Yang Tercecer
PASUKAN joged dangdut a.k.a pasukan chiboy. Begitu Mas Widi Nugroho menamai rombongannya yang terdiri dari Mas Ferry Akbar, Mas Ali, dan temennya Mas Ali yang sampai sekarang saya nggak tahu namanya siapa.
Pasukan ini wajib ditulis karena merekalah yang banyak banget membantu kami selama pendakian di Gunung Papandayan. Dari naik sampai kemudian turun, mereka jadi sahabat perjalanan alias travelmate. Mungkin, mas-masnya ini takjub melihat kami berlima, cewek semua, nggak ada cowok, jauh-jauh datang dari Purwokerto lagi. Heheheuu.
Kami bertemu dengan pasukan chiboy di Terminal Guntur. Tepatnya saat berangkat menggunakan angkot menuju Desa Cisurupan, Garut. Awalnya, kami nggak terlalu mahfum dengan mereka karena langsung masuk ke dalam angkot. Saya, Nur, dan Mbak Icung di depan, sedangkan Reni dan Mbak Linda di belakang.
Sepanjang perjalanan, sama sekali nggak ada obrolan atau sekadar kenalan. Jadi selama satu jam perjalanan itu, kami asyik dengan obrolan rombongan masing-masing. Baru saat sampai di Masjid Cisurupan, ada sedikit obrolan yang entah diinisiasi oleh siapa. Karena selain pasukan chiboy itu ada rombongan lain berpasangan mas dan mbak yang sampai sekarang saya juga nggak tahu namanya siapa. Yang saya tahu, dari rombongan mbak mas itu ada satu orang asli Tambak, Banyumas.
Mereka menawarkan untuk sewa mobil bak bersama. Langsung saja kami iyakan. Namun, kami mohon izin buat salat Asar. Usai salat, kami packing bentar lantas menuju rombongan tersebut. Ramah tamah bentar dan meminta satu di antara mereka buat fotoin kita, heheheu. Kalau nggak salah sih Mas Widi.
Nggak lama, satu unit mobil bak terbuka datang dan siap mengantarkam kami ke Camp David yang menjadi lokasi awal pendakian. Per orang, dipatok tarif Rp 20 ribu.
Dua di antara pasukan chiboy. Paling ujung Mas Ferry, sampingnya Mas Widi |
Memasuki Camp David, seorang petugas meminta ketua kelompok untuk turun, melakukan pendaftaran. Dua di antara rombongan kami turun, ya si mas-masnya itu. Begitu sampai dan berhenti, saya baru ngeh, kalau harus ikut mendaftar. Akhirnya, saya narik Nur buat nemenin ke pos pendaftaran.
Kami pun menuju pos pendaftaran dan ketemu perwakilan pasukan chiboy yang tengah mengantre. Kalau nggak salah inget, Mas Ferry sama Mas Widi. Dari pembicaraan mereka dengan petugas pos, Camp Pondok Seladah yang menjadi rumah untuk para pendaki telah penuh. Mau tidak mau harus ngecamp di Camp Guber Hut. Pun dengan kami yang memilih aman dengan mengikuti pilihan mereka. Sedari di bak terbuka tadi, niat saya memang mengekor sama pasukan itu. Duh, ketahuan deh...
Kami pun mendaftar, mengisi buku 'tamu' sedangkan petugas menanyai identitas kami. Nama penanggungjawab, nama kelompok, asal, rencana camp, dan kepulangan. Awalnya, kami mau pulang hari Minggu sesuai rencana semula tapi...
"Kalau pulang hari Minggu, bayarnya double, per orang Rp 15 ribu, sehari Rp 7.500," kata petugas tersebut.
Alhasil, lewat keputusan singkat, kami pun sepakat untuk turun hari Sabtu. Gara-garanya ya Rp 7.500 itu padahal kalau dipikir-pikir, lha wong cuma Rp 7.500 kok. Nggak mahal-mahal amat. Setelah mendapat surat keterangan, kami bergegas menuju rombongan yang telah menunggu.
Kabut tebal perlahan turun. Menutupi sebagian pandangan. Namun tak lama, kabut itu menghilang bersamaan dengan azan Magrib yang sayup terdengar. Meninggalkan hawa dingin.
Telapak tangan diusap-usapkan untuk 'mengalirkan' udara hangat. Jaket dirapatkan. Sesekali tubuh melakukan gerakan ringan agar tak terperangkap dalam hawa dingin.
Lima menit kemudian, doa-doa dipanjatkan. Harapan agar Tuhan selalu memberi keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan kali ini, membumbung tinggi.
Sementara saat langit gelap mulai mengungkung, pantulan sinar yang berasal dari senter mulai terlihat. Menciptakan formasi bak bintang berjalan. Kaki-kaki kecil mulai menapaki jalur pendakian yang tertutup bebatuan. Selangkah demi selangkah.
Sedikit puitis? Iya, empat paragraf di atas itu sebenarnya buat tulisan feature yang mau muat di koran. Berhubung terlalu panjang jadi dengan amat terpaksa saya ganti.
Di jalur pendakian itulah, kami mulai sedikit akrab dengan pasukan chiboy. Mulai berani bikin gurauan, ledekan, obrolan ringan, atau sekadar mengingatkan untuk berhati-hati. Misal, "kalau udah capek istirahat aja mbak, ntar kita tungguin kok" atau "mbak, kalau bawaannya berat, suruh bawa yang jalan di depan tuh, dia nggak bawa apa-apa."
Ternyata benar, setiap kami ambil napas, istirahat sejenak, pasukan chiboy tetap di belakang kami. Padahal, tak terhitung berapa kali kami berhenti. Pun saat saya mulai kepayahan di tanjakan terakhir keluar dari hutan. Satu dari mereka sempat tanya sambil nunjuk daypack dan tas selempang saya: "banyak banget bawanya mbak." "Nggak kok mas, ini yang depan isinya kecil-kecilan kok." Maksudnya kecil-kecilan adalah barang kecil kayak dompet, ponsel, peralatan tulis, charger, dan camilan yang ternyata cukup berat juga. Hiks.
Sekian lama berjalan di tanah landai berbatu, ternyata membuat saya nyaris hopeless. Berkali-kali saya minta berhenti. Dan tepat di saat saya merasa putus aja, aroma harum tercium. Samar-samar memenuhi indra penciuman. Uhmmm, saya kenal dengan aroma ini. Aroma yang begitu sedap dan lezat.
"Indomie," tebak saya dan Reni dalam waktu bersamaan. Anggota pasukan chiboy, Mas Ferry pun menyambung. "Rasa soto nih, Mbak."
Demi mendengar kata mi instan dan mencium aromanya yang khas, mata saya langsung berbinar. Mempercepat langkah. Tak lagi peduli soal beban yang makin berat dan malam yang kian dingin.
Dan, kejutan. Di balik bukit kecil, tanah lapang terhampar. Tenda-tenda berjejeran, membentuk barisan. Cahaya dari senter atau lilin di sekitaran tenda, memberi tanda, kami telah sampai di Camp Guber Hut. Ahhh, senangnya...
Tak ingin membuang waktu, segera saja, kami pun mencari sebidang tanah untuk mendirikan empat tenda. Dua tenda milik mas dan mbak itu. Satu tenda buat kami dan satu lagi buat pasukan chiboy. Tetap bareng sama mereka.
Setelah itu, aktivitas bongkar pasang pun dimulai. Rombongan kami memilih bareng-bareng mendirikan tenda. Meski tetep yang paling banyak kerja adalah Nur karena dia paling punya banyak pengalaman. Saya cuma bantu-bantu dikit, bantu masang kerangka. Lumayan tambah ilmu.
Sekitar setengah jam berkutat dengan tenda pinjaman itu, akhirnya 'rumah sementara' kami kokoh berdiri. Alhamdulillah. Daypack dimasukkan dan mulai berbagi tugas. Mbak Linda, Mbak Icung, dan Reni masak, saya sama Nur ngurusin dalam tenda. Kelihatan modusnya ya? Yo ben.
Tapi waktu lihat sebelah, kok tenda pasukan chiboy belum jadi ya? Malah masih repot dengan urusan kerangka tenda. Emm, maaf ya mas, kami nggak bantuin. Beberapa dari mereka juga sempat minta izin, pintu tenda berhadapan dengan pintu tenda kami plus tali tenda juga dipasang di sekitar areal.
"Mbak, nggak apa-apa ya, talinya di sini. Tenang Mbak, kita cowok baik-baik kok," kata mereka. Kalem Mas, malah kita yang harusnya terima kasih udah mau nungguin.
Minuman hangat pun telah siap. Seperti biasa, saya bikin kopi bareng Mbak Icung. Teman yang lain bikin teh dan teh jahe. Melihat pasukan chiboy yang masih usreg bikin tenda, kami menawarkan teh jahe bikinan Mbak Linda. Lumayan to, mas? Hehehe.
Nggak lama, masakan mi instan telur nyemek siap disantap. Langsung saja kami makan ramai-ramai tanpa perlu dipindah ke piring. Enakkknyaaa... Mi instan emang juara, apalagi di tengah gunung begini. Dan lagi-lagi, saya didaulat menjadi penyapu makanan yang bertugas menghabiskan mi yang masih tersisa. Saya sih seneng-seneng aja malah minta dibikinin mi lagi. Huh, dasar saya yang doyan makan tapi nggak gemuk-gemuk. :p
Di sela-sela makan malam itu, Mas Widi menawarkan hal menarik. "Mbak, besok ke puncak mau bareng lagi nggak? Kalau mau, besok jam 5 berangkat ya." Tanpa banyak pikir, kami langsung mengiyakan. Jelas banget kami mau ikut kalian, Mas.
Agenda makan malam pun akhirnya kelar. Sementara Reni masih ribet mau masak nasi plus agar-agar, kami berleha-leha sebentar dan masuk tenda. Nur memilih tidur, Mbak Linda hunting foto, saya dan Mbak Icung main kartu yang berakhir dengan kekalahan Mbak Icung. Sementara pasukan chiboy, pas saya tengok, mereka masih makan.
Dan, waktu saya keluar, pemandangan amazing tersaji di langit Papandayan. Lingkaran cahaya di sekitar bulan membentuk Halo dengan bintang-bintang kecil yang terlihat, kalah dengan cahaya bulan. Rasa takjub melihat kebesaran Tuhan yang selalu sempurna. Dan, lagu Yellow dan A Sky Full of Stars milik Coldplay langsung terlintas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar