Menelusuri Keindahan Tersembunyi di Pekuncen
Terpesona dengan Eksotisme Air Terjun yang Berundak
Suasana di Curug Nangga, Minggu (22/2) . Saat itu, kondisi curug masih belum seramai sekarang. Pun, belum ada HTM. |
"Jan-jane ana apa nang curug? Deneng kawit wingi akeh banget wong maring nganah?"
BEGITU kata seorang warga Desa Petahunan, Pekuncen pada kawan saya, Nur Fatimah. Pria paruh baya itu merasa heran, desanya mendadak ramai oleh kedatangan anak-anak muda, yang kebanyakan dari Purwokerto. Mereka pun memiliki tujuan yang sama, Curug Nangga.
Air terjun ini tengah menjadi buah bibir, terutama di kalangan pencinta olahraga hiking. Apalagi setelah beberapa jepretan air terjun tersebut diunggah ke media sosial. Makin ramailah rakyat Facebook dan Twitter yang melontarkan pertanyaan senada, "itu namanya apa, dimana?"
Bermodal penjelasan singkat dari seorang kawan yang sudah terlebih dahulu sampai di tempat ini, kami bertiga, saya, Nur Fatimah, dan Sonny Christianto, lekas bergegas, datang ke curug, Minggu (22/2).
Butuh sekitar satu jam untuk sampai di Desa Petahunan. Jalanan menanjak plus berliku, terpaksa membuat motor tua saya 'bekerja keras'. Ditambah dengan kondisi jalan yang belum sepenuhnya menerima 'siraman' aspal dan berbatu. Makin berat.
Apakah sudah sampai lokasi? Belum. Lantaran kondisi jalan yang makin tak memungkinkan untuk dilewati, kami memutuskan untuk menitipkan tunggangan di warung milik Yanto, warga Grumbul Kalimangir RT 1 RW 5.
Dari pengakuan pria asal Gumelar yang sudah tinggal selama lima tahun di desa ini, kami mendapat informasi, jika akhir-akhir ini, banyak orang yang mendatangi curug. "Minggu kemarin, malah ada rombongan dari Purwokerto. Pokoknya rame banget," kata dia usai menjemur buah kapulaga di depan rumah.
Dari rumah Yanto, kami harus berjalan, menelusuri jalanan yang membelah desa ini. Sesekali kami bertemu dengan warga yang tengah melintas atau pulang dari ladang. Mereka sangat ramah, bahkan amat sangat. Walau hanya sekadar bertanya, "badhe teng pundi" atau "badhe teng curug nggih?" kami paham, kalimat ini tulus diucapkan. Menyambung kehangatan ini, kami sempatkan berbincang dengan warga.
Senyum dan sapaan mereka seolah membuat saya berdiri di kampung halaman sendiri. Ditambah dengan deretan perbukitan dan hutan yang membentang jauh di hadapan kami, membuat hiking kali ini makin sempurna. Aaahhh, indahnya...
Ada sekitar satu jam, kami berjalan, menyusuri jalan, melewati jembatan, rumah penduduk, dan mlipir kali. Dan, sampailah kami di tempat yang dituju. Curug Nangga langsung menyodorkan pemandangan yang tak akan terlupa. Hamparan sawah menghijau tersaji di depan mata kami. Kompleks persawahan ini mengingatkan saya pada gambar-gambar sawah terasering di Bali atau di Gunung Tugel. Sangat hijau dan teratur, berundak-undak.
Pun dengan air terjun. Mengalir dari sungai di atasnya, lantas membentur tebing dan jatuh, menghujam ke bawah. Air itu membentuk kolam, kemudian mengalir, membentur bebatuan, tebing, lantas jatuh lagi. Begitu seterusnya sampai di tebing terakhir dan mengalir kembali menjadi sungai. Menciptakan sebuah karya yang ahh, rasanya sayang untuk dilewatkan. Spektakuler!
Air itu mengalir tanpa jeda, berkejar-kejaran, melewati rongga bebatuan. Membuat kaki ingin lekas menapak dan merasakan segarnya air tersebut. Rasa lelah setelah treking langsung terbayar lunas.
Pantas jika kata nangga disematkan pada tempat ini. Tebing yang melintang sepanjang tiga hingga empat meter ini, membentuk undak-undakan atau tangga dengan ketinggian yang bervariasi jika dilihat dari bawah. Sempurna membuat kami terkagum, terpesona dengan satu keajaiban ini.
Sejenak saya merentangkan tangan, memejamkan mata, merasakan angin, mendengarkan suara air yang jatuh, seraya mengucap syukur pada Illahi. Betapa amat mengagumkan karya-Nya untuk tanah Banyumas, tanah 1.000 curug. Sungguh luar biasa ciptaan dari sang Maha Sempurna.
"Keren ya, Mbak," kata Nur.
"Banget, Nur," jawab saya.
Dan seperti pengunjung lainnya, tak ingin melewatkan momen spesial ini, kami lantas mengambil ponsel, mengabadikan keindahan, merekamnya dalam jepretan kamera. Klik, klik, klik. Berkali-kali.
Yakin, masih nggak mau main ke Banyumas? |
Puas berfoto, menikmati satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan, kami berkemas. Tak lupa, mengumpulkan dan memasukkan sampah dalam tas. Sebab kami ingin, lokasi ini dan tempat lain yang pernah kami kunjungi, tetap asri, hijau, dan bersih, tanpa ada sampah. Pergi, tanpa meninggalkan apapun, kecuali jejak kaki. Pulang, tanpa mengambil apapun, kecuali gambar. Salam. (sri juliati)
#sebelumnya, catatan ini sudah dimuat di Harian Pagi SatelitPost halaman Etalase.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar