Yang Tercecer
PUKUL 12.05 WIB. Kami bertiga, saya, Nur, dan Reni sampai di Stasiun Cibatu, Garut. Dari referensi yang pernah saya baca, stasiun ini pernah disinggahi komedian legendaris, Charlie Chaplin.
Setiba di stasiun, toilet menjadi tujuan pertama. Panggilan alam sudah tidak bisa ditahan. Duh.
Usai keluar dari toilet, saya sempat bertemu dengan rombongan penjemput yang kalau saya dengarkan logat bicaranya, mereka berasal dari Cilacap. Ternyata benar, mereka dari Kroya. Saya pun bertanya bagaimana akses dari stasiun ke terminal. Ibu tersebut menggeleng pelan. "Wah, nggak tahu mbak, soalnya jarang ke sini pakai kendaraan umum," jawab beliau.
Nggak lama setelah ibu dan rombongannya itu pergi, sekelompok pekerja stasiun tengah bergerombol dan seolah menghampiri kami. Tanpa babibu, Reni yang rupanya mahir berbahasa Sunda langsung mendekati mereka dan bertanya dengan bahasa yang saya tahu sedikit-sedikit artinya. Intinya, jalan menyusuri rel sampai ke ujung persimpangan, lalu nunggu angkot berwarna kuning hijau. Kami pun berucap terima kasih dan pamit pergi. Tapi sebelum pergi, kami sempat foto-foto dulu di area Stasiun Cibatu.
Stasiun Cibatu, Garut tampak lengang. |
Sayang, saat kami foto-foto menuju jalan yang dimaksud mas-mas tadi, satpam stasiun menegur kami. Ia bilang, nggak boleh foto-foto dan harus keluar melalui pintu stasiun di mana di sana ada banyak tukang ojek yang menawarkan jasanya. Awalnya, kami tetep keukeuh tapi makin lama, teguran si mas satpam kian keras terdengar. Ya sudah, kami mengalah dan menuruti apa kemauannya.
Benar saja, begitu kami keluar, tukang ojek merubung kami dan menawarkan jasa. Langsung saja kami tolak karena kami memilih jalan kaki dari stasiun sampai tempat mangkal angkot Cibatu-Terminal Guntur. "Nggak apa-apa jalan kaki, itung-itung latihan sebelum nanti naik, hehehe," goda saya pada Nur dan Reni.
Setelah berjalan selama 15 menit, sampailah kami di angkot berwarna ngejreng itu. Lantaran sepi, kami bebas memilih mau duduk di mana di kendaraan serupa colt tersebut. Saya sempat bertanya pada sang sopir, butuh berapa menit ke terminal. Jawabannya membuat kami saling tatap. "Lama Teh, satu jam jaraknya 25 km."
Daripada mati gaya di angkot, ngobrol-ngobrollah saya dengan pak sopir. Alhamdulillah, orangnya ramah dan mau menjelaskan apa yang saya tanyakan. Sayanya aja sih yang cerewet. Termasuk menjelaskan, kenapa di sepanjang jalan yang kami lewati banyak anak muda jogging padahal sudah siang hari. Dia juga promosi, selain Gunung Papandayan yang menjadi tujuan kami, Garut juga punya banyak tempat wisata. Yang lagi tenar, kata si bapak, Darajat Pass. Saya pun mengangguk dan inget kalau ada sahabat saya, anaknya Pak Bambang pekan lalu habis dari sini. Tak cuma itu, ada juga wisata air panas Cipanas, Gunung Cikurai, Gunung Guntur, dan lainnya. Bahkan si bapak bilang, ia siap mengantar kalau kami mau.
Di tengah-tengah obrolan, perut saya keroncongan, tanda minta diisi. Bakso menjadi makanan yang pertama kali terlintas di otak. Pertama, cuaca cerah seperti ini enaknya makan bakso. Ke dua, sepanjang jalan lihat warung bakso bertebaran. Dan, camilan stik pedas yang kami beli semalam, sedikit banyak menyelamatkan saya.
Sekitar satu jam kami di angkot, tibalah di Terminal Guntur yang menjadi meeting point antara kami dengan Mbak Icung (Suryati) dan Mbak Linda. Mereka berangkat dari Bekasi dan Jakarta.Untuk tarif, kami membayar Rp 10 ribu per orang. Kata si bapak sopir, harusnya cuma Rp 8 ribu tapi karena kami bawa ransel jadi nambah. Ya, nggak apa.
Sesuai keinginan, saya langsung menuju warung bakso di depan terminal dan Nur mendadak galau mau makan apa. Niatnya mau makan nasi rames tapi sayurnya nggak ada. Akhirnya dia memilih makan bakso yang ternyata rasanya jauh dari perkiraan.
Saat sampai di Terminal Guntur, kami disambut bapak-bapak yang kami duga sebagai calo. Tahu tujuan kami, mereka menawarkan untuk segera masuk ke angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan. Kami menjelaskan, kami masih menunggu kawan dari Jakarta. Si bapak mengerti dan segera mencari target lainnya.
Ah iya, kami sempat dimarahin sama si bapak calo itu. Maksudnya mungkin baik tapi ada sedikit kesalahpahaman. Jadi ya suasana agak 'panas.' Versi kami, si bapak menyuruh kami lekas naik ke angkot, tapi kami belum mau karena Mbak Icung dan Mbak Linda belum dateng. Ya, kami agak ngotot juga sih ngomongnya. Terus bapaknya bilang: Iya, saya tahu mbaknya masih nunggu teman. Kami pun berpandangan, tanda bingung, "apa sih?"
Rupanya, rombongan yang ke Gunung Papandayan, bukan kami saja. Ada banyak. Banyak sekali malah. Datang tak henti, terus-menerus, bergerombol. Kami sempat bertemu dengan rombongan yang lain, dua orang mas-mas dari Purwakarta. Ngobrol-ngobrol bentar dan sempat merasa ayem, karena siapa tahu mas-masnya ini jadi sahabat di pendakian. Ternyata bukan, karena hingga sekitar satu jam Mbak Icung dan Mbak Linda nggak dateng-dateng. Sementara angkot yang membawa mas-masnya siap-siap berangkat. Mereka pun berucap permisi dan siapa tahu ketemu di atas.
Agak lama kami nunggu kedua mbak-mbak itu. Berkali-kali BBM tanya sudah sampai mana. Mungkin Mbak Icung atau Mbak Linda sampai bosan. Hahaha. Ditambah jalanan macet pula. Dasar kami yang tidak sabaran buat lekas ke Papandayan. Tapi beruntung, saat menunggu itu, nggak ada dari kami yang marah-marah apalagi sampai ngambek. Eh, ini nyindir ya... Heheheuu.
Yang pertama dateng adalah Mbak Icung sekitar jam 3-an sore. Mbak Linda datang sejam kemudian, sekitar jam 4. Nah begitu Mbak Linda dateng, kenalan bentar, langsung kita berangkat ke Cisurupan dengan angkot yang telah tersedia. Sesuai perjanjian dengan si bapak calo tadi, satu orang dipatok membayar Rp 20 ribu. Mahal? Standar sih untuk kami yang tidak tahu persis di mana itu Cisurupan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar