Jumat, 17 April 2015

13 Jam Menuju Keindahan Gunung Papandayan


KARYA Tuhan untuk Indonesia sungguh luar biasa. Gunung Papandayan menjadi bukti. Gunung yang berketinggian 2.665 mdpl tersebut memiliki sejuta pesona dan kisah yang memukau bagi para pencinta keindahan.

Pun dengan kami. Saya, Nur Fatimah, Suryati, Reni Suryati, dan Linda Widiarsih yang pada Sabtu (4/4) lalu, berhasil mencapai puncak di gunung yang berada di Kecamatan Cisurupan, Garut.

Untuk sampai di Gunung Papandayan, kami membutuhkan waktu sekitar 13 jam. Rinciannya, delapan jam dengan kendaraan umum dan lima jam berjalan kaki. Perjalanan dimulai dari Stasiun Purwokerto dengan KA Serayu Pagi menuju Stasiun Cibatu, Garut, Jumat (3/4). Sampai di Stasiun Cibatu, perjalanan dilanjutkan menggunakan angkutan umum menuju Terminal Guntur selama satu jam.

Dari Terminal Guntur, disambung lagi dengan angkutan menuju Alun-alun Kecamatan Cisurupan yang menjadi pintu gerbang masuk ke kawasan Gunung Papandayan. Masih belum usai, kendaraan bak terbuka siap mengantarkan kami ke Camp David, yang menjadi titik awal lokasi pendakian.

Foto dulu di Masjid Cisurupan sebelum berangkat ke Camp David. 
Bersama rombongan lain yang kami kenal di jalan yakni Widi Nugroho, Ferry Akbar, dan Ali, perjalanan dengan mengandalkan kaki, tangan, mata, telinga, mulut, hati, dan tekad dimulai sekitar pukul 18.00 WIB. Dibantu cahaya senter, rombongan menelusuri jalur pendakian nan terjal berbatu.

Suara gemuruh dari empat kawah Gunung Papandayan menyambut kami. Menyemburkan bau belerang yang amat menyengat dan memaksa untuk lekas mengenakan masker. Ya sejak letusan terakhir tahun 2002, kawah gunung tersebut masih aktif hingga kini.

Usai berjalan, bersisian dengan kawah, perjalanan dilanjutkan dengan masuk hutan. Satu per satu sambil terus mengingatkan satu sama lain agar tak terlena. Melintasi sungai, bersahabat dengan tanjakan, jalur nan licin, dan udara malam tak menggoyahkan niat. Meski di jalur inilah, beberapa kawan termasuk saya mulai kepayahan, meminta waktu untuk istirahat, walau sekadar minum atau meluruskan punggung.

Setelah berjalan sekitar dua jam, tibalah kami di Camp Guber Hut. Di tanah lapang inilah, kami mendirikan tenda, beristirahat, dan mengumpulkan tenaga untuk pendakian ke puncak keesokan hari. Beruntung, nasib baik memayungi kami, cuaca cerah, dan terang bulan di langit Papandayan.

Menuju Puncak
Sabtu (4/4) pukul 04.30 WIB, pagi belum terlalu sempurna, terbungkus hawa dingin. Namun, riuh rendah suara sudah mulai terdengar, melakukan aktivitas. Ada yang memasak, mengambil air, bersiap ke puncak, dan beribadah salat Subuh.

Usai berkemas, memasukkan beberapa camilan dan minuman ke dalam tas, kami pun bersiap. Sementara tenda, ransel, sleeping bag, kompor, dan beberapa perlengkapan lain ditinggal di tenda. Tenang saja, aman.

Bonus pertama kami sebelum ke puncak adalah Pondok Seladah yang menjadi camp area untuk ratusan pendaki. Di sini, kami tak cuma menemukan gugusan tenda, melainkan warung dan kamar mandi. Juga mata air jernih.

Perjalanan ke puncak jelas jauh lebih menantang dibanding jalur pendakian sebelumnya. Lebih banyak tanjakan, jalan sempit, tanah licin nan gembur, sehingga saat kaki menapak, tanah itu menempel di alas kaki, membuat sedikit kesusahan kala berjalan. Apalagi ada banyak tanjakan yang membuat kami harus merayap, dengan lutut menempel pada dahi, dan bergelayut pada ranting pohon. Sesekali harus memastikan pijakan agar tak terpeleset.

Jalur menuju puncak. Hati-hati kawan.
Obrolan ringan diselingi dengan guyonan juga menemani sepanjang perjalanan. Selain sebagai penyegar suasana, juga agar kami tak terlalu tegang menapaki jalur pendakian yang kian terjal.

"Ayo pasukan joged dangdut, kita di belakang," ujar Widi mengarah pada ketiga rekannya, sambil menunggui rombongan kami yang mulai terkuras tenaganya.

"Semangat Mbak, Mas, puncak sebentar lagi kok," ujar pendaki lain yang berpapasan dengan rombongan kami.

Demi mendengar kata puncak itu, kami pun kembali bersemangat. Melupakan tentang lelah dan terus menaklukkan segala rintangan. Dan, cahaya matahari pagi menerobos di sela-sela pepohonan. Semakin terang dan bersinar. Artinya, sebentar lagi kami sampai di tanah tertinggi di gunung tersebut.

Kami pun menemukan tanah lapang di mana banyak pendaki lain yang melepas lelah. Kami melihat sekeliling dan pemandangan paling indah terbentang luas di sisi kiri kami. Kawasan Hutan Mati terlihat dari sini dengan kepulan asap dari kawah yang membumbung tinggi. Tak ingin melewatkan momen, kami pun mengambil kamera dan ponsel. Jepret, klik, klik klik. Mengabadikan semua momen. Tak ingin terlalu lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Tetiba, kami merasakan sedikit keanehan pada jalur pendakian. Bukannya makin menanjak namun jalur yang ditapaki sekarang malah menurun. Bahkan terus turun. Lho?

"Ini bener jalurnya kan, Mas?" tanya Nur pada rombongan Widi yang disambut anggukan kepala. 

"Tapi kok mudun ya Nur? Haruse nek ke puncak, naik ya?" kata saya menimpali. 

Belum usai keheranan ini, kami bertemu dengan rombongan lain yang tengah beristirahat. Sama seperti kami, mereka juga menanyakan jalur ke puncak. Sejurus kemudian, barulah tersadar, di tanah lapang kecil yang sempat kami pijak tadi rupanya puncak Papandayan. Bagian tertinggi dari gunung ini. 

Ya, puncak Gunung Papandayan hanyalah sebuah bidang kecil tanpa penunjuk apapun. Jadi jika tidak terlalu jeli ya bernasib sama seperti kami, melewatkan momen di puncak tersebut. Namun, perjalanan harus terus berlanjut meski gagal 'merasakan' puncak Papandayan. 
Bersama di Tegal Alun. Yeayyy....

Dan... kejutan besar telah menanti di depan mata. Tegal Alun yang berisikan padang edelweis menyambut kami. Si bunga abadi yang tumbuh rimbun terbentang luas di hadapan. Aihhh, cantiknya... Kawasan seluas 30 hektare ini benar-benar memanjakan mata. Sejenak saya pun memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus di sekeliling, mencium samar aroma bunga edelweis, dan berucap syukur pada Tuhan. Sungguh, Tuhan Maha Baik. Dia menciptakan semua keindahan ini. Sempurna. Tiada yang bisa menandingi.

Padang ini memang menjadi satu primadona para pendaki. Banyak banyak yang menilai, Tegal Alun menjadi spot terbaik untuk menikmati si bunga abadi. Di atas tanah berketinggian ribuan meter itu, edelweis tumbuh subur. Bersama dengan sebuah telaga nan bening. Menyenangkan. 

Hutan Mati
Puas bermain di taman tersebut, kami melangkah turun. Jalur turun berbeda dengan jalur naik sebelum ke puncak. Jalur inilah yang mengantarkan kami ke panorama berikutnya yang tak kalah mencengangkan. 

Hutan Mati yang membuat kami seperti di negeri dalam kisah fiksi.
Hutan mati menjadi suguhan alam berikutnya. Sejauh mata memandang, hamparan pohon kering, gundul dengan batang menghitam bekas erupsi Papandayan berderet-deret. Begitu luas di atas tanah berkapur nan gersang. Membentuk satu kumpulan, menghadirkan nuansa eksotisme yang tak terlupakan. Membuat kami seperti berada di negeri dalam kisah fiksi. Kami pun terpesona dibuatnya. Ajaib.

Cahaya matahari siang kian benderang. Terpapar persis di atas kepala. Panasnya membuat kewalahan walau angin khas gunung berhembus. Rupanya, nyaris lima jam kami bertualang. Merasakan kemegahan Gunung Papandayan, lengkap dengan hadiahnya Pondok Seladah, Tegal Alun, dan hutan mati. Kami pun bergegas turun, kembali ke Camp Guber Hut, dan berkemas. Pulang dengan membawa sejuta kisah, tentang alam, kebesaran Tuhan, petualangan, dan persahabatan. Dan hujan pun turun menemani perjalanan kami. 

Meski Gunung Papandayan dicitrakan sebagai gunung yang ramah untuk pendaki pemula, namun sangat disarankan untuk tetap membawa peralatan lengkap saat mendaki. Senter/headlamp, jaket, kaus tangan, pakaian yang nyaman, obat-obatan, sepatu treking, serta persiapan logistik adalah beberapa alat yang harus dibawa. Termasuk mempersiapkan fisik dan mental. Selamat mendaki dan jangan buang sampah di gunung sebab gunung bukan tempat sampah. (sri juliati)


Foto-foto by @linduttt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar