Fatimah, itu adik saya yang paling kecil, manja, tapi paling kuat bawa carrier. Hihihi. Berbekal penjelasan singkat, kami, saya, Rosmawati alias Kak Ros, Reni Suryati, dan Nur sepakat main ke Bukit Teletubbies, Minggu (11/10) kemarin. Saya, Kak Ros, dan Reni berangkat dari Purwokerto sekitar pukul 10.00 WIB, sedangkan Nur nunggu di Cilongok karena rumahnya di Ajibarang, yang jaraknya lumayan deket

Dengan menggeber si ganteng maksimal Supri -yang belum juga di-service sejak turun dari Dieng dan jatuh di Baturraden beberapa waktu lalu- kami pun meluncur mulus di jalanan Purwokerto-Cilongok. Sempat beberapa kali terjebak macet karena perbaikan jalan di Karanglewas dan Pasar Cilongok, sampailah kami di meeting point dengan Nur di pertigaan arah ke Desa Karangtengah, Cilongok. Sementara kami menunggu Nur, Reni memilih untuk kondangan dulu.

Nggak lama Nur pun datang dengan riangnya. "Tenang Mbak, aku udah bawa makanan sama minuman..." serunya setelah turun dari motor. Alhamdulillah, ini yang saya harapkan karena rasa haus sudah terasa sejak di jalan tadi. Bebalnya saya, nggak kepikiran buat mampir ke warung atau toko buat beli minum. 

Tak ingin kehilangan banyak waktu, kami segera melanjutkan perjalanan, lurus menuju Bukit Teletubbies. Arahnya sama kok kalau ke Curug Cipendok, ikutin jalan aja. Be calm, jalannya udah mulus kok dan diselingi banyak tanjakan yang cukup wow! Lumayan bikin si Supri ngos-ngosan. Hahaha. Saya? Ya berdoa semoga kuat nanjak sambil memacu dia pelan-pelan.

Sampai di pertigaan besar arah ke curug, berhenti bentar, tarik napas, dan tenangkan pikiran. Kalau nggak, bisa-bisa salah belok kayak saya. Iya, karena harusnya saya belok ke kiri, bukan ke kanan. Kalau ke kanan itu memang ke curug, sedangkan tujuan kami ke Bukit Teletubbies yang ada di sisi kiri. 

Dari pertigaan itu, tujuan sudah semakin dekat. Melintas di turunan terakhir, lalu arahkan ke kanan saat sampai di tikungan. Kerja keras sedikit melewati jalur bebatuan dan sampaiiiii

Begitu turun dari motor, beberapa pemuda dari Desa Karangtengah, di mana lokasi bukit itu bersemayam, sudah menyodorkan lembaran tiket masuk dan parkir. Kami perlu membayar Rp 3 ribu per kepala. 

Langsung saja, bagai anak sapi yang digembala, kami langsung berlarian menuju bebukitan hijau itu. Mencari tempat yang enak buat duduk dan nggelar lapak berupa aneka snack yang dibawa dari rumah. Kayak piknik keluarga? Ya memang. Hahaha

"Itu Kak Ros kamu apain, Ren?" dan Nung cuma melihat tanpa tahu berbuat apa.
 "Ini cara pengusiran yang halus," kata Kak Ros yang kami sambut dengan tertawa. Hehehe. Bisa-bisa. Maap ya mas dan mbak... (",)v

Beruntung, cuaca waktu itu tak terlalu panas. Tapi karena cuaca sedikit berawan itu, langit di atas Bukit Teletubbies tak terlalu biru dan terang. Sedikit kurang gimana gitu kalau difoto. #kayakkamubisamotretjul

Sebagian perbekalan. Maklum, kami wanita. 
Nggak cuma ngobrol, saling ledek, atau curhat kesamaan nasib (you know what-lah ya), aksi selfie dan groufie jadi hal yang tak boleh terlewatkan. Termasuk aksi jahil saya waktu meminta mereka lari-larian di padang terus saya foto dari atas. Hasilnya, ya mereka kayak semut lah. Lha wong kuecil buanget. Hihihi

Sejauh mata memandang, yang saya lihat di bebukitan ini hanya warna hijau. Hijaaaauuuu semuaaa. Ada bukit-bukit kecil, pepohonan rindang. Mirip sama Teletubbyland-nya di serial anak-anak itu. Teletubbies-nya, ya kita-kita ini. Pas kan, berempat. 
Hijau, Hijau, Hijau. 
Rumputnya memang bukan jenis rumput yang halus, kayak rumput Jepang atau rumput sintetis. Melainkan rumput yang biasa untuk makan sapi. Iya karena dari penuturan warga sekitar, dulunya lokasi ini memang buat tempat angon sapi.

"Kak Ros, kamu kenapa?" 
Puas foto-foto dan sempat mati gaya, kami pun memutuskan untuk mlipir, jalan lagi ke tempat lain. Waktu itu, lumayan ramai sama anak-anak muda.

Ketika jarum jam sudah menunjuk angka dua, artinya kami harus bergegas. Utamanya saya, harus segera pulang. Maklum, mau kerja booo. Pun kondisi Kak Ros yang sedikit 'mengkhawatirkan' karena ternyata ini hari pertamanya kedatangan tamu. Segeralah kami memaju kendaraan pulang. Perjalanan pun diakhiri dengan kembali segarnya Kak Ros setelah makan Mi Ayam Kamandaka, depan rumah. Haisshhh!!! (*)


Galeri:
Buka makanan, grak!!!

Aku akan tetap kokoh, Jul. Kamu juga ya. #oposih?

Katanya, biar di-endorse. Kiri sama Hand Sanitizer-nya Nuvo, tengah Vaseline, kanan, nggak tahu sama apa. 

Perhatikan Bukitnya, jangan modelnya. 

Kan... Akunya nggak diajak selfie. Huftttt

"Mbak, itu yang sebelah sana mau kubikin kandang."
"Ya udah, sisanya mau aku bikin kolam ikan sama rusun." #khayal


Celfie eh Groufie ya pake B612. Ngoahahaha.

Pasukan Teletubbies yang bentar lagi jadi Pasukan Bela Negara

Aku menemukan damai di sini. 




Minggu, 18 Oktober 2015

Menebas Rindu di Gunung Slamet: Puncak Nggak Akan Lari Kok


YAP. Ini adalah bagian terakhir dari tulisan khas alias feature-nya Rizqi. Tulisan ini lebih pada perjuangan mereka ke Puncak Slamet. Selanjutnya, silakan disimak. Semoga berkenan, maaf bila ada salah-salah kata. 

==================================================================

KONDISI kawah Gunung Slamet di sekelilinganya masih terdapat
 material pasir hitam akibat erupsi setahun yang lalu, Senin (28/9).
SATELITPOST/RIZKY RAMADANI


PUNCAK ada di hadap kami. Tanah tertinggi di Jawa Tengah itu, nyata di depan kami. Tinggal beberapa langkah lagi, kaki ini akan menjejak untuk kali ketiga.

Rupanya, kami sudah berjalan selama 2,5 jam dari Pos 5 Samhyang Rangkah menuju Pos 9 Pelawangan. Kami mulai pendakian dari Pos 5, tempat kami ngecamp pukul 07.30 WIB dan sampai di Pos 9, yang menjadi 'gerbang' menuju puncak Slamet pukul 09.00 WIB. 

Jalan dari Pos 5 hingga Pos 6 Samhyang Jampang tak terlalu jauh. Cukup mendaki sekitar 25 menit, kami sampai di ketinggian 2800 mdpl. Kami pun sempat beristirahat sebentar, duduk santai di sebatang pohon yang tumbang. 

Usai mengembalikan tenaga, kami kembali berjalan menuju Pos 7 yang jaraknya sedikit lebih jauh. Sepanjang perjalanan menuju pos bernama Samhyang Kendit tersebut, saya menjumpai 'keajaiban' lain, tanaman edelweis. Saya bersyukur masih bisa menjumpai si bunga abadi dengan kecantikan yang sungguh memikat ini. Sesi foto bersamanya pun jelas tak kami lewatkan.
Jalur menuju Pos 7. Iya, ini yang kebakaran kemarin.

Sayangnya, baru beberapa langkah dari rerimbunan si bunga abadi, kami menjumpai pemandangan yang tidak enak dilihat. Di jalur yang kami lewati terdapat sisa-sisa pohon bekas terbakar. Akibat dari ulah pendaki yang sembrono membuat api unggun dan tidak benar-benar dimatikan saat meninggalkan, membuat terjadinya insiden kebakaran di jalur pendakian. Kejadian ini terjadi usai dibukanya kembali jalur pendakian Slamet pasca-erupsi.

Dari Pos 7, kami langsung beranjak ke Pos 9, tanpa perlu berhenti di Pos 8 Samhyang Katebonan. Pasalnya, jarak antara ketiga pos ini teramat pendek. 

"Mau muncak, Mas? Udah, istirahat dulu saja. Puncak nggak akan lari kemana-mana kok," kata seorang pendaki yang tetiba saja menyapa kami begitu sampai di Pos 9.


Monggo, istirahat dulu, Mas. Nggak akan lari puncak dikejar. 
Ajakan ini tak kuasa kami tolak. Selain mengistirahatkan kaki, kami juga perlu menghimpun tenaga untuk pendakian ke puncak yang jelas-jelas ada di depan saya. Ya, pendakian sebenar-sebenarnya pendakian dimulai dari Pos 9. Medan terjal dengan kemiringan kurang lebih 30-45 derajat serta material batuan cadas akan menjadi sahabat kami. 

Dengan penuh perjuangan serta kesabaran, kami mulai menapakkan kaki di bebatuan cadas. Pelan-pelan agar tidak terperosok. Maklum, bebatuan di sini ada yang berbentuk kerikil yang bisa membuat kaki terperosok jika salah meniti langkah. Perlu keseimbangan serta kehati-hatian saat melewati medan ini. 

Baru setengah perjalanan di medan bebatuan tersebut, kabut mulai ikut naik. Matahari langsung tertutup awan dan sempat membuat kami kecewa. Tak mungkin menyelesaikan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Sangat berbahaya jika semua jalur tertutup kabut. Selain juga menutup pemandangan di atas dan kawah Gunung Slamet.


Jalur menuju Puncak Slamet. Juli, lihat Mbak itu, kamu nggak kepengin? 
Kami tunggu dengan sabar sampai kemudian kabut itu menghilang dan mulai lagi pendakian. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, sampai satu setengah jam kemudian, kami berhasil melewati jalur bebatuan dari Pos Pelawangan. 

Yes. Puncak! Dua kaki saya rupanya sudah menginjak di puncak. Dua kaki saya sudah menapak di tanah tertinggi Jawa Tengah dengan ketinggian 3482 mdpl. Kami bertiga, saya, Ega Firmanto dan Mujiono sampai dengan selamat di atapnya Jawa Tengah. 

"Alhamdulillah akhirnya sampai semua di puncak," kata Mujiono, anggota organisasi pencinta alam Walang Ajibarang yang kali pertama naik ke Gunung Slamet.

Ada banyak rasa yang tak bisa dilukiskan. Haru, bahagia, senang, jadi satu. Juga rasa syukur yang tak henti kami ucapkan pada Tuhan. Sungguh, terima kasih Tuhan sudah melindungi dan menjaga kami. Sudah menciptakan karya yang luar biasa indah ini. Kami sangat kagum, terpesona, sampai tak henti-henti memandang sekeliling puncak.

Puas menikmati pemandangan ini, kami kembali berjalan menuju bibir kawah. Ada semacam tugu atau batas kabupaten antara Purbalingga-Banyumas. Dari situ, kami melihat kawah Gunung Slamet yang begitu luas, lengkap dengan lubang menganga di tengah kawah berselimutkan kepulan asap belerang. Bila ingin mengitari kawah, bisa ditempuh dengan waktu sekitar dua jam. 
PUNCAK SLAMET, 3482 MDPL. 

Saya takjub melihat karya ini. Sempurna dari Sang Maha Sempurna. Saya pun lantas mengingat bagaimana perjuangan untuk sampai di sini. Canda tawa dengan pedagang dan pendaki lain. Tertatih-tatih melewati jalur pendakian. Menikmati kemewahan di pagi hari, ngopi sambil melihat sunrise. Sungguh, ini akan jadi cerita tak terlupakan. 

Puas menikmati pemandangan di puncak, yang walaupun tertutup kabut, pukul 11.30 WIB, kami bergegas turun. Kembali ke Pos 5. Dibanding perjalanan naik, perjalanan turun kali ini lebih cepat dan tidak menguras tenaga. Yang diperlukan hanya kehati-hatian dan fokus saat menuruni lereng supaya tidak tergelincir dan jatuh ke jurang.

Satu setengah jam kemudian, tepatnya pukul 13.00 WIB, kami sudah nyante di Pos 5. Cepat kan? Kami tak ingin bergegas pulang dan memutuskan kembali 'menginap' di hotel seribu bintang, bertakhtakan bintang-gemintang di langit. 

Keesokan harinya, Selasa (28/9), kami bersiap untuk berkemas. Pulang menuju Basecamp Bambangan. Berangkat dari Pos 5 pukul 07.30 WIB, sampai di basecamp pukul 11.30 WIB. Kami sangat santai saat perjalanan pulang dengan alasan ingin lebih menikmati pemandangan di sekitar Gunung Slamet. Padahal alasan sebenarnya, kaki saya terkilir sehingga 'menghambat' laju jalan.

Bagi saya, ini sungguh perjalanan yang amat menyenangkan. Bisa kembali datang, mengunjungi Simbah Slamet adalah satu keinginan saya selama delapan tahun ini. Kerinduan padanya sudah tertebas dan tersampaikan. Lunas. Namun, bukan berarti saya tak akan lagi mengunjungi Gunung Slamet. Pasti. Suatu hari nanti, saya akan kembali lagi ke sini. Tentu dari jalur pendakian yang berbeda. Terima kasih Tuhan, alam, dan Gunung Slamet. 

Sekadar saran bagi yang ingin melakukan pendakian, siapkan fisik, mental, peralatan, dan logistik. Utamanya air. Sebagai pandangan, kami membawa tiga botol air mineral ukuran besar, dua botol ukuran kecil, dan dua derigen air masing-masing lima liter. Musim kemarau menjadikan ketiadaan mata air di Pos 5 sehingga mau tidak mau harus membawa air dari basecamp. 

Selain itu, pastikan api yang telah dibuat baik dalam bentuk rokok maupun api unggun, harus benar-benar mati. Jika tak ingin kejadian kebakaran kembali terulang dan membuat jalur pendakian kembali ditutup seperti sekarang ini. Jangan lupa juga, bawa turun sampahmu. Gunung bukan tempat sampah. Salam. (rizqi ramdhani)


note: setelah merampungkan tulisan ini, Rizqi kembali lagi ke Gn Slamet dengan dalih mengantar teman-temannya dari Bekasi. 

Kamis, 15 Oktober 2015

Ngopi di Pos 5 Sambil Menikmati Sunrise


INI adalah bagian ke dua dari tulisan, Menebas Rindu di Gunung Slamet karya layouter SatelitPost. Bagian pertama, bisa dilihat di link http://tulisanjuli.blogspot.co.id/2015/10/menebas-rindu-di-gunung-slamet.html.

Sesuai dengan judulnya, tulisan ini bercerita tentang moment sunrise di Pos 5. Tentu, masih ada satu tulisan tentang perjalanan ke puncak. Sabar ya. Untuk sementara, sila disimak. 

===========================================================
MATAHARI terbit  difoto dariPos 5 pendakian Gunung Slamet, Senin (28/9).
SATELITPOST/RIZKY RAMDHANI

DELAPAN tahun yang lalu. Tepat di tanggal 17 Agustus 2007, pagi. Usai pengibaran sang saka Merah-Putih di puncak Gunung Slamet oleh Mapala Satria UMP. Setelah perayaan Hari Kemerdekaan. Api berkobar di Pos 4 Samarantu. Kabar ini datang dari seorang pendaki dan langsung tersiar cepat, termasuk di telinga saya. 

Insiden ini memaksa saya dan 239 pendaki lainnya bertahan atau mungkin lebih tepatnya terjebak di puncak. Demi apapun, kami tak bisa turun kala itu.

Delapan tahun kemudian. Senin (28/9), saya sudah terbangun di 'rumah' kecil kami di Pos 5 Samhyang Rangkah. Di atas ketinggian 2650 mdpl itu, masih terekam jelas dalam ingatan semua detil peristiwa delapan tahun silam. 

Ya, saya selamat. Sebab tak lama dari kabar kebakaran itu, tim Basarnas bergegas mendaki untuk melakukan pemadaman. Saya tak tahu persis apa penyebab kebakaran tersebut. Itulah satu peristiwa menegangkan yang pernah saya alami saat melakukan pendakian. 

Selain saya, dua rekan dalam pendakian, Ega Firmanto dan Mujiono juga telah bangun. Walau badan masih terasa pegal, mata merah kurang tidur, kami tetap memaksakan diri untuk bangun, untuk menyaksikan sebuah keajaiban alam di pagi hari. Golden sunrise di Pos 5 Gunung Slamet.

Demi menghangatkan badan dan suasana, saya pun bergegas memasak air. Kami sepakat untuk membuat kopi sebagai minuman 'pembuka' di pagi hari. Aroma harum kopi langsung menguar begitu air panas disiramkan di atasnya, memenuhi indra penciuman. Wuuuhhh, sedeppp... Itulah kemewahan yang bisa saya rasakan di gunung. Kapanlagi bisa ngopi di atas gunung sambil lihat sunrise?!

Bersandingkan secangkir kopi, kami bersama para pendaki lain, berdiri memandang ke arah yang sama. Timur. "Ini nih moment yang paling saya tunggu kalau manjat (Gunung) Slamet, lihat sunrise," kata seorang pendaki yang duduk di depan tenda. Mau tidak mau, ucapannya harus saya amini. 

Dan, kejadian tersebut cepat saja. Di timur, pancaran garis cakrawala berwarna merah kekuningan mulai terlihat. Itu jadi satu tanda, sang penguasa siang akan segera terbit. Saya pun bersiap, berbekal kamera ponsel, mengarahkan posisi di mana ia akan muncul dan mulailah, klik klik klik. Ia, matahari bangun, muncul dan menampakkan diri. Menjadikan semua panorama yang lihat menguning, bukan kuning melainkan, menjadi emas seperti warnanya. Juga semburat warna biru. Menjadikan langit yang semula pekat menjadi terang. Membangunkan semesta raya dan tentu saja saya yang masih terkantuk-kantuk. 

"Mas, minta tolong fotoin dong, yang belakangnya ada sunrise ya," pinta seorang pendaki wanita sembari menyodorkan kameranya. 

Saya pun tak kuasa menolak permintaan itu, walau sebenarnya saya juga kepengin difoto seperti itu. Hehehe.

Sejuknya udara pagi, ditambah kicauan burung, suara khas babi hutan, dan lolongan anjing hutan menambah semarak suasana pagi hari di Pos 5. Hijaunya punggungan bukit yang mulai terlihat kala matahari kian meninggi, membuat mata semakin segar. Sebuah harmoni panorama yang luar biasa indah. 

Suasana dan kondisi Pos 5 juga kian ramai dengan coletehan-celotehan para pendaki. Ada sekitar lima tenda yang berdiri di camp area tersebut. Dalam hitungan saya, itu banyak dan sempat membuat kami bingung saat mendirikan tenda. Kondisi Pos 5 sekarang jauh berbeda dibanding dulu. Dulu, area camp masih luas. Sekarang, sudah nampak rimbun dengan tanaman perdu. 

Tak terasa, jarum jam sudah menunjuk angka enam. Saatnya sarapan. "Gie arep masak apa nggo sarapan? Masak sayur bayem bae apa?” tanya Ega kepada saya. 

"Ya kena, sing penting kena nggo sarapan, nyong tak gawe wedang susu ya," sahut saya kepada Ega, si atlet maraton. 

Momen kebersamaan dan canda tawa riang menemani aktivitas pagi itu. Tentu saja, apapun makanannya tetap kami lahap sebab bagaimana pun saat melakukan pendakian ke puncak, jangan sampai perut dibiarkan kosong. Sarapan itu kunci. 

Usai sarapan, kami masuk ke tenda, menyiapkan bekal untuk summit attack. Bersiap menuju puncak. Bersiap menjejak di ketinggian 3428 mdpl. Bersiap melangkah di tanah tertinggi di Jawa Tengah. Tuhan, restui dan lindungi perjalanan kami. (*)


penulis: rizqi ramdhani
editor: sri juliati



Senin, 12 Oktober 2015

Menebas Rindu di Gunung Slamet




Panorama Gunung Slamet dari Puncak Sakub, Bumiayu.
Foto diambil tanggal 4 September 2014 oleh Fikri Adin.


SELAMAT malam. Entah kapan pun Anda membaca ini, tetaplah selamat malam dari saya. Ya, karena saya ngepost tulisan di malam hari, usai berkutat dengan banyak tulisan.

Tulisan kali ini soal pendakian Gunung Slamet. Iya, gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut akan menjadi objek tulisan ini. Gunung yang berlokasi di lima kabupaten di Jawa Tengah, Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. 

Dan, kejutan! Kali ini, bukan saya yang menulis melainkan Rizqi Ramdhani. Perkenalkan, dia adalah layouter SatelitPost, yang biasa 'nata' halaman saya, halaman Leisure, cum yang sering ngajak berantem.

Rizqi dan timnya. Dari kiri: Ega, Rizqi, dan Mujiono. 
Ceritanya, akhir bulan September tepatnya Minggu (27/9), dia naik ke Gunung Slamet bareng kedua temannya, Ega dan Mujiono. Saya kenal Ega, karena pernah bareng ke Merbabu. Atlet lari dia, booo... Nama terakhir, saya nggak kenal. 

Sebelum berangkat, Rizqi sempat mampir ke rumah, ambil senter dan SB. Nah di situlah peran pertama saya: meminjamkan dua alat ini. Penting nih buat disebutin. Coba kalau nggak ada SB, dia mau tidur pakai apa coba? :v


Selasa (29/9) sore, saya lihat dia sudah ganti DP BBM. Tandanya, dia sudah turun, sudah di kosan dengan nyaman, dan sudah mandi. Langsung saya berondongkan beribu-ribu pertanyaan, terutama soal kondisi dan jalur pendakiannya via BBM. 

Penjelasan bla bla bla, saya usulkan gimana kalau cerita pendakiannya ditulis jadi feature atau tulisan khas buat di koran. Awalnya dia nggak mau, minder. Wong job tiap hari nata berita kok suruh nulis. Tapi bukan Juli namanya kalau nggak bisa ngerayu! Hahaha. Sejurus kemudian, oke dia mau asal nanti diedit. Santai mah. Urusan edit-mengedit, that's my job!

Rupanya, menulis feature tak semudah yang dibayangkannya. Dua hari kemudian, dia lapor: "Gieelah, aku wis nulis akeh banget, malah dadi puisi." Saya pun menjawab: "Kalem Qi, semangattttt. Hanya masalah terbiasa dan tidak." 

Beberapa hari kemudian, jadilah tulisan khas itu. Mau tahu panjangnya berapa? Tujuh lembar! Begitu saya buka, yang saya lihat bukan tulisannya tapi foto-fotonya. Hahaha. Tulisan baru saya baca pas malam Minggu (3/10), jelang tidur sambil BBM-an sama yang bersangkutan, detailing tulisan yang boleh saya kasih nilai, 6. Hehehe. 

And, this is. Tulisan perdana dari Rizqi soal Gunung Slamet yang mau tidak mau harus saya re-write. Tentu sudah ada persetujuan dari yang bersangkutan, termasuk pemuatan di blog.

Ini tulisan pertama. Masih ada satu atau mungkin dua tulisan lagi yang merupakan sambungannya. Kenapa nggak langsung semua? Karena terlalu panjang dan saya mengikuti jadwal pemuatan di koran SatelitPost, So, happy reading. Terima kasih sudah mampir. 

======================================================================
Dari Kabut hingga Badan Membentur Pohon 

DELAPAN tahun tak menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Jawa Tengah, membuat saya rindu. Alhasil, saat pendakian menuju Gunung Slamet resmi dibuka kembali pasca-erupsi 2013 lalu, saya pun segera bergegas, menebas kerinduan ini. 

Bersama kedua kawan saya, Ega Firmanto dan Mujiono, kami menyusuri jalanan Purwokerto-Purbalingga menuju Dusun Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Minggu (27/9). Di dusun tersebut, berdirilah posko atau yang biasa disebut Basecamp Bambangan yang menjadi satu di antara pintu masuk menuju Gunung Slamet. 

Setelah berkutat pada jalanan yang berkelak-kelok, menanjak, plus menahan beban carriel yang telah menempel di punggung sejak dari keberangkatan, sampailah kami di Basecamp Bambangan, pukul 15.30 WIB. 

Ramai. Begitulah suasana yang dapat saya gambarkan. Para pendaki mulai menjejali basecamp. Beberapa dari mereka adalah yang ingin turun alias pulang. Sementara lebih banyak yang baru saja datang, hendak naik. Seperti kami. Dari informasi yang saya peroleh dari petugas, ada 500 pendaki yang akan melakukan pendakian pada hari itu. Rerata berasal dari Purbalingga, Purwokerto, Magelang, hingga Jakarta. 

Sebelum mendaki, para pendaki wajib melapor pada petugas dan membayar retribusi sebesar Rp 5 ribu sebagai perawatan sarana dan prasana serta Rp 10 ribu untuk parkir kendaraan. Kami pun tak langsung naik. Beristirahat sejenak demi mengembalikan tenaga sembari menata ulang perbekalan, agar jangan sampai ada yang terlewatkan dan terlupakan.

Usai packing dan badan kembali bugar, kami bersiap. Bersiap mendaki, bersiap menyatu dengan alam, dan bersiap menggenapkan kerinduan. Tak lupa, doa dirapalkan agar Tuhan merestui perjalanan ini.

Pukul 16.30 WIB, kami mulai langkah pertama menuju Gunung Slamet. Baru beberapa langkah, sudah menerima ucapan selamat datang dari kabut tebal yang 'turun gunung.' Menghalangi sebagian pandangan. Tapi bagi kami, itu adalah keasyikan tersendiri.

Jalur menuju Pos 1 (Pondok Gembirung) sebenarnya belum begitu sulit. Kami hanya perlu melewati jalur sempit nan berdebu yang diapit ladang sesayuran dan umbi-umbian milik warga sekitar. Meski tak begitu menanjak, cukup untuk membuat tenaga mulai terkuras dan mandi keringat.

Tak terasa, jarum jam menunjuk 17.45 WIB, jelang Magrib. Dengan napas tersengal-sengal, kami pun sampai di Pos 1 dengan ketinggian 1990 mdpl. Capek. Namun, rasa lelah itu seketika terobati kala bertemu dengan warga setempat yang berjualan. Iya, di pos ini, masih bisa menemukan penjual yang menjajakan beragam makanan seperti gorengan, buah-buahan, dan minuman kopi dan air mineral. 

Pondok Gembirung merupakan Pos 1 di JalurBbambangan. 
Terdapat warga yang berjualan bagi para pendaki yang sedang istirahat.
 Mereka berjualan pada hari Sabtu dan Minggu.
Jangan tanya soal harganya. Untuk satu potong gorengan dihargai Rp 1.500, air mineral ukuran sedang Rp 6 ribu, serta nanas dan semangka dihargai Rp 3 ribu per potong. Mahal? Sebanding dengan usaha mereka mendaki sembari memanggul barang dagangan. Apalagi, mereka hanya berjualan saat akhir pekan.

Sambil menunggu azan Magrib, melepas lelah, saya pun menyomot beberapa poyong semangka dan nanas. Segarrr. Langsung memenuhi tenggorokan. Pun masih diberi bonus cerita-cerita tentang Gunung Slamet. Utamanya soal Pos 1 alias Pondok Gembirung. Nama Gembirung diambilkan dari seorang tetua yang sangat dihormati oleh warga sekitar, yaitu Kajeng atau Ki Ajeng Gembirung. 

Segendang sepenarian dengan Pos 2 yang dinamakan Pos Walang. Diambilkan dari nama Kajeng Walang. Sayang, kisah bagaimana penyematan kedua nama itu di pos pendakian, tak banyak diketahui. Hanya juru kunci dan anaknya yang mengetahui.

Malam pun turun. Menggantikan sore demi memberi kesempatan pada matahari untuk kembali ke peraduan. Tenaga kami telah kembali dan siap melanjutkan perjalanan menuju Pos 2 Walang, ditemani sinar rembulan. 

Jarak dari Pos 1 menuju Pos 2, lumayan jauh. Dalam hitungan jarak datar, kurang lebih 725 meter dan bisa ditempuh dengan waktu 40 hingga 60 menit. Namun, kami 'berhasil' menyelesaikannya dalam waktu 1,5 jam alias 90 menit. Lebih lama dari hitungan normal. Selain trek yang kian menanjak, juga mulai kelelahan. Di Pos 2, kami mulai menjumpai beberapa pendaki yang sudah berkemah. Rerata adalah pendaki yang baru saja turun dari puncak dan memutuskan untuk membuat tenda di Pos 2 dengan ketinggian 2245 mdpl.

Istirahat sebentar, kami segera bergegas. Malam pun kian pekat, membimbing kami menuju Pos 3 Pondok Cemara. Jaraknya tak jauh. Hanya butuh 40 menit. Tepat pukul 21.45 WIB, kami tiba di ketinggian 2475 mdpl. Rupanya kami tak sendirian. Ada sekelompok pendaki asal Purbalingga yang tengah beristirahat sambil menghangatkan badan dengan membuat api unggun. 

Surprise. Tak hanya mereka namun juga dua orang pedagang! Ya, di ketinggian nyaris 2500 mdpl, kami masih menjumpai pedagang. Walau tak selengkap di Pos 1, tetap saja ini kejutan. Ditambah perut kembali berteriak, meminta kembali diisi. Jadilah lontong dan gorengan tahu empat biji yang tersisa, kami tandaskan. Habis. Kenyang. Badan pun ikut terasa hangat di tengah dinginnya malam yang kian merambat. 

Pukul 22.00 WIB, kaki siap diajak ke pos selanjutnya. Pos 4? Bukan, itu bukan pos tujuan utama. Langsung menuju Pos 5 Samhyang Rangkah di ketinggian 2650 mdpl. Bukan tanpa alasan kenapa kami memilih melewati pos di ketinggian 2555 mdpl tersebut. Angker. Sesuai nama yang disematkan pada Pos 4, Samarantu yang artinya hantu samar-samar. Itulah kenapa para pendaki, tak terkecuali kami menghindar untuk mendirikan tenda di pos ini. 

Bergegas ke Pos 5, kami harus melewati jalur yang menyempit disertai cerukan dalam. Tak terhitung berapa kali ransel harus tersangkut di ranting pepohonan yang melintang di atas kepala. Itu sebabnya, harus lebih menunduk. Namun apa daya, makin gelapnya malam dan semakin lelahnya badan, membuat saya beberapa kali kehilangan konsentrasi.

"Aduh! Sirahku," seru saya pada dua kawan yang berjalan di depan. 

"Kenangapa ko?" tanya Ega. 

Naik-naik ke puncak gunung, indah-indah sekali.
Saya pun mengusap-usap kepala yang terasa nyeri. Setelah saya selidiki, rupanya baru saja saya membentur sebuah pohon. Senter yang saya kenakan tak cukup membantu penghilatan. Tidak keras tapi cukup membuat saya mengaduh. 

Dan setelah perjalanan melelahkan dan menguras tenaga itu, sampailah kami di Pos 5. Di sana, kami telah menjumpai para pendaki yang telah terlebih dahulu mendirikan tenda, memasak, melepas lelah, tidur. Seperti kami yang sejurus kemudian langsung membuka peralatan, bergegas memasang tenda, dan istirahat. 

Sebenarnya, kami ingin ngecamp di Pos 7 supaya lebih santai saat perjalanan ke puncak. Namun atas saran dari pedagang di Pos 3 tadi, kerap ada kawanan babi liar yang usil dan membawa carrier pendaki di Pos 7, maka kami memilih ngecamp di Pos 5, tepat pukul 22.45 WIB. 

Enam jam 15 menit. Itu waktu yang kami tempuh dari Basecamp Bambangan menuju Pos 5. Cukup membuat kami mandi keringat. Cukup menguras tenaga. Dan cukup sampai di sini dulu. Kami harus lekas tidur demi pendakian menuju puncak, keesokan harinya. (*)


penulis: Rizqi Ramdhani
editor: Sri Juliati 



Minggu, 04 Oktober 2015

Sisa-sisa yang Tidak Sia-sia

SELALU ada cerita yang tak terduga dalam setiap perjalanan. Sisi lain, selain inti kisah itu sendiri. Dan rasanya, sayang banget jika tidak ditulis.


Dari ki-ka: Reni, Simbah als Widi, Juli, Nur, Adek als Firman
Seperti petualangan menuju Gunung Prau dan Bukit Sikunir, Dieng, Wonosobo bareng Nur Fatimah, Reni Suryati, Widi Nugroho, dan Firman Al Ahyar, Sabtu-Minggu (12-13/9).

Semuanya akan saya tuliskan di sini, tentu dengan gaya bahasa yang berbeda, dibanding dua tulisan sebelumnya. Selamat membaca sambil ngopi... sruput duluuu.......

1. Satu Bulan
Siapa penggagas piknik kali ini? Tak lain dan tak bukan adalah Mas Widi. Itu, mas-mas asli Yogya yang ketemu di Gunung Papandayan. Iya, mas-mas yang cuma pakai celana pendek pas muncak. Yang juga ngajakin ke Curug Cibeureum, Cibodas, Mei lalu. Iya, itu orangnya. 

Nah, ini yang ngajakin piknik. Iya, itu yang jalan sendiri, di belakang.
Satu sore, dia Wasap. Tanya soal rute ke Dieng, Prau, jauh nggak dari Purwokerto. Setelah saya jelaskan, eh lha dalah malah langsung ngajak ke sana. Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan. Apalagi, saya udah kangen berat sama Prau. Nyaris setahun nggak ke sana.

Tanggal berapa kita ke Prau? Diputuskan tanggal 12-13 September, pas hari Sabtu-Minggu. Artinya, saya harus minta libur dua hari. Boleh nggak ya? 

Di tengah kebimbangan itu, muncullah kabar baik. Pak Kholil, Redaktur Pelaksana mau cuti dari Selasa (8/9)-Jumat (11/9). Kalau Pak Lil, nggak berangkat, artinya saya harus standy by di kantor, termasuk Selasa yang jadi jatah saya libur. 

Langsung saja saya samber sambil nyengir: "Pak, berarti liburku diganti Sabtu aja ya, malam Minggu. Sama minta izin Minggu, nanti kuganti Selasa depan."

Pak Lil sempat mikir bentar. "Ya nggak apa-apa, asal edisi Mingguan beres," kata dia. 

"Yessss!!! Mingguan kalau sama Juli mah aman, Pak. Jumat udah kelar," ujar saya penuh keyakinan dan mantap. Udah biasa kan Jul? 

Nah, mau tahu berapa lama kami merencanakan perjalanan ini? Sebulan! Tepat tanggal 12 Agustus, si mas ini nge-Wasap ngajakin, sambil ngerencanain ini-itu, bawa apa aja, transport gimana, dan lainnya. Agak kaget juga sih, karena rata-rata perjalanan yang saya lakukan, persiapannya paling dua minggu sebelum hari H. Bahkan bisa jadi seminggu atau malah sehari. Berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, ada beberapa agenda yang gagal dilakukan saat direncanakan jauh-jauh hari. 

Namun bukan berarti persiapan itu tidak penting. Amat penting. Bahkan, sukses tidaknya sebuah acara, kegiatan, dan lainnya ditentukan dari persiapan. Cuma kalau orangnya tipe macam saya yang suka menggebu-gebu di awal dan nglokro di belakang, maka persiapan singkat atau malah ndadak bisa jadi jalan tengah. Ya daripada udah disiapin jauh-jauh hari dan akhirnya nggak jadi, ya mangkel!

2. Teman Baru
Rencana mau ke Gn Prau sudah saya sounding-kan bareng teman-teman, seperti Nur Fatimah alias Nung sama Reni Suryati. Mereka pun angkat tangan sambil ngangguk. Berangkat. Sempat ngajakin beberapa teman tapi, karena ada berbagai sebab dan alasan, jadilah kami bertiga yang 'bertugas' mengantar tamu dari Jakarta itu. 

Awalnya, ada empat orang dari Jakarta yang mau naik. Selain Widi, ada yang namanya Firman, Andre, sama Leeyoo. Dua yang saya sebut terakhir mundur. The show must go on, petualangan harus terus berlanjut. 

Nah, dua malam sebelum hari H. Saat saya laporan sama Mas Widi soal tenda, dia bilang: "Aku yang nggak aman. Sabtu suruh masuk." Saya pun jawab (lebih tepatnya nyemprot): "Bolosss, apa-apaan kalau nggak jadi." Ada nada jengkel waktu itu. Tapi lekas saya cairkan dengan emoticon melet (:p) dan tertawa (:D). Plus bumbu, kalau saya percaya pada kemampuan melobi dan merayunya. Karena kejadian ini sama persis yang kami alami waktu main ke Cibodas, Mei lalu. Dan Alhamdulillah, berhasil!!!

Jadilah, hanya ada dua orang yang ke sini, Mas Widi dan Firman. Berangkat dari Jakarta, Jumat (11/9) sekitar pukul 21.00 WIB malam, pakai KA Serayu Malam, sampai di St Purwokerto, keesokan harinya tepatnya Sabtu (13/9) pukul 07.30 WIB. Artinya, mereka menempuh perjalanan dari Jakarta-Purwokerto sekitar 10 jam! Pegel-pegel deh. :D

Yang bertugas buat jemput mereka adalah saya dengan Reni. Dan, itu kali pertama saya bertemu dengan seorang teman baru. Yap, Firman. Kali ini, kami langsung kenalan, nggak kayak di Gn Papandayan beberapa waktu lalu, kenalannya pas udah mau pulang. 

Si Adek sama si Kakak. Adek yang kuat ya... :D
Pas pertama kali ketemu, saya mbatin: "Wah, bongsor juga nih, bocah." Setelah sampai rumah, muncullah naluri kewartawanan saya alias suka tanya-tanya. Seperti asal, di Jakarta berapa tahun, dan lainnya. Bukan asl plz kok. Hihihi.

Firman, yang kemudian dan seterusnya saya panggil dengan sebutan adek, adalah anggota termuda sekaligus terkuat di tim kami. Termuda secara umur dan paling kuat karena dia yang bawa tenda. Malu ya Dek, sama umur, kalau nggak kuat bawa tenda. Heheheu. Karena yang paling muda dan kuatlah, dia selalu jalan di depan. Bahkan sampai menantang saya lari pas pulang via jalur Dieng. Dilakuin? Nggak. Hemat tenaga, boiiiii... Masih jauhhh...

3. Pasukan Kece Bong
Itu adalah nama yang disematkan pada pasukan kami. Siapa lagi kalau bukan Mas Widi. Pasukan kece bong adalah sekumpulan anak-anak muda yang keren, gemesh, dan tetap kece di manapun, kapan pun, walau baru tidur dan nggak mandi. Hihihi. 


Pasukan Kece Bong swafoto di dalam tenda. Tetap kece. 
Pasukan ini beda ya sama pasukan kece bong kebanyakan. Just kece bong dengan penulisan berjarak antara kece dan bong. Pun tidak ada embel-embel belakangnya.

Tertarik untuk jadi anggota pasukan kami? Boleh. Free kok. Syaratnya juga gampang. Siap jalan jauh dan jangan ngeluh. Susah? Ya wajar sih, pekerjaan paling mudah di dunia ini kan mengeluh. For more information, hubungi langsung sama kepala sukunya, di IG @widinugroho28. Angka 28 menandakan umur si pemilik akun. #eh 

Sekilas soal Mas Widi. Frankly speaking, paling nggak tahan kalau nggak cerita soal ini orang. Saya mengaku: saya tertipu. Awalnya, saya kira, dia akan seperti waktu di Gn Papandayan dan Cibodas, beberapa waktu lalu. Yang kalem, cool, sedikit malu, dan jarang mau difoto, meski dia tetap jalan paling belakang dan pakai celana pendek. Saya kira, dia cuma ramai pas di WA atau BBM saja.

Dan, perkiraan ini berubah 180 derajat! Dia bukan lagi Widi yang cool, yang ogah difoto. Yang ada dia ngajak swafoto mulu. Nyaris semua foto-foto di Tepi, foto selfie-nya. Sebagai peringatan, jangan berikan hape sama Mas Widi. Niscaya, memori ponsel bakal penuh sama foto-fotonya. x_x 

Pun dengan si Adek. Saya pikir dia akan sama antengnya, mirip seniornya. Ternyata nggak. Anaknya seru dan hobi selfie. Duh jon...

Di mana pun dan kapan pun, swafoto tetap hayuk ajah. 
Overall, di tim ini kami saling melengkapi. Ecieee... Si Adek yang kuat, yang bawa tenda. Nung yang walau kecil badannya tapi paling senior di antara kami. Maklum, anak Mapala. Reni, si juru masak, suporter paling semangat, dan Mas Widi yang jadi penyapu, memastikan tidak ada yang tertinggal. 


Saya? Kebagian merekam, mengamati, dan menulis cerita lah dengan iming-iming muat di koran sama blog. Siapa coba yang nggak mau, kisahnya dibaca orang se-Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, sebagian Gombong dan Bumiayu. Hahaha. Apalagi berkat catatan perjalanan ini, banyak pembaca yang suka dan ngefans. Seperti Mbak Ningsih, Mbak Irtanti, Pak Hartoko yang bilang: "kalau baca tulisannya Mbak Juli itu, seperti ikut beneran, ikut ngrasain dinginnya, ikut takjub melihat sunrise." Sedikit narsis boleh kan? :v

4. Menembus Kabut
Sesuai rencana, kami berangkat dari Purwokerto menuju Dieng dengan menggunakan sepeda motor sekitar pukul 13.00 WIB. Pembagiannya, Mas Widi boncengan sama Reni, Nung sama si ade, dan saya sama Supri. Motor yang gantengnya maksimal! 


Supri nih, yang gantengnya maksimal. Foto di kosan lama. 

Brum brum brum. Motor melaju, membelah Jalan Riyanto Sumampir, Pabuwaran, Tambaksogra, Sumbang, masuk ke Padamara, Purbalingga, membelah jalanan di Kota Perwira dan melaju hingga ke Bojong dan Wirasaba. Nah pas sampai di jalan arah ke Wirasaba itu, saya sudah bahagia, jalanan mulus, enak buat si Supri. Saya pun teriak, "Jayalah Purbalingga." Tapi nggak lama. Tadaaaaaaa, jalan rusak, berlubang di-mana-mana, sampai bingung mau lewat mana, menyambut kami. Langsung kalimat Jayalah Purbalingga saya tarik. Jalan PHP!

Lepas dari jalanan rusak itu, kami kembali ngaspal jalanan Purbalingga-Banjarnegara. Wuuuhhh, mulusss. Tapi, no offense ya, jalanan Banjarnegara itu mbosenin. Lurusnya minta ampun! Panjang lagi. Berasa nggak habis-habis kalau lewat jalan di daerah itu.

Sayang, mulusnya jalanan Banjarnegara hanya sebentar, begitu masuk kota, selamattt, jalannya bergelombang dan di beberapa lokasi berlubang. Duh, jalan rusak di Banjarnegara itu selalu diberitain lho, sering ditulis sama Mas Maula dan Mas Gatot, wartawan SatelitPost Banjarnegara. Tapi kok ya nggak dibenerin juga. Duh, Gusti. 

Setelah dari Banjarnegara, kami mulai masuk ke Wonosobo. Tapi tunggu dulu, kok belakang saya nggak pasukan kece bong? Alhasil, di deket markas kantornya cabangnya Kak Ros di Wonosobo, saya berhenti sambil menunggu mereka. Ditambah kepala bagian belakang juga mulai cenat-cenut. Mungkin karena kurang minum plus terlalu lama berkendara. 

Agak lama menunggu mereka, sekitar 20 menit. Setelah kembali bersama, kami berlima bergegas menuju Wonosobo dan di sinilah saya mengalami tragedi yang paling ditakutkan semua pengendara yang tidak memiliki kelengkapan berkendara. Razia kendaraan bermotor alias tilangan! Kena, Jul? Ada dehhh, ;)

Lepas dari razia itu, kami sempatkan mampir sebentar di masjid setelah Alun-alun Wonosobo untuk salat Asar sambil kembali berkemas. Maklum ada yang bawaannya sedikit. Hheheu. Dari masjid itu, kami masih mampir bentar isi bahan bakar untuk motor dan perut. Tepat pukul 17.30 WIB, kami benar-benar menuju Dieng. 

Perjalanan menuju Dieng sangat jauh berbeda dibanding perjalanan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Ini adalah kali pertama saya motoran sendiri, jadi sopir buat diri sendiri. Sempat agak was-was tapi Bismillah saja sambil berhati-hati bawa si Supri. Maklum, motor tua. Ketika sudah di area tanjakan dan turunan, serta kelokan panjang, saya cuma memacu Supri di gigi 2. Paling pindah ke gigi 1 abis itu balik lagi ke gigi 2. 

Selain itu, awan hitam yang mulai menggelayut, menandai dimulainya malam hari. Suara binatang malam mulai terdengar. Dan kabut pun perlahan turun. Membuat saya mulai kedinginan, merembes melalui jaket. Juga mulai menghalangi jarak pandang. Sebelumnya saya bisa melihat sekitar enam meter, lama-lama berkurang, lima, empat, tiga, dua, dan satu. Ya, saya hanya memiliki kemampuan melihat dalam jarak satu meter, mengandalkan lampu depan si Supri.


Jalan menuju Dieng di siang hari. Iya, itu yang berjajar kendaraan.
Dan, saat kabut turun inilah, nyali saya sedikit ciut. Di jalanan itu, hanya ada mobil colt dan satu sepeda motor di depan. Dan saya sama sekali enggan menyalip dua kendaraan itu. Sementara teman-teman jauh di belakang.

Dari beberapa perjalanan malam hari yang pernah saya lakukan, honestly, ini yang bikin saya olahraga jantung. Dulu, saya pikir, ngaspal jalur selatan Jawa Tengah di malam hari dalam situasi hujan, sudah yang paling bikin tratapan. Ternyata ada yang lebih. Apalagi di sepanjang Dieng itu, saya jarang berpapasan dengan pengendara lain, baik yang searah maupun berlawanan.

Sudah. Di titik itulah saya pasrah. Saya bilang sama Tuhan: "Tuhan, Engkau pelindungku. Apapun yang terjadi, itu terserah pada-Mu saja." Dan saya pun merapalkan beberapa ayat dan surat. Entah saat ketemu tanjakan, turunan, belokan, atau landai. Begitu seterusnya sampai kabut perlahan menghilang, dan saya bisa memandang dengan jangkauan normal. Alhamdulillah...

Apalagi tak lama, kami sampai di gapura selamat datang di Dieng. Huaaa, legaaaaaa sekali. Berkali-kali saya mengusap dan memujinya: Kamu hebat, Sup. Kamu keren. Saya juga. Hehehe. And I was so excited. Takjub aja kok bisa nyetir sendirian ke Dieng, nembus kabut. Ini pengalaman seru.

Dan saking excited dan terharunya, begitu sampai di halaman Kantor Desa Patakbanteng, saya mencium Supri sambil bilang: "I am so proud of you, Sup." Tak lupa memeluk dua sahabat saya, Nur dan Reni dengan kondisi agak gemetar. Gemetar karena kaget dan dingin.

Di halaman kantor kepala desa itu kami hanya menitipkan motor dan helm. Iyess, karena basecampnya udah pindah ujung Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Tarif nitipin motor dan empat helm, Rp 22 ribu. Oleh mas-mas penjaga parkir, kami diberitahu jalan menuju basecamp, yang ternyata nggak jauh dan ada arah penunjuknya. 

5. Hardwell
Robbert van de Corput. Itu nama asli si mas ganteng asli Belanda yang kemudian bernama panggung Hardwell. Dua kali dinobatkan sebagai The World's No. 1 DJ on DJ Magazine's tahun 2013 dan lagi 2014. 


Make some noise... Hardwell. sumber: fotonet
Pertanyaannya, ada hubungan antara mas ganteng ini sama Gunung Prau? Ada. 

Sepanjang perjalanan, baik naik dan turun, saya nyanyi lagu-lagu racikannya. Sampai beberapa beat ringan yang sering ia tampilkan saat tur. Mulai dari Apollo, Dare You, Young Again, Never Say Goodbye, sampai yang kemudian jadi favorit saya dua bulan belakangan ini, Follow Me dan beberapa lagu yang kemudian baru saya ketahui judulnya, Mad World dan Echo

Ini sebagai efek sebulan penuh, dari Agustus, turun dari Gn Sumbing langsung tancap gas dengerin Hardwell, setiap hari. Mungkin kalau mas ganteng ini ada di samping saya, dia bakal teriak: "Juli, bosennn, disetel kamu terus."

Nggak lupa lagunya Ed Sheeran-Photograph. Ah lagunya Paramore yang Ain't It Fun juga jadi soundtrack pas lari-larian di padang aster. Itu janji saya tahun lalu. Kelak kalau lewat jalur ini, saya harus nyanyi lagunya Paramore. Dan baru keinget masih ada lagunya Zedd yang Beautiful Now. Padahal pas buat dinyanyiin di jalur Dieng itu. 

Padang Aster, yang bikin saya nyanyi lagunya Paramore
Dan, satu lagu wajib pas di gunung: A Sky Full of Stars-nya Coldplay. Itu saya gumamkan saat melihat langit bertakhtakan gemerlap bintang, yang aduhaiii, kerennn banget. Emejing! 

The Script dan Owl City untuk sementara saya simpen dulu. Nah begitu turun, saya malah nyanyi lagunya Payung Teduh dan Float. Jeglek banget! 

6. Sikunir, Kami Datang...
Sesuai rencana semula, begitu kami turun via Jalur Dieng, kami akan langsung menuju Sikunir. Jaraknya memang nggak begitu jauh karena masih di kawasan Dieng. Di jalan kami sempat merogoh kocek Rp 10 ribu untuk masuk ke kawasan lokawisata Dieng.

Kami ke sana sekitar pukul 11.00 WIB. Sayang, kabut lagi-lagi turun dan menghalangi pandangan. Termasuk saat kami tiba di area parkir Sikunir. Kondisi ini sempat bikin galau, antara mau naik apa enggak. Namun, demi mengusir rasa penasarannya Mas Widi dan Firman, sambil berharap siapa tahu di jalan, kabutnya hilang, kami putuskan untuk naik. 


Kami sampai di Sikunir. Hal wajib foto di sini. 
Nah, bukannya menghilang, kabut malah semakin tebal. Di tengah jalan, kami memutuskan untuk turun lagi setelah beberapa kali swafoto. Sayang...







FINISH. Lunas yess sudah ditulis sebagian besar perjalanan kali ini. Memang ada beberapa hal yang nggak ditulis demi kenyamanan dan keselamatan bersama. Maaf sekali jika terlalu lama nunggu tulisannya karena beberapa pekan terakhir, harus berkutat dengan banyaknya tugas, baik liputan, editing berita, share berita online, maupun proyek lainnya. Termasuk melahap buku dan mantengin tulisan-tulisan dari penulis favorit. Semoga berkenan. (*)


Galeri:
Oke. Tetap kecehh kan? 

Surprise. Ketemu teman sekelas waktu SMA, Ariyadi alias Ariel.
Di tangan saya, itu oleh2 dari Ariel waktu ke Rinjani, Lebaran kemarin.
Demm, delapan tahun nggak ketemu, dia masih inget suara saya. :D

Thanks Prau, sudah membuat kami rindu.

Yang dua asyik swafoto, satunya lagi nulis, satunya mager, jadi papan. *eh

Yeahhhh, I will fly... Nung, tunggu.... 

Biru dan hijau. Kombinasi paling berkelas yang bikin adem. 

Heiii, kamunya aku. Selamat pagi, semoga selalu dimudahkan
dan dilancarkan sama Tuhan. Aku tunggu kamu... #baper

Ih, apaan sih mas-mas ini. :v

Oke, mari nyanyi lagunya Float yang Pulang. Dan, lalu...............

Turun gunung, foto. Naik gunungnya enggak. Maapkeuunn T.T

Tiati, adek dan simbah. Thanks all... Di Stasiun Purwokerto. :))

Yeesss, ini bukti kalau merekaaaaaaaaaaa ituuuuu: hobi selfie