Kamis, 23 April 2015

Part 4: Pasukan Chiboy II


Yang Tercecer


JIKA tulisan di atas lebih bercerita pada perjalanan dan awal mula bertemu dengan pasukan chiboy, maka tulisan ini kurang lebihnya membahas masing-masing person di pasukan tersebut. 

Pertama, dari awal kenalan kami tahu mas-mas ini berasal dari Jakarta. Yang artinya sama dengan Mbak Icung dan Mbak Linda. Mereka teman satu kantor di perusahaan kalibrasi. Kalibrasi itu apa, silakan cek di Google. Jangan males-males ah.

Pasukan Chiboy tanpa Mas Fery. Yang namanya Mas Widi itu yang pake jaket merah. Nggak kelihatan? Ya memang. Yang tengah, namanya Mas Ali dan kawannya.
 Ke dua, kami baru beneran kenalan, beneran tahu nama masing-masing disertai jabat tangan, setelah turun dari gunung tepatnya di Camp David. Jadi, selama pendakian yang membutuhkan waktu berjam-jam itu, sampai tenda berhadapan saja, kami saling memanggil dengan kata sapaan, mas dan mbak. Saya sebut ini unik dan baru kali ini terjadi. Karena selama saya ngobrol dengan orang baru atau narasumber, maka nama adalah pertanyaan ke dua setelah tanya kabar. 

Ke tiga, dari keempat mas-mas itu, Mas Widi, Mas Ferry, Mas Ali, dan kawannya, maka yang lebih sering di belakang, nungguin kita adalah Mas Widi. Mas Ferry lebih sering di tengah, sedangkan dua 
lainnya di depan, nungguin kami juga.
Bongkar tenda, dimulai. Saya di dalam tenda tuh. :p
Ke empat, di antara keempat laki-laki itu, maka penampilan Mas Widi yang paling unik dan itu sempet bikin saya sedikit bengong. Kenapa? Karena dia mengenakan celana pendek dengan sepatu treking dan kaus kaki panjang macam pemain bola. Bedanya, dia nggak pakai jersey tapi kemeja yang dibalut sama jaket. Malah saya yang pake jersey klub kesayangan, Munchen. Penampilannya ini sukses bikin kami iri karena dia tahan cuaca dingin. Belum lagi, saat turun hujan, dia mengenakan mantel warna pink. Pantas kalau rombongannya berjuluk chiboy. Heheheuu

Ke lima, Mas Widi-lah yang paling sering melucu. Dari awal pendakian ke puncak, dia terus-terusan bilang: "Emak gw nelponin, minta jemurannya diangkat." Atau lelucon lain yang sukses bikin kami senyam-senyum. Saya pun curiga, jangan-jangan masnya ini pelawak atau punya rencana jadi comic biar kayak si Dodit. 

Ke enam, ada tragedi di antara pasukan chiboy yakni saat perjalanan ke puncak. Awalnya, pasukan kami masih lengkap, bersembilan. Pas di tanah lapang terakhir kami berfoto, satu di antara mereka nggak ada, yaitu Mas Ferry. Namun kami tetap stay cool siapa tahu dia udah jalan duluan. Sekian lama jalan, nggak juga kami menemukan batang hidung Mas Ferry. Sedikit mulai panik sih, duh jangan-jangan, jangan-jangan.

Nah, ini yang namanya Mas Ferry, yang mendadak hilang
Saat kami hampir sampai di Tegal Alun, tetap nggak nemu Mas Ferry. Dan di sini rombongan kami melakukan kesalahan. Gara-gara terhipnotis sama keindahan padang edelweis, kami 'melupakan' Mas Ferry. Termasuk pasukannya Mas Widi. Kami berpisah dengan mereka karena asyik foto-foto. Ditambah rimbunnya padang edelweis yang membuat kami sulit menemukan mereka. Kami pun disergap rasa nggak enak, pekewuh. Lha wong pas naik aja kita ditemenin kok ini malah kita ninggalin. Duhh, maaf banget ya mas... Ngapunten

Saya nggak tahu siapa nama belakang saya itu.
Puas di Tegal Alun, kami segera bergegas buat turun sembari terus mencari mereka. Siapa tahu, pasukan chiboy masih di Tegal Alun atau di sekitarnya. Sayang, sampai kami turun ke Hutan Mati dan Pondok Seladah, sosok mas-mas ini tetep nggak ketemu. Ternyata, saat kami tiba di Camp Guber Hut yang dicari sudah di tenda. Termasuk Mas Ferry yang sehat walafiat. Alhamdulillah... Langsung saya mengucap syukur dalam-dalam dan meminta maaf sebesar-besarnya karena kami 'meninggalkan' mereka di Tegal Alun gegara saking asyiknya selfie bersama.

Ke tujuh, usai kami berkumpul, lengkap semua personel, makan menjadi agenda kami selanjutnya. Dapur kami jadi pusatnya. Kami masak mi dan mereka masak air. Akhirnya ya saling berbagi, termasuk berbagi bekal yang sebenarnya kami punya alasan supaya logistik berkurang. Tapi mereka balas memberikan snack. Hehehe

Ke delapan. Makasihhhh banget buat mas-masnya. Makasih sudah jadi teman jalan kami, pasukan cewek rempong. Makasih sudah nungguin. Makasih sudah jadi teman cerita. Makasih sudah berbaik hati masakin air untuk ke dua kalinya. Makasih sudah bantuin nurunin barang kami. Makasih, makasih, makasih. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikannya mas-mas ini. Jangan kapok jalan bareng kami... Nuwun. (*)

Part 4: Pasukan Chiboy I


Yang Tercecer

PASUKAN joged dangdut a.k.a pasukan chiboy. Begitu Mas Widi Nugroho menamai rombongannya yang terdiri dari Mas Ferry Akbar, Mas Ali, dan temennya Mas Ali yang sampai sekarang saya nggak tahu namanya siapa.

Pasukan ini wajib ditulis karena merekalah yang banyak banget membantu kami selama pendakian di Gunung Papandayan. Dari naik sampai kemudian turun, mereka jadi sahabat perjalanan alias travelmate. Mungkin, mas-masnya ini takjub melihat kami berlima, cewek semua, nggak ada cowok, jauh-jauh datang dari Purwokerto lagi. Heheheuu.

Kami bertemu dengan pasukan chiboy di Terminal Guntur. Tepatnya saat berangkat menggunakan angkot menuju Desa Cisurupan, Garut. Awalnya, kami nggak terlalu mahfum dengan mereka karena langsung masuk ke dalam angkot. Saya, Nur, dan Mbak Icung di depan, sedangkan Reni dan Mbak Linda di belakang. 

Sepanjang perjalanan, sama sekali nggak ada obrolan atau sekadar kenalan. Jadi selama satu jam perjalanan itu, kami asyik dengan obrolan rombongan masing-masing. Baru saat sampai di Masjid Cisurupan, ada sedikit obrolan yang entah diinisiasi oleh siapa. Karena selain pasukan chiboy itu ada rombongan lain berpasangan mas dan mbak yang sampai sekarang saya juga nggak tahu namanya siapa. Yang saya tahu, dari rombongan mbak mas itu ada satu orang asli Tambak, Banyumas.

Mereka menawarkan untuk sewa mobil bak bersama. Langsung saja kami iyakan. Namun, kami mohon izin buat salat Asar. Usai salat, kami packing bentar lantas menuju rombongan tersebut. Ramah tamah bentar dan meminta satu di antara mereka buat fotoin kita, heheheu. Kalau nggak salah sih Mas Widi.

Nggak lama, satu unit mobil bak terbuka datang dan siap mengantarkam kami ke Camp David yang menjadi lokasi awal pendakian. Per orang, dipatok tarif Rp 20 ribu.

Dua di antara pasukan chiboy. Paling ujung Mas Ferry, sampingnya Mas Widi
Selama di mobil bak, masih tidak ada percakapan di antara kami semua. Hanya obrolan ringan masing-masing pasukan sambil menikmati kerennya jalan menuju Camp David. Rumah di kanan-kiri, jalan berkelok, menanjak, dan hawa dingin mulai menyusup. Sesekali kabut turun, ikut menyambut kedatangan kami ditingkahi suara serangga khas hutan.

Memasuki Camp David, seorang petugas meminta ketua kelompok untuk turun, melakukan pendaftaran. Dua di antara rombongan kami turun, ya si mas-masnya itu. Begitu sampai dan berhenti, saya baru ngeh, kalau harus ikut mendaftar. Akhirnya, saya narik Nur buat nemenin ke pos pendaftaran. 

Kami pun menuju pos pendaftaran dan ketemu perwakilan pasukan chiboy yang tengah mengantre. Kalau nggak salah inget, Mas Ferry sama Mas Widi. Dari pembicaraan mereka dengan petugas pos, Camp Pondok Seladah yang menjadi rumah untuk para pendaki telah penuh. Mau tidak mau harus ngecamp di Camp Guber Hut. Pun dengan kami yang memilih aman dengan mengikuti pilihan mereka. Sedari di bak terbuka tadi, niat saya memang mengekor sama pasukan itu. Duh, ketahuan deh...

Kami pun mendaftar, mengisi buku 'tamu' sedangkan petugas menanyai identitas kami. Nama penanggungjawab, nama kelompok, asal, rencana camp, dan kepulangan. Awalnya, kami mau pulang hari Minggu sesuai rencana semula tapi...

"Kalau pulang hari Minggu, bayarnya double, per orang Rp 15 ribu, sehari Rp 7.500," kata petugas tersebut.

Alhasil, lewat keputusan singkat, kami pun sepakat untuk turun hari Sabtu. Gara-garanya ya Rp 7.500 itu padahal kalau dipikir-pikir, lha wong cuma Rp 7.500 kok. Nggak mahal-mahal amat. Setelah mendapat surat keterangan, kami bergegas menuju rombongan yang telah menunggu. 

Kabut tebal perlahan turun. Menutupi sebagian pandangan. Namun tak lama, kabut itu menghilang bersamaan dengan azan Magrib yang sayup terdengar. Meninggalkan hawa dingin. 

Telapak tangan diusap-usapkan untuk 'mengalirkan' udara hangat. Jaket dirapatkan. Sesekali tubuh melakukan gerakan ringan agar tak terperangkap dalam hawa dingin. 

Lima menit kemudian, doa-doa dipanjatkan. Harapan agar Tuhan selalu memberi keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan kali ini, membumbung tinggi. 

Sementara saat langit gelap mulai mengungkung, pantulan sinar yang berasal dari senter mulai terlihat. Menciptakan formasi bak bintang berjalan. Kaki-kaki kecil mulai menapaki jalur pendakian yang tertutup bebatuan. Selangkah demi selangkah.

Sedikit puitis? Iya, empat paragraf di atas itu sebenarnya buat tulisan feature yang mau muat di koran. Berhubung terlalu panjang jadi dengan amat terpaksa saya ganti. 

Di jalur pendakian itulah, kami mulai sedikit akrab dengan pasukan chiboy. Mulai berani bikin gurauan, ledekan, obrolan ringan, atau sekadar mengingatkan untuk berhati-hati. Misal, "kalau udah capek istirahat aja mbak, ntar kita tungguin kok" atau "mbak, kalau bawaannya berat, suruh bawa yang jalan di depan tuh, dia nggak bawa apa-apa."

Ternyata benar, setiap kami ambil napas, istirahat sejenak, pasukan chiboy tetap di belakang kami. Padahal, tak terhitung berapa kali kami berhenti. Pun saat saya mulai kepayahan di tanjakan terakhir keluar dari hutan. Satu dari mereka sempat tanya sambil nunjuk daypack dan tas selempang saya: "banyak banget bawanya mbak." "Nggak kok mas, ini yang depan isinya kecil-kecilan kok." Maksudnya kecil-kecilan adalah barang kecil kayak dompet, ponsel, peralatan tulis, charger, dan camilan yang ternyata cukup berat juga. Hiks

Sekian lama berjalan di tanah landai berbatu, ternyata membuat saya nyaris hopeless. Berkali-kali saya minta berhenti. Dan tepat di saat saya merasa putus aja, aroma harum tercium. Samar-samar memenuhi indra penciuman. Uhmmm, saya kenal dengan aroma ini. Aroma yang begitu sedap dan lezat. 

"Indomie," tebak saya dan Reni dalam waktu bersamaan. Anggota pasukan chiboy, Mas Ferry pun menyambung. "Rasa soto nih, Mbak."

Demi mendengar kata mi instan dan mencium aromanya yang khas, mata saya langsung berbinar. Mempercepat langkah. Tak lagi peduli soal beban yang makin berat dan malam yang kian dingin.

Dan, kejutan. Di balik bukit kecil, tanah lapang terhampar. Tenda-tenda berjejeran, membentuk barisan. Cahaya dari senter atau lilin di sekitaran tenda, memberi tanda, kami telah sampai di Camp Guber Hut. Ahhh, senangnya... 

Tak ingin membuang waktu, segera saja, kami pun mencari sebidang tanah untuk mendirikan empat tenda. Dua tenda milik mas dan mbak itu. Satu tenda buat kami dan satu lagi buat pasukan chiboy. Tetap bareng sama mereka. 

Setelah itu, aktivitas bongkar pasang pun dimulai. Rombongan kami memilih bareng-bareng mendirikan tenda. Meski tetep yang paling banyak kerja adalah Nur karena dia paling punya banyak pengalaman. Saya cuma bantu-bantu dikit, bantu masang kerangka. Lumayan tambah ilmu.

Sekitar setengah jam berkutat dengan tenda pinjaman itu, akhirnya 'rumah sementara' kami kokoh berdiri. Alhamdulillah. Daypack dimasukkan dan mulai berbagi tugas. Mbak Linda, Mbak Icung, dan Reni masak, saya sama Nur ngurusin dalam tenda. Kelihatan modusnya ya? Yo ben. 

Tapi waktu lihat sebelah, kok tenda pasukan chiboy belum jadi ya? Malah masih repot dengan urusan kerangka tenda. Emm, maaf ya mas, kami nggak bantuin. Beberapa dari mereka juga sempat minta izin, pintu tenda berhadapan dengan pintu tenda kami plus tali tenda juga dipasang di sekitar areal.

"Mbak, nggak apa-apa ya, talinya di sini. Tenang Mbak, kita cowok baik-baik kok," kata mereka. Kalem Mas, malah kita yang harusnya terima kasih udah mau nungguin. 

Minuman hangat pun telah siap. Seperti biasa, saya bikin kopi bareng Mbak Icung. Teman yang lain bikin teh dan teh jahe. Melihat pasukan chiboy yang masih usreg bikin tenda, kami menawarkan teh jahe bikinan Mbak Linda. Lumayan to, mas? Hehehe

Nggak lama, masakan mi instan telur nyemek siap disantap. Langsung saja kami makan ramai-ramai tanpa perlu dipindah ke piring. Enakkknyaaa... Mi instan emang juara, apalagi di tengah gunung begini. Dan lagi-lagi, saya didaulat menjadi penyapu makanan yang bertugas menghabiskan mi yang masih tersisa. Saya sih seneng-seneng aja malah minta dibikinin mi lagi. Huh, dasar saya yang doyan makan tapi nggak gemuk-gemuk. :p

Di sela-sela makan malam itu, Mas Widi menawarkan hal menarik. "Mbak, besok ke puncak mau bareng lagi nggak? Kalau mau, besok jam 5 berangkat ya." Tanpa banyak pikir, kami langsung mengiyakan. Jelas banget kami mau ikut kalian, Mas.

Agenda makan malam pun akhirnya kelar. Sementara Reni masih ribet mau masak nasi plus agar-agar, kami berleha-leha sebentar dan masuk tenda. Nur memilih tidur, Mbak Linda hunting foto, saya dan Mbak Icung main kartu yang berakhir dengan kekalahan Mbak Icung. Sementara pasukan chiboy, pas saya tengok, mereka masih makan. 

Dan, waktu saya keluar, pemandangan amazing tersaji di langit Papandayan. Lingkaran cahaya di sekitar bulan membentuk Halo dengan bintang-bintang kecil yang terlihat, kalah dengan cahaya bulan. Rasa takjub melihat kebesaran Tuhan yang selalu sempurna. Dan, lagu Yellow dan A Sky Full of Stars milik Coldplay langsung terlintas. (*)

Rabu, 22 April 2015

Part 3: Waiting on You


Yang Tercecer


PUKUL 12.05 WIB. Kami bertiga, saya, Nur, dan Reni sampai di Stasiun Cibatu, Garut. Dari referensi yang pernah saya baca, stasiun ini pernah disinggahi komedian legendaris, Charlie Chaplin. 

Setiba di stasiun, toilet menjadi tujuan pertama. Panggilan alam sudah tidak bisa ditahan. Duh.

Usai keluar dari toilet, saya sempat bertemu dengan rombongan penjemput yang kalau saya dengarkan logat bicaranya, mereka berasal dari Cilacap. Ternyata benar, mereka dari Kroya. Saya pun bertanya bagaimana akses dari stasiun ke terminal. Ibu tersebut menggeleng pelan. "Wah, nggak tahu mbak, soalnya jarang ke sini pakai kendaraan umum," jawab beliau.

Nggak lama setelah ibu dan rombongannya itu pergi, sekelompok pekerja stasiun tengah bergerombol dan seolah menghampiri kami. Tanpa babibu, Reni yang rupanya mahir berbahasa Sunda langsung mendekati mereka dan bertanya dengan bahasa yang saya tahu sedikit-sedikit artinya. Intinya, jalan menyusuri rel sampai ke ujung persimpangan, lalu nunggu angkot berwarna kuning hijau. Kami pun berucap terima kasih dan pamit pergi. Tapi sebelum pergi, kami sempat foto-foto dulu di area Stasiun Cibatu.
Stasiun Cibatu, Garut tampak lengang. 

Sayang, saat kami foto-foto menuju jalan yang dimaksud mas-mas tadi, satpam stasiun menegur kami. Ia bilang, nggak boleh foto-foto dan harus keluar melalui pintu stasiun di mana di sana ada banyak tukang ojek yang menawarkan jasanya. Awalnya, kami tetep keukeuh tapi makin lama, teguran si mas satpam kian keras terdengar. Ya sudah, kami mengalah dan menuruti apa kemauannya.

Benar saja, begitu kami keluar, tukang ojek merubung kami dan menawarkan jasa. Langsung saja kami tolak karena kami memilih jalan kaki dari stasiun sampai tempat mangkal angkot Cibatu-Terminal Guntur. "Nggak apa-apa jalan kaki, itung-itung latihan sebelum nanti naik, hehehe," goda saya pada Nur dan Reni.

Setelah berjalan selama 15 menit, sampailah kami di angkot berwarna ngejreng itu. Lantaran sepi, kami bebas memilih mau duduk di mana di kendaraan serupa colt tersebut. Saya sempat bertanya pada sang sopir, butuh berapa menit ke terminal. Jawabannya membuat kami saling tatap. "Lama Teh, satu jam jaraknya 25 km."

Daripada mati gaya di angkot, ngobrol-ngobrollah saya dengan pak sopir. Alhamdulillah, orangnya ramah dan mau menjelaskan apa yang saya tanyakan. Sayanya aja sih yang cerewet. Termasuk menjelaskan, kenapa di sepanjang jalan yang kami lewati banyak anak muda jogging padahal sudah siang hari. Dia juga promosi, selain Gunung Papandayan yang menjadi tujuan kami, Garut juga punya banyak tempat wisata. Yang lagi tenar, kata si bapak, Darajat Pass. Saya pun mengangguk dan inget kalau ada sahabat saya, anaknya Pak Bambang pekan lalu habis dari sini. Tak cuma itu, ada juga wisata air panas Cipanas, Gunung Cikurai, Gunung Guntur, dan lainnya. Bahkan si bapak bilang, ia siap mengantar kalau kami mau.

Di tengah-tengah obrolan, perut saya keroncongan, tanda minta diisi. Bakso menjadi makanan yang pertama kali terlintas di otak. Pertama, cuaca cerah seperti ini enaknya makan bakso. Ke dua, sepanjang jalan lihat warung bakso bertebaran. Dan, camilan stik pedas yang kami beli semalam, sedikit banyak menyelamatkan saya.

Sekitar satu jam kami di angkot, tibalah di Terminal Guntur yang menjadi meeting point antara kami dengan Mbak Icung (Suryati) dan Mbak Linda. Mereka berangkat dari Bekasi dan Jakarta.Untuk tarif, kami membayar Rp 10 ribu per orang. Kata si bapak sopir, harusnya cuma Rp 8 ribu tapi karena kami bawa ransel jadi nambah. Ya, nggak apa. 

Sesuai keinginan, saya langsung menuju warung bakso di depan terminal dan Nur mendadak galau mau makan apa. Niatnya mau makan nasi rames tapi sayurnya nggak ada. Akhirnya dia memilih makan bakso yang ternyata rasanya jauh dari perkiraan. 

Saat sampai di Terminal Guntur, kami disambut bapak-bapak yang kami duga sebagai calo. Tahu tujuan kami, mereka menawarkan untuk segera masuk ke angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan. Kami menjelaskan, kami masih menunggu kawan dari Jakarta. Si bapak mengerti dan segera mencari target lainnya.

Ah iya, kami sempat dimarahin sama si bapak calo itu. Maksudnya mungkin baik tapi ada sedikit kesalahpahaman. Jadi ya suasana agak 'panas.' Versi kami, si bapak menyuruh kami lekas naik ke angkot, tapi kami belum mau karena Mbak Icung dan Mbak Linda belum dateng. Ya, kami agak ngotot juga sih ngomongnya. Terus bapaknya bilang: Iya, saya tahu mbaknya masih nunggu teman. Kami pun berpandangan, tanda bingung, "apa sih?"

Rupanya, rombongan yang ke Gunung Papandayan, bukan kami saja. Ada banyak. Banyak sekali malah. Datang tak henti, terus-menerus, bergerombol. Kami sempat bertemu dengan rombongan yang lain, dua orang mas-mas dari Purwakarta. Ngobrol-ngobrol bentar dan sempat merasa ayem, karena siapa tahu mas-masnya ini jadi sahabat di pendakian. Ternyata bukan, karena hingga sekitar satu jam Mbak Icung dan Mbak Linda nggak dateng-dateng. Sementara angkot yang membawa mas-masnya siap-siap berangkat. Mereka pun berucap permisi dan siapa tahu ketemu di atas.

Agak lama kami nunggu kedua mbak-mbak itu. Berkali-kali BBM tanya sudah sampai mana. Mungkin Mbak Icung atau Mbak Linda sampai bosan. Hahaha. Ditambah jalanan macet pula. Dasar kami yang tidak sabaran buat lekas ke Papandayan. Tapi beruntung, saat menunggu itu, nggak ada dari kami yang marah-marah apalagi sampai ngambek. Eh, ini nyindir ya... Heheheuu.

Yang pertama dateng adalah Mbak Icung sekitar jam 3-an sore. Mbak Linda datang sejam kemudian, sekitar jam 4. Nah begitu Mbak Linda dateng, kenalan bentar, langsung kita berangkat ke Cisurupan dengan angkot yang telah tersedia. Sesuai perjanjian dengan si bapak calo tadi, satu orang dipatok membayar Rp 20 ribu. Mahal? Standar sih untuk kami yang tidak tahu persis di mana itu Cisurupan. (*)

Senin, 20 April 2015

Part 2: Save Trip


Yang Tercecer


JUMAT(3/4), pukul 04.30 WIB. Rusuh pagi telah dimulai. Tiga alarm hape berbunyi. Mau nggak mau, kami harus bangun karena tiga alasan. Subuh, alarm, dan berangkat. Sementara Nur dan Reni yang kebetulan nginep di rumah mandi, saya kembali melanjutkan tidur. Heheheuu.

Sempet tidur bentar, akhirnya saya beneran melek dan mandi. Dan, setelah bersiap-siap sekitar setengah jam, pasukan pun berangkat ke Stasiun Purwokerto. Boncengan naik motor karena jarak dari rumah ke stasiun lumayan deket. Saya dengan Kak Ros, Nung, dan Reni. Di stasiun, ketemu sama Mas Sonny (kakaknya kita-kita) yang bawain sleeping bag (SB) buat Nung. Sembari Nung dan Reni nitipin motor, kita masuk ke stasiun dan Alhamdulillah, yang jaga peron adalah Mbak Fitri, bekas anak kos dulu. Alhasil, 'para pengantar' ini boleh masuk setelah cek tiket dan KTP.
Foto dulu sebelum berangkat di Stasiun Purwokerto sama Kak Ros. Save Trip

Lima menit sebelum kereta berangkat, Nung dan Reni dateng. Setelah kumpul, foto bareng dengan latar KA Serayu Pagi menjadi kegiatan berikutnya. Nggak lama, kami pamitan sama Kak Ros dan Mas Sonny sambil cipika-cipiki dong. Save trip, semoga perjalanan ke Garut dimudahkan dan dilancarkan. 

Tepat pukul 06.30 WIB, kereta berangkat. Suara peluit dari pemimpin perjalanan KA disambut dengan sirine tanda berangkat oleh masinis. Pong... kereta pun bergerak perlahan, menuju selatan dengan mengangkut ratusan penumpang dengan tujuannya masing-masing. Karena kereta yang kami naiki tipe ekonomi, maka nggak heran jika di setiap stasiun besar dan menengah dia berhenti. Di Kabupaten Cilacap, dia berhenti di Stasiun Kroya, Maos, Gandrungmangu, dan Sidareja. Baru setelah itu masuk ke daerah Jawa Barat yang sayangnya, saya nggak terlalu hapal di mana kereta ini mampir. 

Setelah sekian jam di dalam kereta, rasa lapar, ngantuk, dan sedikit bosan mulai menghinggapi. Nur dan Reni asyik makan serabi yang dibeli sebelum berangkat. Saya makin camilan yang dibeli semalam. Hehehe. Beruntung, pemandangan di kanan kiri, terutama saat memasuki wilayah Jawa Barat memanjakan kami. Tak lama setelah seru-seruan itu, kami mulai bosan. Tapi kami punya penangkalnya. Iyap, main kartu! Jadi ketika penumpang yang lain memilih tutup telinga, tidur, atau melamun, kami main kartu. Lumayan seru karena kebosanan kami mencair.

Sayang, rasa kantuk mulai menyerang, membuat saya menyerah dan memilih tidur. Reni juga memilih tidur dan Nur jaga hape yang lagi di-charge. Maap ya Nung... Sementara kereta api seringkali berhenti karena ada masalah di AC.

Ada satu kejadian unik yang saya alami di kereta. Ada seorang pria yang naik dari Stasiun Sidareja. Umurnya sekitar 30-an. Duduknya di sebelah saya persis. Tapi karena kami agak sedikit 'menguasai' jadilah masnya duduk di kursi seberang yang masih sepi. Sampai di Ciamis, masnya pindah duduk di sebelah saya karena kursi yang dia tempati 'kembali' pada yang berhak. 

Maka terjadilah obrolan ringan khas para penumpang. Begini kira-kira:
Saya (S): Turun di mana, Mas?
Masnya (M): Di Bandung Mbak, Kiara Condong. Mbaknya?
S: Cibatu Mas, Garut.
M: Mau backpacker ya?
S: Oh nggak, mau ke Papandayan, Mas. 

Agak hening sebentar. Kemudian si masnya sempat tanya pernah naik ke mana aja. Terus asli darimana, kuliah atau kerja, dan lainnya. Sampai akhirnya...
S: Masnya di Bandung tinggal di mana?
M: Di belakang Gasibu, dulu sempet kuliah di ITB. 
S: Ohh, kakak saya juga di Bandung, tapi di daerah Bonbin. 
M: Oh iya? Kerja atau kuliah? 
S: Kerja. Jadi di deket ITB kan ada Masjid Salman, nah di deket masjid ada kantin, Kantin Salman namanya. Kakak saya kerja di sana. 
M: (tetiba dia kaget) Cewek atau cowok Mbak, kakaknya?
S: Cewek, Mas. Yang di bagian kasir. Namanya Mbak Ar...
M: Mbak Ari bukan? 
S: (beneran kaget) Iya Mas, lho kok tahu? 
M: (tertawa) Ya tahulah, wong aku sering makan di Kantin Salman, sering ketemu sama Mbak Ari, malah akrab banget sama dia. Adiknya? 
S: Ya iya Mas, adik kandung.
M: Oh iya, pantesan mirip.
S: Apanya yang mirip, Mas. Jelas-jelas lebih kerenan saya. Heheheu.

Saya pun tersadar, ternyata kakak saya itu cukup tenar di kalangan mahasiswa dan alumnusnya ITB. Iya sih, secara kakak saya sudah puluhan tahun kerja di kantin itu. Dari sejak saya masih SD kelas 1 sampai sekarang saya udah bisa nyari duit sendiri. Setelah itu, kami pun berbagi cerita tentang kakak saya dan perjalanan ini. Si mas yang tidak saya ketahui namanya itu juga kasih tahu, untuk sampai ke Stasiun Cibatu maka harus nunggu dua stasiun lagi, yang satu di antaranya Stasiun Cipeundeuy. Makasih Mas... (*)

Minggu, 19 April 2015

Yang Tercecer


MASIH tentang Papandayan. Tentang sebuah perjalanan. Tentang banyak cerita yang terselip di antara ribuan kisah lainnya. Yang sayang untuk dilupakan. 

Berikut beberapa cerita yang terangkum dalam Yang Tercecer. Dengan gaya tulisan yang berbeda dari tulisan sebelumnya, 13 Jam Menuju Keindahan Papandayan. Lebih santai.

Part 1: Kemrungsung
DALAM bahasa Indonesia, kemrungsung artinya tergesa-gesa. Kata ini pas untuk menggambarkan kondisi saya jelang H-1 ke Papandayan, tepatnya hari Kamis (2/4). Bayangin aja, di hari itu, saya belum packing, belum beli logistik, ditambah kerjaan edisi Mingguan yang belum tersentuh sama sekali. 

Alhasil, hari Kamis yang merupakan hari libur bagi all editor, saya malah ngantor. Utuk-utuk dateng ke kantor yang berlokasi di Jalan dr Angka, Purwokerto siang jam 11 langsung masuk ruang IT dan fokus ngerjain edisi Mingguan, yang kalau diibaratkan lagi naik motor kecepatannya sekitar 80-100 km/jam. Apalagi hari itu, saya ada janji dengan beberapa kawan. Satu di antaranya sama Rizki gegara mau pinjam carrier

Akhirnya, jam 5 sore, Alhamdulillah, garapan sebanyak kurang lebih tujuh halaman plus bantuin edisi Sabtu dua halaman kelar juga. Sepulang dari kantor, langsung mampir ke kosan Rizki, ambil carrier, sebelum pulang ke rumah kontrakan. 

Malamnya, sekitar jam 7, Nur (partner ke Papandayan) datang ke rumah. Ngobrol-ngobrol bentar soal rencana besok terus lanjut belanja logistik di sebuah swalayan depan Kampus Unsoed, termasuk beli spiritus, kaus tangan, dan isi gas. Kami sempet balik ke kosan Nur buat ambil tenda, matras, plus packing. Jam 9 udah di rumah lagi dan berkemas pun dimulai. 
Beberapa logistik dan peralatan yang harus dibawa. Itu sebagian ya... ^^
 Yippiiieee, dari sekian banyak aktivitas, maka berkemas dan packing selalu menjadi aktivitas yang paling saya sukai. Seneng aja rasanya kalau udah ngumpulin barang, peralatan, terus dimasukin ke tas. 

Acara packing pun berlangsung seru. Saling bersahut antara peralatan apa saja yang musti masuk ke daypack dan carrier. Berkali-kali bongkar pasang, mencari 'formasi' yang tepat. Well, akhirnya setelah berkutat selama dua jam, akhirnya selesai juga. Yeayyy... Tapi supaya nggak ada yang terlupa, mari cek and ricek lagi. 

Setelah memastikan nggak ada yang ketinggalan, kami pun lekas bersih-bersih diri. Menyetel alarm dan tidur. Zzzzzzz.... (*)
setelah dua jam rusuh packing, ini dia hasilnya. manis kan? heueheheu


Jumat, 17 April 2015

13 Jam Menuju Keindahan Gunung Papandayan


KARYA Tuhan untuk Indonesia sungguh luar biasa. Gunung Papandayan menjadi bukti. Gunung yang berketinggian 2.665 mdpl tersebut memiliki sejuta pesona dan kisah yang memukau bagi para pencinta keindahan.

Pun dengan kami. Saya, Nur Fatimah, Suryati, Reni Suryati, dan Linda Widiarsih yang pada Sabtu (4/4) lalu, berhasil mencapai puncak di gunung yang berada di Kecamatan Cisurupan, Garut.

Untuk sampai di Gunung Papandayan, kami membutuhkan waktu sekitar 13 jam. Rinciannya, delapan jam dengan kendaraan umum dan lima jam berjalan kaki. Perjalanan dimulai dari Stasiun Purwokerto dengan KA Serayu Pagi menuju Stasiun Cibatu, Garut, Jumat (3/4). Sampai di Stasiun Cibatu, perjalanan dilanjutkan menggunakan angkutan umum menuju Terminal Guntur selama satu jam.

Dari Terminal Guntur, disambung lagi dengan angkutan menuju Alun-alun Kecamatan Cisurupan yang menjadi pintu gerbang masuk ke kawasan Gunung Papandayan. Masih belum usai, kendaraan bak terbuka siap mengantarkan kami ke Camp David, yang menjadi titik awal lokasi pendakian.

Foto dulu di Masjid Cisurupan sebelum berangkat ke Camp David. 
Bersama rombongan lain yang kami kenal di jalan yakni Widi Nugroho, Ferry Akbar, dan Ali, perjalanan dengan mengandalkan kaki, tangan, mata, telinga, mulut, hati, dan tekad dimulai sekitar pukul 18.00 WIB. Dibantu cahaya senter, rombongan menelusuri jalur pendakian nan terjal berbatu.

Suara gemuruh dari empat kawah Gunung Papandayan menyambut kami. Menyemburkan bau belerang yang amat menyengat dan memaksa untuk lekas mengenakan masker. Ya sejak letusan terakhir tahun 2002, kawah gunung tersebut masih aktif hingga kini.

Usai berjalan, bersisian dengan kawah, perjalanan dilanjutkan dengan masuk hutan. Satu per satu sambil terus mengingatkan satu sama lain agar tak terlena. Melintasi sungai, bersahabat dengan tanjakan, jalur nan licin, dan udara malam tak menggoyahkan niat. Meski di jalur inilah, beberapa kawan termasuk saya mulai kepayahan, meminta waktu untuk istirahat, walau sekadar minum atau meluruskan punggung.

Setelah berjalan sekitar dua jam, tibalah kami di Camp Guber Hut. Di tanah lapang inilah, kami mendirikan tenda, beristirahat, dan mengumpulkan tenaga untuk pendakian ke puncak keesokan hari. Beruntung, nasib baik memayungi kami, cuaca cerah, dan terang bulan di langit Papandayan.

Menuju Puncak
Sabtu (4/4) pukul 04.30 WIB, pagi belum terlalu sempurna, terbungkus hawa dingin. Namun, riuh rendah suara sudah mulai terdengar, melakukan aktivitas. Ada yang memasak, mengambil air, bersiap ke puncak, dan beribadah salat Subuh.

Usai berkemas, memasukkan beberapa camilan dan minuman ke dalam tas, kami pun bersiap. Sementara tenda, ransel, sleeping bag, kompor, dan beberapa perlengkapan lain ditinggal di tenda. Tenang saja, aman.

Bonus pertama kami sebelum ke puncak adalah Pondok Seladah yang menjadi camp area untuk ratusan pendaki. Di sini, kami tak cuma menemukan gugusan tenda, melainkan warung dan kamar mandi. Juga mata air jernih.

Perjalanan ke puncak jelas jauh lebih menantang dibanding jalur pendakian sebelumnya. Lebih banyak tanjakan, jalan sempit, tanah licin nan gembur, sehingga saat kaki menapak, tanah itu menempel di alas kaki, membuat sedikit kesusahan kala berjalan. Apalagi ada banyak tanjakan yang membuat kami harus merayap, dengan lutut menempel pada dahi, dan bergelayut pada ranting pohon. Sesekali harus memastikan pijakan agar tak terpeleset.

Jalur menuju puncak. Hati-hati kawan.
Obrolan ringan diselingi dengan guyonan juga menemani sepanjang perjalanan. Selain sebagai penyegar suasana, juga agar kami tak terlalu tegang menapaki jalur pendakian yang kian terjal.

"Ayo pasukan joged dangdut, kita di belakang," ujar Widi mengarah pada ketiga rekannya, sambil menunggui rombongan kami yang mulai terkuras tenaganya.

"Semangat Mbak, Mas, puncak sebentar lagi kok," ujar pendaki lain yang berpapasan dengan rombongan kami.

Demi mendengar kata puncak itu, kami pun kembali bersemangat. Melupakan tentang lelah dan terus menaklukkan segala rintangan. Dan, cahaya matahari pagi menerobos di sela-sela pepohonan. Semakin terang dan bersinar. Artinya, sebentar lagi kami sampai di tanah tertinggi di gunung tersebut.

Kami pun menemukan tanah lapang di mana banyak pendaki lain yang melepas lelah. Kami melihat sekeliling dan pemandangan paling indah terbentang luas di sisi kiri kami. Kawasan Hutan Mati terlihat dari sini dengan kepulan asap dari kawah yang membumbung tinggi. Tak ingin melewatkan momen, kami pun mengambil kamera dan ponsel. Jepret, klik, klik klik. Mengabadikan semua momen. Tak ingin terlalu lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Tetiba, kami merasakan sedikit keanehan pada jalur pendakian. Bukannya makin menanjak namun jalur yang ditapaki sekarang malah menurun. Bahkan terus turun. Lho?

"Ini bener jalurnya kan, Mas?" tanya Nur pada rombongan Widi yang disambut anggukan kepala. 

"Tapi kok mudun ya Nur? Haruse nek ke puncak, naik ya?" kata saya menimpali. 

Belum usai keheranan ini, kami bertemu dengan rombongan lain yang tengah beristirahat. Sama seperti kami, mereka juga menanyakan jalur ke puncak. Sejurus kemudian, barulah tersadar, di tanah lapang kecil yang sempat kami pijak tadi rupanya puncak Papandayan. Bagian tertinggi dari gunung ini. 

Ya, puncak Gunung Papandayan hanyalah sebuah bidang kecil tanpa penunjuk apapun. Jadi jika tidak terlalu jeli ya bernasib sama seperti kami, melewatkan momen di puncak tersebut. Namun, perjalanan harus terus berlanjut meski gagal 'merasakan' puncak Papandayan. 
Bersama di Tegal Alun. Yeayyy....

Dan... kejutan besar telah menanti di depan mata. Tegal Alun yang berisikan padang edelweis menyambut kami. Si bunga abadi yang tumbuh rimbun terbentang luas di hadapan. Aihhh, cantiknya... Kawasan seluas 30 hektare ini benar-benar memanjakan mata. Sejenak saya pun memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus di sekeliling, mencium samar aroma bunga edelweis, dan berucap syukur pada Tuhan. Sungguh, Tuhan Maha Baik. Dia menciptakan semua keindahan ini. Sempurna. Tiada yang bisa menandingi.

Padang ini memang menjadi satu primadona para pendaki. Banyak banyak yang menilai, Tegal Alun menjadi spot terbaik untuk menikmati si bunga abadi. Di atas tanah berketinggian ribuan meter itu, edelweis tumbuh subur. Bersama dengan sebuah telaga nan bening. Menyenangkan. 

Hutan Mati
Puas bermain di taman tersebut, kami melangkah turun. Jalur turun berbeda dengan jalur naik sebelum ke puncak. Jalur inilah yang mengantarkan kami ke panorama berikutnya yang tak kalah mencengangkan. 

Hutan Mati yang membuat kami seperti di negeri dalam kisah fiksi.
Hutan mati menjadi suguhan alam berikutnya. Sejauh mata memandang, hamparan pohon kering, gundul dengan batang menghitam bekas erupsi Papandayan berderet-deret. Begitu luas di atas tanah berkapur nan gersang. Membentuk satu kumpulan, menghadirkan nuansa eksotisme yang tak terlupakan. Membuat kami seperti berada di negeri dalam kisah fiksi. Kami pun terpesona dibuatnya. Ajaib.

Cahaya matahari siang kian benderang. Terpapar persis di atas kepala. Panasnya membuat kewalahan walau angin khas gunung berhembus. Rupanya, nyaris lima jam kami bertualang. Merasakan kemegahan Gunung Papandayan, lengkap dengan hadiahnya Pondok Seladah, Tegal Alun, dan hutan mati. Kami pun bergegas turun, kembali ke Camp Guber Hut, dan berkemas. Pulang dengan membawa sejuta kisah, tentang alam, kebesaran Tuhan, petualangan, dan persahabatan. Dan hujan pun turun menemani perjalanan kami. 

Meski Gunung Papandayan dicitrakan sebagai gunung yang ramah untuk pendaki pemula, namun sangat disarankan untuk tetap membawa peralatan lengkap saat mendaki. Senter/headlamp, jaket, kaus tangan, pakaian yang nyaman, obat-obatan, sepatu treking, serta persiapan logistik adalah beberapa alat yang harus dibawa. Termasuk mempersiapkan fisik dan mental. Selamat mendaki dan jangan buang sampah di gunung sebab gunung bukan tempat sampah. (sri juliati)


Foto-foto by @linduttt

Jumat, 10 April 2015

Jutaan Kisah di 'Surga' Papandayan


GUNUNG Papandayan, Sabtu (4/4) siang itu. Langit biru, awan berarak menyambut kedatangan kami, para pendaki di gunung setinggi 2665 mdpl tersebut. Raut ceria nampak di wajah seraya berucap terima kasih dan syukur pada Tuhan untuk karunia seelok ini.
aku, kau, dan langit biru. 


hutan mati


Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, Kawah Manuk, camp Guber Hut, camp Pondok Saladah, Tegal Alun, Hutan Mati, dan puncak menjadi hadiah bagi mereka yang mau dan tak henti berjuang. Mewujudkan tekad untuk berdiri di gunung yang berlokasi di Kecamatan Cisurupan, Garut. 


Jalur setapak dari Pondok Saladah ke Camp Guber Hut. Foto: Linda


Jika tua nanti kita t'lah hidup masing-masing, ingatlah hari ini. Sabtu, 4 April 2015. Jalur pendakian Gn Papandayan,

hadapilah dunia, genggam tanganku. Tegal Alun, Gn Papandayan

Walau makan mi asal kumpul. Camp Guber Hut, Gn Papandayan




kami menyebutnya, ini potongan 'surga' di Tegal Alun, Gn Papandayan

berjalanlah walau habis terang

Rasa lelah gegara pendakian selama kurang lebih empat-lima jam terbayar lunas. Melintasi jalur bebatuan nan terjal, bersisian dengan jurang, bersahabat dengan tanjakan, jalan licin, tanah labil, masuk hutan, sesekali terpeleset, dan meminta waktu break, menjadi cerita tersendiri.


Tentu, selain kisah petualangan di atas, ada banyak kisah lain yang tercipta di gunung ini. Ribuan, jutaan malah. Semuanya kisah bahagia, seru, indah, dan tak terlupakan. Teristimewa bagi mereka yang baru sekali menginjakkan kaki di 'surga' Gunung Papandayan. Terima kasih Tuhan, untuk semua karya-Mu. (*)


Teks: Sri Juliati
Foto: Sri Juliati, Linda Widiarsih








Menjelajah Dua Curug di Desa Karangsalam, Baturraden (2, Habis)


Butuh Perjuangan Berat ke Curug Lawang

Curug Lawang di Desa Karangsalam, Baturraden.

SALAH jalan atau nyasar adalah hal biasa terjadi saat mengeksplore jalan baru. Apalagi jika rute tersebut masih sangat asing. Tak heran, jika nyasar kerap menjadi bumbu dalam perjalanan yang ditempuh SatelitPost, entah saat jalan-jalan ke bukit, laut, bahkan yang berembel-embel kota sekali pun.

Ada yang bilang, melakukan perjalanan belum lengkap rasanya kalau tidak nyasar. Sepakat. Karena dengan nyasar atau salah rute, kita akan punya kisah dan petualangan baru. Siapa tahu, dengan nyasar, kita bisa menemukan satu tempat yang tak kalah menariknya.

Dan saat penjelajahan Minggu (23/11/2014) ke Desa Karangsalam, Baturraden, SatelitPost sempat salah jalan saat ke Curug Lawang. Yang seharusnya jalan ke kanan tapi kami malah mengambil ke kiri. Hikmahnya, kami menemukan buah kecil, berwarna merah yang kami sebut dengan strawberry hutan. Lumayan buat ngemil meski rasanya sedikit asam. 

Kami pun terpaksa berbalik arah dan menemukan jalan kecil. Nyaris tak terlihat karena hampir sepenuhnya tertutup rerumputan. Tak hanya itu, lebar jalan tersebut amat kecil, bahkan terpaksa kami merambat pada tebing batu. Termasuk menerabas aliran irigasi sehingga membuat badan dan tas basah. Sedikit saran, karena ini perjalanan mblusuk ke hutan, lengkap dengan tanah basah, bebatuan licin, dan kubangan air, sebaiknya kenakan alas kaki berupa sandal atau sepatu gunung. 

Berjalan kurang lebih 100 meter, suara gemericik air mulai terdengar. Itu tandanya, kami melalui jalan yang benar dan sebentar lagi akan sampai di tujuan kedua. Benar saja, setelah melewati jalanan yang sempit dan butuh kehati-hatian tersebut, kami melihat sebuah gua lengkap dengan bebatuan besar di bagian depannya. Masuklah kami ke dalam gua tersebut dan pemandangan ajaib terbentang di depan mata kami. Air turun dari ketinggian sekitar 10 meter (mungkin), membentuk kolam bening, lantas mengalir di tengah gua. Amboiii, indahnya...... 
Rute jalan ke Curug Lawang, Minggu (23/11/2014)

Sama seperti di Curug Telu, curug ini juga tak terlalu ramai dikunjungi orang. Malah saat itu, hanya kami bertiga yang menikmati potongan keindahan buatan Tuhan ini. Benar-benar seperti milik sendiri, tak ada riuh rendah teriakan, suara-suara seru. Hanya ada kami bertiga, tetesan air di dalam gua, batu-batu besar nan licin, dan ditingkahi serangga khas hutan. Sungguh damai.

Sartinah, warga Desa Karangsalam RT 5 RW 1, Baturraden mengatakan, curug ini dinamakan Curug Lawang lantaran gua di sini membentuk seperti lawang atau pintu. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai Curug Bidadari saking indahnya. Apapun sebutannya, tetap saja Curug Lawang sebagai tempat yang tepat untuk melepas penat, mengucap syukur, mengagumi karya Tuhan.

Tak sampai satu jam kami menikmati keindahan ini. Selain hujan mulai turun (lagi), jarum jam juga menunjuk angka 3, membuat SatelitPost segera bergegas.

Lokasi yang agak tersembunyi dan butuh 'perjuangan' untuk menikmati potongan keindahan alam ini, bisa menjadi alasan kenapa Curug Telu dan Curug Lawang tak diketahui banyak orang. Namun, akhir-akhir ini, kedua curug ini, terutama Curug Telu mulai ramai dikunjungi. 

Hal ini diakui pula oleh Slamet, warga Desa Karangsalam RT 5 RW 1 yang rumahnya sering menjadi tempat titipan sepeda motor. "Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya ya sekarang sudah banyak yang ke sini. Kebanyakan mahasiwa Unsoed tapi pernah ada yang datang rombongan dari Jakarta," ujar dia.

Rupanya, potensi wisata alam di Desa Karangsalam tak cuma kedua curug tersebut. Masih ada Curug Moprok dan Curug Tebela yang tak kalah keren dan siap dijelajahi lagi. 

Mengingat potensi curug yang amat potensial, Slamet pun berharap agar pemerintah daerah memberikan perhatian yang lebih, seperti membangunkan akses transportasi yang memadai. 

Sekadar saran jika Anda ingin ke sini, selain mengenakan alas kaki berupa sandal/sepatu gunung, juga wajib membawa snack atau minuman. Termasuk jika Anda ingin berenang, bisa membawa pelampung atau ban dari rumah. Yang kedua, siapkan fisik Anda dan jangan mengeluh. Jika ingin menitipkan kendaraan pribadi atau bertanya lebih lanjut tentang curug ini, bisa menghubungi Slamet di nomor 0822 2565 9238. Selamat menjelajah. (sri juliati)



#tulisan ini sudah termuat di Harian Pagi SatelitPost, halaman Etalase 

Menelusuri Eksotisme Curug di Desa Karangsalam (Bagian 1)


Berlumur Keringat untuk Menatap Eksotisme

Curug Telu di Desa Karangsalam, Baturraden.


"TANAH seribu curug. Bolehkah menyematkan sebutan ini pada Banyumas?" 

Begitu kata seorang teman pada SatelitPost. Alasannya tak muluk-muluk. Ada banyak curug atau yang dalam bahasa Indonesia berarti air terjun di wilayah ini. Nyatanya benar walau, tak ada hitungan pasti berapa jumlah curug di Banyumas. Bisa jadi lebih dari 10 atau malah 20. 

Minggu (23/11/2014) pagi, SatelitPost dan dua orang kawan menjelajahi dua dari sekian banyak curug di Banyumas, yakni Curug Telu dan Curug Lawang. Lokasinya, tak jauh dari Kota Purwokerto. Tepatnya di Desa Karangsalam, Kecamatan Baturraden, Banyumas atau sekitar 20 menit dari pusat kota dengan sepeda motor. 

Desa Karangsalam bisa ditempuh dari beberapa arah. Satu di antara lewat Jalan Baturraden. Sebelum gerbang bertuliskan "Kawasan Wisata Baturraden", ada pertigaan kecil belok kanan ke arah Kemutug. Terus ikuti jalan tersebut sampai menemukan SMPN 2 Baturraden. Dari sekolah tersebut lantas belok kanan dan Anda akan menemui pertigaan. Ambil kanan sebab jika lurus, Anda akan menuju Kotayasa, Sumbang. Ikuti jalan tersebut sampai menemukan SDN Karangsalam di kiri jalan. Bertemu pertigaan lagi, ambil kiri dan ikuti jalan. Dari sekolah tersebut tak sampai 1 km, bersemayamlah Desa Karangsalam di sisi kiri, dengan papan daftar tempat wisata dan gambaran peta desa, sekaligus ucapan selamat datang. Tenang, ada beberapa penunjuk arah untuk menuju desa tersebut. Jika masih bingung, tanya beberapa penduduk sekitar.

Nah, dari papan tersebut, Anda sudah masuk ke Desa Karangsalam. Ikuti jalan tersebut sampai bertemu dengan kandang ayam di sisi kanan. Ikuti jalan menanjak sampai Anda akan menemukan pertigaan besar kanan jalan, di samping toko yang menjual obat-obatan untuk tanaman milik Sartinah dan Slamet. Di sini, Anda bisa menitipkan sepeda motor. 

"Rumah kami sudah biasa jadi tempat titipan atau parkir wisatawan yang ke Curug Telu. Sebab tidak memungkinkan untuk bawa motor ke sana," kata Sartinah yang mengaku tak mematok biaya parkir yang dikenakan. Kata dia, seikhlasnya saja.

Rute menuju kawasan curug di Desa Karangsalam, November 2014.
Jalanan yang belum diaspal atau di-hotmix menjadi alasan kenapa Sartinah menyarankan agar lebih baik motor ditinggal. Apalagi, di musim hujan sekarang ini, maka jalanan dipastikan becek sehingga membuat Anda harus ekstra hati-hati. Kalau pun Anda bersikeras mengendarai sepeda motor, bisa saja. Namun, hanya sampai di tengah jalan saja dan mau tidak-mau, motor tetap wajib ditinggal. 

Dari pertigaan jalan tersebut sampai ke jalur curug hanya sekitar 2 km. Tak akan terasa lama karena Anda akan disuguhi barisan pemandangan yang amat indah. Ditambah dengan hawa yang sejuk, bakal membuat perjalanan makin mantap. Namun jangan sampai terlena karena masih ada perjalanan yang tak kalah menariknya. 

Dan, perjalanan 'menantang' berawal dari sini. Tempat terakhir di mana Anda boleh mengendarai motor. Sebab, dari sini Anda 'dipaksa' berjalan kaki. Pertama, Anda harus melewati pematang sawah yang beruntung sudah dibeton dan menerabas rerumputan liar. Lepas dari jalanan tersebut, Anda harus melompati bebatuan-bebatuan di sungai kecil. Beruntung saat itu aliran air di sungai tersebut tak terlalu besar. 

Setelah dari sungai tersebut, mulailah petualangan menyusuri galengan, satu per satu. Rasanya amat menyenangkan saat kaki bisa menjejak tanah sawah, mencium aroma persawahan yang khas, merasakan ademnya suasana lereng Gunung Slamet, dan menyapa beberapa petani yang asyik menggarap sawah. 

"Monggo Bu," sapa SatelitPost pada seorang wanita paruh baya bercaping. Ia yang tengah asyik mencabut tanaman gulma di sawahnya seketika langsung menghentikan pekerjaannya. "Iya Mbak, ati-ati," ujarnya sambil terus memandang kami, mungkin sampai kami benar-benar hilang dari pandangannya. 

Perjalanan ini belum usai karena kami harus mblusuk ke hutan. Saat di sini, Anda harus ekstra hati-hati. Selain rute jalan yang menurun, juga licin. Apalagi saat kami datang ke sini, gerimis sempat turun. SatelitPost nyaris terpeleset karena bebatuan licin dan pijakan tanah yang gembur.

Jalan sebentar di kawasan hutan tersebut, akan dua persimpangan. Karena tujuan pertama kami ke Curug Telu, maka kami memilih jalur ke kiri. Benar saja, belum ada 10 meter, tangga berundak-undak yang sudah dibuat sejak tahun 2000-an ini sudah menyambut kami. Seolah lekas menyuruh segera turun, kami pun bergegas. 

"Ayo, ayo cepet, bentar lagi nyampe," kata Nur Fatimah, pekerja swasta yang menemani perjalanan SatelitPost

Dari tangga tersebut, suara deburan air yang jatuh sudah terlihat sangat jelas. Sesekali terdengar teriakan pengunjung lain, yang sudah datang terlebih datang terlebih dahulu. Tak sampai lima menit, kami sampai. Namun belum benar-benar sampai karena kami masih di anak tangga paling bawah dan belum menyentuh air di curug tersebut. 

Dan saat SatelitPost pertama kali menginjak bebatuan di curug tersebut, rasa lelah selama di perjalanan hilang sudah. Tergantikan dengan eksotisme air terjun yang turun dari sekitar 25 meter. Mungkin, karena belum ada hitungan pasti soal ketinggian curug ini. 

Suara bedebum air benar-benar menjadi magnet tersendiri untuk lekas melepas alas kaki dan merendamnya di curug ini. Brrrr, dingin dari air dan hawa langsung terasa. Tapi itu tak menyurutkan SatelitPost untuk bermain air. Segeeeerrnyaaaaa. Bahkan tampak beberapa pengunjung yang berani berenang di kolam curug yang cukup lebar.

Curug ini diberi nama Curug Telu lantaran ada tiga air terjun dalam satu kawasan ini. Yang paling besar tentu curug utama, di mana curug tersebut membentuk satu curug terbesar dan dua 'anak' curug di sampingnya. Jika Anda berbalik, maka akan dua curug lain yang punya ketinggian hampir sama dengan curug utama, bakal 'menyihir' mata Anda. Sungguh cantik dan eksotis. Membuat mata tak berhenti untuk menatap dan mulut terus mengucap rasa syukur. (sri juliati/bersambung)

#tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Pagi SatelitPost, halaman Etalase.